• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste"

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

(POLITIK) INGATAN PEKERJA KEMANUSIAAN

Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi

Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

LY. Dedy Kristanto 076322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(2)
(3)
(4)
(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : LY. Dedy Kristanto

Nomor Mahasiswa : 076322013

Demi persembahan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

(POLITIK) INGATAN PEKERJA KEMANUSIAAN

Trauma dan Identitas Pekerja Kemanusiaan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam Program Rekonsiliasi-Repatriasi

Pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 18 Oktober 2012

Yang menyatakan

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Tidak ada sebuah tesis yang gagasan atau idenya datang dari “ex nihilo.” Inspirasinya jelas datang dari berbagai pengalaman dan terutama pertemuan diskursif dengan banyak pihak. Gagasan tesis ini datang dari pengalaman dan pertemuan dengan banyak orang yang sengaja atau tidak disengaja telah menumbuhkan minat dan rasa keingintahuan yang begitu besar dalam diri saya untuk semakin mendalami tema trauma, (politik) ingatan dan identitas. Maka dari itu saya harus mengucapkan rasa terimakasih sedalam-dalamnya pertama-tama kepada teman-teman di Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia yang pernah bekerja, bergumul dan bersuka ria bersama dalam banyak pelayanan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia, dari Timor-Leste, Naggroe Aceh Darussalam, Maluku, dan lain sebagainya.

Saya tidak akan pernah lupa peran dan jasa Andreas Soegijapranoto SJ yang “melempar” saya untuk bergumul dengan persoalan pengungsi di Indonesia. Tanpa di

lempar ke dalam situasi tersebut, niscaya saya memiliki pengalaman indrawi real yang demikian memperkaya ruang imajinasi saya tentang perjuangan para pengungsi dan penyintas konflik untuk mendapatkan “kemerdekaan”-nya kembali sebagai manusia. Tesis ini juga lahir atas berbagai bentuk “penetrasi” ide yang masuk ke dalam kepala

(7)

beribu terima kasih atas kesukarelaannya untuk berbagi waktu, tenaga, ruang dan “makanan” sambil mengingat para pengungsi dan korban konflik pasca Jajak Pendapat

1999 di Timor-Leste.

Selain itu, saya juga harus mengakui bahwa inspirasi reflektif-teoritis untuk menulis tesis ini datang dari kelas Politik Ingatan dan Kekerasan yang diampu oleh Dr. Budiawan. Maka dari itu, saya ucapkan beribu terima kasih kepada Dr. Budiawan atas lembar-lembar bacaan dan diskusi di dalam kelas terkait dengan wacana kekerasan dan (politik) ingatan yang sangat sistematis, inspiratif dan menantang pikiran-pikiran saya. Dr. St. Sunardi memiliki peran penting lewat mata kuliah semiotikanya. Saya sangat terkesan dengan mata kuliah ini. Semiotika telah membawa saya ke dalam kesadaran dan pemahaman abu-abu tentang rasionalitas saya. Namun ternyata mata kuliah ini terus menggelitik minat saya untuk mendalami lebih lanjut bagaimana sebenarnya nalar semiotis itu bisa digunakan untuk membaca sejarah ingatan tentang berbagai pengalaman traumatis di negeri ini, terutama pengalaman saya selama bekerja bersama dengan JRS di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.

(8)

setulus-tulusnya kepada Dr. B. Hari Juliawan SJ atas kesediaannya untuk membaca tesis dan memberikan berbagai komentar kritisnya, terutama atas sarannya agar saya bisa lebih fokus dan jelas dalam menyusun gagasan dan argumentasi. Tidak lupa pula atas waktu bersama untuk “nggowes” keliling Jogyakarta dan sekitarnya. Sebuah relaksasi yang sangat mengesankan.

Saya banyak berhutang budi kepada teman-teman IRB, Tia, Boy, Novel, Febiola, Vivin, Wahyu, Yeni, Ustadz Amsa, Bung Daryadi dan yang lainnya, tidak bisa saya sebut satu per satu. Terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini. Tentu saja saya sangat dibantu dalam proses pengerjaan tesis ini oleh Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) dengan seluruh perpustakaan dan komputernya, maka dari itu saya harus mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Mas Tri Subagya, Monica Laksono, Darwin Awat, Deddy Hermawan, Ambar Astuti, dan Intan Dias. Terakhir saya tidak akan pernah lupa kepada Dr. G. Budi Subanar SJ selaku Ketua Program IRB yang selalu “menteror” saya dengan pertanyaan: kapan tesis mau

(9)

KATA PENGANTAR

Proses terjungkalnya Soeharto dari kursi kekuasaannya lewat aksi protes masyarakat sipil yang dimotori oleh para mahasiswa pada 1998 menjadi bagian dari ingatan yang sangat menggoreskan luka traumatis pada ruang kehidupan masyarakat Indonesia. Karena transisi kekuasaan itu kembali disertai oleh kekerasan yang sangat masif dan brutal. Waktu itu, saat saya dan teman-teman pro-demokrasi sedang “asyik” menggalang berbagai aksi demo di Jakarta, kekerasan sengaja diletupkan dan dilakukan oleh aparatur dan militer Indonesia yang masih setia terhadap Soeharto dan rezimnya.

Kekerasan, yang lebih dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998 ini, membuat diri saya bertanya mengapa rezim totaliter-otoriter Orde Baru yang sudah bertahan selama lebih dari 30 tahun tidak pernah puas untuk menindas dan merampok hak kehidupan rakyat Indonesia lewat tindakan kekerasan yang terus menyertainya sampai dengan rezim ini benar-benar diambang kehancurannya? Pun setelah rezim itu tumbang, tampak sisa-sisa kekuasaannya belum tuntas untuk memenuhi dahaga akan kekerasan yang brutal dan kejam terhadap rakyat Indonesia.

(10)

rezim Orde Baru untuk membangun dasar-dasar kekuasaannya. Landasan ini terpatri lewat ritual yang hampir setiap tahun dilakukan yakni peringatan Kesaktian Pancasila. Monumen Pancasila Sakti dibangun untuk menandai betapa rezim Orde Baru sungguh hormat dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tersebut.

Tidak jauh dari monumen tersebut dibangunlah diorama pembantaian para jenderal yang dinobatkan sebagai syuhada atau Pahlawan Revolusi. Di Lubang Buaya itulah, para Jenderal Revolusi dibunuh dan kemudian dinarasikan sebagai simbol-simbol syuhada pembela Pancasila. Bermula dari sinilah, rezim Orde Baru berhasil membuat konstruksi dan rekonstruksi terhadap sejarah atau historiografi yang hegemonik dan manipulatif untuk memutarbalikkan fakta-fakta sejarah yang digunakan untuk menciptakan psikologi rasa takut. Setelahnya, kekerasan menjadi begitu sah dan normatif dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya lewat berbagai narasi-narasi sejarah yang diciptakannya.

Sejarah atau historiografi rezim Orde Baru itu merupakan alat paling legitim bagi kekuatan militer sebagai pilar utama dalam menyangga rezim Orde Baru untuk melakukan kekerasan dalam ruang-ruang publik. Peristiwa sejarah tersebut didasarkan pada masa transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Jutaan manusia yang disinyalir terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) telah disiksa, dibunuh dan dilenyapkan tanpa proses hukum. Sedangkan jutaan lainnya, ditangkap, dipenjarakan dan dicap sebagai “orang-orang” paling berbahaya bagi kelangsungan Pancasila.

(11)

Militer berhasil membangun mitos sebagai lembaga paling berjasa dalam seluruh proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Ironisnya mitos tersebut seolah diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia tanpa keberanian untuk bersikap kritis terhadapnya. Padahal mitos yang didasarkan pada tragedi paling berdarah di Indonesia tersebut telah merenggut identitas dan martabat kemanusiaan masyarakat Indonesia sendiri. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September tersebut menjadi dasar legitimasi negara untuk menyelamatkan Pancasila dengan mengorbankan manusia-manusia Indonesia yang diberi stigma sebagai PKI. Kekuatan-kekuatan rakyat akar rumut dipecah belah dan diadu domba satu dengan yang lainnya.

Pembantaian dan kekerasan massal tersebut terus mewarnai ruang-ruang ingatan dan sejarah Indonesia. Dan peristiwa tersebut semacam monster yang bisa dibangkitkan kembali untuk memberangus dan menindas semua lawan politik rezim Orde Baru. Maka dari itu, berdasarkan narasi sejarah tersebut tindakan kekerasan yang dilakukan oleh negara tampak sah, wajar dan legitim. Imbasnya, semua aparatur negara dan terutama militer yang melakukan tindak kekerasan seolah tidak pernah merasa bersalah, karena apa yang dilakukan memang sah sebagai perwujudan dari norma-norma negara. Padahal tindakan itu jelas-jelas merampok hak-hak dasar hidup rakyat yang bernaung di bawah negara yang katanya menjunjung tinggi Pancasila sebagai nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(12)

model konflik kekerasan bisa ditemukan di Indonesia, baik karena perbedaan suku, agama, ras, gerakan separatisme dan lain sebagainya. Negeri yang katanya murah senyum dan damai ini nyaris hancur berantakan oleh berbagai macam konflik horisontal yang muncul serentak di berbagai wilayah, misalnya di Aceh, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Timor Timur dan seterusnya. Konflik kekerasan politik yang paling kuat menjadi perhatian dunia yakni saat Timor-Leste berusaha untuk melepaskan dan membebaskan diri dari kolonisasi Indonesia.

Konflik kekerasan politik di Timor-Leste menjadi petanda (signifie) paling terang benderang dari karakter rezim Orde Baru dalam menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuatan dan kekuasaan politiknya. Tragedi kemanusiaan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999, menggugat diri saya tentang seluruh ingatan saya dalam menyaksikan sendiri kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Saya semakin tertarik untuk menjawab pertanyaan ini: apakah ada kontinuitas “bawah sadar” dalam narasi-narasi sejarah atau historiografi yang dibuat oleh rezim Orde Baru dalam menanggapi tuntutan kemerdekaan masyarakat Timor-Leste? Saya menangkap adanya perilaku atau pemberlakuan norma negatif yang sama dilakukan oleh pejabat (militer) Indonesia ke dalam proses lepasnya Timor-Leste dari wilayah Indonesia. Peristiwa G 30 September 1965 seolah direplikasi oleh negara (militer) Indonesia selama 24 tahun di Timor-Leste.

(13)

multidimensi, baik sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya. Rezim Reformasi yang mengawal proses transisi kekuasaan tersebut harus berhadapan dengan berbagai persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang merupakan warisan rezim Orde Baru. Persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat itu sebagian saya saksikan langsung bersama dengan teman-teman JRS lewat pengalaman pendampingan para pengungsi dan korban konflik yang tersebar di Timor-Leste, Aceh, Maluku dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, semua pengalaman keterlibatan tersebut mendesak saya untuk “berani” menuliskan pengalaman pribadi saya sebagai bagian dari penonton dalam

berbagai peristiwa kekerasan yang telah mengakibatkan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat. Pengalaman pendampingan untuk para pengungsi dan penyintas mendorong saya untuk melakukan refleksi mendalam tentang peran sejarah atau historiografi Indonesia dalam berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang dilakukan oleh negara.

(14)

Maka dari itu, penelitian ini sebenarnya merupakan sebuah rangkuman panjang pengalaman saya sendiri dalam merefleksikan berbagai warisan persoalan rezim Orde Baru ke masa transisi kekuasaan yang penuh diwarnai oleh kekerasan. Transisi kekuasaan yang penuh dengan kekerasan tersebut telah berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan oleh negara. Harapannya, penelitian ini menyumbangkan berbagai pandangan tentang pembangunan kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dan mengedepankan akal sehat dalam penyelesaian persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Pengalaman sebagai pekerja kemanusiaan di JRS memberikan lembaran-lembaran ingatan yang sulit untuk saya hilangkan. Terutama saat saya menyaksikan bahwa penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat, seperti kasus Timor-Leste, belum menemukan titik terang. Kebenaran dan keadilan masih ditaruh dalam ruang-ruang gelap masa lalu. Para korban kekerasan pun masih terus mencari apakah keadilan dan hukum masih bisa mereka temukan di ruang-ruang kehidupan di negeri ini.

(15)

menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat yang dilakukan oleh negara pasca tumbangnya rezim totaliter-otoriter.

(16)

ABSTRAK

Impunitas dan sakralisasi kekerasan merupakan hasil (re)konstruksi sejarah atau historiografi rezim Orde Baru. Pola ini terbentuk sejak rezim Orde Baru mengambil alih kekuasaan dari Orde Lama lewat tragedi kemanusiaan 30 September 1965 dan pemutarbalikkan fakta sejarah. Terciptalah norma negatif dalam tata kekuasaan di Indonesia. Pemerintahan transisi pasca tumbangnya rezim Orde Baru akhirnya terus mengidap ketidaksadaran untuk me(re)produksi kekerasan di masa yang akan datang dan membiarkannya beroperasi dalam ruang-ruang publik. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan identitas kemanusiaan rakyat Indonesia. Replikasi penggunaan kekerasan dan pendakuan kebenaran berdasarkan pemutarbalikkan fakta sejarah kembali terjadi di Timor-Leste.

Sejak tahun 1975, pemutarbalikkan fakta-fakta sejarah digunakan oleh Indonesia untuk mengkolonisasi Timor-Leste lewat kekuatan militer. Militer menjadi “alat paling ampuh” dalam mengoperasikan norma negatif. Sampai dengan kemerdekaannya pada Agustus 1999, Timor-Leste menjadi korban aktualisasi norma negatif rezim Orde Baru. Maka kekerasan dalam proses Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste kembali dilakukan oleh militer (Indonesia) yang berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat.

Maka, pengalaman masa lalu yang penuh pengalaman traumatis akibat pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat harus menjadi narasi yang bisa dibaca, ditafsir dan ditulis ulang dengan metode psikoanalisa dan dekonstruksi. Metode ini sangat penting agar sejarah atau historiografi bisa menjadi representasi bagi suara-suara para penyintas yang menuntut pengungkapan kebenaran harus diikuti dengan perwujudan keadilan. Testimoni lapis kedua dari para pekerja kemanusiaan JRS sangat fundamental bagi terbentuknya (politik) ingatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

(17)

ABSTRACT

Impunity and sacralization of violence are results of (re)constructed history or historiography made by the New Order Regime. This pattern has been formed since the New Order Regime took over state power from the Old Order Regime through human carnage on 30 September 1965 and the twisted of historical facts. From then on, negative norm has been created within the system of power in Indonesia. The transition government who took over the power after the fall of the New Order Regime unconsciously (re)produce violence and let it infiltrates public spaces. This has threatened the continuity of Indonesian humanity. Violence and twisted historical facts replicated in East Timor.

Since 1975, Indonesia has twisted historical facts to legitimize its occupation over East Timor through military force. Military was “the most effective instrument” to carry out negative norm. Until its independence in August 1999, East Timor had been a victim of the negative norm execution by the New Order Regime. Violence post-1999 referendum in East Timor by Indonesian military forces has caused human right violation and severe crime against humanity.

Traumatic life experience caused by severe crime against humanity and human rights violation should be made into readable, interpretable, and rewritable narration using psychoanalysis and deconstruction methods. These methods usage aims to show that historiography can represent victims’ voices demand for justice and truth revelation. Second line testimonial from humanitarian actors, such as JRS staff, is fundamental for the formation of (political) memory in settling human rights violations and severe crime against humanity in East Timor.

(18)
(19)

….Kita melulu akan menginginkan dan memilih

(20)

DAFTAR ISI

JUDUL TESIS ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PEGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

PERSEMBAHAN ... xviii

EPIGRAF ... xix

DAFTAR ISI ... xix

BAB I KEKERASAN DALAM TRANSISI KEKUASAAN DI TIMOR-LESTE 1999: SEBUAH PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Persoalan ... 7

B. Rumusan Persoalan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Tinjauan Pustaka ... 14

E. Kerangka Teori ... 21

F. Metode Penelitian ... 32

G. Sistematika Penulisan Tesis ... 37

BAB II KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR-LESTE: (INGATAN) SEJARAH DALAM KACA MATA SEMIOTIKA ... 39

A. Kejahatan Masa Lalu di Timor-Leste: Politisasi Ingatan dan Wacana Penguasa .. 42

B. Semiotika Pekerja Kemanusiaan dan Realisme Politik Masa Lalu Timor-Leste ... 64

(21)

BAB III

TRAUMA DAN NARASI PENGALAMAN PEKERJA KEMANUSIAAN JRS

INDONESIA :PERSPEKTIF PSIKOANALISA ... 97

A. Ingatan Tentang Timor-Leste: Seorang Jenderal vs Pekerja Kemanusiaan JRS .... 99

B. Visi-Misi JRS dan Persoalan Kemanusiaan di Timor-Leste ... 107

C. Ketakutan Kolektif dan Identitas Bersama Sebagai Korban ... 116

D. Persentuhan dengan Tubuh-Tubuh Neurotik Pengungsi ... 122

E. Trauma Pekerja Kemanusiaan dan Transference Identitas ... 137

F. Suara-Suara Antara (Middle Voices) dan Gairah Keterlibatan ... 148

BAB IV (POLITIK) INGATAN DAN TESTIMONI LAPIS KEDUA SEBAGAI UPAYA MEMATAHKAN IMPUNITAS: PERSPEKTIF DEKONSTRUKTIF ... 165

A. Ingatan dan Kesaksian Masa Lalu dalam Epistemologi Sosial ... 166

B. Impunitas dan Dekonstruksi Sejarah (Historiografi) Timor-Leste ... 171

C. Testimoni Lapis Kedua dan Kewajiban Negara Untuk Mengingat! ... 185

D. (Politik) Ingatan: Melawan Kejahatan Kemanusiaan Struktural! ... 197

E. Menjadi “Teman” Para Pengungsi (Penyintas) dan Mematahkan Impunitas ... 212

F. Persoalan Etis: Testimoni Lapis Kedua dan Tanggung Jawab Masa Lalu ... 232

BAB V MENULISKAN TRAUMA SEJARAH DAN MEMBANGUN (KEMBALI) PERADABAN KEMANUSIAAN: SEBUAH PENUTUP ... 252

A. Trauma dan Identitas Kemanusiaan ... 253

B. Testimoni Lapis Kedua, Sejarah dan Ingatan Sosial ... 261

C. Komitmen Etis dan Peradaban Kemanusiaan ... 272

(22)

BAB I

KEKERASAN DALAM TRANSISI KEKUASAAN

DI TIMOR-LESTE 1999:

SEBUAH PENDAHULUAN

For Arendt, “Violence appears where power is in jeopardy…” (Page. Xv, An Interdisciplinary Reader Violence and Its Alternatives,

Edited by Manfred B. Steger and Nancy S. Lind).

Rezim kekuasaan Orde Baru diawali dengan kekerasan dan diakhiri juga dengan kekerasan. Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru menjadi tonggak paling kuat terbentuknya “norma negatif” dalam sistem kekuasaan di Indonesia.

Gerakan 30 September 1965 menjadi tanda paling kasat mata bagaimana peralihan kekuasaan dalam sejarah Indonesia modern dilakukan dengan kekerasaan. Akibatnya, lebih dari satu juta orang yang ditengarai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh secara kejam oleh “sesama dan saudara” bangsa sendiri atas legitimasi dari negara. Tidak hanya itu, jutaan orang disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Gerakan 30 September 1965 telah menjadi tragedi kemanusiaan paling berdarah yang secara sistematis membentuk trauma kolektif dalam sejarah Indonesia. Tragedi tersebut menjadi signifiant ingatan paling kuat bagaimana Indonesia dibangun dengan pondasi kekerasan.

(23)

yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut bisa disebut sebagai sakralisasi kekerasan.1 Selama sakralisasi kekerasan itu terus ada dan berlangsung, identitas kemanusiaan dan tentu saja ke-Indonesia-an kita seperti dilenyapkan dan tidak pernah mendapat pengakuan (recognition).

Sakralisasi kekerasan dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk mengingatkan bahwa pembantaian dan penyiksaan jutaan rakyat adalah “benar” atas nama pembelaan terhadap kepentingan negara yakni Kesaktian Pancasila. Karenanya, peristiwa tersebut lantas diabadikan oleh rezim Orde Baru dengan membangun Monumen Pancasila Sakti pada tahun 1969. Monumen ini menjadi tanda paling jelas bagaimana sakralisasi kekerasan terus dihidupi oleh rezim Orde Baru hampir selama 30 tahun lebih. John Roosa (2008) menyatakannya dengan amat lugas demikian:

“Monumen yang dibuka pada 1969 ini dinamai Monumen Pancasila Sakti. Semasa pemerintahan Soeharto, Pancasila, lima prinsip nasionalisme Indonesia yang diucapkan Sukarno untuk pertama kali pada tahun 1945, diangkat menjadi ideologi resmi negara. Pancasila dibayangkan sebagai perjanjian suci bangsa dan Lubang Buaya adalah situs pelanggaran paling mengerikan terhadap perjanjian itu. Dengan demikian, monumen ini menyucikan situs pelanggaran tersebut dan menahbiskan para perwira yang dibunuh sebagai syuhada-syuhada suci. Sebagai ruang sakral, Monumen Pancasila Sakti menjadi lokasi penyelenggaraan ritual-ritual rezim Soeharto yang paling penting. Setiap lima tahun semua anggota parlemen berkumpul di sini, sebelum memulai sidang pertama, untuk bersumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun pada 1 Oktober, Soeharto dan pejabat terasnya menyelenggarakan upacara di hadapan monumen tersebut untuk menyatakan janji kesetiaan mereka yang abadi kepada Pancasila. Semalam sebelumnya semua stasiun televisi diwajibkan menyiarkan film buatan pemerintah, Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI (1984)…” 2

1

Gagasan tentang sakralisasi kekerasan ini terinspirasi dari tulisan Barbara A.Misztal yang menulis artikel panjang tentang “The Sacralization of Memory” (European Journal of Social Theory 7 (1): 67-84, Copyright © Sage Publications: London, Thousand Oaks, CA and New Delhi).

2

(24)

Ritual di depan Monumen Pancasila Sakti berhasil mengukuhkan kekuasaan rezim Soeharto. Kekuasaan itu tampak begitu sah, suci, agung, dan seterusnya, karena selalu disakralkan dengan sumpah suci di hadapan Monumen Pancasila Sakti. Sumpah itu semacam penerusan perjuangan bagi pengorbanan suci yang dialami oleh para perwira militer (TNI) yang dinobatkan sebagai syuhada pembela Pancasila. Para perwira TNI ini selalu dinarasikan sebagai manusia-manusia Indonesia yang telah menjadi korban kebiadaban orang-orang yang mau berkhianat terhadap Pancasila. Soeharto dan rezimnya ingin melanjutkan perjuangan suci itu dalam membangun Indonesia dan tidak akan berkhianat terhadap Pancasila. Untuk itulah di relief Monumen Pancasila Sakti tertulis:

“Waspada…..dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi.”3

Kalimat itu bukan sekedar sebuah tulisan di dinding relief, namun telah berubah menjadi mantra yang menusuk labirin rasa takut manusia Indonesia. Dan lebih dari itu, kalimat itu adalah pengukuhan paling jelas bahwa siapapun yang akan berkhianat terhadap Pancasila, berarti sudah berdiri sebagai musuh bangsa. Mereka ini sah dan pantas untuk dibinasakan bukan dalam arti kiasan, namun dalam pengertian yang sangat jelas dan konkret. Kunci sukses kuatnya rezim Orde Baru adalah keberhasilannya menciptakan “psikologi rasa takut” bagi rakyat Indonesia.4

Rasa takut itu sangat dekat dan terkait erat

3

Dikutip dari John Roosa, 2008, hal. 10.

4

Dalam artikelnya yang berjudul “Kekerasan dan Anarki Negara Indonesia Modern”, Nico G. Schulte Nordholt memberikan gambaran yang lebih rinci soal “ketakutan psikologi” yang tercipta selama rezim Orde Baru. Istilah itu disitir oleh Schulte dari tulisan Abdurrahman Wahid yang ditulis di Kompas

(15/6/1983). Demikian tulis Schulte, “Tidak mengherankan, Adnan Buyung Nasution dan banyak rekan senegaranya sangat mendukung harapan yang diungkapkan di dalam editorial yang telah disebut di atas dalam

peristiwa meninggalnya Ali Murtopo, yaitu, akhir dari suatu “ketakutan psikologi” telah berada di ambang

(25)

dengan sakralisasi terhadap peristiwa kekerasan yang sudah terjadi. Orde Baru berhasil menyulap narasi di seputar Lubang Buaya dan Gerakan 30 September 1965 menjadi sebuah cerita suci yang mirip seperti cerita-cerita dalam agama.

Bagi rezim Orde Baru, Lubang Buaya menjadi simbol untuk ritus korban. Seperti halnya dalam banyak ritual keagamaan, ritus korban bisa sebagai mimetis sebagai pembenaran terhadap kekerasan. Kaitan antara ritus korban dan agama dijelaskan oleh Sindhunata (2006) dengan sangat komprehensif berdasarkan pemikiran Rene Girard dalam bukunya Kambing Hitam, Teori Rene Girard. Demikian dituliskan oleh Sindhunata,

“Agama ada karena fenomena kekerasan yang mimetis, dan keberadaannya dapat diterangkan

secara rasional dari kekerasan yang mimetis itu. Itulah hipotesis pokok Girard [...] Jelas, bahwa ritus korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan eksistensinya. Bagi Girard, pendapat para ahli tentang ritus korban sampai saat ini hanya menghadapkan kita pada teka-teki. Dan teka-teki itu akan tetap tinggal suatu misteri, kalau kita tidak berani melihat ritus korban itu sebagai sesuatu yang mempunyai

hubungan dengan kenyataan, bahkan jika kenyataan itu adalah kekerasan […] Kekerasan

pecah karena pelbagai hal atau alasan. Tapi begitu kekerasan pecah, ia tak mungkin saja mengenai salah satu objek. Kekerasan itu ada demi kekerasan sendiri. Dan begitu mulai

“mengamuk”, kekerasan ini tak bisa menghajar udara kosong. Ia memerlukan penyaluran.” 5

Dalam banyak ajaran ritual keagamaan, entah itu agama monoteis atau yang lainnya, rasa takut menjadi salah satu faktor penting dalam menghormati Yang Suci dan Yang Benar. Kesucian itu seringkali tidak datang dari sebuah pemahaman rasional-empiris terhadap apa yang diyakini sebagai kebenaran, namun seringkali diterima begitu saja tanpa filter rasionalitas. Dari situ, kebenaran akan Yang Suci dan Yang Benar tidak lagi menjadi hal yang patut dipersoalkan atau disikapi secara kritis, meski ritual untuk menghormati bahwa dalam jangka panjang penerapan “psikologi rasa takut” ini akan memantul pada perjuangan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.” Lihat dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds.), Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998, Yogykarta: LKiS, 2003, hal. 84.

5

(26)

Yang Suci dan Yang Benar itu dilandasi oleh sebuah kebohongan yang telah merenggut ribuan nyawa atau bahkan jutaan manusia. Demikian ditegaskan oleh Sindhunata, “Disinilah kita menemukan akar dari ritus korban, yakni bahwa ritus korban itu dapat berhasil jika ada “penipuan” dan “salah kira” dalam tindakan korban.”6

Analogi tentang ritus korban dalam agama ini, bisa persis ditautkan dengan ritual yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ritus korban ini menjadi dasar keberhasilan untuk menciptakan “tatanan normatif tertentu” yang secara sadar atau tidak sadar menjadi rujukan bagi tindakan dan

perilaku orang-orang yang mendukung kekuasaan rezim Orde Baru.

Oleh karena itu, peristiwa kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi bersamaan dengan tumbangnya rezim Soeharto pada tahun 1998 sebenarnya merupakan rentetan peristiwa yang bercermin pada tragedi 1965. Meskipun pola dari kekerasan dan kerusuhan massa tersebut berbeda konteks dan pelakunya, bentuk kekerasan itu masih dalam proses mempertahankan identitas penguasa (negara) sebagai pemegang mandat untuk menjaga Yang Suci dan Yang Benar, yaitu Pancasila. Dengan demikian, kekerasan masih sah untuk dilakukan karena penguasa (negara) melakukan kekerasan itu untuk membela Pancasila, sebagai Yang Suci dan Yang Benar. Karenanya, siapa pun yang mau menggoyang Yang Suci dan Yang Benar harus dilawan dan ditumpas sampai habis. Hal ini membuat berbagai upaya untuk melakukan rekonsiliasi di Indonesia seolah selalu menemukan jalan buntu.

Kita masih ingat, saat Aburrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden, dia mendorong munculnya gerakan rekonsiliasi nasional sebagai upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kekerasan politik pada masa lalu. Salah satu tindakan penting Gus

6

(27)

Dur sebagai presiden adalah meminta maaf kepada para korban tragedi 1965. Inisiatif politik Gus Dur tersebut ternyata dinilai sangat kontroversial. Tindakan meminta maaf tersebut masih sulit diterima, bahkan di kalangan Nahdatul Ulama sendiri.

Gus Dur melihat bahwa tuntutan reformasi politik pada waktu itu masih membuka peluang bagi dilakukannya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan gagasan rekonsiliasi nasional. Komitmen politik Gus Dur sebenarnya bukan inisiatif pribadi saja, namun sudah resmi menjadi mandat negara lewat diterbitkannya TAP MPR No. V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dokumen ini memandatkan dibentuknya sebuah komisi yang bertugas untuk mengungkap penyalahgunaan wewenang negara di masa lampau dan merumuskan etika berbangsa di masa depan.7 Dokumen tersebut juga memberikan kerangka normatif yang cukup jelas untuk membuat komisi yang sama di wilayah konflik paling berdarah di Indonesia, yakni Aceh dan Papua.

Sebagai langkah konkret dari cita-cita normatif tersebut, maka dirumuskan sebuah dokumen resmi negara lewat Undang-Undang No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini akan bekerja untuk mengungkap pelanggaran HAM berat dan semua peristiwa kekerasan politik masa lalu, terutama bagi para korban politik Orde Baru. Sayangnya, kehendak politik yang baik dari Gus Dur untuk menyelesaikan persoalan kekerasan masa lalu pun akhirnya kandas karena pada tanggal 23 Juli 2001, dia dimakzulkan oleh MPR. Maka cita-cita Gus Dur untuk merintis “rujuk nasional” juga kandas bersamaan dengan dicabutnya mandat Gus Dur sebagai presiden RI.

7

(28)

Saat Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dipercaya sebagai orang nomer satu RI, Mahkamah Konstitusi membatalkan pelaksanaan UU No. 27/2004 karena dianggap secara fundamental bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pembatalan itu dilakukan sebelum Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut bekerja sebagaimana dimandatkan oleh UU tersebut. Pembatalan RUU KKR tersebut menegaskan bahwa kelompok elit kekuasaan tertentu masih ingin terus menyetir dan mengendalikan agar impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia tetap dilanggengkan.

Selain itu, menurut para korban kekerasan masa lalu, RUU KKR sendiri sebenarnya tidak bisa mereka terima. Banyak pasal yang dirumuskan sepertinya tidak berniat untuk mengungkapkan kebenaran (truth), perwujudan keadilan (justice) dan pemulihan hak-hak para korban (reparation).8 Namun lebih banyak peluang yang memungkinkan para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan masa lalu untuk mendapatkan amnesti. Semua itu menjadi tanda paling jelas bahwa apa yang disebut dengan pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan untuk semua peristiwa kekerasan masa lalu bagi bangsa Indonesia masih berada dalam ruang yang sangat gelap.

A. Latar Belakang Persoalan

Gelapnya proses pengungkapan kebenaran dan keadilan tersebut, secara khusus akan saya letakkan dalam peristiwa lepasnya Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999. Proses kemerdekaan Timor-Leste menjadi bagian dari “parade” kekerasan yang sangat brutal dan

8

(29)

masif yang menyertai runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Kekerasan tersebut mengiringi gejolak politik yang ada di Timor-Leste setelah Presiden B.J. Habibie mengumumkan dua opsi pada bulan Januari 1999 untuk rakyat Timor-Leste. Dua opsi tersebut adalah, pertama rakyat Timor-Leste diberi kebebasan untuk memilih otonomi luas namun tetap masih menjadi bagian dari Indonesia dan kedua menolak opsi tersebut dengan kemungkinan untuk lepas dari Indonesia. Dua opsi inilah yang menjadi pemantik api kekerasan di Timor-Leste yang memang sudah lama hidup dalam ketegangan politik yang sangat mencengkam.

Lepasnya Timor-Leste menjadi negara sendiri sebenarnya sangat menampar muka para penguasa Orde Baru yang salah satu pilar penyangga kekuasaannya adalah kekuatan militer. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan penguasa militer Indonesia dihinggapi paranoia yang berlebihan. Sikap paranoid penguasa Indonesia dan terutama militer tersebut ditunjukkan lewat mobilisasi milisi pro-Indonesia. Kelompok-kelompok milisi pro-Indonesia inilah yang secara jelas memulai tindakan kekerasan. Mobilisasi yang disertai dengan kekerasan tersebut sepertinya ingin menunjukkan bahwa rakyat Timor-Leste masih “memilih” Indonesia. Namun fakta di lapangan berbicara lain, rakyat Timor-Leste lebih condong untuk menolak opsi otonomi luas dari Indonesia. Penolakan itu pada akhirnya ditafsirkan sebagai kehendak untuk merdeka lepas dari Indonesia.9

Kasus lepasnya Timor-Leste dari NKRI menjadi potret paling telanjang bagaimana sifat hakiki dari cara rezim Orde Baru mempertahankan kekuasaannya. Rezim ini lebih memakai kekerasan untuk berkelit dari kehancurannya. Dalam kasus ini, kita menyaksikan

9

(30)

bagaimana norma negatif itu sebenarnya tidak saja memporakporandakan rekatan sosial, namun lebih dari itu juga menghilangkan imajinasi tentang roh kebangsaan (nation) dan ikatan sebagai satu negara. Pilihan rakyat Timor-Leste untuk merdeka menjadi bukti paling otentik betapa kekerasan tidak bisa dijadikan landasan untuk membangun sebuah loyalitas dan perasaan terikat sebagai satu bangsa serta tunduk pada hukum sebuah negara.

Orang Timor-Leste selalu merasa diri sebagai “liyan” (the others) di wilayah mereka sendiri. Perasaan itu muncul karena perlakuan tidak adil yang mewujud dalam berbagai bentuk kekerasan yang terus mendera mereka sepanjang mereka hidup di bawah kaki penguasa Orde Baru. Itu berarti bahwa Indonesia telah gagal dalam mempropagandakan kekuasaannya di Timor-Leste. Kegagalan itu ingin ditutupi bukan dengan jalan negosiasi atau mepromosikan wajah kekuasaan alternatif, namun kembali memilih jalan kekerasan. Kekerasan menjadi identik sebagai naluri rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan.

Konflik kekerasan yang terjadi di Timor-Leste, meminjam istilah Johan Galtung (dalam Manfred B. Stager dan Nancy S. Lind, 1999) menjadi rangkaian “kekerasan budaya” (cultural violence)10 dalam perjalanan kekuasaan rezim Orde Baru. Kekerasan budaya itulah yang melandasi mengapa Indonesia “mencaplok” wilayah Timor-Leste menjadi bagian dari Indonesia. Dalam penelitian ini, saya ingin melihat konstruksi “kekerasan budaya” tersebut dalam konteks persoalan pengungsi dan penyintas yang timbul

sebagai akibat pergolakan politik di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999.

10

(31)

Tragedi kemanusiaan dan munculnya gelombang pengungsian di Timor-Leste telah mendorong dihadirkannya kembali lembaga kemanusiaan yang bernama Jesuit Refugee Service (selanjutnya disingkat JRS) di Indonesia, sebuah lembaga yang berada di bawah payung Ordo Serikat Yesus. JRS pernah hadir di Indonesia pada saat munculnya gelombang manusia perahu asal Vietnam yang terdampar di Pulau Galang. Lembaga ini didirikan dan dihadirkan memang untuk menemani, melayani dan membela para pengungsi di seluruh dunia. JRS hadir di Indonesia bersama dengan lembaga kemanusiaan lainnya, baik itu yang membawa label lokal, nasional atau internasional, untuk bersama-sama menanggapi tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timor-Leste.

Lembaga yang bermarkas di Roma ini diprakarsai oleh Pater Pedro Arrupe SJ, yang pada waktu itu menjabat sebagai Jenderal Serikat Yesus. Pater Arrupe tergerak oleh situasi yang sulit dan tidak menentu yang dialami oleh para manusia perahu asal Vietnam. Tragedi manusia perahu tersebut mendorong Arrupe untuk mendirikan sebuah lembaga khusus sebagai wujud konkret pelayanan Serikat Yesus untuk para pengungsi. Arrupe menulis surat kepada seluruh Superior Serikat Yesus di dunia untuk mewujudkan gagasannya itu. Tanggapan positif pun bersambut, maka lahirlah JRS pada tahun 1980. Pulau Galang adalah tempat pertama JRS mulai melayani para pengungsi. Saat itulah beberapa Jesuit Indonesia, seperti Padmaseputra SJ, Udyasusanta SJ, Sugondo SJ, dan lainnya melakukan pelayanan bagi para pengungsi asal Vietnam yang mengungsi di Pulau Galang. Setelah mereka pulang ke Vietnam, JRS sempat tidak aktif di Indonesia karena memang tidak ada lagi pengungsi yang harus dilayani.

(32)

konkret dan lebih bersifat langsung kepada para korban yang selamat atau penyintas (survivors). Selain itu ada cita-cita besar JRS bahwa di tengah konflik manusia tersebut, JRS ingin membangun rekonsiliasi dan perdamaian antar kelompok-kelompok manusia yang bertikai. JRS mengusung kata “rekonsiliasi dan perdamaian” menjadi bagian dari roh organisasi.

Namun menjadi soal yang sangat tidak optimis, bagaimana usaha membangun rekonsiliasi dan perdamaian tersebut dilakukan di tengah sistem politik yang jelas-jelas dilandaskan pada norma negatif yang “melegalkan” penggunaan kekerasan, baik secara fisik dan psikis agar manusia tetap takut dan patuh pada kekuasaan seperti yang terjadi di Timor-Leste. Itu berarti bahwa proses “sakralisasi” kekerasan memang sengaja dilakukan oleh kekuasaan atau aparatus negara untuk menjadikan kekerasan itu legitim di mata rakyat Timor-Leste. Benarkah demikian?

B. Rumusan Persoalan

(33)

dan repatriasi bagi para pengungsi Timor-Leste yang akhirnya pulang ke negeri tumpah darah mereka sendiri yang telah lepas dari jeratan identitas yang bernama Indonesia.

Ada persoalan “identitas”, “ingatan” dan “sejarah masa lalu” yang di dalamnya terselubung berbagai pengalaman “trauma” saat mereka harus berkomunikasi sebagai manusia di bawah identitas yang bernama Indonesia. Dalam proses kemerdekaan rakyat Timor-Leste, para pekerja kemanusiaan asal Indonesia tersebut bertemu dalam ruang, waktu dan identitas baru yang disebut: pengungsi dan penyintas. Pengungsi dan penyintas ini dulu masih dalam label yang sama yaitu Indonesia, namun setelahnya berubah label menjadi “bukan orang Indonesia” dan menjadi “orang Timor-Leste.”

Dari situ, saya ingin mempersoalkan bagaimana (politik) ingatan menjadi salah satu kunci untuk mematahkan sakralisasi kekerasan dan impunitas dalam sejarah atau historiografi warisan otoritarianisme Orde Baru. Karenanya, saya ingin menempatkan bagaimana (politik) ingatan bisa dijadikan pijakan untuk melakukan “counter-memory” terhadap warisan otoritarianisme yang selalu dilakukan oleh kekuatan rezim masa lalu. Rezim Orde Baru berhasil melakukan “politisasi ingatan” lewat berbagai macam narasi

besar dalam sejarah atau historiografi yang akhirnya digunakan untuk “menindas dan memberangus” ingatan rakyat terhadap kebenaran.

(34)

larut dalam budaya impunitas dan politisasi ingatan yang selalu dilakukan oleh narasi besar warisan otoritarianisme rezim masa lalu.

Ada beberapa pokok persoalan yang saya ajukan sebagai acuan untuk membangun argumentasi saya:

1. Bagaimana pengalaman trauma para pengungsi dan penyintas pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat rezim otoriter-totaliter membentuk struktur dan konfigurasi (politik) ingatan dan identitas para pekerja kemanusiaan JRS?

2. Apakah ingatan sejarah yang dibaca dan dipahami lewat pendekatan psikoanalisa dan dekonstruksi mampu melahirkan berbagai simbol, narasi dan (re)produksi tanda (sign) alternatif yang bisa dijadikan “counter-memory” terhadap sejarah atau historiografi warisan rezim otoriter-totaliter masa lalu untuk mematahkan berbagai bentuk sakralisasi kekerasan, impunitas dan narasi besar yang hegemonik?

3. Apakah testimoni lapis kedua bisa dijadikan dasar untuk membangun (politik) ingatan dan terbentuknya mutasi identitas di kalangan pekerja kemanusiaan JRS sebagai salah satu cara untuk terus memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi penyintas pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan masa lalu?

C. Tujuan Penelitian

Saya memperuncing arah penelitian ini dengan dua tujuan besar sebagai berikut: 1. Bagi para pekerja kemanusiaan dan lembaga kemanusiaan JRS:

(35)

kemanusiaan dalam proses kemerdekaan Timor-Leste dari pendudukan Indonesia. Kedua, penelitian ini bisa dijadikan sebuah lesson learned bagi JRS sebagai lembaga kemanusiaan. Pengalaman JRS dalam mendampingi para pengungsi dan penyintas sangat relevan untuk membangun kembali nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi masyarakat yang sedang bergulat dengan berbagai persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu.

2. Bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial-humaniora, khususnya sejarah atau historiografi. Penelitian ini mau mengangkat kekuatan dan pentingnya peran “narasi-narasi kecil” sebagai bentuk testimoni lapis kedua yang dilakukan oleh para

pekerja kemanusiaan JRS. Testimoni ini sangatlah penting untuk melawan politisasi ingatan yang dilakukan oleh para pelaku politik supra individual. Mereka ini terus berupaya mempertahankan hegemoni sejarah dan melanggengkan sakralisasi kekerasan dan impunitas.

D. Tinjauan Pustaka

Topik dan tema kekerasan, terkhusus (politik) ingatan, sebenarnya bukan hal baru sebagai bahan kajian atau tesis bagi mahasiswa/i Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma. Topik kekerasan dan kaitannya dengan nasionalisme pernah dikaji dengan sangat menarik oleh Teuku Kemal Fasya (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Narasi Kekerasan dan Libido Nasionalisme dalam Gerakan Sosial, (Potret Gerakan Mahasiswa Aceh 1999-2002)”. Tesis ini mempersoalkan bagaimana narasi kekerasan memiliki ikatan

(36)

Sebagai orang (muda) Aceh yang terlibat dalam gerakan sosial yang penuh dengan sejarah kekerasan, Teuku Kemal Fasya mengungkap dengan sangat lengkap berbagai wacana yang terjadi dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di bumi Aceh tersebut. Maka dari itu, agar tidak terjebak pada pendekatan strukturalisme, Kemal mencoba melakukan analisa narasi terhadap teks dan bahasa yang terkait dengan pengalaman-pengalaman kekerasan masyarakat Aceh. Salah satu teks yang menjadi pijakannya adalah Hikayat Perang Sabil.

Kemal Fasya menggunakan pendekatan Freudian untuk memahami berbagai persoalan mendasar tentang nasionalisme di kalangan mahasiswa Aceh dan munculnya gerakan sosial baru. Menariknya tesis ini juga mempersoalkan pendekatan sejarah dalam pembentukan dasar-dasar pengetahuan (sosial) masyarakat. Dan Kemal secara gemilang dan cerdas bisa menjabarkan persoalan tersebut dengan sangat lengkap dan sistematis. Pokok persoalan dalam tesis Teuku Kemal Fasya adalah bagaimana sejarah (kekerasan) berperan dalam membentuk ketidaksadaran akan hasrat terbentuknya nasionalisme (alternatif). Kemal menggunakan istilah libido dalam kategori berpikir Freudian. Libido ini tersusun berdasarkan pengalaman-pengalaman kefrustasian dan penderitaan masyarakat Aceh yang selalu tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk analisa gerakan sosial baru, Kemal menggunakan kerangka teori Alain Touraine dan Anthony Giddens.

(37)

teorinya sangat berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh Teuku Kemal Fasya. Nerlian Gogali menggunakan pendekatan ingatan untuk meneropong persoalan perempuan dan anak-anak dalam konflik di Poso. Tekanan utamanya pada bagaimana pengalaman-pengalaman kekerasan membentuk identitas komunitas, terutama pada diri perempuan dan anak-anak.

Dalam tesisnya tersebut, Nerlian Gogali juga mendasarkan diri pada narasi sejarah. Dia berusaha untuk melakukan dekonstruksi terhadap narasi sejarah besar dengan narasi sejarah yang dihasilkan dari pengalaman para korban. Nerlian Gogali berusaha menunjukkan bahwa setiap individu memiliki peran sangat penting dalam membentuk konstruksi sejarah dan ingatan kolektif. Terlebih pengalaman korban, seperti dalam konflik kekerasan di Poso, sangat berperan dalam pembentukan ingatan kolektif. Lebih lanjut, Nerlian Gogali menegaskan bahwa di tengah kerumunan para korban atau penyintas masih ada kelompok yang terus termaginalkan suaranya yaitu perempuan dan anak-anak. Sisi menariknya dari tesis ini adalah bagaimana memberi ruang bicara bagi kelompok paling tergaminalkan, seperti kelompok perempuan dan anak-anak, di tengah pusaran konflik yang masif. Karena itu, dengan mengembangkan gagasan Urvashi Butalia (2002), Nerlian Gogali berusaha menempatkan suara-suara senyap para perempuan dan anak-anak menjadi subyek pokok dalam narasi sejarah. Dengan demikian, tesis ini mau mendobrak dominasi ingatan sebagai hasil narasi sejarah besar dan menempatkan posisi kelompok perempuan dan anak-anak sebagai pemilik atau subyek dari narasi sejarah yang baru di tengah masyarakat korban.

(38)

Priok 1984.” Dengan mengambil kasus pada peristiwa Priok pada tahun 1984, Wahyudi

mau mempersoalkan artikulasi ingatan para korban pasca tumbangnya rezim Soeharto. Persoalan pokok yang menjadi kajian dalam tesis ini adalah tentang Islah. Menurut Wahyudi, Islah telah memecah solidaritas dan perjuangan para penyintas untuk mengungkap kebenaran dalam Peristiwa Priok. Namun demikian, upaya para korban atau penyintas untuk menuntaskan persoalan ini ternyata terus berlanjut karena keadilan belum bisa diwujudkan. Tesis ini mencoba mengkaitkan sesuatu yang sangat mendasar pada peristiwa kekerasan masa lalu dengan berbagai upaya untuk mengungkap kebenaran dan mewujudkan keadilan bagi para penyintas. Dari situ, Wahyudi mau mengupas sisi ideologis dari praktik Islah yang digunakan untuk menyelesaikan Peristiwa Priok.

Wahyudi menemukan bahwa praktik Islah yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan Peristiwa Priok sebenarnya tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam. Mengapa? Karena praktik Islah tersebut ternyata tidak didasarkan pada perwujudan keadilan. Maka dari itu, Wahyudi menegaskan bahwa praktik Islah tidak lebihnya sebuah persekongkolan bersama antara korban dan pelaku untuk mengubur masa lalu. Persekongkolan itu dia buktikan dalam kasus persidangan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok. Proses pengadilan tersebut tidak lebihnya sebagai upaya menutup jalan untuk mengungkap kebenaran dan mewujudkan keadilan.

(39)

memberikan pelupaan ingatan. Hasilnya pun jelas bisa ditebak, para pelaku kekerasan Priok 1984 akhirnya bisa bebas dari jeratan hukum pengadilan HAM Ad Hoc. Temuan menarik dari tesis ini adalah para korban telah mempolitisasi ingatan mereka sendiri dalam pengadilan HAM Ad Hoc sehingga bukti tentang pelanggaran HAM akibat kekerasan yang dilakukan pada tanggal 12 September 1984 akhirnya ter(di)kubur.

Wahyudi juga mengulas bagaimana kekerasan masa lalu selalu menyisakan persoalan bagi pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan bagi para penyintas. Persoalan tersebut juga menjadi bahan yang kembali saya angkat dalam tesis ini. Namun konteks kasusnya sangat berbeda, saya meletakkannya dalam konteks persoalan pengungsi dan penyintas pasca Jajak Pendapat 1999 di Leste. Penelitian tentang pengungsi Timor-Leste yang mengungsi di wilayah Timor Barat menjadi tesis yang dikerjakan oleh Aleida Yovita Sola (2007). Judul tesisnya sendiri berbunyi, “Torehan Sejarah, Taruhan Hidup. Politik Memori Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat, Pasca-Jajak Pendapat 1999.” Tidak jauh berbeda dengan tema-tema kekerasan yang lainnya, Aleida

juga mengembangkan analisa narasi dan wacana. Titik tekannya pada usaha untuk mengangkat narasi perjuangan para pengungsi di tengah wacana dominan yang di(re)produksi oleh penguasa.

(40)

ingatan tersebut ditujukkan. Namun demikian, akhirnya Aleida sampai pada kesimpulan bahwa tuturan langsung dari para korban harus menjadi “fakta” sejarah. Ingatan para

korban, meskipun ada kecenderungan untuk bias, haruslah menjadi subyek penentu sejarah. Dengan demikian wacana dominan produksi penguasa dengan sendirinya bisa disingkap kepalsuannya.

Lebih lanjut, tesis yang secara khusus menggali trauma sebagai akibat kekerasan kolektif dibuat oleh Yustina Dian Rachmawati (2009). Tesis tersebut berjudul “Menyingkap Lapis Trauma Sekunder, Studi tentang Pengalaman Traumatis Para

Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998.” Dalam tesisnya, Yustina tidak menempatkan korban atau penyintas sebagai subyek dalam penelitiannya, namun lebih pada pengalaman pendamping para korban. Yustina melihat bahwa dampak traumatis yang dialami oleh para korban kekerasan tidak saja tertinggal pada korban langsung, namun juga berimbas pada para pendamping korban. Lewat tesis ini bisa diketahui bahwa trauma yang dialami oleh para korban perkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 ternyata juga dialami oleh para pendamping korban.

(41)

Dari seluruh kajian tentang kekerasan yang sangat beragam baik subyek dan pendekatannya, lantas apa yang menjadi hal baru dalam tesis saya? Saya tidak menempatkan korban atau penyintas langsung sebagai subyek penelitian, namun pada para pekerja kemanusiaan yang mendampingi para pengungsi atau penyintas. Dari sisi subyek penelitian, tesis ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Yustina. Sedangkan dari konteks (sejarah) politiknya, tesis saya tidak jauh berbeda dari apa yang sudah dikerjakan oleh Aleida Yovita Sola yakni pengungsi di Timor Barat pasca Jajak Pendapat 1999. Perspektif baru yang saya tawarkan dalam tesis ini adalah bagaimana membaca persoalan kekerasan lewat lintas pendekatan yang fundamental, baik itu kajian narasi, trauma, (politik) ingatan dan juga pembentukan identitas di kalangan para pekerja kemanusiaan yang pernah mendampingi para pengungsi dan penyintas konflik kekerasan.

Saya tidak menempatkan narasi para korban langsung, namun melihatnya dari pengalaman para pendamping korban yang akhirnya mampu me(re)produksi narasi lewat testimoninya. Tidak hanya berhenti pada pengalaman traumatis, namun bagaimana pengalaman traumatis itu mereka lampaui dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk membangun narasi sejarah dari bawah. Kekuatan narasi para pekerja kemanusiaan ini terletak pada komitmen etisnya untuk mendobrak hegemoni sejarah resmi kekuasaan yang membelenggu ingatan kolektif. Kekuatan testimoni lapis kedua juga diuji lewat kemampuannya menyingkap lapis-lapis ketidaksadaran yang dilakukan oleh permainan politik supra individual untuk terus melanggengkan impunitas dan sakralisasi kekerasan.

(42)

tragedi kemanusiaan 1965 di Indonesia ternyata direplikasi dalam proses kolonisasi Indonesia terhadap Timor-Leste. Dengan membaca ulang pengalaman trauma sejarah lewat pendekatan semiotis, saya menekankan bahwa pengalaman traumatis yang dialami oleh para pekerja kemanusiaan JRS pasca Jajak Pendapat 1999 berhasil me(re)produksi tanda (sign) yang sangat penting untuk membangun (politik) ingatan. (Politik) ingatan sangat fundamental untuk memperjuangkan pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan bagi penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

E. Kerangka Teori

Rupanya kebebasan yang ditenggak setelah rezim totaliter-otoritarian tumbang, tidak langsung memberikan kelegaan bagi kehidupan rakyatnya. Justru suasana yang terjadi adalah sebaliknya, kehidupan bernegara dan berbangsa malah menjadi lintang pukang dalam kekacauan. Tumbangnya sebuah rezim totaliter-otoriter selalu meninggalkan timbunan “feses” (tinja, kotoran) yang sangat banyak akibat dari perilaku kekuasaan itu sendiri. Para pengungsi asal Timor-Leste yang mengungsi pada tahun 1999-2004 di wilayah Timor Barat adalah wujud konkret dari timbunan feses politik kekuasaan tersebut. Budi Hardiman (2005) menguraikan dengan amat tajam konsep Elias Canetti tentang feses kekuasaan tersebut. Dikatakannya bahwa “feses” adalah dampak paling nyata dari

(43)

“(Feses) mengandung seluruh kesalahan kita. Padanya dapat dikenali apa yang telah kita

bunuh. Ia adalah jumlah lumatan dari seluruh indikasi-indikasi yang melawan kita.”11

Lebih lanjut dijabarkan:

“Pada feses kita, kita menyaksikan destruksi, bukan destruksi itu belaka, melainkan apa-apa yang telah kita destruksikan, segala yang pernah mencoba melawan, namun akhirnya remuk dalam pencernaan kita dan kita keluarkan sebagai hal-hal negatif dari tubuh kita, yakni mangsa atau korban yang adalah makanan kita. Kita bukan hanya tak ingin melihat apa yang telah kita nikmati itu. Dinaungi oleh rasa malu yang entah mengapa sulit dijelaskan, momen

ekskresi merupakan momen yang sangat privat.”12

Tafsir filosofis tentang feses menegaskan bahwa manusia selalu dalam situasi sendiri dalam menghadapi fesesnya. Feses itu sendiri merupakan tanda negatif kekuasaan sebagai proses destruksi yang diisolasi dalam ketersembunyian.13 Pengalaman hidup para pengungsi dan penyintas konflik kekerasan menjadi sebentuk “timbunan feses” sebagai warisan yang membawa kompleksitas tersendiri pasca tumbangnya rezim totaliter-otoriter.

Wajah pengungsi dan penyintas sebenarnya adalah wajah feses kekuasaan yang selama ini membangun pondasi kekuasaan berdasarkan kekerasan. Mewacanakan kekerasan pasca tumbangnya rezim otoriter-totaliter tidaklah mudah, karena feses kekuasaan tersebut ingin segera dibuang dan disimpan dalam jamban. Meskipun demikian, feses itu tetap menimbulkan aroma tidak sedap dan bau busuk. Karenanya, orang sering dengan segera ingin membuat jamban yang bagus dan rapat agar aroma feses itu tidak tercium lagi. Itu berarti bahwa dalam menghadapi feses, orang sudah dihinggapi perasaan malu karena itu menyangkut hal yang paling privat dalam diri manusia.

(44)

Gagasan-gagasan yang dikembangkan dalam program rekonsiliasi dan repatriasi bagi para pengungsi dan penyintas di Timor-Leste, sebenarnya merupakan usaha untuk mengolah feses itu menjadi bermanfaat kembali. Namun menjadi soal di sini, feses itu tetaplah sebuah kotoran yang pada hakikatnya ingin segera dibuang, dihancurkan dan ditaruh di dalam tempat yang tersembunyi. Apakah orang yang pekerjaannya berkecomber di tengah lautan feses itu memang memiliki daya tahan untuk terus menghirup aroma tidak sedap dari feses itu? Atau, apa yang memberikan dorongan kekuatan bagi banyak orang untuk mengolah feses itu? Jika analogi tentang feses itu adalah hasil dari negativitas sebuah kekuasaan otoriter-totaliter, maka menjadi hal yang paling mendasar untuk diketahui bagaimana trauma akan feses kekuasaan tersebut dapat mendorong terbangunnya (politik) ingatan dan identitas para pekerja kemanusiaan yang pekerjaannya menyelam dalam bahasa negativitas dan menyusup dalam relung semua peristiwa kekerasan?

Feses tetaplah menjadi bagian dari apa yang secara alamiah di(re)produksi oleh manusia. Manusia memang harus selalu mengeluarkan fesesnya sebagai bagian dari mekanisme biologis untuk menjaga keseimbangan. Nah, apakah juga negativitas kekuasaan selalu di(re)produksi dalam sistem kekuasaan untuk menyeimbangkan kehidupan? Jawabannya mungkin saja positif, bahwa kekerasan memang selalu di(re)produksi oleh kekuasaan, dalam rupa dan kepentingan yang sangat beragam dan tidak bisa secara jelas ditentukan siapa pemilik kepentingan itu. Karenanya, menjadi sebuah tindakan yang melulu utopis untuk melakukan sebuah upaya rekonsiliasi, toh pada suatu saat kekerasan dan dendam akan di(re)produksi dalam kesempatan dan ruang yang lain.

(45)

kehancuran, kesedihan dan seterusnya tubuh-tubuh manusia itu bisa terlihat dan diraba dengan indra kita secara empiris. Dan itu berarti bahwa feses itu sangat nyata dan empiris. Maka dari itu, jika rekonstruksi tata kehidupan yang hancur oleh konflik kekerasan tersebut diletakkan untuk melihat sikap Indonesia dalam menangani kasus Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999, jelaslah masih jauh panggang daripada api. Indonesia mengalami proses transisi politik yang tidak “mematahkan” apa yang sudah ada atau lama terjadi, baik itu dari

aspek hukum, politik dan tata kelola kenegaraan yang diwariskan oleh rezim otoriter-totaliter Orde Baru. Semua itu hanya dirubah atau direnovasi berdasarkan apa yang lama, misalnya saja amandamen konstitusi, revisi undang-undang politik yang merevisi kedudukan TNI di parlemen, atau memasukkan unsur hak asasi manusia di dalam konstitusi. Namun semua perubahan itu masih berdasarkan apa yang lama.14

Dalam konteks itu, Agung Putri (Baskara T. Wardaya, dkk, 2007) menerangkan demikian, “Namun dalam perubahan apapun, negosiasi dan penyangkalan, pemaksaan dan pembangkangan senantiasa datang silih berganti. Dalam arus inipun moral politik berkontestasi, antara gelombang massa yang menyalahkan (blaming) elit penguasa dan elit politik yang mati-matian mempertahankan (defending) „kebenaran‟ atas tindakannya di masa lalu.”15

Agung Putri (2007) juga mencatat bahwa normalitas baru yang terjadi pada negara pasca otoritarianisme adalah persoalan yang tidak langsung bisa memberikan kepastian karena masih tersimpan kekerasan masa lalu yang campur aduk dengan situasi kekinian. Dengan mengutip Martha Minow, dia menuliskan demikian, “Kekerasan hidup

14

Bdk. Agung Putri, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, 2007, Jakarta: ELSAM, hal. viii.

15

(46)

secara simultan antara yang lalu dan sekarang, memperkuat kumpulan-kumpulan fantasi, distorsi, mitos dan kebohongan.”16

Dalam silangan berbagai tindakan itulah, sebenarnya kekuasaan transisional setelah menyingkirnya rezim otoriter-totaliter membentuk bahasa negativitasnya sendiri sebagai torehan kokoh dari warisan otoritarianisme tersebut. Torehan-torehan ingatan sebagai warisan otoritarianisme tersebut masih sangat kuat mewarnai penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.

Para peneliti dari Belanda, seperti Freek Colombijn, Nico G. Schulte Nordholt, Kees van Dijk, dan lain sebagainya (Frans Husken dan Huub de Jonge (Ed.), 2003) menyatakan bahwa “budaya praktik kekerasan” yang terjadi di Indonesia sebenarnya sudah terjadi dan

mengakar pada sejarah Indonesia sendiri. 17 Para peneliti Belanda tersebut sangat terkejut dengan ledakan berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Mengapa kekerasan massal bisa terjadi di Indonesia dan sangat masif? Jika kita menggunakan “genealogi kekerasan” sebagai salah satu konsep untuk menilik lebih jauh

praktik kekerasan di Indonesia, kita tidak bisa mengesampingkan masa-masa pra kolonial dan kolonial. Praktik para elit penguasa yang selalu menyewa jagoan atau memelihara “preman” untuk melindungi kekuasaannya, sudah ada sejak sebelum Orde Baru. Praktik politik “premanisme” itu secara telanjang bisa kita saksikan dalam proses transisi

kekuasaan di Timor-Leste pada tahun 1999.

16

Lihat Agung Putri, 2007, hal. xi.

17

(47)

Tentu saja fakta historis itu menjadi salah satu persoalan dalam keadilan transisional yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Timor-Leste dan Indonesia. Namun saya tidak secara khusus menggali “genealogi kekerasan” tersebut. Saya lebih menitikberatkan

bagaimana dampak “genealogi kekerasan” yang menghasilkan negativitas tersebut telah menghancurkan identitas kemanusiaan rakyat Timor-Leste bagaikan feses. Dan penghancuran identitas kemanusiaan tersebut sebagai bukti otentik dari warisan sejarah atau historiografi otoritarianisme Orde Baru. Sangatlah menarik untuk dikaji dan direfleksikan bagaimana orang-orang yang pekerjaannya mengolah feses kekuasaan tersebut, seperti para pekerja kemanusiaan JRS, bisa survive dan kemudian mampu membangun identitas kemanusiaan para penyintas (survivors).

Pengalaman para pekerja kemanusiaan JRS dalam mendampingi para penyintas untuk membangun kembali identitas kemanusiaannya pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste seringkali lepas dari penulisan sejarah atau historiografi. Para pekerja kemanusiaan ini menjadi kelompok yang termaginalkan dalam berbagai ruang-ruang ingatan sosial. Namun kelompok ini justru memiliki kekuatan untuk membangun ingatan kolektif atas pengalaman masa lalu berdasarkan peristiwa negatif yang pernah mereka saksikan dan alami. Para pekerja kemanusiaan ini menjadi saksi yang hidup bagaimana penyintas selalu menuntut kebenaran dan keadilan untuk diwujudkan dalam ruang-ruang kehidupan bersama.

(48)

sosialnya.18 Tidak ada orang yang benar-benar bisa lepas dari ikatan-ikatan sosial bahkan mimpi yang sangat pribadipun, sebenarnya merupakan perwujudan dari ingatan seseorang terhadap pengalaman sosialnya. Dari sini ditegaskan bahwa ingatan itu memiliki sifat kolektif dan sosial. Menjadi semakin penting bahwa ingatan seseorang terhadap peristiwa trauma kekerasan politik, sebenarnya memiliki ikatan sosial yang sangat kuat untuk dijadikan sebagai bahan dasar penyusunan epistemologi sosial.

Lebih lanjut, dalam perspektif yang lain, Priscilla B. Hayner (2001) menegaskan adanya korelasi yang sangat penting antara ingatan kolektif dan konteks pencarian kebenaran lewat pembentukan Komisi Kebenaran dan Keadilan.19 Dia mengatakan bahwa salah satu tugas pokok dari Komisi Kebenaran yang bertugas untuk mengkorek persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM pasca runtuhnya rezim berkuasa adalah berfokus pada masa lalu. Upaya mencari kebenaran sebagai akibat dari pelanggaran HAM dan kekerasan pasca rezim otoriter runtuh haruslah berpijak pada “masa lalu.”

Masa lalu ini biasanya segera ingin dihapus oleh rezim transisi yang masih mewarisi rezim terdahulu. Dan sebisa mungkin semua jejaknya dilenyapkan dari ingatan publik. Kesulitan untuk melacak jejak masa lalu tersebut juga dialami oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia – Timor-Leste. KKP Indonesia-Timor-Leste dibentuk dengan mandat untuk mencari fakta sebagai landasan untuk mengungkapkan kebenaran yang terkait dengan pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di Timor-Leste pasca

18

Maurice Halbwachs, On Collective Memory, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1992, hal. 46-51.

19

(49)

Jajak Pendapat 1999. Itu berarti bahwa mendaur ulang feses kekuasaan itu selalu tidak mudah. Demikian ungkap KKP:

“Terdapat banyak penyebab konflik tahun 1999 yang sangat rumit dan saling berkaitan. Beberapa penyebab ini tak ayal lagi dapat dirunut kembali setidaknya sampai tahun 1974, dan kepada peristiwa yang terjadi setelah berakhirnya kehadiran kolonial Portugal. Penyebab lainnya muncul dari konteks politik yang lebih terkini berupa perkembangan tahun 1998 di Indonesia. Sebab-sebab yang melatarbelakangi berbagai aspek konflik tahun 1999 memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan khusus untuk mendapatkan pemahaman penuh mengapa konflik itu terjadi dalam cara-cara tertentu, dan bagaimana berbagai institusi

dan individu terlibat di dalamnya.”20

Dalam ayunan pendulum antara “sebab” dan “kebenaran”, maka sebuah Komisi

Kebenaran seperti KPP memulai kerjanya untuk mengungkap kejahatan masa lalu. Namun, konsep “sebab” ini selalu menjadi persoalan karena dalam logika berpikir orang, konsep “sebab” selalu akan bisa memberikan penjelas pada “akibat”. Apakah setelah tahu apa

sebab dan akibatnya, lantas kebenaran bisa terformulasikan dengan jelas? Sulit rasanya untuk bisa mengatakan bahwa kebenaran dalam konteks kekerasan politik yang sudah berlangsung begitu lama bisa menemukan akar penyebab dan kemudian bisa menerangkan akibatnya secara komprehensif. Hal ini mengindikasikan bahwa ingatan manusia atas sebuah peristiwa sangatlah terbatas. Namun demikian, apa yang dilakukan untuk mengungkapkan kebenaran masa lalu, jelas sangat tergantung pada ingatan manusia terhadap peristiwa tersebut.

Serpihan ingatan manusia tentu saja tidak bisa langsung dipercaya sebagai informasi dalam penulisan sejarah, sosiologi, politik dan lain sebagainya. Namun, ingatan yang dituturkan secara lisan bisa menjadi cara alternatif untuk membuat sebuah “dekonstruksi

20

(50)

dan rekonstruksi” sekaligus atas pengalaman masa lalu. Bahan-bahan lisan menjadi salah satu sumber utama dalam penulisan sejarah dari bawah untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ingatan masa lalu. Metode ini pun bisa menjadi salah satu sumber alternatif untuk penulisan sejarah atau historiografi. Seperti ditegaskan demikian:

“Dalam menilai kebenaran yang terkandung dalam wawancara lisan, seseorang harus menggunakan prosedur yang sama seperti saat ia menilai kebenaran dokumen tertulis. Kita harus memeriksa ulang informasi yang diperoleh, menimbang bias yang ada pada sang pencerita atau penulis, memeriksa konsistensi internal dari suatu narasi, dan seterusnya. Pada akhirnya, kita harus menggunakan perangkat yang sangat mengambang dan tidak pasti, yakni

„akal sehat‟. Salah satu alasan mengapa prosedur penilaian sumber lisan dan tulisan itu sama

adalah karena sumber tulisan sendiri sering didasarkan pada informasi yang dikumpulkan secara lisan. Dokumen dasar yang digunakan sejarawan – surat kabar, laporan intelijen atau polisi, dan sebagainya – ditulis oleh orang-orang yang melakukan wawancara lisan. Dalam hal ini, sumber lisan punya kelebihan dibandingkan dokumen tertulis: peneliti bisa kembali kepada orang yang diwawancarai berulang-ulang untuk meminta penjelasan dan gambaran lebih rinci mengenai sesuatu. Kita dapat terus mengajukan pertanyaan kepada narasumber.”21

Rekonstruksi berdasarkan narasi atau tuturan lisan tentu tidak langsung bisa sebagai dasar pada kebenaran. Sekali lagi, ingatan masa lalu yang dituturkan secara lisan selalu mengandung bahaya untuk menjadi bias. Seperti dituliskan oleh Saskia Eleonora Wieringa (1999) dengan mengutip Fay Weldon:

“Berapa banyak yang rekaan dan berapa banyak pula yang benar? Tidak ada kebenaran

obyektif tentang ingatan-ingatan kita. Karena itu usaha untuk mengatasi perbedaan pun barangkali sia-sia belaka. Memang benar, kita ini kumpulan dari masa lalu. Kita semua tersusun dari ingatan-ingatan. Tetapi ingatan adalah sesuatu yang tak menentu, yang mengalami pengalaman, yang menyaring yang kasar atau yang lembut menurut cita rasa sesaat, pola jaman, kelompok yang kebetulan seiring jalan: cara kita berenggan pada kejadian-kejadian tertentu, atau membukakan tangan kita menyambutnya.”22

21

John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Lisan, Jakarta: ELSAM, 2004, hal. 2.

22

Referensi

Dokumen terkait

Lampiran 4.Data Pengamatan Parameter Rataan N total tanah pada perlakuan TKKS dan jumlah lubang biopori.. Perlakuan Blok Total

Berdasarkan hasil olah data di dapat F -statistik sebesar 1,325 dengan probabilitas sebesar 0,264 yang nilainya jauh lebih besar dari 0,05 ini menunjukkan bahwa Ukuran Perusahaan (X

Salah satu Kabupaten yang memiliki potensi wisata yang cukup terkenal adalah kabupaten Lombok Barat, dimana kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten di

Alhamdulillahirabbil’alamin , segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Taufik, Ridho, Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan

Sebuah elektron memiliki massa diam m o bergerak dengan kecepatan 0,6c, maka energi kinetiknya adalah ..... Radioisotop yang berfungsi khusus dalam bidang antropologi

156 Yusuf, M.Pd Guru SMA Al Kautsar Lampung Bahasa dan Sastra Indonesia 157 Safrudin Ahmat Guru SMAN 1 Sumberejo Bahasa dan Sastra Inggris 158 M.Ma'ruf, S.Pd.I Guru SMA

[r]

In mixed adsorption dryer, zeolite and the seed product such as corn are mixed in a column and fluidized by air as drying medium.. The air will evaporate water from the product,