Membela dan memperjuangkan prinsip-prinsip kemanusiaan sebenarnya juga bentuk
perlawanan dari kolonisasi naluri kematian. Dari sudut pandang ini keterlibatan bersama
korban-korban kekerasan, seperti halnya yang dilakukan oleh para pekerja JRS yang
mendampingi para pengungsi Timor-Leste, sebenarnya juga mengalami kolonisasi atas
naluri kematian. Tidak dalam arti yang sangat keras, dorongan keterlibatan ini merupakan
kegairahan untuk menonton keganjilan yang diperlihatkan oleh massa. Massa yang
menikmati saat naluri kematian menemukan korbannya.
Para pekerja kemanusiaan ini bukanlah bagian dari korban, bukan pula dari pelaku
kekerasan, namun menjadi bagian dari kerumunan massa yang menonton sebuah tragedi
kekerasan masif. Pada momen tertentu, mereka tidak sekedar menjadi penonton, namun
mengambil keputusan untuk berada di tepian “samudera penderitaan” yang menjadi dampak dari kekerasan yang brutal dan masif. Melalui “jalan berputar” yang berliku, mereka tidak sampai pada keputusan untuk menjadi penikmat saat tragedi kekerasan itu
terjadi, namun mengambil langkah berbalik untuk menghentikan naluri kematian tersebut.
Namun demikian, keganjilan yang dilakukan oleh massa yang berkerumun saat melihat
korban sudah terlanjur mengenai tubuh-tubuh para penonton ini.34
Kerumunan para penonton seperti itu dilukiskan oleh Elias Canetti (dalam W. Tufan,
2007) sebagai massa yang meratap. Massa ini dikategorikan sebagai kumpulan atau
kerumunan. Mereka sedang menjadi penonton tubuh-tubuh yang sedang meregang
menghadapi kematiannya. Kematian yang mengerikan karena di tengah kekerasan yang
34
dilakukan oleh sesamanya sendiri sebagai manusia. Peristiwa kematian itu membuat para
penonton ini tidak merasa jijik atau enggan untuk melihatnya, namun justru sebaliknya
membangkitkan sebuah gairah tertentu. Keganjilan akan tubuh korban yang menderita telah
membangkitkan gairah yang luar biasa. Apakah para pekerja kemanusiaan ini juga
mengalami kegairahan yang sama? Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa mereka menjadi
bagian dari penikmat peristiwa kekerasan yang mematikan, namun justru kalangan ini
berbalik arah untuk “menghentikan” proses kolonisasi naluri kematian itu ke dalam kesadaran menghargai kehidupan.
Namun kenyataan bahwa naluri kematian yang masif itu telah menimbulkan
kegairahan, kiranya menjadi sebuah kenyataan yang sulit ditolak, karena peristiwa
kecemasan, ketakutan, permusuhan, dan munculnya tubuh-tubuh manusia yang saling
mengasingkan diri siap menjadi pemangsa, sebenarnya memicu adrenalin siapa saja yang
berada di tengah kerumunan massa tersebut. Tidak bisa diingkari juga bahwa saat
berhadapan dengan peristiwa-peristiwa kritis dan tidak menentu, para pekerja kemanusiaan
JRS ini terpacu adrenalinnya. Ada keberanian yang luar biasa disuntikkan untuk tetap
bertahan dalam peristiwa kecemasan itu, meskipun sikap itu secara rasional mengancam
dan akan menghancurkan keberadaan dirinya sendiri. Peristiwa ini dialami oleh
Prihamangku saat harus bersikap terhadap situasi kritis menghadapi para pengungsi dan
milisi Timor-Leste yang mengamuk di Atambua dan membakar staf UNHCR. Demikian
tuturannya,
“Kita kan punya HT, kita buka channel-nya tentara, karena kita dekat dengan seorang tentara yang bernama Pak Yoseph. Dia ini dekat dengan JRS, sering main ke JRS. Dikatakannya bahwa dia akan memantau. Jadi isinya hanya
memantau-memantau saja…rombongan besar datang ke Atambua dengan membawa
panjang, pedang panjang…pakai pakaian hitam-hitam dengan ikat kepala…Betul Ndre, tampaknya datang benar…tapi ya itu kelihatan banyak sekali, ratusan bahkan ribuan, membawa parang semuanya. Saya main game, ah biarkan saja…toh sudah
tidak bisa berbuat apa-apa…itu kan urusannya tentara. Tentara yang menghalangi, karena kita tidak memiliki kemampuan untuk itu…mendengar suara Pak Yoseph,
mereka sedang menuju ini..menuju alun-alun, mereka berputar-putar…yah hanya
begitu, hanya memantau saja…setelah itu, ternyata saya mendengar…mereka di
alun-alun, di tempatnya kantornya UNHCR dekat alun-alun…saya mendengar dari situ…karena begitu banyaknya, maka para milisi sudah campur dengan warga…akhirnya saya keluar kantor dengan pakain preman. Tidak
kelihatanlah…saya lupa dengan siapa. Saya terus mau mengapa? Daripada jadi perkara, saya pulang ke kantor saja. Ternyata Andre juga keluar untuk memantau.
Sampai kantor saya main game lagi…lalu mendengar staf UNHCR dibunuh…ya begitu saja…tiga orang dibakar hidup-hidup…dipantau saja begitu, tanpa tindakan
apa-apa dari tentara. Dibiarkan saja…Mengapa hanya memantau saja, apa yang
mereka lakukan? Tidak ada yang dilakukan sampai tiga orang UNHCR dibakar hidup-hidup dan dirusak kantornya, tiga orang itu diseret ke depan lalu tiga orang itu dibakar hidup-hidup. Saya dengar dari teman yang pergi dengan Andre dan
Andre datang tampak agak pucat…campur aduklah perasaannya…Romo Andre
dituding oleh salah seorang, tidak jelas siapa, “Ini berikutnya!!!”…wajahnya kan seperti wajah asing, Filipin, pokoknya wajah asinglah…saya tidak tahu persis, tapi
begitulah. Andre kan direktur Asia Pacific, Edi Direktur Nasional, dan saya
Koordinator Atambua…Andre datang, saya masih tetap main game. Tapi kan terus muncul isu kantor-kantor LSM akan di-sweeping. Saya tenang saja, pegangan saya adalah religius tidak akan diapa-apakan karena kita bertindak atas nama gereja.
Cari uang bukan, tidak seperti LSM yang lainnya…Terus Andre bilang ke saya,
“Kamu tidak ada pikiran untuk evakuasi?” “Tidak”, dengan santai banget saya menjawabnya. “Kenapa?”, tanyaku. Jawab Andre, “Kalau melihat situasi ini perlu
evakuasi…” Pegangan saya, secara moral dan psikologis, mereka tidak akan melakukan tindakan fisik kepada para religius…Tapi Andre terus bilang,
“Tidaklah Amang, saya takut terhadap teman-teman yang lain…””35
Hidup di tengah kepungan kecemasan yang tidak menentu seperti itu seringkali juga
menimbulkan berbagai sikap paranoid. Hal ini bisa dijadikan bukti bahwa fakta kekerasan
yang telah membuat tubuh-tubuh beracun akibat kekerasan tersebut telah bermutasi pada
berbagai sikap di kalangan pekerja kemanusiaan. Sikap paranoid ini di satu sisi bisa
dipahami, namun di sisi lain juga menyingkap sebuah kenyataan bahwa para pekerja
kemanusiaan JRS harus bertarung terus menerus dengan ketidakpastian tentang
35
keselamatan dirinya sendiri. Dalam situasi seperti ini, persoalan sepele bisa mengancam
diri mereka sendiri. Seperti dikisahkan oleh Nita Indriastuti tentang taruhan ayam dengan
seorang benggol milisi (pengungsi). Demikian kisahnya,
“Ada hal yang lucu kalau ngomonging ketua atau orang-orang pentingnya kamp
ya…suatu saat..waktu itu mau ulang tahunnya Timor Timur..pertama atau kedua
ya..saya lupa…ulang tahun kemerdekaan kedua…waktu itu Philip sebagai
Koordinator West Timor…kan JRS diundang untuk menghadiri ulang tahun di sana…orang-orang JRS yang lama ikut ke sana, dan yang di Betun tinggal saya dan
Dina. Nimus pun ikut mengantar…sebelum teman-teman berangkat...biasa kami kunjungan kamp gitu ya atau nganterin surat…saya lupa bapak siapa namanya..sayangnya saya lupa…saya pergi ke tempat itu…saya dan Dina ini kan lugu…sama-sama lugu gitu lho…semangat boleh tinggi, tapi lugunya juga tinggi…kita ngobrol dengan bapak itu…terus bapak itu bilang. “Kamu tahu tidak, besok itu saat perayaan ulang tahun Timor-Leste yang berkibar adalah bendera merah putih.!!”, kata bapak itu. “Ah mana mungkin bapak”, kami menjawab. “Eee..Potong tangan saya”, kata bapak itu. “Wah jangan main
potong-potongan…,” kami menimpali. “Benar yang berkibar bendera Merah Putih, kita dari sini akan menyusup ke sana”, dia bilang gitu. “Dan kamu tahu, nanti saat mereka merayakan kemerdekaan dan disorot bendera merah putih yang
berkibar…saya akan bungkus satu mobil dengan bendera merah putih dan saya akan keliling Betun,” kata bapak itu penuh semangat. “Gak mungkinlah
bapak…mana mungkin itu bendera merah putih,” kami membantah. Bagi dia itu mungkin sekali, karena gerakan bawah tanahnya masih berusaha mereka kembali ke Indonesia. Itu mungkin sekali…lalu kita jelasin, di sana itu yang berkibar itu
benderanya PBB dan benderanya Timor-Leste. Di sana itu pasukan PBB banyak, dan saat ulang tahun itu sudah pasti seluruh pasukan PBB akan bersiaga. Apalagi tamu-tamu negara… “Merah putih mbak,” dia bilang dengan sangat yakin…sampai akhirnya dia bilang, “Kita taruhan sudah...” bapak itu mengajak
taruhan. “Wadoh..”, seru kami. “Potong tangan saya kalau bukan merah putih,”
bapak itu masih berikeras. “Saya gak berani pak main potong-potongan”, kami
menegaskan.…kalau gak tangan kita yang dipotong… “Baik pak kita taruhan tapi jangan main potong-potongan,” kami menawar. “Apa taruhannya?”, seru bapak itu. “Kalau bendera Timor-Leste yang berkibar, bapak kalah dan bapak kasih ayamnya bapak saja, kita makan ayam”, usul kami. “Boleh”, begitu kata bapak. “Kalau ternyata bendera merah putih, bapak ke rumah kamilah, ambil ayam,” lanjut kami. “Boleh-boleh,” begitu ungkapan setuju dari bapa itu. Sampai rumah mikirlah kita. Din gimana Din kalau entar bendera merah putih..Kita cerita sama
Philip nih…Kita pikir Philip dan teman-teman lain saya kira akan tertawa…di
-pisuh-pisuhi malah… Lah kok kamu nekad, taruhan sama milisi? Semua teman -teman yang cowok itu, bilang pekok-pekok…aku dan Dina bilang kan nggak
mungkin Phil… Kata Philip, itu semua bisa terjadi, apa yang diomongin bisa terjadi, apa yang dia omongin bisa jadi benar. Akhirnya Philip mengeluarkan intruksi, demi keamanan kami, pada saat malam menjelang ulang tahun kemerdekaan Timor-Leste, Betun dikosongkan…Barang-barang biarkan saja,
laptop dan data-data penting dibawa…kami harus ke Atambua, karena dari
Atambua kalau ada apa-apa bisa lari ke Kupang bisa lebih mudah…”36
Kisah Nita ini menggambarkan perkara yang sangat sepele, di situasi yang normal,
seharusnya hal ini tidak akan menimbulkan ketakutan. Namun, di tengah kecemasan yang
terus menerus mencengkram kesadaran, tampak bahwa persoalan sepele bisa menimbulkan
reaksi-reaksi yang begitu serius dan memompa denyut jantung semakin bertambah cepat.
Para pekerja JRS, atas inisiatif koordinator JRS, akhirnya harus mengevakuasi diri ke
Kupang. Keputusan untuk mengevakuasi diri bisa diterima sebagai tindakan paranoid,
namun juga dalam kaca mata akal sehat hal itu harus dilakukan. Kisah Nita ini menjadi
signifikasi bahwa hidup berdampingan dengan para korban kekerasan politik, sebenarnya
bergerak dalam pilihan untuk menggunakan akal sehat dan intuisi.
Kebenaran obyektif menjadi sangat nisbi dan partikular. Tidak ada yang benar-benar
bisa memberikan jaminan akan akurasi sebuah kalkulasi akal sehat, namun juga tidak bisa
dikatakan bahwa intuisi selalu mengatakan yang salah tentang sebuah peristiwa yang akan
terjadi. Namun demikian kita tidak menutup mata bahwa seringkali kali akal sehat terlalu
banyak tereduksi oleh kecemasan-kecemasan, ketidakmenentuan, ketakutan, dan kengerian
akibat berhadapan dengan tubuh-tubuh yang tercabik-cabik oleh massa yang dikendalikan
oleh naluri kematian. Dan ini merupakan metamorfosis yang tidak bisa ditolak, bahwa
pekerja kemanusiaan JRS itu sendiri akhirnya mengalami kecemasan, ketakutan, kengerian
yang sama seperti halnya dialami oleh para pengungsi. Mereka sebenarnya berada pada
titik singgung dalam ruang yang hampir serupa yakni kolonisasi naluri kematian.
36
Di tengah kolonisasi naluri kematian seperti itu, mereka harus melakukan program
rekonsiliasi dan repatriasi. Program ini vital dan penting, karena tidak ada jalan lain untuk
menghentikan naluri kematian, selain mencarikan penawar bagi tubuh-tubuh yang sudah
teracuni oleh feses kekerasan. Program rekonsiliasi dan repatriasi menjadi ruang untuk
mempertemukan kembali tubuh-tubuh yang sudah tercerai berai oleh konflik kekerasan.
Sulit rasanya di antara para pengungsi Timor-Leste sendiri muncul keberanian kembali
untuk menatap tubuh yang lain, tanpa adanya middle voices atau suara antara yang menyambung komunikasi mereka yang terhalang oleh tembok perasaan sebagai liyan (the other) yang saling mengasingkan satu sama lainnya. Program rekonsiliasi dan repatriasi bukanlah perkara yang mudah untuk dijalankan. Lewat program ini berbagai upaya untuk
menghilangkan perasaan takut yang luar biasa untuk bertemu tubuh yang sudah merasa
asing satu sama lain harus tetap dilakukan dalam segala keterbatasannya. Membuat
tubuh-tubuh yang asing tersebut kembali bertemu dengan habitatnya sehingga terjadi sebuah
proses pencairan trauma. Peran para pekerja kemanusiaan JRS adalah sebagai middle voices
di antara dua kelompok manusia yang tubuhnya sudah saling terasing satu sama lainnya.
Dalam kerangka berpikir LaCapra, proses pencairan trauma terjadi saat seseorang
bisa mengubah situasi ketiadaan menjadi kehilangan dan melankolia menjadi ratapan.
Kehilangan berarti kembali ke masa lalu, namun bukan sebuah penemuan kosong yang tak
tergantikan, melainkan sebuah pengalaman harapan akan menemukan “sesuatu” yang lain. Pengalaman kehilangan bukan sebuah pengalaman akan kehancuran total atas kolonisasi
kematian, melainkan harapan untuk menemukan naluri kehidupan. Hilang tidak sama
dengan tiada. Hilang selalu diartikan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mungkin
manusia tahu bahwa “sesuatu” yang menjadi milik di dalam dirinya lenyap dan tidak lagi melekat pada dirinya, namun ada keyakinan bahwa ia akan menemukannya kembali.
Dalam konteks kekerasan masa lalu, banyak manusia telah mengalami kehilangan
banyak tubuh-tubuh yang dulu adalah kerabat, tetangga, saudara, teman, dan lain
sebagainya. Pengalaman itu juga membuat para penyintas (survivors) berada dalam keterasingan dengan tubuh-tubuh lain yang sama-sama masih hidup, karena mereka
kehilangan perasaan akrab, bersahabat, kewajaran dalam relasi dan lain sebagainya.
Memang tubuh-tubuh yang telah mati oleh proses kekerasan telah tiada dan tidak mungkin
mereka temukan lagi karena telah menjadi hancur oleh proses kimiawi, namun ingatan akan
tubuh-tubuh itu lewat ratapan memampukan mereka menemukan kembali sesuatu yang
telah hilang dalam ingatan.
Ratapan akan mereka yang hilang, mengingatkan bahwa tubuh-tubuh mereka ternyata
berharga. Proses mengingat ini selanjutnya menimbulkan dorongan bagi mereka untuk
mencairkan perasaan traumatis, terasing dan teralienasi oleh tubuh-tubuh lainnya.
Pekerjaan seperti inilah yang dinamakan rekonsiliasi. Rekonsiliasi sulit dilakukan kalau
tidak ada penengah atau suara antara (middle voices). Maka dalam konteks ini, middle voices berperan membuka jalan ke arah rekonsiliasi dengan melanjutkan ratapan akan tubuh-tubuh yang hancur oleh konflik-kekerasan. Hal inilah yang terus digulati oleh pekerja
kemanusiaan JRS di tengah para pengungsi Timor-Leste.
Maka dalam konteks tragedi Timor-Leste pasca 1999, repatriasi sebenarnya mustahil
dilakukan tanpa rekonsiliasi. Repatriasi bisa berjalan, jika rekonsiliasi dilakukan. Pekerjaan
ini tidak semudah untuk membakar kerumunan massa dengan berbagai provokasi
butuh ketelatenan dan kesabaran yang luar biasa, karena mengajak banyak orang
menyatukan kembali kepingan-kepingan kesadaran akan keberadaan yang lain sebagai
tubuh-tubuh yang harus dihargai kemanusiaannya. Tentu saja pekerjaan ini lebih sulit
ketimbang menghancurkan relasi kemanusiaan antar mereka. Persoalannya, rekonsiliasi ini
dilakukan di tengah mereka yang tubuhnya sudah terkontaminasi oleh massa yang telah
bermutasi menjadi monster-monster yang begitu buas, maka para pekerja kemanusiaan ini
harus berusaha bagaimana kebuasan itu tidak lagi operasional dalam kesadaran diri mereka.
Sentuhan-sentuhan yang lebih personal sifatnya sangat diperlukan di sini.
Saat para pekerja kemanusiaan JRS ini menyentuh tubuh-tubuh yang menjadi
tumpukan feses dan luka oleh berbagai kekerasan, mau tidak mau mereka harus menjadi
jamban. Menjadi jamban bagi mereka yang telah melakukan kejahatan bukanlah perkara
yang gampang dilakukan. Namun di satu sisi, pekerjaan ini dimotivasi oleh naluri
kehidupan. Meskipun dorongan ini juga menimbulkan berbagai simtom neurosis, namun
berujung pada sikap yang sangat berbeda, yakni agresivitas positif. Agresif untuk lepas dari
jerat naluri kematian. Maka untuk mendapatkan narasi yang otentik, middle voices harus menjadi bagian dari feses dan luka dari pengalaman kekerasan tersebut. Seperti dinarasikan
oleh Navita dalam catatan hariannya demikian,
“Dalam salah satu buku karangan Henri Nouween ternyata ada bacaan yang cocok dengan refleksiku ini: “Frequently prison makes us think about freedom, hunger helps to appreciate food, and war gives us words for peace.” Di tanah Timor-Leste kita bisa katakan: kemerdekaan membuat kita berpikir untuk lebih bertanggungjawab, bekerja keras atas anugerah kebebasan yang telah susah payah diperjuangkan. Kepalsuan, dendam, dan harga diri yang tinggi membuat kita lebih ingin mencari makna ketulusan, kerendah hatian, dan kerelaan untuk memaafkan. Mungkinkah itu, wahai Timor-Leste?”37
37
Dalam suatu persimpangan yang sulit, pengalaman traumatis harus juga dilawan
dengan keberanian untuk masuk ke dalam pengalaman trauma kolektif tersebut. Jika
kekerasan itu merupakan tindakan kolektif, maka akibat dari kekerasan masa lalu itu pun
berakibat pada trauma kolektif. Menjadi sesuatu yang sangat unik apa yang dilakukan oleh
para pekerja JRS untuk mencairkan trauma kolektif tersebut justru dengan menekankan
tindakan personal. Proses rekonsiliasi menjadi sangat panjang dan memakan waktu karena
tidak bisa dilakukan secara kolektif. Pasca kekerasan yang membuat manusia mengalami
ketiadaan kolektif yang sangat emosional, waktu akan mendorong manusia untuk surut dan
menarik diri dari pengalaman negatif tersebut. Karena pada dasarnya pengalaman negatif
tersebut telah membuat diri manusia mengalami ketakutan dan kengerian. Pengalaman
tersebut tidak mau diulangi lagi, namun masih sulit untuk dilepaskan dari jeratan masa lalu.
Maka, waktu memberi andil para penyintas dan pelaku tindak kejahatan untuk
berjarak dengan pengalaman kolektifnya. Manusia kembali pada kesadaran paling dasar,
yakni bahwa dirinya tidak berdaya berhadapan dengan tindakan kolektif kekerasan yang
baru saja mereka lakukan dan alami. Saat seperti inilah, massa menjadi mencair dari
legitimasi kolektifnya masuk ke dalam kesunyian individu. Maka, kita selalu ditatapkan
pada kenyataan bahwa proses rekonsiliasi tidak secepat seperti membakar manusia untuk
marah dalam tindakan kolektifnya. Itu berarti bahwa mencairkan emosi-kompulsif
membutuhkan waktu lebih panjang dari pada menyulutnya kembali menjadi api kemarahan
yang destruktif.
Kegairahan sebagai penonton yang terlibat sebagai middle voices sebenarnya menjadi kunci penting untuk menyurutkan pengalaman traumatis yang masih terus diikat oleh
untuk menyaksikan keganjilan tindakan manusia dalam melakukankan kekerasan,
melainkan mendampingi manusia-manusia yang sedang merekonstruksi kesadarannya
untuk menjadi manusia yang normal kembali. Ini merupakan kegairahan yang positif.
Kegairahan seperti ini justru tidak dialami dalam dimensi yang bersifat kolektif, karena
kolektivitas telah menjadi bagian dari trauma yang menakutkan. Maka JRS dengan para
pekerjanya lebih memilih untuk mengubah tindakan kolektif yang melegitimasi kekerasan
menjadi tindakan personal untuk menyatukan tubuh-tubuh yang tercerai berai tersebut
lewat proses rekonsiliasi dan narasi personal. Narasi-narasi personal ini yang diharapkan
berkembang secara gradual menjadi kesadaran rekonsiliatif-kolektif dan bangkitnya
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam momen inilah proses trauma kolektif mencair dan pengalaman abnormal
menjadi normal. Sejalan dengan itu Budi Hardiman (2005) menerangkan sebagai berikut,
“Lalu apa itu detraumatisasi? Dan, bagaimana? Bisakah suatu kelompok menghilangkan bekas traumatis yang melekat dalam ingatan kolektifnya? Torehan itu, yaitu ketakutannya, kebenciannya, rasa malunya dan seterusnya – bagaimanapun- menjadi bagian dari identitas kolektif kelompok itu. Massa tidak hanya ingin bebas dari luka-luka sejarahnya; rasa sakit yang muncul darinya juga ingin dirasakannya lagi dan lagi, karena dengan cara itulah identitas kolektif terbentuk. Medium untuk itu adalah narasi. Tetapi, persis di dalam narasi inilah torehan-torehan traumatis itu ditafsirkan. Dengan cara itu pula yang lewat direlakan. Narasi di sini bukan sekedar pelestarian ingatan, melainkan juga suatu teknik untuk menanggulangi masa silam, suatu cara untuk merelakan yang lewat. Dalam narasi mengingat dan melupakan saling jalin menjalin. Studi-studi sejarah, dokumentasi peristiwa-peristiwa negatif, monumen-monumen dan seterusnya, tidak sekedar menghadirkan yang silam, melainkan juga merelakan dan mengatasinya. Lewat ingatan akannya yang silam itu direlakan. Karena itu, detraumatisasi tidak dapat terjadi lewat melupakan, karena jika demikian, ingatan yang ditekan itu suatu kali akan muncul kembali. Detraumatisasi adalah tindak merelakan. Dan merelakan melampaui mengingat dan melupakan. Dia adalah suatu