Proses sejarah yang terjadi di Timor-Leste tidak bisa dilepaskan dari konteks transisi
kekuasaan di Indonesia pada tahun 1998 yang dibangkitkan oleh perasaan takut terhadap
penindasan hak-hak asasi warga (sipil) Indonesia. Kebanyakan para pekerja kemanusiaan
yang bergabung dengan JRS, sebelumnya juga terlibat aktif dalam gerakan Reformasi 1998
dalam berbagai organisasi dan dengan cara mereka masing-masing. Pembebasan
Timor-Leste jelas menjadi bagian dari isu gerakan “pro-dem” di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswi Timor-Leste yang sedang menuntut ilmu di berbagai universitas di Indonesia, entah di
13
Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung dan lain sebagainya, bergaul sangat dekat dengan
berbagai bentuk gerakan pro-dem yang dimotori oleh para mahasiswa Indonesia yang
menuntut pembubaran rezim Soeharto. Pengakuan adanya jalinan solidaritas ini jelas
memperkuat bahwa persoalan Timor-Leste tidak bisa dipisahkan dari persoalan Indonesia
pada umumnya.
Sikap penolakan terhadap rezim Soeharto jelas berdasar pada tuntutan real yang tidak
bisa ditoleransi lagi, yaitu pelanggaran HAM dan semakin menguatnya korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam tubuh rezim tersebut. Demikian diungkapkan oleh Edi Mulyono SJ,
mantan Direktur JRS Indonesia,
“Harus diakui bahwa suasana tahun 1999, tidak jauh dan masih dekat dengan 1998, di mana, seluruh bangsa ini, punya visualisasi, terasa, terdengar, kehendak kuat untuk memperbaiki kondisi negeri ini, dan juga saya menyaksikan di mana demo-demo kita di Bunderan UGM dibantu oleh orang-orang Timor Timur, yang
mengalami kekerasan, yang dipukuli, dan itu bagi saya tegas…saya merasakan
solidaritas orang-orang Timor Timur yang ingin merdeka diberikan kepada bangsa Indonesia yang juga ingin merdeka dari penindasan Soeharto. Nah, perasaan solidaritas dengan orang Timor Timur sendiri yang cukup kuat, dan selama di Jogya kita juga menyelamatkan dan menyembunyikan orang Timor Timur
juga…nah ketika kita mendengar tahun 1999 yang terjadi di Timor Timur beberapa
orang kita menjadi korban, dan kita rasakan itu korban yang terjadi dalam rangka pembebasan, proses pembebasan Timor Timur, maka semangat itu juga terasa, kita mesti membantu orang-orang yang sudah solider terhadap kita…sebisa mungkin…apalagi dua imam Jesuit, selain suster-suster yang lain dan romo-romo yang lain dibunuh dan hilang, tetapi katakanlah dari pihak keluarga saya sendiri sampai menjadi korban. Maka ketika Andre pada tanggal 13 dikirim ke Timor Barat sebagai Frater, dan saya mengantar sampai ke depan, dan saya hanya berpesan nanti kalau butuh, nanti panggil saya. Lalu, akhirnya setelah dia hampir
dua minggu di sana, sepuluh harian, panggil saya…”14
Selama rezim Orde Baru berkuasa, kekerasan telah menjadi norma negatif yang
paling ampuh sebagai alat untuk membungkam berbagai macam bentuk gerakan rakyat
14
yang menentang kekuasaannya. “Violence makes victim of us all”, seperti dikutip oleh LaCapra dari Richard Schaefer.15Kekerasan telah membuat “budaya yang terluka” (wound culture) bagi masyarakat Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa. Rasa terluka yang mengakar dalam kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengental sebagai
sebentuk energi yang luar biasa untuk melawan ketakutan dan berbalik menuntut
pembubaran rezim Orde Baru. Gerakan ini sangatlah alamiah sebagai mekanisme
pertahanan diri manusia. Kebanyakan manusia secara otomatis menolak untuk “dilukai” karena luka menggoreskan sebuah ingatan yang buruk.
Penolakan itu menjadi indikasi paling kuat bahwa manusia bisa mengalami trauma.
Pengalaman traumatis itu tidak saja menjadi pengalaman individual saja, saat trauma itu
hasil ciptaan dari perilaku kekerasan yang secara masif dilakukan oleh rezim yang
berkuasa. Pengalaman traumatis itu menjadi sebuah pengalaman kolektif. Trauma kolektif
ini merupakan conditio humana (kondisi manusia) yang menjadi ciri khas kekuasaan Orde Baru dengan segenap perangkat pendukungnya. Para pendukung rezim Orde Baru,
meskipun hidup sebagai manusia-manusia yang beradab, namun secara naluriah mereka
tidak jauh beringsut dari sifat hewani.
Conditio humana yang terjadi selama rezim Orde Baru berkuasa terpantul lewat pengalaman ketiadaan (absence) dan kehilangan (loss). Pengalaman ketiadaan menjadi dorongan yang sangat emosional, karena kita bersama mengalami sendiri bagaimana ribuan
orang dibinasakan, ketidakadilan terjadi di mana-mana, hak bicara diberangus, rakyat
dikorbankan demi pembangunan dan lain sebagainya. Hal ini jelas menimbulkan
15
kemarahan yang kompulsif. Pengalaman seperti ini akan selalu diulang (repetisi) dalam
kehidupan bersama. Dan itu menjadi sebentuk pengalaman negatif yang tidak bisa diterima
karena membuat kita semua hidup dalam situasi ketakutan yang luar biasa.
Namun demikian, ketika pengalaman ketiadaan ini dipahami, dimengerti dan diterima
secara rasional, pengalaman ketiadaan tidak menyeret gerakan perlawanan terhadap rezim
Orde Baru ke dalam conditio humana yang lebih parah lagi. Gerakan “pro-dem” mencoba
mengubah pengalaman “ketiadaan” itu menjadi pengalaman “kehilangan.” Dalam konsep
Freudian, ketiadaan akan menciptakan perasaan melankolia. Perasaan ini akan
menimbulkan berbagai repetisi kompulsif yang tidak berjarak dengan situasi yang
menciptakannya. Sedangkan pengalaman kehilangan akan mendorong ratapan yang
merupakan tindakan manusia untuk melawan “dorongan” kematian yang menakutkan.
Dengan meratap, manusia tidak tinggal diam terhadap situasi-situasi yang
menakutkan akibat naluri kematian. Dengan meratap, manusia didorong untuk mengambil
jarak dan mengubah pengalaman ketiadaan. Manusia tidak terjebak pada pengalaman
melankolia, namun kemudian berusaha mengubahnya menjadi kondisi yang lebih baik.
Bagi LaCapra, pengalaman kehilangan bukanlah pengalaman melankolia terhadap
kebudayaan yang terluka, namun merupakan ratapan (mourning) yang bisa menghantar kita ke ambang kondisi yang lebih manusiawi. Ratapan menjadi bagian dari proses rasional
terhadap ketiadaan total dan dengannya terjadilah transformasi dari ketiadaan menjadi
kehilangan.
Kehilangan adalah ruang-ruang yang bisa diisi kembali dan ditarik ke dalam sebuah
dorongan untuk menemukan kembali apa yang telah hilang. Bukan sebuah ruang ketiadaan
kembali apa yang masih bisa disatukan kembali dari puing-puing yang hancur. Pengalaman
kehilangan tidak sama dengan pengalaman ketiadaan. Dalam pengalaman kehilangan,
manusia bisa mengambil jarak dari apa yang sebenarnya sudah dihancurkan oleh “naluri kematian” dan kemudian berusaha untuk menemukan kembali dengan dorongan “naluri
kehidupan.” Inilah yang mendorong manusia untuk menegakkan prinsip-prinsip
kemanusiaan dan menjadikannya torehan baru dalam sebuah historiografi pasca runtuhnya
rezim otoriter-totaliter.
Politik kekuasaan rezim Orde Baru yang sangat otoriter-totaliter sebenarnya telah
menorehkan ingatan yang tidak bisa dipangkas begitu saja oleh kalangan aktivitis atau siapa
saja yang pernah terlibat dalam gerakan reformasi. Ini merupakan dampak paling kuat dari
historiografi resmi rezim Orde Baru. Menjelang keruntuhannya kekerasan menjadi sangat
dominan karena kekerasan sebenarnya merupakan kondisi bawah sadar dari historiografi
rezim Orde Baru untuk mengontrol dan mempertahankan kekuasaan. Kekerasan ini meletus
begitu saja sebagai sebuah kewajaran yang dimainkan dari pihak Sang Penguasa, karena
sejarah memang memberikan dasar yang sah atas perilaku tersebut. Goresan historiografi
Sang Penguasa memang berniat melanggengkan legitimasi terhadap norma negatif tersebut.
Maka saat gerakan massa rakyat ingin mendobrak bangunan kekuasaan itu, tidak ada
secuil niat untuk menunda pergantian rezim tersebut. Meskipun masyarakat Indonesia harus
berhadapan dengan situasi transisi yang kompleks dan rumit, merobohkan rezim Orde Baru
adalah sebuah keharusan yang niscaya. Penolakan terhadap rezim lama sebenarnya sebuah
cermin dari pengalaman yang lebih dalam, yakni perasaan trauma. Trauma dengan
penindasan rezim yang totaliter-otoriter yang telah menciptakan conditio humana yang penuh dengan kesiasiaan, penderitaan, keterlantaran, kegagalan, kematian dan seterusnya.
Gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa seperti sebentuk ratapan (mourning)
untuk melawan “naluri kematian” (death drive) dan berbagai bentuk kondisi kompulsif sebagai akibat pengalaman traumatis yang diciptakan oleh rezim Orde Baru.
Gerakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru menjadi usaha untuk mengubah
ketiadaan menjadi kehilangan, melankolia menjadi ratapan, dan dengan demikian
menggeser conditio humana ke dalam bentuk-bentuk kehidupan yang lebih manusiawi. Dalam jalinan itulah pengalaman pekerja kemanusiaan JRS yang terlibat erat dengan
gerakan reformasi 1998 akhirnya melanjutkan keterlibatan mereka bersama para pengungsi
dan penyintas di Timor-Leste untuk menorehkan jejak-jejak historiografi baru bagi
masyarakat Indonesia. Timor-Leste bagi para aktivis telah menjadi bagian dari pengalaman
traumatis kolektif yang sama. Itu berarti bahwa pengalaman kekerasan yang terjadi di
Timor-Leste juga merupakan bagian dari ratapan bagi para aktivis pro-dem.
Demikian diungkapkan oleh Fransiskus Asisi Widanto, aktivis 1998 yang kemudian
bergabung dengan JRS Indonesia untuk mendampingi pengungsi di Timor Barat. Demikian
dituturkan oleh Fransiskus Asisi Widanto,
“Zaman reformasi tahun 1998, banyak demo dan sebagainya…teman-teman ini kan sebagian para penggembira…menyebutnya wisata minat khusus…apalah ikut demo dan sebagainya…ya sedikit banyak mengertilah latar belakang situasi, tetapi
tidak sebegitunya peduli terhadap situasi, tetapi lebih euphoria, ramai-ramai demo
dan sebagainya…perang itu kan situasi yang lebih jauh dari pada sekedar
demo…lebih dahsyat, lebih ngeri dan sebagainya…jadi sebelumnya terbunuhnya
staf UNHCR itu sudah dengar, tetapi tidak terlalu concern dengan hal itu, jadi tidak
terlalu seriuslah dengan persoalan itu…dar der dor milisi dan sebagainya juga
sudah mengetahui…memang dari awal-awal sudah mendengar hal-hal yang
memacu adrenalin tampaknya asyik…pada waktu itu zaman 1998, teman-teman Timor-Leste itu kan gerakkannya masih klandestin, gerakan mahasiswanya untuk mendukung kemerdekaan kan masih bawah tanah begitu…pada waktu aksi-aksi mahasiswa mereka memberikan dukungan juga. Dan tentu setiap dalam aksi-aksi, missal dalam orasi, menyinggung masalah Timor Timur dan sebagainya, pra kondisi sebelum pecah reformasi itu peran dari majalah bawah tanah juga, bentukannya AJI atau eks-Tempo yang bikin Suara Independen, dan juga
selebaran-selebaran dari pergerakan mahasiswa, seperti Massa bikinannya SMID yang memuat kondisi-kondisi terkini tentang Aceh, Timor Timur atau Papua dan sebagainya. Artinya, gerakan-gerakan demokrasi waktu itu tidak melulu menyikapi negara kita, namun juga wilayah-wilayah lain, yang tidak hanya berpusat di Jawa atau Jakarta, dan itu sedikit banyak memberikan perspektif bagaimana menyikapi pasca perang di Timor Timur, ada orang yang tersingkir karena ingin merdeka dan ada orang yang menyingkir karena bergabung dengan Indonesia dan lain
sebagainya …”16
Hal itu dinarasikan dengan nada sedikit bercanda oleh Asisi. Keterlibatan Asisi di
JRS Timor Barat hanya dikatakan sebagai “wisata minat” akan berbagai persoalan yang begitu lekat dengan kekerasan dan persoalan kemanusiaan. Namun yang dia maksudkan
dengan “wisata” jelas menunjuk pada sebuah kondisi yang tidak gampang dipahami, yakni penegakan prinsip kemanusiaan. Mengubah masa lalu yang penuh dengan melankolia
menjadi sebentuk ratapan yang lebih kondusif untuk membangun manusia bebas dari
conditio humana yang negatif ke dalam ruang-ruang yang lebih menghargai martabat manusia sebagai manusia, inilah esensi dari pengalaman keterlibatan. Perpecahan akibat
konflik saudara di Timor-Leste telah mengubah perilaku manusia yang dulu hidup dalam
satu wilayah dan satu nenek moyang tersebut sudah betul-betul dikuasai oleh kondisi sub-human, di mana naluri manusia telah berubah menjadi naluri hewan raksasa yang siap saling membinasakan satu sama lain.