Dari konteks persoalan ingatan masa lalu yang terkait dengan sejarah atau
historiografi, saya semakin tertarik untuk melakukan kajian mendalam dan menyeluruh
terhadap ingatan saya pribadi dalam pengalaman pendampingan terhadap pengungsi dan
korban konflik kekerasan selama saya bekerja di JRS pasca Jajak Pendapat 1999 di
Timor-Leste. Meskipun demikian, jauh sebelum itu, saya sudah banyak bersentuhan dengan para
25
aktivis dan pejuang pembebasan Timor Timur. Persentuhan dan pergaulan dengan mereka,
membuat diri saya semakin bisa merasakan dan memahami bagaimana situasi masyarakat
Timor-Leste selama pendudukan (baca: penjajahan) Indonesia.
Pengalaman perjumpaan yang semakin kuat dan intensif tentang tragedi kemanusiaan
di Timor-Leste saya temukan saat bergabung dengan JRS (Jesuit Refugee Service)
Indonesia pada tahun 2002 – 2007. Pendampingan awal saya di JRS adalah para pengungsi asal Timor-Leste yang mengungsi di Timor Barat pasca Jajak Pendapat 1999.
Pendampingan saya terhadap pengungsi Timor-Leste sebenarnya hanya sekitar satu bulan.
Namun, pengalaman itu justru memberikan kesan yang begitu mendalam terhadap ingatan
saya tentang penderitaan yang begitu kompleks. Saat itulah, saya memperoleh begitu
banyak cerita yang begitu “mengerikan” tentang pengalaman para pengungsi dan korban tragedi Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999. Ingatan yang tidak utuh ini justru memicu
munculnya motivasi saya untuk meneliti tentang para pengungsi dan korban konflik di
Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999. Berpijak dari pengalaman pendampingan yang
dilakukan oleh teman-teman JRS yang pernah mendampingi para pengungsi dalam program
rekonsiliasi dan repatriasi pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste, saya ingin melakukan
kajian tentang testimoni lapis kedua sebagai dasar untuk membangun (politik) ingatan.
Dari pengalaman yang terpenggal-penggal tentang Timor-Leste tersebut lantas
muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah pengalaman pribadi saya dan teman-teman
JRS yang tidak utuh tentang perjuangan masyarakat Timor-Leste untuk bebas dari
Indonesia bisa saya jadikan “bahan mentah” testimoni lapis kedua untuk mengungkap
meneliti pengalaman teman-teman JRS tentang ingatan dan peristiwa masa lalu yang terkait
dengan tragedi kemanusiaan yang dialami oleh manusia-manusia di Timor-Leste.
Selain itu, saya tidak bisa menyingkirkan fakta bahwa saya telah terlibat di lembaga
JRS tersebut dalam waktu yang cukup lama. Meskipun keterlibatan saya dalam
program-program pendampingan pengungsi Timor-Leste tidak lebih dari satu bulan. Setelahnya saya
berpindah tugas untuk mendampingi para pengungsi korban konflik di Ambon, Maluku.
Namun demikian, berbagai komunikasi dan kontak langsung dengan teman-teman JRS
yang mendampingi pengungsi Timor-Leste terus berlangsung baik lewat media e-mail, sms,
telpon dan terlebih lewat pertemuan-pertemuan formal yang dilakukan oleh JRS Indonesia
sendiri. Pengalaman itu membuat saya masih bisa mengikuti perkembangan penanganan
pengungsi Timor-Leste yang dilakukan oleh teman-teman JRS.
Dari situ itu, saya merasa bahwa pengalaman teman-teman JRS sangatlah berharga
sebagai bahan dasar penelitian tentang (politik) ingatan yang didasarkan pada pengalaman
trauma dan identitas mereka selama melayani para pengungsi korban konflik. Karenanya,
dalam penelitian ini saya menggunakan instrumen atau alat pengumpulan data dengan
melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) langsung dengan para pekerja kemanusiaan JRS Indonesia yang pernah melakukan program rekonsiliasi dan repatriasi
bagi pengungsi atau penyintas asal Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999. Wawancara
dengan teman-teman JRS tersebut menjadi sumber primer dalam penelitian tesis ini.
Pekerja kemanusiaan JRS yang menjadi nara sumber primer saya ada 11 (sebelas)
orang, yaitu:
1. Andrea Suswandari Kusumaning Tyas, mantan Manajer Keuangan JRS Nasional,
2. Diana Wahyuni, manta staf lapangan JRS Betun, diwawancarai di Jakarta, 23 Juni
2011.
3. Y. Edi Mulyono SJ, mantan Direktur Nasional JRS Indonesia, diwawancarai di
Jakarta, 22 Juni 2011.
4. Fransiskus Asisis Widanto, mantan Info-Officer JRS Atambua, diwawancarai di
Yogyakarta, 5 Agustus 2011.
5. Nita Indriastuti, mantan staf lapangan JRS Betun, diwawancarai di Jakarta, 22 Juni
2011.
6. Philipus Yusenda, mantan Direktur Proyek JRS Timor Barat, diwawancarai di
Yogyakarta, 26 September 2011.
7. Philus Yanuarto, mantan staf JRS Kupang, diwawancarai di Jakarta, 23 Juni 2011.
8. Prihamangku Setioadi, mantan Koordinator JRS Atambu, diwawancarai di Jakarta,
23 Juni 2011.
9. Sr. Velerie PI, mantan staf lapangan JRS Atambua, diwawancarai di Semarang, 12
Desember 2011.
10.Theresia Kushardini, mantan staf lapangan JRS Betun, diwawancarai di
Yogyakarta, 11 Agustus 2011.
11.Wawan Probo Sulistyo, mantan staf JRS Betun, diwawancarai di Yogyakarta, 7
Agustus 2011.
Untuk memperkuat pengumpulan data dan informasi tersebut, saya juga melakukan
sekunder. Sumber sekunder yang saya gunakan untuk mendukung penelitian saya adalah
sebagai berikut:
1. Dokumen-dokumen laporan JRS yang terkait dengan program repatriasi dan
rekonsiliasi yang dibuat oleh para staf JRS Timor Barat dari tahun 1999-2004.
2. Buku Jembatan Air Mata, Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur, Sindhunata (Ed.), (Yogyakarta: Galang Press, 2003).
3. Dokumen Chega!, Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste atau CAVR (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconcilicao de Timor-Leste), Ringkasan Eksekutif, Volume I-V, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010).
4. Dokumen Per Memoriam Ad Spem, Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor-Leste. Dilengkapi dengan Laporan Konsultan,
(Jakarta: ELSAM, 2010).
5. Buku Pembantaian Timor Timur, Horor Masyarakat Internasional, karangan Joseph Nevins, (Yogyakarta: Galang Press, 2002).
6. Buku ”If You Leave Us Here, We Will Die”, How Genocide Was Stopped in East Timor, karangan Geoffrey Robinson, (New Jersey: Princeton University Press, 2010).
7. Rekaman acara Jounalist On Duty, Program Metro TV, direkam pada 21 September 2011.