SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun oleh:
Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
M E M B E N D U N G A R U S
GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA
1991-1999
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun oleh:
Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Kedua orang tuaku: Duarte Savio dan Julieta da Costa Correia, akan cintanya yang tak terbatas.
Kakakku : Natercia Savitri Maria Correia
Adik-adikku : Lucio Josue Savio, Deonisio Duarte Savio, dan Leonora Correia Savio
Almamaterku Universitas Sanata Dharma yang tercinta.
v
MOTTO
Menyatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.
Antonio Gramsci (Aktivis Politik, 1891-1937)
Penindasan ikut membentuk kualitas yang ditindas yang akhirnya akan
mengakibatkan kejatuhan sang penindas.
Richard Wright , “The psychological Reactions of Oppresed People”.
Mereka yang tak mampu mengingat masa lampau, dikutuk untuk
mengulanginya.
vi
tidak memuat karya atau bagian orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 Juli 2008
Penyusun
vii
ABSTRAK
MEMBENDUNG ARUS
(Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999) Roserio D. Aprianto Savio
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Judul dari tulisan ini yaitu, “Membendung Arus: Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999”. Tulisan ini mengkaji gerakan masyarakat sipil di Indonesia antara tahun 1991-1999, yang aktif dalam gerakan mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste di Indonesia. Dalam hal ini, gerakan masyarakat sipil tersebut berseberangan dengan kebijakan resmi pemerintah Orde Baru yang menjadikan Timor-Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27 melalui Integrasi Timor-Timur. Pada saat itu, penyatuan Timor-Leste masih menjadi masalah internasional, dan terus menghadapi perlawanan rakyat. Pada sisi lain, awal 1990-an di Indonesia, mulai muncul gerakan masyarakat sipil pro Timor-Leste. Beberapa faktor penting yang terkait erat, yaitu perkembangan situasi dunia pasca Perang Dingin, gerakan pro-demokrasi Indonesia yang makin kuat menentang rezim Orde Baru yang otoriter, dukungan masyarakat sipil internasional dan tentu saja perkembangan di Timor-Leste pasca peristiwa Santa Cruz 1991. Pada akhirnya, Timor-Leste lepas setelah referendum 1999. Dalam hal ini, gerakan pro Timor-Leste telah menjadi salah satu faktor penekan penting terhadap kebijakan Orde Baru di Timor- Leste.
Data yang dipergunakan pada penulisan ini adalah data primer dan sekunder. Diperoleh dari media massa (surat kabar dan majalah), dokumen-dokumen (yang telah dibukukan), buku dan sumber tertulis dari internet. Selain itu, juga dari diskusi dan wawancara dengan beberapa tokoh aktivis pada waktu itu.
Tidak begitu banyak yang tahu, bahwa dibalik upaya Orde Baru mempertahankan Timor- Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27, sebagian masyarakat sipil Indonesia telah mendukung perjuangan bangsa Timor-Leste.
viii
Roserio D. Aprianto Savio
SANATA DHARMA UNIVERSITY, YOGYAKARTA
The tittle of this writing is ‘Blocking- Up the Flow: The Movement Pro East Timor in Indonesia 1991-1999. This writing explores a civil movement in Indonesia between the years 1991-1999, which was active in the movement to support the people’s struggling of East Timor in Indonesia. In this case, the civil movement was opposited with the formal goverment policy of New Order, which became East Timor as the 27th province of Indonesia through East Timor Integration. At the moment, the unionization of East Timor still became international problem, and faced the people opposition continously. On the other hand, at the beginning of 1990s in Indonesia, it started to emerge the civil movement pro East Timor. Some important factors connected closely, namely the development of world situation after Cold War, the movement of Indonesia democracy which was much stronger to opposite the authoritative regime of New Order, international people supporting and of course the development in East Timor after Santa Cruz incident 1991. Finally, East Timor was free after referendum of 1999. In this case the movement pro East Timor had become one of underlined important factors toward the policy of New Order in East Timor.
Data used in this writing was primer and secondary. It was obtained from mass media (newspaper, magazine), the documents (had been booked), book and literature sources from internet. Beside that, it was also from discussion and interview with some activities at the time.
It was not too much to be known that the background effort of New Order to defend East Timor as the 27th of Indonesia, an half of Indonesia people had supported the struggling of East Timor nations.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Roserio Dwi Aprianto Savio
Nomor Mahasiswa : 024314013
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
M E M B E N D U N G A R U S
GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA
1991-1999
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dala m bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 06 September 2008
Yang menyatakan
ix
Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
ini. Demikian juga, tidak ada karya yang lahir dengan sendirinya, tanpa dukungan dan
bantuan orang lain. Untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja
yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi
ini.
2. Prof. Dr. P.J. Suwarno SH, yang dalam kesibukkannya senantiasa meluangkan
waktu untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.
3. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A. Bapak Drs. G. Moedjanto M. A.
(Almarhum), Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Bapak Drs. Silverio R. L.
Aji. S. M. Hum, Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, Romo Dr. F.X.
Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, Bapak Dr.
Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, Bapak Drs.
Anton Haryono, M.Hum, dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo.
4. Mas Try di sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani keperluan
administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah dan Bapak Wahluyo atas kenyamanan
Wisma A.
5. Segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
6. Bonar Tigor Naipospos, Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Yeni Rosa
x
Mariatun, Lefidus Malau, Lexy J. Rambadeta, Romo Sandyawan Sumardi,
Tossy Santoso, dan Wilson yang bersedia meluangkan waktunya untuk
berdiskusi serta saya wawancarai.
7. Semua yang ada di Lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta, di mana
saya memperoleh data dan buku-buku yang diperlukan.
8. Segenap keluarga besar Lo’olata, teristimewa Paman Ermenegildo Savio dan
Pedruco Savio. Demikian juga Paman Aleixo Aniçeto, Tiu Bosco, dan Tiu
Rui. Bibi-bibiku: Tia Anje, Tia Matilde, Tia Aurelia, Tia Maria, Tia Mena,
Tia Isaura, Tia Joaquina, Tia Anina, Tia Sica, Tia Elita, dan Tia Juvita. Kakek
Paulo Savio (Almarhum), Nenek Aititi (Almarhum), Nenek Madalena
Correia, Tiu Justino Vieira dan keluarga.
9. Lafai Calvario Savio, Lafai Bene Savio, Mana Sandra, Mana Mimi, Mana
Natalia, Liliana Monica Savio, Nini Moco ‘Zalde’, Adão Pires (Almarhum),
Juvidal Aniçeto, Quico, dan Heiso.
10.Maun Lito dan keponakanku Mazia.
11.Maun Fuca, Maun Bosco, Mana Sinta dan sahabat-sahabatku: Marino
Guterrez, Zenilton Zeneves, Alarico Bernadino, Neto Guterrez, Benedito
Savio, Alfredo da Luz Neto, Dulce Finela Guterrez, Junita Castanheira,
Amalia Passos, Ranucoro, Sorucoro, Maun Adanco, Ambelita, Alino,
Couquequer, Lacamalay, Abilio, Odino, Aquelina, Ceremalay, Sese Ipiray,
João Moco, Demistocles, dan Advento.
12.Sobat-sobat Papua (Longginus Pekey, Meky, Agus Degey, Jeremias Degey),
Ferdy Flores, Mateus Sumba serta teman-teman diskusi di Impiko (Ikatan
xi Karno. Semoga ketemu lagi!
14.Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,
yang telah membentuk saya seperti sekarang ini.
Karya ini tidaklah sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik
dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis bercita-cita semoga hasil penelitian
ini berguna bagi pembaca yang budiman.
Yogyakarta, 22 Agustus 2008
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
HALAMAN ABSTRAK... vii
HALAMAN ABSTRACK... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Perumusan Masalah... 7
D. Tujuan Penulisan... 7
E. Manfaat Penulisan... 8
F. Kajian Pustaka ... 9
G. Landasan Teori... 15
H. Hipotesis ... 20
I. Metode Penelitian... 21
J. Sistematika Penulisan... 22
BAB II MASALAH TIMOR-LESTE DAN HEGEMONI ORDE BARU... 24
A. Orde Baru dan Pembasmian Kaum Kiri Indonesia ... 24
B. Peran Kaum Agamawan dan Intelektual... 30
1. Pandangan Golongan Katolik Indonesia ... 31
2. Peran CSIS (Center for Strategic and International Studies) ... 35
3. Pandangan Golongan Islam dan Gereja Protestan ... 38
C. Penulisan Sejarah… ... 42
xiii
E. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)... 74
F. Misi Kemanusiaan... 79
G. Pahlawan Integrasi ... 81
H. Pembangunan Timor Timur ... 84
I. Diplomasi Indonesia... 87
J. Pengenalan Nilai-Nilai Indonesia ... 92
K. Rangkuman ... 98
BAB IV TITIK BALIK MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1989-1995 ... 100
A. Masalah Timor-Leste Pasca Perang Dingin dan Politik Keterbukaan 1989...100
B. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ... 104
C. Peristiwa Santa Cruz 1991... 106
D. Awal Dukungan Masyarakat Sipil Indonesia ... 108
E. Penangkapan Xanana Gusmão ... 122
F. Munculnya Gerakan pro Timor- Leste ... 123
G. Rangkuman ... 143
BAB V ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI 1996-1999... 145
A. Dukungan Masyarakat Sipil Internasional ... 145
B. Jaringan Yang Meluas ... 150
C. Reformasi 1998 ... 166
D. Menuju Referendum 1999 ... 175
E. Rangkuman ... 187
BAB VI K E S I M P U L A N... 189
DAFTAR PUSTAKA...194
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Timor Timur1 sebagai bekas jajahan Portugal selama ratusan tahun, harus
menunggu 24 tahun untuk menjadi negara merdeka setelah referendum tahun
1999, 2 yang mengakhiri pendudukan Indonesia sejak tahun 1975. Pencapaian
tersebut, melalui suatu proses panjang yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal
ini, tanpa mengesampingkan peranan rakyat Timor-Leste dalam perjuangan
mencapai cita-cita kemerdekaan, kiranya penting menghadirkan kajian sejarah
tentang peranan ya ng dimainkan elemen-elemen masyarakat sipil, khususnya
gerakan-gerakan non-pemerintah di Indonesia yang memberi dukungan bagi
perjuangan bangsa Timor-Leste.
Hal ini merupakan suatu keunikan, karena gerakan- gerakan tersebut
menempuh arah berlawanan dengan kebijakan resmi pemerintah, dan mengambil
jalan yang sama dengan berbagai gerakan masyarakat sipil di belahan dunia lain,
secara konsisten menentang pendudukan Indonesia di Timor-Leste.
1
Timor-Timur (Timtim) sebagai nama resmi propinsi Indonesia hanya dipakai berkaitan dengan Integrasi Timor Timur ataupun kutipan langsung. Selebihnya saya menggunakan Timor- Leste, sebagai nama resmi pada saat proklamasi unilateral Fretilin tentang Republik Demokratik Timor- Leste (República Democrática de Timor-Leste), 28 November 1975, dan direstorasi kembali pada tahun 2002 setelah lepas dari Indonesia. Selain itu, nama Timor Lorosa’e (bahasa Tetum) juga sering digunakan untuk menyebut wilayah tersebut.
2
Istilah yang digunakan Indonesia, sebetulnya adalah Jajak Pendapat untuk menghindari istilah referendum yang populer di kalangan pro-kemerdekaan. Dalam tulisan ini, saya memakai istilah referendum, yang umumnya digunakan masyarakat internasional.
Di mana gerak maju dari akumulasi berbagai bentuk penentangan tersebut,
pada akhirnya bertransformasi menjadi gerakan oposisi yang kuat, dalam
menentang pemerintahan Orde Baru. Ini fenomena yang menarik, sebab pada
mulanya gerakan pro Timor- Leste ibarat ‘riak kecil’ di tengah arus besar opini
publik di bawah kendali Orde Baru yang mengutamakan stabilitas nasional
Indonesia, dengan cara-cara represif yang berciri militeristik.
Di samping itu, Orde Baru menjalankan hegemoni untuk memperoleh
legitimasi. Misalnya membangun wacana,3 bahwa pencaplokan wilayah
Timor-Leste adalah suatu keniscayaan sejarah, berdasar kebesaran ekspansi Majapahit,4
yang secara hiperbolis diungkapkan sebagai ‘kembalinya anak hilang ke dalam
pangkuan ibu’ [baca: ibu pertiwi].5 Selama 24 tahun, ini dianggap sebagai
kebenaran yang sebetulnya anakronis, namun dijejalkan lewat pendekatan
persuasif melalui lembaga pendidikan, sebagai wacana resmi.
Bagaimana pun kajian ini cukup menarik, terutama mengikuti perbenturan
pandangan masyarakat sipil dengan pemerintah bahwa Integrasi Timor-Timur,
bukanlah solusi final dan merupakan kesalahan rezim, sehingga perlu pelaksanaan
hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor- Leste. Hal ini, baru terlaksana
setelah gelombang perubahan memuncak menyusul jatuhnya Suharto, dan di
bawah pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie, mengelindingkan format baru
penyelesaian masalah Timor-Leste, melalui referendum tahun 1999.
3
Istilah wacana digunakan untuk menyebut pernyataan yang mengandung serangkaian gagasan.
4
Lihat majalah Jakarta-Jakarta. Tanggal 30 November-6 Desember 1991. 5
3
Hal ini, sekaligus meneguhkan dasar historis bahwa Timor-Leste sebagai
bekas jajahan Portugal sejak semula berada di luar bayangan para nasionalis
Indonesia yang memproklamasikan NKRI tahun 1945, berdasar produk historis
Hindia-Belanda. Timor- Leste baru digabungkan setelah penyerbuan ilegal militer
Indonesia tahun 1975,6 dan memulai kancah perang yang lebih besar, sebagai
ekses dari suasana Perang Dingin antara negara-negara adidaya yang menjalar ke
negara berkembang, termasuk Indonesia dan Timor-Leste.
Invasi militer, diikuti pengesahan Timor-Leste sebagai provinsi ke-27,7
yang menghadapkan rakyat Timor-Leste pada realita ketertindasan selama hampir
dua setengah dasawarsa. Keadaan ini, tercipta karena upaya militer Indonesia
[baca: Orde Baru] memberangus cita-cita kemerdekaan rakyat Timor-Leste yang
digagas Fretilin,8 dengan membasmi perlawanan rakyat, melalui berbagai cara
yang berciri koersif maupun persuasif, sebagaimana lazimnya di negara- negara
otoriter, dan juga diterapkan terhadap rakyat Indonesia. Salah satunya dengan
menyembunyikan cerita horor di Timor-Leste, dari rakyat Indonesia.
6
Dari perspektif hukum internasional, invasi militer Indonesia hingga tahun 1982 melanggar 10 Resolusi PBB, yang menyerukan penarikan pasukan TNI dari Timor-Leste. Lihat Timor-Leste: Sebuah Tragedi Kemanusiaan. 1999. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta.
7
Sejak invasi hingga penyatuan Timor-Leste, tidak pernah dikonsultasikan secara terbuka dengan rakyat Indonesia ataupun wakil mereka di parlemen. Lihat Baskara T. Wardaya. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S. Galang Press. Yogyakarta. Hlm. 238.
8
Setidaknya hegemoni Orde Baru, bisa kita lihat dalam pernyataan Antero
Bendito, mahasiswa Timor-Leste peraih International Student Peace Prize di
Trondheim, Norwegia 1999, bahwa selama Orde Baru sejarah Timor-Leste adalah
sejarah terlarang (forbidden history).9 Hal ini secara tidak langsung membuat
Orde Baru lebih leluasa mengalang dukungan dalam negeri yang kuat, ketika
menjalankan diplomasi politik luar negerinya.
Namun kegagalan Orde Baru meredam perlawanan rakyat di Timor- Leste,
akhirnya menemukan titik balik pada penghujung dasawarsa 1980-an. Ketika itu,
perlawanan rakyat mulai muncul dengan kualitas baru, yang tidak semata
mengandalkan kekuatan senjata dan upaya diplomasi, namun mulai dipadukan
dengan demonstrasi dan gerakan protes sosial perkotaan. Ini dimulai setelah
masa-masa perang yang sulit, regenerasi dalam perlawanan berhasil melahirkan
gerakan-gerakan pemuda radikal perkotaan. Salah satu peristiwa penting terkait
perkembangan ini, berpuncak pada peristiwa pembantaian Santa Cruz tahun 1991.
Pada titik ini, awal kemunduran diplomasi Indonesia dimulai. Sementara bagi para
petualang militer, Timor-Leste tidak lagi menjadi ajang yang mudah dalam
promosi kepangkatan.
Pada akhirnya, seiring dinamika dan frekuensi letupan- letupan protes di
Timor-Leste, disambut gerakan- gerakan protes di Indonesia. Terutama oleh
gerakan-gerakan yang memperjuangkan demokratisasi Indonesia dari kekuasaan
rezim Orde Baru yang otoriter. Sejak saat itu, di kota-kota besar Indonesia,
muncul gerakan solidaritas bagi perjuangan rakyat Timor-Leste, yang secara
9
5
kontinu mengkampanyekan masalah Timor-Leste hingga referendum tahun 1999.
Kajian ini, setidaknya akan memberi kontribusi penting dalam penulisan
sejarah Timor-Leste di Indonesia maupun di Timor- Leste. Seperti dikemukakan
sejarawan Asvi Warman Adam, mengutip Akihisa Matsuno dari Osaka University
of Foreign Studies, bahwa penulisan sejarah Timor-Leste perlu dikonsensuskan.
Sebab apabila bertolak belakang, jelas akan memiliki dampak buruk bagi
hubungan bertetangga.10
Selain itu Asvi Warman Adam, juga mengatakan sejarah Timor- Leste
penting bagi bangsa Indonesia, karena akan memperlihatkan bagaimana bangsa
Indonesia memandang orang atau bangsa lain dari sudut pandang Indonesia: 11
Betapa sulitnya menulis kembali sejarah Timor Timur. Bagaimana kita memandang masa seperempat abad di Timor-Timur: sebagai pendudukan, penjajahan, atau integrasi suatu wilayah dengan Indonesia.
Selama ini dilakukan pembangunan fisik yang luar biasa di provinsi itu: apa arti semuanya itu. Apa gunanya anggaran pembangunan yang telah dikucurkan Jakarta demikian besar selama 25 tahun ini? Diplomasi kita tersita oleh perkara ini. Bagaimana kita menggangap tentara Indonesia yang tewas di sana, sebagai martir, pahlawan atau tentara penjajah (bandit?) mereka jelas telah gugur dalam menjalankan tugas Negara. Apakah perjuangan atau pengorbanan mereka sia-sia belaka? Bagaimana pula pelaksanaan HAM di Timor Timur sebelum dan sesudah jajak pendapat?
Berdasar uraian Asvi Warman Adam di atas, kajian ini kiranya memberi
kontribusi baru, sebagai bahan sejarah dalam melihat dan menempatkan gerakan
pro Timor- Leste di Indonesia. Bagaimana menempatkan mereka dalam sejarah?
Apakah mereka semata- mata sebagai pengkhianat?
10
Ibid., Hlm. 95.
11
Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, topik ini penting dalam membangun
citra positif rakyat Indonesia di mata rakyat Timor-Leste. Terutama menghadirkan
sudut pandang alternatif dari sejarah buruk pendudukan militer Indonesia.
Demikian juga, kajian ini mencoba menghadirkan penulisan sejarah yang tidak
semata menuliskan sejarah para penguasa, namun juga sejarah orang-orang biasa,
yang aktif mendukung perjuangan Timor-Leste.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari judul yang diajukan, yaitu Membendung Arus: Gerakan Pro
Timor-Leste di Indonesia 1991-1999, penulisan skripsi ini akan menfokuskan pada
berbagai gerakan di Indonesia yang mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste.
Pembatasan waktu antara rentang waktu 1991-1999, karena terkait
beberapa peristiwa penting, di Indonesia dan di Timor-Leste yang berpengaruh
langsung terhadap perkembangan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Periode
sebelum tahun 1991, dari invasi militer Indonesia tahun 1975 hingga 1988,
Timor-Leste adalah suatu wilayah tertutup, dan baru mengalami semacam
‘glasnot’ atau ‘politik keterbukaan (politik abertura),’ pada tahun 1989.12 Setelah
peristiwa Santa Cruz 1991, rakyat Indonesia mulai memberi dukungan bagi
perjuangan rakyat Timor-Leste hingga wilayah ini lepas tahun 1999. Meskipun
demikian, tulisan ini juga mencakup kekuasaan Orde Baru tahun 1960-an, masa
pertengahan 1970-an dan 1980-an ketika Timor-Leste dianeksasi dan diisolasi.
12
7
Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan latar belakang kemunculan
gerakan pro Timor-Leste di Indonesia secara lebih menyeluruh.
C. Perumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
1. Baga imana hegemoni negara yang dijalankan Orde Baru untuk
memperoleh dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan
Integrasi Timor Timur ?
2. Bagaimana pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan
Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru?
3. Apa dan bagaimana proses kemunculan masyarakat sipil Indonesia pro
Timor-Leste di Indonesia?
4. Apa dan bagaimana dukungan masyarakat sipil Indonesia
memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini, yakni:
1. Mendeskripsikan upaya yang ditempuh Orde Baru untuk memperoleh
dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan Integrasi Timor
Timur.
2. Mendeskripsikan pemberitaan media massa Indonesia mengenai
persoalan Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru.
3. Mendeskripsikan proses munculnya masyarakat sipil pro Timor- Leste
4. Mendeskripsikan dukungan masyarakat sipil Indonesia dalam
memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan disumbangkan dari penelitian ini, sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan sejarah, dan pemahaman mengenai
munculnya gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Dengan mengkaji
latar belakang masalah Timor-Leste yang terisolasi karena hegemoni
dan represi pemerintahan Orde Baru, serta peranan masyarakat sipil
Indonesia dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat
Timor-Leste.
2. Secara umum penelitian ini, akan memperkaya pengetahuan sejarah
nasional terkait perbendaharaan historiografi Indonesia mengenai
Timor-Leste, terutama dari sudut pandang orang Timor- Leste.
Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, kiranya kajian ini lebih
memperkaya historiografi mengenai Timor-Leste, terutama
menawarkan suatu pandangan historis yang lebih menyeluruh dalam
hubungan dengan rakyat Indonesia, yaitu tentang solidaritas
perjuangan yang diberikan rakyat Indonesia.
3. Karya ini, juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat tugas akhir
9
F. Kajian Pustaka
Tidak banyak buku yang ditulis mengenai Timor- Leste di Indonesia. Di
antaranya yang menonjol, adalah karya aktivis lingkungan Indonesia terkemuka
dan juga penentang invasi Indonesia di Timor-Leste, George J. Aditjondro, In The
Shadow of Mount Ramelau: The Impact of The Occupation of East Timor
(1995).13 Isi buku ini, sebagai berikut: (i), “Persamaan dan Perbedaan Kebudayaan
Timor-Leste dengan Indonesia”, yang dipaparkan berdasarkan perbedaan
ekologis, keragaman penduduk dan bahasa, termasuk latar historis Timor- Leste
yang berbeda; (ii), “Dampak Ekologis Pendudukan Indonesia”, membahas korban
jiwa di kalangan penduduk, jatuhnya produksi beras, kopi, ternak, serta
kehancuran hutan-hutan cendana di Timor-Leste; (iii), “Dampak Sosial
Pendudukan Indonesia”, membahas perkembangan budaya kekerasan di
Timor-Leste, dan akibat dari program pendudukan kembali dan akibat migrasi Indonesia;
(iv), “Dampak Pendudukan Timor-Leste Terhadap Kaum Perempuan”, membahas
pembunuhan, pemerkosaan, perkawinan paksa dan pemuas birahi, pelacuran,
pemaksaan KB (Keluarga Berencana) kepada perempuan dan tindakan represif
terhadap kemunculan organisasi perempuan; (v), “Dampak Pendudukan
Timor-Leste Terhadap Remaja dan Pemuda”, membahas pembunuhan terhadap bayi
selama 5 tahun pertama invasi, penghamilan yang dilakukan militer Indonesia
dengan memperkosa perempuan Timor-Leste, penculikan anak-anak Timor- Leste
13
oleh tentara Indonesia untuk dibesarkan di Indonesia atau di Timor-Leste yang
memisahkan mereka dari keluarga dan komunitasnya, pemaksaan generasi
Timor-Leste yang masih sangat muda untuk masuk ke dunia kerja, sehingga tidak dapat
meneruskan pendidikan yang lebih tinggi dan represi yang terus berlanjut
terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan ekpresi remaja
Timor-Leste; (vi), “Biaya Operasional dan Biaya Sosial Penempatan ABRI di
Timor-Leste”, membahas anggaran perang maupun korban di pihak militer
Indonesia; (vii), “Berbohong Dengan Statistik: Perbandingan Sosial Ekonomi
Timor-Leste Dengan Bekas Koloni Portugal Lainnya dan Timor Portugal”,
membahas keterpurukan ekonomi Timor-Leste di bawah Indonesia. Antara lain:
kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai dan kekurangan gizi, serta TBC di
Timor-Leste; (viii), “Dampak Ekonomis Pendudukan Timor-Leste”, membahas
keadaan ekonomi Timor-Leste yang dikuasai sejumlah elit sipil dan militer yang
menjalankan monopoli ekonomi di Timor-Leste; (ix), “Hubungan Tegang Antara
Negara Indonesia dan Gereja-Gereja Timor-Leste”, menguraikan bantahan
terhadap pernyataan apologis Indonesia bahwa Integrasi Timor Timur dengan
Indonesia mendorong pertumbuhan jumlah umat gereja secara cepat; (x),
“Gerakan pro Timor-Leste di Indonesia”, membahas kemunculan gerakan
masyarakat sipil di Indonesia yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat
Timor-Leste; (xi), “Pentungan dan Pemikat Dalam Diplomasi Indonesia”,
11
Selain itu, buku lain yang patut dikemukakan yaitu buku saku tulisan Roy
Pakpahan, Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang.14 Buku ini ditulis bagi
masyarakat Indonesia yang awam akan masalah Timor-Leste dan terdiri dari 10
bab. Bab I hingga IV, membahas sejarah Timor-Leste secara singkat, pasca
perubahan politik di Portugal 1975, hingga penangkapan Xanana Gusmão 1992.
Bab V dan VI, membahas masalah sosial ekonomi, politik transmigrasi,
perempuan dan KB, terutama dampak langsung pendudukan Indonesia terhadap
aspek-aspek tersebut. Bab VII dan VIII, membahas persepsi internasional dan
peran PBB hingga dukungan masyarakat sipil internasional. Bab IX dan X,
membahas masa depan Timor-Leste pasca rezim Orde Baru dan para pemimpin
Timor-Leste dan Portugal menolak otonomi yang diajukan Indonesia.
Sementara itu, buku yang ditulis untuk menyokong integrasi, perlu disebut
pertama adalah karya Sukanto, Integrasi Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur,15
terbit 1976. Buku ini mengambarkan proses Timor-Leste berintegrasi dengan
Indonesia dari sudut pandang Orde Baru dan legitimasi yang menjadi dasar
penyatuan Timor-Leste sebagai Propinsi Indonesia ke-27, dilengkapi dengan
dokumen-dokumen menyangkut proses integrasi. Sayangnya, buku ini tidak
menyertakan catatan bibliografis. Adapun dasar penyatuan Timor-Leste, Sukanto
menguraikan alasan geopolitis berdasarkan alasan geografi, demografi, sosial,
budaya dan ekonomi serta alasan pertahanan keamanan. Termasuk sejarah
penjajahan di Timor-Leste dibahas secara sangat terbatas. Meliputi latar belakang
14
Roy Pakpahan. 1998. Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang. Solidamor. Jakarta.
15
dekolonisasi di Timor-Leste dan pergolakannya, kebijaksanaan Pemerintah
Indonesia menyikapi perubahan tersebut, Pemerintah Sementara Timor Timur
(PSTT), peranan internasional, serta permulaan Timor-Leste menjadi propinsi
Indonesia.
Buku lainnya yang ditulis dalam rangka integrasi, adalah karya ekonom
Timor-Leste yang pro- integrasi, João Mariano de Sousa Saldanha, berjudul
Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur,16 terbit tahun 1994. Buku ini, sesuai
latar belakang penulisnya sebagai sarjana ekonomi, memaparkan hasil- hasil
pembangunan Indonesia di Timor-Leste sejak integrasi hingga awal tahun
1990-an. Saldanha antara lain membuat perbandingan tentang aspek-aspek yang
berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi di Timor-Leste dari tahun ke
tahun setelah integrasi, dengan masa kolonial Portugal maupun diperbandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi propinsi Indonesia lainnya dan ekonomi nasional
Indonesia, sejalan dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima
Tahun) sejak 1982.
Di luar buku-buku tersebut, terdapat karya para sarjana asing yang jarang
beredar di Indonesia, terutama berbahasa Portugis17 dan Inggris yang umumnya
sangat kritis terhadap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Di antaranya yang
telah diterjemahkan, yaitu karya John G. Taylor, Indonesia’s Forgotten War: The
16
João Mariano de Sousa Saldanha. 1994. Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur. Sinar Harapan. Jakarta.
17
13
Hidden History of East Timor,18 terbit tahun 1991. Buku ini merupakan karya
yang cukup komprehensif yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam
mengkaji sejarah perlawanan rakyat Timor-Leste. Baik melawan kolonialisme
Portugal, maupun pendudukan Indonesia sejak 1975, berdasar struktur budaya
masyarakat Timor-Leste yang direproduksi ulang berdasar jaringan kekerabatan
dan sistem ekonomi komunitarian. Selain itu, Taylor menguraikan bagaimana
upaya Indonesia melakukan kontrol atas perang di Timor-Leste, dari sorotan
masyarakat internasional.
Buku lainnya adalah karya Geoffrey C. Gunn, Timor Loro Sae 500
Years,19 terbit tahun 1999. Sama halnya dengan Taylor, buku ini secara
komprehensif menguraikan sejarah Timor-Leste, namun dengan kerangka 500
tahun. Diawali kehadiran pengaruh Latin oleh Portugal, masa pendudukan Jepang
selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan Indonesia menjelang akhir abad
ke-20. Gunn menyusun buku ini, berdasar berbagai daftar kepustakaan
Timor-Leste yang pernah ditulis, terutama menggunakan sumber Portugis, maupun yang
berbahasa Inggris atau aliran Anglo-Saxon hingga sumber-sumber dalam bahasa
lain, seperti Perancis, Belanda dan Indonesia. Buku ini, mencoba menempatkan
peran orang Timor-Leste dalam penulisan sejarah, mulai dari terbentuknya
masyarakat Kristen pertama tahun 1515 di Solor dan Timor, serta mengupas satu
18
John Taylor. 1991. Indonesia’s Forgotten War: The Hidden History of East Timor, Zed Books. London. Edisi Indonesia, 1998. ’Perang Tersembunyi: Sejarah Timor Timur yang Dilupakan’. Fortilos. Jakarta.
19
persatu pemberontakan yang terus berlangsung terhadap kolonial Portugal hingga
abad ke-20. Sehingga dalam waktu lama Portugal terpaksa menerapkan
pemerintahan protektorat di Timor-Leste. Selain itu, Gunn juga membahas secara
singkat situasi politik di Timor-Leste setelah Revolusi Bunga Portugal hingga
invasi Indonesia 1975.
Perlu disebut juga, adalah karya Michele Turner, Telling. Edisi
Indonesia-nya berjudul Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992,20 yang
merupakan upaya rekonstruksi lisan tentang peristiwa-peristiwa dalam ingatan
yang hidup.21 Buku ini, mengisahkan bagaimana rakyat Timor-Leste membantu
pasukan Australia yang menjadikan Timor-Leste sebagai daerah pertahanan dalam
menghadapi serbuan Jepang selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan
Indonesia hingga awal 1990-an, berdasarkan kesaksian lisan para pengungsi
Timor-Leste di Australia, serta sejumlah warga Australia yang pernah bertugas
atau berkunjung ke Timor-Leste.
Terakhir adalah laporan CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Timor-Leste),22 yang diberi judul Chega! (Jangan Lagi! Berhenti!
Cukup!), terutama pada Bab 7.1. ’Hak Penentuan Nasib Sendiri’ yang membahas
peran masyarakat sipil di berbagai negara dunia, termasuk di Indonesia yang ikut
memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste.
Dari berbagai kajian tentang Timor-Leste tersebut, adapun isi dari skripsi
20
Michele Turner. 1992. Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992. Pijar Indonesia. Jakarta.
21
Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 42. 22
15
ini sedikit banyak telah ditulis oleh George J. Aditjondro dalam buku
Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor
Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia, maupun
dibahas secara singkat dalam laporan CAVR, Chega!.
Kendati demikian, buku-buku di atas, belum ada yang secara rinci
menggunakan analisa sejarah dalam membahas peran hegemonik Orde Baru untuk
mendapatkan persetujuan publik Indonesia mengenai Integrasi Timor Timur dan
penentangan masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan hak penentuan
nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste, berdasarkan dinamika demokrasi di
Indonesia. Untuk itu, penelitian ini dilakukan.
G. Landasan Teori
Untuk memperjelas arah dan batasan tulisan ini, metodologi yang
digunakan adalah pendekatan multidimensional,23 dengan mengacu pada beberapa
konsep sosiologis seperti teori gerakan sosial. Menurut sejarawan Inggris, Peter
Burke, bahwa kadang-kadang penentangan (resistensi) sehari-hari berubah
menjadi perlawanan terbuka atau semacam Gerakan Sosial, yang dibedakan dalam
dua tipe, yaitu gerakan itu pada dasarnya untuk memulai suatu perubahan atau
gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang terjadi.24
Sementara, menggunakan istilah yang agak berbeda, Robert Marsel tidak
23
Penulis mengacu pada buku yang ditulis sejarawan, Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Gramedia. Jakarta.
24
menggunakan Gerakan Sosial namun menyebutnya sebagai Gerakan
Kemasyarakatan, yang disebutnya sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan
yang tak terlembaga (non instituonalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang
untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam masyarakat.25 Lebih jauh
Marsel mengemukakan beberapa tema, yaitu pertama, Gerakan-Gerakan
Kemasyarakatan paling tepat dimengerti dalam hubungannya dengan organisasi
dan perilaku organisatoris. Kedua, apapun yang menjadi tujuan atau cita-cita
sebuah Gerakan Kemasyarakatan, strateginya [cara-cara mencapai tujuannya]
biasanya rasional. Adanya strategi dengan menggunakan cara-cara rasional ini
terlihat di dalam organisasi-organisasi gerakan yang bertingkah sama seperti
organisasi lainnya. Ketiga, aktivitas utama dari organisasi gerakan adalah
memobilisasi berbagai macam konstituensi dengan aneka cara guna memperoleh
sumber-sumber daya yang dibutuhkan. Sumber-sumber daya dalam arti luas dapat
mencakupi waktu dan tenaga para aktivis, dana, senjata, dukungan media dan
sebagainya. Keempat, bentuk organisasi dan strategi-strategi penggalangan
sumber daya dari sebuah gerakan kemasyarakatan membuatnya begitu serupa
dengan bentuk-bentuk tindakan yang terlembaga. Selain itu, menurut Marsel,
peran penting kaum profesional dalam gerakan kemasyarakatan, karena menjelang
akhir abad ke-20, semua masyarakat adalah masyarakat yang berciri organisasi, di
mana suatu tindakan perubahan sosial menuntut pula keahlian teknis tingkat
tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi,
menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan
25
17
menggunakan kontak dengan media massa.26
Dalam hal ini, terkait dengan organisasi formal sebagai obyek kajian, Peter
Burke menuliskan: 27
Organisasi-organisasi yang sukses itu menulis sejarah resminya, sejarah ini sering memberi kesan seolah-olah organisasi-organisasi ini direncanakan dan dilembagakan secara sadar sejak awal berdirinya. Dengan cara begitu, sulit untuk tidak melihat masa kini berdasarkan masa lalu, tetapi kecenderungan ini harus dilawan, konsep tentang gerakan ini mendorong kita untuk mengetahui perubahan dan spontanitas di sekitar masa berdirinya organisasi, suatu ‘masa’ yang mungkin saja berlangsung selama satu generasi yang kemudian disusul oleh datangnya fase rutinisasi atau ‘kristalisasi’.
Apa yang dikemukakan Burke dan Marsel, cukup relevan dalam melihat
peran masyarakat sipil yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat
Timor-Leste. Namun demikian belum sepenuhnya mencakup definisi yang
dimaksudkan dengan masyarakat sipil dalam tulisan ini.
Istilah masyarakat sipil adalah konsep lama dalam pemikiran sosial politik,
yang pada awal abad ke-20, oleh Antonio Gramsci diberi makna baru. Berdasar
orientasi dasar Marxis, istilah masyarakat sipil dinyatakan sebagai bagian dari
negara yang terlepas dari pemaksaan atau aturan-aturan formal, meskipun tetap
mengandung unsur rekayasa seperti lazimnya institusi politik. Konsep ini juga
diartikan sebagai wadah politik budaya. Lembaga- lembaga masyarakat sipil itu
adalah institusi keagamaan (mesjid, pesantren, gereja), sekolah, serikat pekerja,
dan berbagai organisasi lainnya yang dalam kenyataannya acapkali bisa
dibelokkan menjadi sarana kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya
26
Terdapat 8 tema yang dikemukakan Marsel, namun empat tema tersebut paling relevan dengan tulisan ini. Ibid., Hlm. 56-58.
27
terhadap masyarakat. Di samping itu, masyarakat sipil juga merupakan arena di
mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah.28
Dalam hal ini, terminologi masyarakat sipil dalam konteks Timor- Leste
perlu mengacu pada 4 alasan yang dikemukakan dalam laporan CAVR, Chega! :29
Pertama, sebagai satu sektor istilah ini membedakan dari sektor-sektor penting lainnya, yang membentuk masyarakat demokrasi, seperti halnya pemerintah dan bisnis. Istilah ini mengakui timbulnya “sektor ketiga” dan perannya yang independen dalam menanggulangi masalah- masalah dunia. Dalam konteks Timor-Leste hal ini sangat relevan, karena…masyarakat sipil memainkan peran yang memiliki ciri khas tersendiri, dan dalam hal Timor-Leste biasanya berseberangan dengan pihak pemerintah dan bisnis. Kedua, istilah ini lebih luas dibanding “non- governmental organization” (NGO) dan “grup solidaritas,” yang sering digunakan dalam konteks ini, tapi tidak cukup luas untuk mencakup luas dan ragam individu, grup dan organisasi yang memberi dukungan Timor-Leste dalam penentuan nasib sendiri. Ketiga, istilah “masyarakat sipil”, tidak sekedar “non-governmental organization” (NGO), tetapi memiliki isi positif dan mewakili komitmen untuk membangun masyarakat yang beradab berdasarkan nilai- nilai perdamaian, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah ini pantas dalam pembelaannya terhadap Timor- Leste, dengan mempromosikan nilai- nilai dasar, dan umumnya beroperasi tanpa kekerasan, di dalam batas-batas hukum dan melalui jalur hukum. Terakhir, istilah masyarakat sipil direkomendasikan, karena telah diadopsi secara resmi oleh PBB, dan menandai pergeseran penting dalam pemikiran internasional. Telah tumbuh pengakuan di lingkungan pemerintah, bahwa masyarakat sipil memiliki peran dalam pemerintahan global, dan bahwa pekerjaan PBB bukan lagi monopoli pemerintah.
Sementara dalam membahas peran hegemoni Orde Baru, digunakan
konsep hegemoni berdasar ide Antonio Gramsci, seperti dikutip Burke bahwa
penguasa memerintah tidak dengan kekerasan (atau dengan kekerasan
28
Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial 1. Grafindo. Jakarta. Hlm. 113-115.
29
19
mata) melainkan dengan persuasi. Persuasi bersifat tak langsung; kelas yang
diperintah melihat masyarakat melalui cara pandang penguasa, berkat pendidikan
dan juga posisi mereka dalam masyarakat.30
Dalam hal ini, definisi hegemoni harus ditempatkan dalam konteks historis
Indonesia, sebagaimana konsep hegemoni zaman Gramsci harus ditempatkan
dalam konteks analisis historis Italia zaman Gramsci, terlebih analisis historis
zaman Gramsci adalah upaya teoretis yang dilakukan sebagai produk pencarian
hubungan teori dan praktek marxisme. Nezar Patria dan Andi Arief menulis
tentang situasi Indonesia terkait dengan konsep hegemoni Gramsci bahwa: 31
Di Indonesia dapatlah dikatakan, fenomena kekuasaan di negeri ini tidaklah dalam bentuk hegemoni Gramsci, di mana masyarakat memberikan persetujuannya kepada penguasa untuk berkuasa. Idealnya konsep Gramsci penguasa menggunakan hegemoni total, tanpa harus menggunakan kekerasan.
Lebih lanjut Nezar Patria dan Andi Arief menuliskan: 32
Orde Baru justru lebih mengedepankan dominasi yang berarti penggunaan aparatus koersif untuk penggunaan hegemoni...sesungguhnya yang terjadi adalah dominasi politik besar oleh negara terhadap masyarakat sipil.
Namun dapat dilihat dari cara pandang yang berbeda, yaitu meskipun
pemerintahan Orde Baru menjalankan dominasi melalui aparatus koersifnya,
namun juga menggunakan kepemimpinan intelektual dalam mentransfer ide-ide
penguasa melalui lembaga pendidikan dan juga mengambil alih kontrol atas pers
sebagai upaya hegemoni. Sebagaimana menurut Gramsci bahwa kelas sosial akan
30
Peter Burke., Op.Cit., Hlm. 128. 31
Nezar Patria dan Andi Arief. 1998. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 184-185.
32
memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara yaitu, pertama,
dominasi/paksaan, kedua, kepemimpinan intelektual dan moral, dan yang terakhir
inilah yang dimaksud Gramsci sebagai hegemoni.33
Dalam mengidentifikasi peran masyarakat sipil, digunakan untuk mengkaji
Gerakan pro Timor-Leste di Indonesia sedangkan konsep hegemoni digunakan
untuk mengkaji upaya- upaya persuasif Orde Baru.
H. Hipotesis
Adapun sebagai penunt un penulisan skripsi ini, diajukan
hipotesis-hipotesis berikut, berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, yaitu:
1. Kalau Orde Baru menjalankan hegemoni, dengan mengkooptasi dan
merepresi institusi keagamaan serta mengkontrol lembaga pendidikan,
melalui penulisan ulang sejarah Timor-Leste, maka Orde Baru akan
mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia mengenai kebijakan
Integrasi Timor Timur.
2. Kalau masyarakat Indonesia tidak memperoleh informasi yang sebenarnya
mengenai masalah Timor-Leste, maka Orde Baru melakukan kontrol atas
pers agar pemberitaannya sejalan dengan kebijakan Integrasi Timor Timur.
3. Kalau hegemoni pemerintahan Orde Baru dijalankan hingga dekade
1980-an, maka Peristiwa Santa Cruz 1991, anti militerisme di Indonesia, serta
kampanye solidaritas internasional yang meluas, seiring HAM sebagai isu
33
21
global pasca Perang Dingin, mendorong munculnya gerakan pro
Timor-Leste di Indonesia, pada awal 1990-an.
4. Kalau perlawanan rakyat Indonesia semakin menguat menghadapi Orde
Baru yang otoriter, maka kesadaran akan persoalan Timor-Leste yang
sebenarnya, membuat masyarakat sipil Indonesia, mulai
mengkampanyekan penentuan nasib sendiri Timor-Leste sebagai bagian
dari perjuangan demokrasi menuju perubahan politik di Indonesia.
I. Metode Penelitian
Merekonstruksi sejarah masa lampau, dimulai dengan mengumpulkan dan
merangkaikan serpihan-serpihan fakta sejarah. Sejarawan Indonesia terkemuka,
Kuntowijoyo menuliskan tentang definisi sejarah tautologis mengatakan sejarah
adalah apa yang dikerjakan sejarawan. Dalam artian, sejarawan mempunyai
kebebasan merekonstruksi, yang mengikat sejarawan hanyalah fakta sejarah.34
Demikian pula penulisan ini adalah rangkaian fakta- fakta sejarah yang
diolah menurut metode sejarah, yaitu metode deskriptif-analitis, melalui tahapan
pengumpulan data (Heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi dan
penulisan.35 Sumber data yang digunakan adalah sumber primer, meliputi
dokumen, wawancara dengan pelaku dan saksi serta dari media cetak (surat kabar
dan majalah) pada masa itu. Sedangkan sumber sekunder yang dipakai, adalah
buku-buku dan tulisan-tulisan internet.
34
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang. Yogyakarta. Hlm. 18.
35
Surat kabar terutama diperoleh dari koleksi kipling Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma, sedangkan dokumen diperoleh dari koleksi yang
tersimpan di lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta. Adapun wawancara
dilakukan dengan beberapa aktivis Indonesia yang terlibat langsung dalam
gerakan mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste, terutama
dilakukan di Jakarta. Berasal dari kalangan pergerakan mahasis wa, aktivis
LSM/ornop, jurnalis, kalangan keagamaan, maupun kelompok solidaritas.
J. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, tepat dan komprehensif, skripsi
ini, dibahas dalam 6 bab.
Pada bagian pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, landasan
teori, tinjauan pustaka, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bagian kedua, membahas hegemoni yang dijalankan negara Orde Baru.
Dimulai dari penjelasan awal berdirinya Orde Baru, kontrol atas institusi
keagamaan, dan pendidikan melalui penulisan sejarah.
Bagian ketiga, membahas pemberitaan media massa Indonesia mengenai
persoalan Timor-Leste di Indonesia.
Bagian keempat, membahas proses munculnya gerakan pro Timor-Leste di
Indonesia. Mulai dari dukungan awal organisasi-organisasi masyarakat sipil pro
Timor-Leste, dan dukungan sejumlah individu setelah Peristiwa Santa Cruz 1991,
23
Bagian kelima, membahas perkembangan dukungan masyarakat sipil di
Indonesia. Mulai dari penentangan dan dukungan yang meluas di Indonesia
hingga kejatuhan Suharto 1998. Setahun kemudian, rakyat Timor- Leste
menentukan nasibnya sendiri melalui referendum pada tahun 1999.
Bagian keenam, berisi kesimpulan yang adalah rangkuman penting dari
upaya penerimaan publik (public consent) terkait invasi Indonesia ke
Timor-Leste. Terdiri dari tiga bagian, yaitu pertama, pembahasan singkat mengenai masa
sebelum invasi Indonesia ke Timor-Leste yang diawali dengan naiknya Orde Baru
1966; kedua, mengenai dukungan kaum agamawan dan intelektual Indonesia
terhadap invasi Indonesia ke Timor-Leste 1975 sebagai bagian dari peran
hegemonik yang dijalankan Orde Baru; dan ketiga, membahas penulisan sejarah
Timor-Leste versi Orde Baru, sebagai wacana satu-satunya yang diajarkan di
sekolah Indonesia, dan diterima sebagai kebenaran umum.
A. Orde Baru dan Pembasmian Kaum Kiri Indonesia 36
Orde Baru didirikan dari kekisruhan politik yang terjadi pasca Gerakan 30
September 1965.37 Peristiwa ini, berawal dari penculikan terhadap beberapa
jenderal pimpinan Angkatan Bersenjata yang dinilai tidak loyal terhadap Presiden
Sukarno yang populis, oleh para perwira muda Angkatan Darat (AD). Namun
kegagalan gerakan tersebut, membawa Jenderal Suharto ke pucuk pimpinan AD
36
Sebagian besar informasi di bagian ini diambil dari Max Lane. 2007. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Reform Institut. Jakarta.
37
Istilah Gerakan 30 September digunakan sebagai nama dari gerakan tersebut, dari pada G 30 S/PKI yang diberikan Orde Baru atau Gestok yang diberikan Sukarno. Dua nama ini dilekatkan kemudian, sehingga bersifat anakronis. Lihat Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Ombak. Yogyakarta. Hlm. v.
25
ketika Presiden Sukarno yang tidak mempunyai kendali atas aparatus penindas
yakni, polisi dan tentara, menyerahkan kewenangan kepada Jenderal Suharto
untuk menertibkan kekacauan.38 Ini dimanfaatkan oleh Suharto yang secara
perlahan memangkas semua kekuatan yang mendukung Sukarno, sebelum
akhirnya merebut jabatan presiden.
Setelah membent uk Kopkamptib (Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban), Suharto membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang diikuti
pemberlakuan sensor dan pembredelan terhadap 46 harian dari 163 surat kabar,
serta pemenjaraan terhadap ratusan wartawan yang dituduh terlibat dalam
Gerakan 30 September 65. Terutama yang berhubungan dengan PKI, diadili tanpa
pengadilan selama lebih dari 10 tahun.39 Ini disambut gembira penerbit-penerbit
yang berseberangan dengan PKI. Namun euforia ini, menjadi suatu ironi sejarah.
Daniel Dhakidae menuliskan: 40
Pada hari mereka menguburkan surat kabar dan penerbitan lain yang berhubungan dengan PKI dan hari tersebut diterima sebagai hari kemenangannya maka pada hari itulah mereka memukul palu ke atas paku peti mati dan mengayunkan sekop pencedok tanah untuk menggali liang kubur kebebasan pers di Indonesia.
Namun demikian, tidak sama halnya dengan surat kabar yang dikelola AD,
seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha tetap diijinkan terbit, yang
38
Max Lane. Op.Cit., Hlm. 26. 39
Fauzan. 2003. Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia. LKIS. Jakarta. Hlm. 101.
40
melancarkan propaganda citra jahat (demonisasi) terhadap PKI. Sejarawan
Baskara T. Wardaya, menuliskan: 41
Melalui koran-koran ini dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat dikisahkan mengenai macam- macam kekejaman PKI di Lubang Buaya, seperti “pesta harum bunga”, kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata sampai sekarang belum terbukti.
Berita-berita itu dipropagandakan media yang menuduh PKI sebagai
dalang dari Gerakan 30 September. Namun sampai sejauh ini, para sejarawan
menemukan fakta- fakta yang meragukan PKI sebagai dalang dari peristiwa
tersebut. Walaupun demikian, selama Orde Baru berkuasa, hampir tidak ada
ruang untuk mengajukan pandangan yang berbeda dari apa yang diklaim sebagai
kebenaran tunggal. Seperti dinyatakan penulis dan aktivis Australia, Max Lane: 42
Semasa Orde Baru cerita-cerita tersebut kemudian diulang-ulang tanpa debat atau versi tandingan resmi dan diajarkan pada generasi baru yang dididik pada masa Orde Baru.
Dengan menuduh PKI dan unsur- unsur militer yang mendukungnya, Orde
Baru melancarkan pembasmian terhadap sayap kiri yang terorganisir dan juga
kelompok yang mengikuti arah yang dianjurkan Sukarno. Max Lane mengatakan
teror tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri proses revolusi nasional di
Indonesia: 43
Itu artinya menghentikan politik pergerakan, yaitu semua gagasan dan metode yang telah menjadi bagian integral revolusi nasional Indonesia.
41
Baskara T. Wardaya. 2006. Op.Cit., Hlm. 176. ’Pesta Harum Bunga’ adalah nama yang diberikan untuk pesta orgi yang merupakan rekayasa Orde Baru.
42
Max Lane. Op.Cit., Hlm. 51.
43
27
Ini dimulai dengan pembunuhan terhadap kaum kiri antara tahun
1965-1968, yang menurut sejumlah analis diperkirakan mencapai jumlah 500.000
sampai 2 juta orang dibantai oleh militer (AD), yang bergerak bersama milisi dari
ormas Islam ikut menahan, menyiksa dan membunuh.44 Pada saat yang sama
untuk memberi gambaran wajah sipil, mahasiswa di bawah bendera Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian dikenal sebagai Angkatan
66, bersama figur-figur PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia), dimobilisasi di jalanan untuk menentang Sukarno dan PKI.
Kelompok-kelompok ini, bersekutu dengan militer dan memainkan peran penting
dalam memonopoli wacana ideologis, di antaranya dengan menguasai media
masa.45
Maka tidak mengherankan, kalau berbagai pembunuhan tidak pernah
dipermasalahkan selama Orde Baru berkuasa. Namun media massa, sebaliknya
memberi persetujuan ketika hampir semua struktur pemaksa diarahkan untuk
menciptakan teror. Demikian juga dilakukan penyesuaian kurikulum sekolah pada
tahun 1978 melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila), yang menjadi ‘benang merah’ pembenaran atas pembantaian massal di
Indonesia. Max Lane menuliskan: 46
Tahun 1978, labelisasi PKI sebagai ‘pengkhianat’ dan jahat merupakan satu-satunya wacana publik, yang ditanamkan selama 13 tahun dalam pengajaran sekolah dan monopoli media oleh Angkatan 66. Program
44
Ibid., Hlm. 39. 45
Max Lane. Op.Cit., Hlm. 98. 46
kampanye jaha t dan pengiblisan PKI dan Soekarnoisme benar-benar lengkap dan total.
Indoktrinasi juga dilakukan dengan menghilangkan ingatan terhadap
politik pergerakan 1920-an, dan sebagai gantinya Orde Baru menonjolkan kisah
kepahlawanan Suharto dan tentara.47 Sehingga menyisakan kekosongan politik
mobilisasi massa di Indonesia selama hampir 10 tahun.
Baru pada tahun 1974, suatu demonstrasi besar sejak Orde Baru berkuasa,
diorganisir mahasiswa menentang modal asing, terutama modal Jepang,
bertepatan dengan kunjungan PM Jepang, Tanaka. Aksi ini, berkembang menjadi
kerusuhan yang dengan cerdik oleh Orde Baru diberi nama Peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari), untuk mengingatkan orang pada nama
penyakit.48
Orde Baru belajar dari peristiwa itu, sehingga keistimewaan mahasiswa
untuk melakukan mobilisasi yang dihadiahkan kepada kampus saat
mahasiswa-mahasiswa KAMI bersekutu dengan militer, ditarik kembali. Di kampus
diberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kampus (NKK/BKK), yang menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik dan
diarahkan agar fokus pada aktivitas belajar dan menjadi kader pembangunan. Ini
sesuai dengan konsep Jenderal Ali Murtopo, tentang ’massa mengambang
(floating mass)’ yang sepenuhnya bertolak belakang dengan situasi Indonesia
47
Ibid., Hlm. 50-51. 48
29
1965, yaitu menjauhkan massa rakyat, terutama rakyat pedesaan dari aktivitas
politik. Namun diarahkan untuk bekerja dan berproduksi dalam kegiatan
pembangunan. Max Lane menyebutnya mengingatkan orang pada gagasan
‘perkakas yang bersuara’ yang biasa dijumpai dalam masyarakat perbudakan.49
Di bawah Orde Baru, Indonesia mengadopsi kebijakan pro-Barat.
Perubahan yang 10 tahun kemudian ikut menentukan perubahan politik di
Timor-Leste, dan hampir sangat unik, karena partai nasionalis Fretilin ketika
merumuskan revolusi bagi kemerdekaan Timor-Leste, tidak dikonfrontir oleh
Portugal sebagai bekas negara penjajah, namun oleh tetangganya bekas koloni
Belanda yang militeristik.50 Pada titik ini, kita menjumpai kemiripan berbagai
pola pembunuhan dan pembinasaan terhadap rakyat Timor-Leste dengan
pembinasaan kaum kiri di Indonesia. Di mana Orde Baru mengawalinya dengan
mengerahkan semua struktur negara untuk mengisolasi masalah Timor-Leste dari
rakyat Indonesia.
Sejauh mana isolasi tersebut, diterapkan melalui kepemimpinan
intelektual maupun kontrol atas arus informasi dan terhadap institusi negara dan
masyarakat, selanjutnya dibahas peran hegemonik yang dijalankan pemerintahan
Orde Baru untuk mendapat persetujuan dari rakyat Indonesia terhadap Integrasi
Timor Timur.
49
Ibid., Hlm. 43.
50
Dalam hal ini, akan dibahas dua perkara berikut, yaitu peran kaum
agamawan serta intelektual, dan penulisan sejarah Timor-Leste.
B. Peran Kaum Agamawan dan Intelektual
Pada bagian ini akan dibahas tiga perkara, pertama, menyangkut
pandangan golongan Katolik Roma di Indonesia, kedua, membahas peran
sejumlah intelektual Katolik yang bergabung dengan CSIS (Center for Strategic
and International Studies) yang tidak jarang menjadi actor intellectualis
memberikan pikiran, metode, dan cara kerja operasional [meminjam istilah Daniel
Dhakidae] dalam invasi militer Indonesia ke Timor- Leste,51 ketiga, membahas
pandangan golongan Islam dan Gereja Protestan secara sekilas. Pandangan
keagamaan tersebut penting, karena institusi keagamaan merupakan lembaga
masyarakat sipil yang tetap bertahan dan relatif independen, meskipun
kenyataannya dibelokkan menjadi sarana kelas penguasa dalam memelihara
hegemoninya terhadap masyarakat. Sementara lembaga masyarakat sipil seperti
sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya hingga akhir 1980-an,
nyaris semua telah terkooptasi ke dalam kekuasaan Orde Baru.
51
31
1. Pandangan Golongan Katolik Indonesia
Penganut Katolik maupun Gereja Katolik di Indonesia, berkembang di
bawah iklim minoritas sehingga hampir selalu berjuang mencari celah-celah
kekuasaan agar tetap bisa bertahan,52 sekaligus mengidap kompleks rendah diri
politik, baik pada zaman Belanda maupun setelah Indonesia merdeka.53
Keberadaan Gereja Katolik Indonesia mendapat pengakuan RI, terutama karena
peran Mgr. Sugijapranata, Uskup Semarang, yang pada masa revolusi mendorong
cita-cita nasionalisme Gereja Katolik Indonesia. Demikian juga, beberapa tokoh
intelektual Katolik yang menonjol, menandai kehadiran politiknya, dengan
mendirikan Partai Katolik yang ikut dalam Pemilu 1955, dengan tokoh sentralnya
seperti Kasimo dan lain- lain, yang pada masa Orde Baru, garis kepemimpinannya
mampu dilanjutkan oleh Frans Seda. 54
Menyaksikan hiruk pikuk politik Indonesia tahun 1960-an, dengan
tampilnya PKI sebagai kekuatan besar setelah Pemilu 1955, membuat kaum
Katolik menjalin hubungan dengan golongan Islam dan PSI, dan berseberangan
dengan PKI. Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi pembantaian kaum
komunis oleh militer, setelah kegagalan Gerakan 30 September 1965, golongan
Katolik maupun Gereja Katolik Indonesia berlaku pasif dan diam.
52
I. Sandyawan Sumardi SJ, Tanpa Tahun. Gereja Indonesia (Barat) Dalam Masyarakat Timor (Timur). Manuskrip Pribadi.
53
Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 609. Ini merupakan cerminan dari situasi di negeri Belanda sendiri. Di mana Gereja Protestan dianggap prima dona dan kelompok Katolik tidak lebih sebagai underdog, yang baru lebih baik pada tahun 1854, setelah undang- undang penyebaran agama dibuat lebih longgar dan setara. Terutama setelah kemenangan Partai Katolik 1920-an dan memerintah di sana. Ibid., Hlm. 609-610.
54
Setelah naiknya Orde Baru dengan kekuasaan di tangan militer yang
anti-komunis, membuat golongan Katolik Indonesia praktis terbagi dalam beberapa
kelompok. Seperti dikategorikan dengan baik oleh Daniel Dhakidae: 55
Kelompok pertama, adalah kelompok “loyalis partai, Partai Katolik, yang pada umumnya terdiri dari para aktivis senior. Sikap kelompok ini sangat keras terhadap PKI dan komunisme, namun moderat terhadap Islam. Kelompok kedua, adalah kaum cendikiawan independen yang terdiri dari para cendikiawan bebas, pastor muda, dengan kecenderungan yang lebih kritis dan radikal dalam pandangan hidup. Merekalah golongan yang lebih bebas dari partai dan lebih mengabdikan dirinya kepada lingkungan profesional bebas di dunia media, lembaga- lembaga sosial masyarakat dan universitas dan perguruan tinggi pada umumnya. Sikapnya kritis terhadap Gereja dan sangat terbuka terhadap Islam, liberal dalam pandangan hidup…Kelompok ketiga, adalah mereka yang menjalin hubungan yang “sangat dekat dengan Angkatan Darat yang menjadi kekuatan inti dari regime Orde Baru. Kelompok yang dimaksudkan di sini adalah [the] Centre for Strategic and International Studies, CSIS, atau yang disingkat menjadi Center.
Dari pengkategorian tersebut, terlihat golongan Katolik Indonesia
cenderung kompromistis terhadap penguasa. Sementara sikap anti-komunis
membuat mereka sejalan dengan militer, termasuk ketika para jenderal garis keras
di Jakarta menggunakan isu komunisme untuk menginvasi Timor-Leste tahun
1975.56 Dua tokoh Katolik, yaitu Frans Seda, yang ketika itu Dubes RI di Brussel
(Belgia) dan Ben Mang Reng Say, Dubes RI di Lisabon (Portugal), ikut membela
Integrasi Timor-Timur dengan melancarkan diplomasi ke Pemerintah Junta
55
Ibid., Hlm. 615-616. 56
33
Militer di Lisabon, dengan menyiapkan pendekatan yang dilakukan Jenderal Ali
Murtopo ke Lisabon.57
Sehingga tidak terlalu mengherankan, bahwa golongan Katolik Indonesia
bersikap diam ketimbang menunjukkan solidaritasnya dengan rakyat Timor- Leste,
sekalipun disatukan oleh Gereja yang sama. Bahkan ketika invasi itu berpelepotan
darah, masih disambut gembira, karena akan menambah jumlah umat Katolik
Indonesia yang masih kecil pada waktu itu.58
Sikap bisu ini, terlihat dari bagaimana perang di Timor-Leste, hanya
sayup-sayup muncul dalam buletin ordo Jesuit, Inter-Nos pada tahun 1979.59
Demikian juga, ketika Vatikan menilai perlunya penyelesaian masalah
Timor-Leste secara menyeluruh melalui PBB, sehingga menempatkan Gereja Katolik
Timor-Leste langsung di bawah Vatikan, para Uskup Indonesia tampaknya
menerima tekanan dari pemerintahnya sendiri; agar Takhta Suci
mempertimbangkan dan memikirkan ulang Gereja Katolik di Timor- Leste
sehingga Gereja Timor-Leste dapat sepenuhnya masuk dalam Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI). Namun Vatikan tetap pada prinsipnya dan menolak
melakukan integrasi eklesiastis. 60
57
George J. Aditjondro, ‘Arus Balik Dari Oslo: Mengetuk Hati Nurani Gereja Katolik di Indonesia’ dalam Sindhunata (Editor). 1999. Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm. 206.
58
Sandyawan Sumardi SJ, Op.Cit. 59
Artikel tentang Timor- Leste ditulis Romo Alex Dirdja SJ. 60
Vatikan tetap berupaya menyeimbangkan tanggung jawabnya terhadap
Gereja Katolik Indonesia, sehingga tidak secara terbuka menyatakan
penentangannya dan hanya melancarkan diplomasi diam-diam. Bahkan agak
bertentangan, wakil Paus di Kementerian Luar Negeri, Kardinal Agostino Casaroli
(1979-80), dan Dubes Vatikan di Jakarta, Mgr Pablo Puente, yang dekat dengan
Jenderal Benny Murdani yang Katolik, mendukung pandangan Integrasi Timor
Timur dengan Indonesia.61 Ini membuat Gereja Katolik Timor- Leste, terkucilkan
pada masa- masa yang paling sulit antara tahun 1978-79. Dalam laporan Chega!
menunjuk pada kematian lebih dari 200.000 penduduk, selama 6 tahun
sebelumnya, Administratur Apostolik Dili, Mgr Martinho Lopes, pada bulan Juli
1981, mengeluarkan pernyataan yang menyuarakan kepedihan: 62
Kami tidak mengerti, mengapa Gereja Katolik Indonesia dan Gereja Romawi Internasional hingga saat ini belum menyatakan secara terbuka dan resmi solidaritas mereka dengan gereja, penduduk dan agama di Timor-Leste. Mungkin ini adalah tamparan terkeras bagi kita…Kami terpana karena sikap diam ini yang membiarkan kita mati ditinggalkan.
Kebisuan ini, baru ‘terpecahkan’ 3 tahun kemudian dengan pernyataan
solidaritas kepada Uskup Belo [mengantikan Mgr Lopes, tahun 1983, dan sebagai
uskup Dili, 1988-2002], ketika ia menjelaskan persoalan Timor-Leste pada sidang
Konferensi Waligereja Indonesia, yang menuliskan: 63
61
Ibid., Hlm. 76-77. 62
Ibid., Hlm. 77. Dikutip Chega! dari The Church and East Timor: A Collection of Documents by National and International Church Agencies. 1993. Catholic Commission for Justice, Development and Peace Melbourne.
63
35
Gereja Katolik Indonesia…meskipun menghadapi banyak hambatan telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengekspresikan solidaritas dan rasa persahabatan kepada umat dan seluruh rakyat Timor-Leste, yang sedang dibanjiri cobaan yang dahsyat baik secara fisik maupun spiritual.
Meskipun demikian, keberadaannya sebagai minoritas dan adanya
sejumlah intelektual maupun jenderal dan perwira ABRI yang Katolik,
tampaknya ikut mempengaruhi sikap bisu Gereja Katolik, sehingga menerima
Integrasi Timor-Timur sepanjang tahun 1980-an.
2. PeranCSIS (Center forStrategic and International Studies)
CSIS adalah salah satu lembaga yang perlu dilihat secara khusus. Terkait
perannya dalam menentukan kebijakan Orde Baru, dengan memberikan
pembelaan terhadap pendudukan Indonesia di Timor- Leste. Baik lewat forum
ilmiah, di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk menyediakan hasil- hasil
studi melalui penerbitan dan penelitian yang disediakan untuk siapapun yang
membutuhkannya.
Dibentuk pada tahun 1971, para pendiri CSIS adalah politisi dan
cendikiawan Katolik dan Angkatan Darat (AD), sehingga kelompok ini sangat
berorientasi militer dan Orde Baru, karena persamaan pandangan yang
anti-komunis dan sikap keras terhadap Islam.64 Di mana hubungan dengan militer
sudah terjalin melalui PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia) pada tahun 1960-an, ketika PKI tampil sebagai salah satu partai
64
terbesar di Indonesia setelah Pemilu 1955. Kelompok cendikiawan Katolik
dimotori oleh Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen Hok), dan juga nama- nama seperti,
Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen), Jusuf Wanandi (Liam Bien Kia), Hadi
Susastro, dan Sudjati Djiwandono.
Pada tahun 1972, jenderal Ali Murtopo dan Sujono Humardani, serta
belakangan jenderal muda Benny Murdani yang seorang Katolik Jawa, ikut
bergabung dengan CSIS. Seksi militer ini, merupakan gabungan dari dinas
inteligen resmi seperti BAKIN (Badan Koordinasi Inteligen Negara) atau mereka
yang terlibat dalam Opsus (Operasi Khusus),65 yang dipimpin Jenderal Ali
Murtopo; ia bersama Benny Murdani adalah arsitek invasi Indonesia ke
Timor-Leste 1975.
CSIS sendiri berperan semacam “think-tank” ataupun ideas factory (fabrik
ide) dan Jenderal Ali Murtopo sebagai pelopornya.66 Dalam hal ini, CSIS berperan
merencanakan propaganda perang dan diplomasi untuk menciptakan pendapat
umum dunia dalam invasi Indonesia ke Timor- Leste,67 termasuk berperan dalam
membentuk pendapat umum di Indonesia. Terutama karena CSIS mempunyai
pengaruh dalam menentukan kebijakan pendidikan pada umumnya dan perguruan
tinggi, setelah anggota CSIS Daud Jusuf, menjadi Menteri Pendidikan dan
65
Pada tahun 1950-an, Harry T. Silalahi dan Wanandi bersaudara, di bawah bimbingan pastor Jesuit Belanda yang karismatik, Jopie Beek (1917-1983), memainkan peran inti dalam Opsus dan CSIS. Lihat David Bourchier. 2007. Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik). PSP UGM, PSSAT UGM dan P2D Jakarta. Yogyakarta. Hlm. 286.
66
Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 673. 67