• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lumpuhnya penegakan hukum sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan dan

tradisi sistematis penggelapan fakta dan bukti yang dilakukan oleh rezim masa lalu.

Tindakan itu terus dilakukan sebagai cara untuk menutupi semua warisan kekerasan dan

kejahatan kemanusiaan selama rezim tersebut berkuasa. Karenanya, saat sejarah

(historiografi) selalu ditekuk dan dipelintir untuk kepentingan rezim berkuasa, biasanya

juga terjadi banyak hambatan dalam mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan.

Pilihannya akan jatuh pada kompromi politik. Sikap ini merupakan cara paling populer

untuk menghindar dari persoalan dasar dan sama sekali bukan penyelesaian terhadap

warisan kekerasan, pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu.

Priscilla B. Hayner (2005) mengatakan bahwa hukum (proses peradilan dan

pengadilan) seringkali tidak mampu menyelesaikan secara tuntas dan memuaskan dalam

mencari solusi terhadap kekerasan yang berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan

masa lalu warisan rezim totaliter-otoriter dan perang saudara. Demikian tulisnya,

“Dunia kini tampaknya menghadapi masalah keadilan dan pertanggungjawaban secara terus-menerus, baik setelah akhir rezim militer atau pemerintahan represif, atau setelah perang saudara. Telah menjadi jelas bahwa terdapat sejumlah besar hal yang timbul dari kondisi-kondisi tersebut yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan oleh pengadilan – bahkan bila badan peradilan bekerja dengan baik, dan tidak ada batasan dalam menghukum para pelaku kejahatan, yang jarang ditemui. Banyak pendekatan alternatif dan komplementer mengenai pertanggungjawaban secara perlahan-lahan dikembangkan. Kebutuhan konkret para korban dan komunitas yang dirusakkan oleh kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan penuntutan, selain memberikan sedikit kelegaan bila para pelaku tersebut dibuktikan bersalah. Kondisi-kondisi institusional atau kemasyarakatan yang memungkinkan kekerasan besar-besaran untuk terjadi – struktur militer, peradilan atau perundang-undangan yang seharusnya membatasi tindakan pejabat, misalnya – bisa tidak berubah meskipun pemerintahan berganti menjadi lebih demokratis dan kurang menindas. Banyak pertanyaan tetap tidak terjawab, tentang apa yang terjadi pada masa penindasan, dan ketegangan

antar-komunitas tetap ada, malah semakin parah, jika diabaikan begitu saja.”1

1

Priscilla B. Hayner, Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Jakarta: Elsam, 2005, hal. 22.

Sebuah laporan evaluasi yang dibuat oleh KontraS dan International Center for Transitional Justice (ICTJ), yang berjudul “Keluar Jalur/Derailed” (2011), menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh Hayner tersebut. Tentang penanganan

pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste dalam laparoan tersebut

dituliskan demikian:

“Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang merupakan komisi bilateral Indonesia dan

Timor-Leste untuk pelanggaran HAM di Timor Timur tahun 1999, menggelar sejumlah dengar pendapat publik (public hearing) yang bermasalah karena orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan diberi peluang untuk menghadirkan versi berbeda yang tak terbantahkan dihadapan media nasional. Meski begitu, Komisi ini menemukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, perkosaan, dan penyiksaan memang dilakukan oleh kelompok milisi dengan dukungan dan keterlibatan militer, polisi dan otoritas sipil Indonesia. Diterimanya laporan Komisi ini oleh Presiden dari kedua negara menunjukkan pergeseran dramatis sikap pemerintah Indonesia yang sebelumnya menyangkal tanggung jawab atas kekerasan di Timor Timur. Namun, penerimaan laporan tersebut diduga bukan dilakukan sebagai upaya positif menuju pertanggungjawaban atas kejahatan yang terjadi, tapi lebih

sebagai perjanjian „bawah tangan‟ untuk menutup pintu keadilan atas kekerasan di Timor Timur. Sehingga mengabaikan hak-hak korban sebagaimana dijamin dalam hukum

internasional.”2

Lebih lanjut, laporan evaluasi tersebut mengungkapkan juga kegagalan negara dalam

melakukan “keadilan transisi” yang meliputi empat bidang pokok yaitu: pengungkapan kebenaran, proses peradilan, reparasi dan reformasi sektor keamanan. Kegagalan-kegagalan

ini tentu saja membuat frustasi dan turunnya harapan yang besar bagi pencari kebenaran

dan keadilan, seperti penggiat HAM, dan terutama bagi para korban kekerasan atau

penyintas. Mereka pasti sangat merindukan “kebenaran dan keadilan” tersebut bisa benar -benar disambungkan antara “logika dan perasaan”. Dalam situasi ini kita melihat betapa

2

ICTJ (International Center for Transitional Justice) dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Keluar Jalur, Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soeharto, Laporan bersama ICTJ dan KontraS, Jakarta: ICTJ dan KontraS, Maret 2001, hal. 3.

hukum benar-benar lumpuh. Lantas, apakah hal itu menyurutkan berbagai upaya untuk

mengungkapkan kebenaran dan keadilan pada kasus-kasus kekerasan dan kejahatan

kemanusiaan seperti yang terjadi di Timor-Leste? Tentu saja tidak, meskipun rasanya

“kelumpuhan hukum” tersebut membuat perjuangan ke arah tersebut seperti jalan di tempat.

“Kelumpuhan hukum” tersebut apakah buah dari pembangunan yang dilakukan oleh rezim (militer) Orde Baru di Timor-Leste? Sebagai fakta sejarah yang tidak terbantahkan,

selama 24 tahun rezim (milter) Orde Baru membangun “fisik” Timor-Leste, namun sekaligus juga merusak dan menghancurkan kehidupan “psikis”-nya selama 24 tahun invasi rezim (militer) Orde Baru di wilayah tersebut. Joseph Nevins (2008) dalam bukunya

“Pembantaian Timor Timur, Horor Masyarakat Internasional” menggambarkan bagaimana kekerasan diwujudkan sebagai ungkapan sifat kekanak-kanakan rezim (militer)

Orde Baru. Legalisasi kekerasan dalam proses alih kekuasaan di Timor-Leste pada tahun

1999 benar-benar telah membuat hukum lumpuh.

Joseph Nevins menggambarkan proses alih kekuasaan tersebut dengan menyitir

tuturan Ramos-Horta demikian:

Jose Ramos-Horta sebelumnya memandang teror itu sebagai pelaksanaan dari ancaman lama pihak Indonesia, “Sebelum penarikan [Indonesia] mereka mau menimbulkan kehancuran

luas dan destabilisasi seperti yang mereka janjikan”, jelasnya pada 2 Februari 1999. “Kami

terus-menerus mendengarnya selama bertahun-tahun dari tentara Indonesia di Timor Timur. Mereka mengatakan kepada rakyat kami bahwa jika suatu hari mereka harus pergi mereka

akan menghancurkan seluruh Timor Timur.”3

3

Joseph Nevins, Pembantaian Timor Timur, Horor Masyarakat Internasional, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hal. 112-113.

Ancaman tentara Indonesia itu benar-benar mereka penuhi setelah sebagian besar

rakyat Leste memilih untuk merdeka dari Indonesia. Proses kemerdekaan

Timor-Leste menjadi sebentuk bongkah besar kekerasan yang kembali ditimpakan kepada

pengalaman sejarah rakyat Timor-Leste. Cengkraman kekerasan yang menakutkan itu

terlukis lewat ungkapan perasaan seorang (rakyat) perempuan setengah baya yang ditemui

Joseph Nevins menjelang dilaksanakannya Jajak Pendapat 1999. Demikian tulisnya,

“Perempuan setengah baya itu dengan sangat bersemangat menggenggam tangan kami erat-erat dan berkata, “Terima kasih banyak atas kedatangan di sini untuk membantu kami mendapatkan hak asasi manusia kami.””4

Ungkapan seorang (rakyat) perempuan itu bukan

sebuah ungkapan tanpa dasar yang klise. Ungkapan itu meringkas narasi kekerasan dan

kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Leste selama 24 tahun.

Laporan Chega! memaparkan berbagai macam data empiris-kualitatif dan analisis statistik-kuantitatif sebagai inti laporan untuk mengungkap kebenaran tentang kekerasan

dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Leste selama rentang tahun 1974-1999.

Laporan ini merupakan hasil penyelidikan dan penelitian CAVR (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao/Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi) yang sangat mendalam dan luas tentang berbagai bentuk kekerasan, kejahatan terhadap

masyarakat sipil dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh TNI dan juga

Falintil/Fretilin. Rangkuman penting dari laporan ini mengungkap tiga kategori besar

pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Leste, yaitu pelanggaran fatal, pemindahan dan

pelanggaran non-fatal.

4

Pelanggaran fatal yang dilaporkan oleh CAVR berupa pembunuhan, penghilangan

dan kematian karena kelaparan atau sakit yang dilakukan secara sistematis. Komisi

menyebutkan bahwa batas minimal warga Timor-Leste yang mati selama konflik ada

102.800 (+/- 12.000) penduduk sipil.5 Jumlah tersebut diperoleh dari perkiraan jumlah

korban yang mati karena dibunuh secara tidak sah atau hilang ada 18.600 (+/- 1.000)6 dan

jumlah korban yang mati sebagai dampak kelaparan dan penyakit ada 84.200 (+/- 11.000)

orang.7 Pembunuhan dan kematian karena kelaparan dan sakit terjadi dalam periode awal

invasi 1975 dan 1980. Sedangkan pembunuhan mencapai angka yang paling tinggi pada

tahun 1999 yaitu 2.634 (+/- 626). 8

Perkiraan pola-pola dan besarnya jumlah kematian di atas dihimpun oleh CAVR

dengan menggunakan tiga sumber data asli, yaitu:9

1. Basis data pelanggaran hak asasi, Human Rights Violations Database (HRVD) yang berisi cerita naratif dari 7.669 deponen mengenai pelanggaran yang mereka

derita atau mereka saksikan pada periode 1974-1999. Narasi ini juga termasuk

informasi mengenai kematian karena deprivasi atau kekurangan (makanan dan

obat-obatan) dan pembunuhan penduduk sipil.

5

Lihat Chega! Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsililasi Timor-Leste (CAVR), Buku Panduan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2010, hal. 12.

6

Lihat Chega! Volume I, 2010, hal. 530. 7

Lihat Chega! Volume I, 2010, hal. 530. 8

Lihat Chega! Volume I, 2010, hal. 530. 9

2. Survei tingkat kematian retrospektif (RMS) yang merekam sejarah kematian

dengan sampel probabilitas dari 1.396 rumah tangga. Di setiap rumah tangga, dua

orang dewasa dipilih secara acak. Untuk responden laki-laki, orang tua dan

saudara kandung responden tersebut juga dicatat, termasuk apakah mereka masih

hidup atau sudah mati. Jika mereka sudah mati, tanggal, tempat, dan cara

kematiannya juga didata.

3. Menyelenggarakan sensus perkuburan umum yang mendokumentasikan lebih

daripada 319.000 batu nisan. Metode ini disebut GCD (Graveyard Censcus Database).

Komisi menegaskan bahwa pola dan kecenderungan kematian dan kelaparan dan

sakit serta pembunuhan berkorelasi secara positif dalam lintas waktu. Hal ini menandakan

bahwa ada sebuah sebab pokok terkait dengan masa awal konflik yang terjadi di

Timor-Leste. Pembunuhan dan penghilangan yang dilaporkan kepada CAVR menyebutkan bahwa

57,6% (2.947/5.120) keterlibatan pelaku pelanggaran fatal dikaitkan dengan militer dan

polisi Indonesia dan 32,3% (1.654/5.120) dilakukan oleh pasukan pembantu asa

Timor-Leste (seperti para milisi, pasukan pertahana sipil, dan pejabat lokal yang bekerja dalam

pemerintahan Indonesia).10

Menurut lapaoran CAVR, pemindahan secara luas dilaporkan sebanyak 2.011 kasus

dalam rentang tahun 1974 dan 1999. Dari situ dapat diketahui bahwa 55,5% dari rumah

tangga yang disurvei melaporkan satu kali atau lebih mengalami peristiwa pemindahan.

10

Kasus paling besar pemindahan terjadi antara 1975 dan 1980. Paling banyak terjadi

peristiwa pemindahan pada tahun 1975 dan 1976, dengan data berurutan 61.400

(+/-13.300) dan 59.800 (+/- 7.200). Jumlah pemindahan pada tahun 1999 jauh lebih sedikit,

kira-kira 28.100 (+/- 5.600) peristiwa. CAVR menjelaskan bahwa lembaga atau kelompok

yang sering menyuruh mereka pindah adalah militer Indonesia (46,6%), diikuti oleh

Fretilin/Falintil (15,0%), dan kelompok milisi (8,8%). Sebagian besar responden (52,3%)

mengatakan bahwa konflik merupakan motivasi mereka harus mengalami peristiwa

pemindahan dan dipaksa oleh militer Indonesia sekitar 16,3%.11

Sedangkan pelanggaran non-fatal menyangkut tindakan penahanan, pengancaman,

penganiayaan, dan penyiksaan. Laporan CAVR menyebutkan bahwa 83,6% (9.303/11.123)

diderita oleh korban yang ditahan selama masa konflik. Pelanggaran yang sering terjadi

dalam penahanan adalah penyiksaan (46,9%: 4.267/9.094), penganiayaan (30,8%:

2.798/9.094), dan pengancaman (7,0%: 634.9.094). Dibandingkan dengan seluruh

penduduk Timor-Leste, laki-laki paruh baya mengalami tingkat tertinggi bentuk-bentuk

pelanggaran nonfatal. Sedangkan pelanggaran seksual sebagian besar dialami oleh

perempuan yakni 90,2% (769/853).12

CAVR juga menunjukkan bahwa perbedaan nyata dalam pola pertanggungjawaban

pelanggaran nonfatal antara 1975 dan 1998 jika dibandingkan dengan pelanggaran nonfatal

yang terjadi pada tahun 1999. Antara tahun 1975 dan 1998, 51,7% (11.658/22.547)

11

Lihat Chega! Volume I, 2010, hal. 531. 12

tindakan penahanan sewenang-wenang dikaitkan dengan tindakan militer Indonesia.

Prosentase tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan oleh

pasukan pembantu asal Timor-Leste atau gabungan keduanya, prosentasenya hanya 8,4%

(1.897/22.457). Namun, pada tahun 1999 CAVR melaporkan bahwa 75,7% (2.104/2.779)

dari tindak penahanan sewenang-wenang dilakukan oleh pasukan bantuan Timor-Leste atau

kolaborasi dengan militer dan polisi Indonesia. Selain itu, 19,2% (534/2.779) tindak

penahanan yang berhasil didokumentasikan pada 1999 terkait hanya dengan militer

Indonesia.13

Ringkasnya, selain tiga kategori besar pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan

di Timor-Leste, CAVR memerinci secara lebih detail berbagai bentuk pelanggaran selama

invansi Indonesia di Timor-Leste sebagai berikut:14

1. Pemindahan paksa dan kelaparan,

2. Pembunuhan tidak sah dan penghilangan paksa,

3. Penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan,

4. Kekerasan seksual,

5. Pengadilan politik,

6. Pelanggaran hak anak-anak,

7. Pelanggaran hukum perang,

8. Pelanggaran hak warga sipil terhadap hak ekonomi dan sosial.

13

Lihat Chega! Volume I, 2010, hal. 532. 14

CAVR memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa berbagai bentuk kategori

kekerasan, kejahatan dan pelanggaran HAM tersebut dilakukan dengan sengaja, sistematis

dan dengan tujuan-tujuan yang sangat politis.

Dari situ, ada sebuah pertanyaan yang mencuat, apakah data, bukti, dan fakta yang

cukup jelas sudah bisa digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, mewujudkan keadilan

bagi para korban, dan menuntut pertanggunjawaban bagi para pelaku? Jawabannya masih

negatif, karena pengungkapan kebenaran tidak selalu diikuti oleh penyelesaian yang adil.

Dokumentasi yang dilakukan oleh CAVR dalam laporan Chega! bukan merupakan sebuah titik akhir dari proses penyelesaian dari berbagai bentuk pelanggaran HAM berat dan

kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste di masa lalu. Laporan Chega! yang dibuat oleh CAVR harus dipandang dan ditempatkan sebagai langkah awal untuk

memperjuangkan keadilan bagi para penyintas dan menuntut pertanggungjawaban para

pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-Leste.

Pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang memiliki mandat untuk

penyelesaian warisan kekerasan dan kejahatan bekas rezim yang berkuasa bukan menjadi

penjamin untuk segera menuntaskan berbagai efek negatif yang terjadi pada masa lalu.

Kebenaran yang bisa diungkap merupakan titik awal untuk proses panjang perjuangan

untuk mencapai keadilan. Rachel Sieder (dalam Nigel Bigar (Ed.), 2001) mengatakan

bahwa kebenaran untuk mengungkap tindakan jahat dan pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh rezim otoriter-militeristik seringkali tidak diikuti oleh keadilan. Sieder menuliskan

demikian:

“Governmental and nongovernmental perspectives on how to address the problem of past

violations of human rights have often conflicted: while most transitional regimes have broadly endorsed the view that some kind of truth telling constitutes a valuable contribution

to national reconciliation, they have rejected putting those responsible for human rights violations on trial, claiming that this would prejudice the democratic transition. By contrast, many human rights activists have argued that while uncovering the truth constitutes an important form of sanction in itself, alone it is insufficient. From this latter perspective, investigations without at least some measure of legal accountability and punishment of those responsible in effect means the institutionalization of impunity, with detrimental

consequences for strengthening the rule of law.”15

Dari penjelasan Sieder dimengerti bahwa betapa sulitnya data, bukti dan fakta yang

sudah terungkap dalam laporan Chega! langsung menjawab keadilan formal-legal sebagai bentuk penegakan hukum. Laporan Chega! sebenarnya sudah memberikan gambaran yang sangat jelas dan detail tentang siapa sebenarnya pelaku dalam kekerasan dan kejahatan

masa lalu di Timor-Leste, namun hukum tidak pernah berhasil menyeret mereka untuk

bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Bahkan saat laporan Chega! akan disebarkan ke hadapan publik, Juwono Sudarsono yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri

Pertahanan Indonesia menuduh CAVR telah mengisahkan kembali cerita-cerita lama yang

telah digunakan pada masa lalu yang tujuannya adalah menjelek-jelekkan Indonesia.16

Ungkapan Juwono Sudarsono menggambarkan secara tepat sikap para pelaku pelanggaran

HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste. Tidak ada penyesalan, justru sikapnya

adalah sebaliknya, mempersalahkan pihak-pihak yang berpihak pada korban. Sieder

mengatakan sikap demikian sebagai “legacy of violence.”

Senada dengan hal itu, Judith Herman (dituliskan oleh Joseph Nevins, 2008)

menyatakan demikian:

15

Lihat Rachel Sieder, War, Peace, and the Politics of Memory in Guatemala, dalam Nigel Biggar (Editor), 2001, hal. 184.

16

“Untuk menghindari pertanggungjawaban atas kejahatannya, pelaku melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk melupakan. Kerahasiaan dan kebungkaman adalah garis pertahanan pertama pelaku. Kalau kerahasiaan gagal, pelaku menyerang nama baik korbannya. Kalau tidak bisa membungkamnya, ia berusaha memastikan bahwa tidak ada orang yang mendengarkan suara korbannya. Untuk tujuan ini, ia mengumpulkan banyak argumen, dari pengingkaran terang-terangan sampai rasionalisasi yang paling canggih dan indah[...]”17

Kembali ke masa lalu yang dibebani oleh persoalan kekerasan dan kejahatan

kemanusiaan massal, menjadi sangat problematis karena selalu diwarnai oleh pertarungan

akan ingatan. Pihak penguasa atau siapa saja yang mewakili kekuasaan negara akan

bertindak sebagai orang-orang yang terus berupaya untuk melupakan atau membungkam

segala kejahatan dan kekerasan massal yang sudah mereka lakukan pada masa lalu.

Sedangkan pihak korban dan orang-orang yang peduli kepada korban akan terus mengoyak

kebungkaman itu sebagai bentuk tuntutan atas pertanggungjawaban kepada para penguasa

dan pelaku atas tindakannya yang sudah menghancurkan hak-hak hidup para korban.

Dalam pertarungan wacana akan ingatan masa lalu tersebut, pelaku dan korban selalu

bertahan pada perspektif kepentingan mereka masing-masing.

Mereka seringkali terjebak pada sistematika bahasa yang sebenarnya tidak pernah

bisa dipertemukan dalam ruang ingatan yang sama.Tarik menarik kepentingan politis dan

hasrat untuk mempertahankan diri sebagai kelompok yang paling benar dalam sebuah

tragedi kejahatan massal membuat wacana ingatan masa lalu tidak terkomunikasikan

dengan jujur. Para pelaku kekerasan dan kejahatan pada masa lalu lebih suka untuk

melupakan dan membiarkan apa yang terjadi pada masa lalu sebagai artefak yang harus

disimpan dalam gudang kerahasiaan. Sedangkan para korban menginginkan agar masa lalu

17

diungkap secara terbuka dan akuntabel. Karenanya, wacana tentang kekerasan dan

kejahatan masa lalu dalam bingkai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebenarnya

tidak menganut logika linear.

Logika linear tidak bisa diterapkan karena jaringan para aktor yang terlibat dalam

persoalan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan massal masa lalu sangat beragam dan

kompleks. Kompleksitas peran dan kepentingan para aktor bisa mencakup wilayah dan

kepentingan politik yang sangat luas, mulai dari lingkup nasional sampai dengan

internasional. Aktor-aktor yang berkepentingan pun sangat beragam, mulai dari para pelaku

yang mengatasnamakan otoritas negara, NGO (non-government organization), kelompok-kelompok para korban, para penggiat HAM, dan tentu saja seluruh komponen dari

masyarakat sipil.

Karenanya, penyelesaian kekerasan dan kejahatan HAM masa lalu, tidak bisa parsial,

namun harus lintas sektoral dan komprehensif. Hanya saja, hambatan datang dari hegemoni

sejarah resmi pihak penguasa yang masih sangat dominan dalam mengintervensi ruang

interpretasi dan wacana publik. Hal ini menjadi hambatan besar dalam interpretasi dan

representasi sejarah masa lalu. Oleh karena itu, ingatan menjadi kunci yang sangat penting

dalam dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah resmi tersebut.

Dalam konteks Timor-Leste pasca Jajak Pendapat tahun 1999, interpretasi sejarah

yang dominan dan keliru seringkali berpengaruh pada pemberitaan dan representasi

Timor-Leste di hadapan publik nasional dan internasional. Dominasi sejarah resmi versi Indonesia

sangat berpengaruh terhadap cara para pemimpin negara-negara adikuasa

pernah menyebutkan TNI atau tentara Indonesia sebagai pihak yang bersalah dalam setiap

jengkal kekerasan dan kejahatan yang terjadi di Timor-Leste dari tahun 1975-1999. Dan

juga tidak ada satu pun yang secara eksplisit menyebutkan bagaimana tentara Indonesia

harus bertanggungjawab terhadap tragedi kemanusiaan yang begitu kejam di Timor-Leste.

Rakyat Timor-Leste sepertinya tidak ada artinya dalam wacana dan komoditas politik

tingkat tinggi, baik dalam lingkup domestik dan internasional.

Jebakan dominasi interpretasi tersebut juga sangat berpengaruh dalam cara pandang

para jurnalis dalam memberitakan dan menuliskan tentang Timor-Leste. Wacana tentang

Timor-Leste diinterpretasikan sepihak yang didasarkan pada sejarah versi penguasa

Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pejabat negara dan juga media-media

internasional sebenarnya lebih mencari rasa aman atau benar-benar tidak cukup mengerti

persoalan yang sebenarnya terjadi di Timor-Leste karena manipulasi sejarah yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Atau, kalau keterlibatannya begitu kuat, misalnya

seperti Amerika Serikat, para pemimpinnya akan berkelit dan menghindar dari tuntutan

tanggung jawab moral terhadap semua peristiwa kekerasan dan kejahatan kemanusiaan

yang telah melumat hak hidup sebagian besar warga Timor-Leste.

Wacana yang berkembang dalam ruang publik, dikatakan oleh Joseph Nevins,

akhirnya merupakan sebuah pelanggengan mitos-mitos tentang Timor-Leste. Dan mitos itu

mengalami reifikasi sedemikian rupa sehingga sangat mudah dan enak untuk menjadi

santapan komoditas politik. Demikian tulisnya,

“Ingatan sejarah”, tulis wartawan Chris Hedges, “dibajak oleh pihak-pihak yang

melakukan perang. Mereka berusaha, ketika ingatan bertentangan dengan mitos,menghapuskan atau menyembunyikan bukti yang mengungkapkan mitos sebagai kebohongan. Penghancuran ini meluas, dibantu oleh pihak yang berkuasa, termasuk media, yang menirukan slogan-slogan dan eufemisme-eufemisme yang diulang-ulang oleh pihak

yang kuat.” Pengamatan ini tidak hanya berlaku untuk pihak-pihak yang secara langsung melakukan perang tetapi juga relevan untuk praktik politik luar negeri umumnya. Jadi, dalam kasus keterlibatan dalam invasi Indonesia dan perang terhadap Timor Timur, media

cenderung lebih sering “membeo pihak yang kuat”. Representasi yang terdistorsi mengenai

masa lalu yang dihasilkannya terus menang. Memang representasi ini dominan dalam kehebohan tidak lama peliputan media yang meliputi perayaan kemerdekaan Timor Timur

pada Mei 2002.”18

Lebih lanjut untuk menerangkan bagaimana media internasional merepresentasikan

tentang masalah Timor-Leste, Joseph Nevins menuliskan demikian,