Kalimat-kalimat bertebaran dalam ruang kepala saya begitu saja menjadi dialog
pribadi saya bersamaan dengan melihat program Journalist on Duty yang ditayangan oleh Metro TV. Namun yang membuat otak dan psike saya pada malam itu menjadi semakin panas adalah pernyataan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno (bekas Kasad (1986-1988), Anggota
MPR, panglima ABRI (1988-1993), Wakil Presiden RI (1993-1998) yang menjadi salah
satu snapshot dalam tayangan tersebut. Dia mengatakan demikian,
“Maknanya adalah tetap melihat masa depan, kita jangan melihat masa lalu. Masa lalu finish, selesai, tutup, yang penting masa depan ini harus kita buka dengan suatu kerjasama yang erat sehingga saling menguntungkan dan bisa mensejahterakan rakyatnya masing-masing.”2
Saat terjadi insiden berdarah di perkuburan Santa Cruz, tanggal 12 November 1991,
Jenderal (Purn.) Try Sutrisno menjabat sebagai Panglima ABRI. Dia menyatakan sikapnya
sehari setelah peristiwa tersebut dengan mengatakan bahwa TNI memang harus menembak
para demonstrans karena situasi menjadi sangat kacau dan tidak terkontrol. Dia mendukung
tentara untuk menembaki para demonstrans yang sebagian besar adalah para pemuda
Timor-Leste. Beberapa bulan setelahnya, Mayor Jenderal Mantiri, sebagai Komandan
Daerah Militer, menegaskan dan membenarkan pernyataan Panglima ABRI tersebut.
Tindakan tentara bukanlah sebuah kesalahan dan sudah tepat karena demonstrasi itu
melawan pemerintah. Para demonstrans adalah bagian dari para pemberontak yang
meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah RI seperti hidup Fretilin, hidup Falintil dan
hidup Xanana. Dalam menanggapi aksi demonstrasi itu, Jenderal Mantiri berpandangan
bahwa tidak ada yang aneh kalau mereka ditembak karena sudah melawan pemerintah.
Dalam konteks TNI dibawah rezim Orde Baru, melawan pemerintah Orde Baru selalu
identik dengan komunis. Itu berarti sah untuk ditumpas dan dibinasakan.3
Jenderal (Purn.) Try Sutrisno yang waktu itu melegalkan pembantaian di Santa Cruz
tersebut, sekarang ini mungkin mengalami pertentangan dengan apa yang seharusnya
menjadi tanggungjawabnya sebagai manusia dan tidak sekedar sebagai mantan Panglima
ABRI. Dia mengatakan bahwa peristiwa masa lalu tersebut sudah selesai dan harus ditutup.
Namun pernyataan itu mengandung sebuah nada yang di dalamnya ada kegentaran yang
begitu kuat untuk disembunyikan. Tentu pernyataan itu mengindikasikan betapa masa lalu
baginya adalah sebuah momok yang sangat menakutkan karena menyangkut identitas
dirinya sebagai bagian yang mensahkan tindakan kejahatan. Demikian juga dengan
pernyataan Xanana Gusmao (mantan komandan Fretilin), dalam konferensi persnya
bersama dengan Menteri Pertahanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro, dia mangatakan
bahwa “….perang tidak menyelesaikan masalah sama sekali…!”4
Tidak ada pernyataan yang menunjukkan bahwa dia adalah bekas pejuang
(combatant) yang pernah ditangkap oleh TNI dan dipenjara di Jakarta. Dalam perjuangannya tersebut ribuan rakyat Timor-Leste menjadi korban. Hal itu sama sekali
tidak meluncur dari mulut Xanana Gusmao. Adegan lain yang lebih “menggelikan”, namun
3
Geoffrey Robinson, “If You Leave Us Here, We Will Die”, How Genocide Was Stopped In East Timor,” Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2011, hal. 67.
4
semakin membuat panas otak, adalah penyerahan barang-barang milik Xanana selama
dipenjara di Jakarta, ada baju loreng, satu bendel uang rupiah, dan barang-barang lain.
Barang-barang milik Xanana itu diberikan oleh Panglima TNI, Agus Martono, bersamaan
dengan sepucuk senjata laras panjang otomatis. Semua adegan hampir dikuasai oleh
simbol-simbol militerisme. Tidak ada satu teks (signifiant) dalam program itu yang menyebut tentang ribuan korban dari kalangan masyarakat sipil Timor-Leste. Mungkin
reporter atau pembuat skenario di Metro TV lupa bahwa di Timor-Leste pernah terjadi
tragedi kemanusiaan yang begitu mengerikan.
Dalam acara penyerahan tersebut, Menteri Perdagangan dan Industri, Mari Elka
Pangestu (bekas peneliti CSIS) juga hadir. Tidak ada pernyataan, selain hanya mengumbar
senyum. Pernyataan pers resmi dari Indonesia dilakukan oleh Menteri Pertahanan, Purnomo
Yusgiantoro. Pernyataannya tidak jauh berbeda dari penguasa-penguasa Indonesia pada
umumnya, yakni menutup masa lalu dan menatap masa depan. Sebuah “tanda” yang sangat menggelitik dan menarik untuk dikaji mengapa “bahasa” para pejabat dan mantan pejabat Indonesia hampir selalu seragam yaitu berkeinginan untuk mengubur masa lalu tentang
Timor-Leste dan lebih baik menatap masa depan.
Semakin hal itu dikatakan berulang kali oleh para mantan pejabat (militer) Indonesia,
semakin menunjukkan petanda (signifie) bahwa persoalan masa lalu di Timor-Leste tidak akan pernah selesai dengan mengubur masa lalu. Peristiwa masa lalu antara Timor-Leste
dan Indonesia masih menjadi beban sejarah bagi kedua negara. Namun beban yang tidak
seimbang, yakni antara korban dan pelaku. Oleh karena itu, tidak mudah untuk
mekonkritkan harapan politis para pejabat dan mantan pejabat Indonesia: apakah benar
Selain (mantan) pejabat Indonesia, dan juga mereka yang bukan warga Timor-Leste,
ada banyak orang Indonesia yang sangat dekat dengan peristiwa traumatis masyarakat
Timor-Leste yang menjadi korban tragedi kemanusiaan. Kelompok itu adalah para pekerja
kemanusiaan dari berbagai lembaga kemanusiaan yang pernah bekerja untuk memberikan
pendampingan kemanusiaan di Timor-Leste dan Timor Barat. JRS (Jesuit Refugee Service)
Indonesia adalah salah satunya. Bukan sebuah kebetulan, para pekerja kemanusiaan ini
pada saat saya melakukan penelitian ini sedang berbincang lewat jejaring sosial Facebook
untuk mengadakan reuni (temu kangen).
Mereka berencana untuk berkumpul di Angkringan Alumni JRS Indonesia.
Angkringan ini hanyalah penamaan saja, tempat sebenarnya adalah sebuah “mini café” yang bernama Saung Jogya, milik salah satu mantan pekerja JRS Indonesia yang berada di
Taman Kuliner, Condong Catur, Yogyakarta. Seperti biasa, para (mantan) pekerja JRS
selalu berceloteh sana-sini menunjukkan sebuah keakraban. Membawa ingatan (masa lalu)
yang masih mengikat bahasa komunikasi mereka. Menariknya, ada salah satu mantan
pekerja JRS, Diana Wahyuni menuliskan begini dalam undangan di Facebook tersebut,
“Halo semua….! Pengen ikut kumpul2 tapi tanggal segitu kayaknya masik capek,
heheh…btw, bisa tolong temenku ngga, siapa yang masih punya atau tahu dimana arsip foto
JRS tahun 1999-2000, karena temenku perlu foto-foto pengungsi di stadion haliwen, ada teman yang ngebantuin riri riza bikin film dokumenter tentang pendidikan dan ada bagian tentang pendidikan anak-anak eks-pengungsi timtim. Mereka perlu 3-5 foto pengungsi kamp stadion haliwen. Mbak Yeni Kristanti sebagai eks info officer bisa bantu kah? Ini buat Mas
Nug Katjasungkana.”5
Dari tulisan mantan JRS di Facebook ini, kita mendapatkan signifiant lain, bahwa masa lalu tentang Timor-Leste tidak atau belum dikuburkan dan dilupakan. Setidaknya, kita
menangkap bahwa ada gerakan-gerakan yang terus mencoba untuk “mengingat” bahwa
5
persoalan Timor-Leste belumlah selesai. Tidak seperti pernyataan Jenderal (Purn) Try
Sutrisno yang ingin segera mengubur dan menyelesaikan persoalan Timor-Leste di masa
lalu. Dua perspektif signifiant yang sangat kontras dan juga akan berujung pada makna serta pembangunan budaya yang juga sangat berbeda.
Apakah memang pengalaman masa lalu harus ditutup? Mengapa ada orang yang
merasa begitu mendesak untuk “menutup” dan “menyelesaikan” secara terburu-buru semua
masa lalu Timor-Leste? Dan dengan menutup masa lalu, apakah masa depan benar-benar
terbuka bagi masyarakat Timor-Leste? Para (mantan) pejabat tinggi (militer) Indonesia,
cenderung tidak mau menarasikan masa lalu tentang Timor-Leste. Hal ini sangat bisa
dipahami. Menarasikan masa lalu bagi para (mantan) pejabat tinggi (militer) Indonesia,
sama saja membuka “aib” yang sangat beresiko bagi posisi mereka sebagai (mantan) pejabat (militer) negara dan pertanggungjawaban mereka atas masa lalu.
Namun tidak sekedar sebuah pertaruhan “jabatan”, menarasikan masa lalu mengandung sebuah tuntutan terhadap identitas mereka sebagai manusia. Tidak ada satu
pun dari kalangan (mantan) pejabat (militer) tinggi Indonesia yang ingin dirinya diberi
stigma sebagai “penjahat”. Kejahatan yang mereka lakukan, sebenarnya sudah menjadi sebuah bayang-bayang yang menakutkan bagi mereka untuk menarasikan masa lalu.
Dengan demikian, menutup jendela masa lalu sebenarnya meninggalkan perkara tentang
tidak terselesaikannya kejahatan terhadap kemanusiaan. Imajinasi tentang kemanusiaan
dikunci oleh situasi traumatis. Para pelaku tetap terperangkap dalam sebuah ruang imajinasi
yang gelap dan tidak pernah menjernihkan bagaimana sebuah tindak kejahatan harusnya
Maka dalam arti sangat khusus, masa lalu juga selalu menghadirkan bayang-bayang
traumatis terhadap pelaku. Jika, para pelaku bisa dijerat oleh bayang-bayang traumatis,
maka kita semua bisa membayangkan betapa sulit para penyintas (survivors) untuk bisa segera lepas dari situasi tersebut. Bagaimana mungkin masa lalu terus ditutup dan
diselesaikan dengan sebuah narasi yang sangat pendek? Masa lalu mengandung kekayaan
dan kekuatan naratif yang tidak sekedar dikatakan dengan “selesai”, “finish”, “tutup” dan seterusnya. Karenanya Martha Minow (1998) menuliskan demikian,
“Traumatized people imagine that revenge will bring relief, even though the fantasy or revenge simply reverses the roles of perpetrator and victim, continuing to imprison the victim
in horror, degradation, and the bounds of the perpetrator’s violence. By seeking to lower the
perpetrator in response to his or her infliction of injury, does the victim ever master the violence or instead become its tool? Satisfaction may never come. We should avoid hatred
and revenge.”6
Ada dua hal yang selalu menakutkan tentang masa lalu yaitu “kebencian” dan “dendam”. Dua hal ini melesak masuk dalam ruang dan lingkaran traumatis tentang masa lalu. Kedua aspek yang sangat kompulsif-emosional ini menjadi semakin menguat karena
masa lalu menjadi bagian dari lingkaran kekerasan yang belum atau sulit ditemukan ujung
penyelesaiannya. Kita bisa melihat bahwa narasi pendek yang disukai oleh para (pejabat)
militer Indonesia tentang masa lalu di Timor-Leste disebabkan karena mereka tidak ingin
membangkitkan trauma mereka terhadap kenyataan sosial yang diwarnai oleh “kebencian” dan “dendam”. Hanya saja, (pejabat) militer dan segala atribut yang melekat di dalamnya menjadi faktor dari munculnya “kebencian” dan “dendam” tersebut.
6
Martha Minow, Between Vengeance and Forgiveness, Facing History after Genocide and Mass Violence, 1998,Boston: Beacon Press. hal. 13.
Kedua hal itu pernah begitu hidup di tengah kekerasan yang sangat masif di
Timor-Leste dan (pejabat) militer Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi tersebut. Oleh karena
itu, jika kedua hal itu memang masih terus hidup sebagai bagian dari spiral kekerasan yang
belum terputus, maka benarlah bahwa hal itu tidak kondusif untuk membangun masa
depan. Maka sulit diterima dalam nalar-rasional, bagaimana menyelesaikan masa lalu
hanya dengan menutup dan mengubur peristiwanya, tanpa adanya political will untuk menyelesaikan dan bertanggungjawab atas semua kejahatan yang terkandung di dalamnya.
Namun, spiral kekerasan yang masih menyimpan kebencian dan dendam tidak pernah
benar-benar selesai hanya dengan tanggapan pragmatis (politis). Persoalan itu hanya bisa
dikembalikan ke dalam kesadaran nalar-rasional, saat bisa dibuka ke dalam komunikasi
secara terbuka di ranah publik. Ruang publik menjadi penting untuk membuka persoalan
masa lalu agar tidak terus ditunggangi oleh bayang-bayang traumatis yang berisikan
kebencian dan dendam. Meskipun seperti kata Martha Minow (1998) bahwa hal itu tidak
bisa selalu memberi kepuasan (juga penyelesaian), namun mengkomunikasikan dalam
ruang publik bisa memberikan jalan bagi para penyintas kekerasan (survivors) untuk membuka peluang mendapatkan “keadilan retributif dan restoratif.”
Maka dalam konteks tersebut, apa yang dilakukan oleh Diana Wahyuni memiliki
signifikasi yang penting bagi persoalan dan masa lalu pengungsi Timor-Leste. Sebagai
salah satu mantan staf JRS, dia telah mengabarkan lewat facebook bahwa persoalan pengungsi Timor-Leste akan dijadikan tema sebuah film dokumenter yang dikerjakan oleh
Riri Riza. Program ini jelas menjadi salah satu cara menghadirkan kembali berbagai upaya
untuk mempertahankan agar persoalan masa lalu tentang Timor-Leste tetap bertahan dalam
Bagi para pekerja kemanusiaan, narasi tentang masa lalu Timor-Leste tidak
dipandang sebagai hal yang menakutkan sehingga harus segera ditutup dan diselesaikan,
tetapi justru diangkat kembali agar menjadi signifiant bagi siapa saja yang ingin melihat tentang kehidupan para pengungsi Timor-Leste. Dengan demikian, masa lalu belumlah
selesai, namun menemukan bentuk kekuatannya untuk mengukir sejarah di masa depan.
Ucapan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno yang menekankan bahwa masa depan lebih penting
dari pada masa lalu, merupakan bentuk pelarian dari tanggung jawab dan sama sekali tidak
melihat betapa berharganya kembali ke masa lalu untuk menata masa depan. Ucapan Sang
Jenderal tersebut jelas diwarnai oleh sebuah ketakutan politis tentang masa lalu.
Masa depan tidak bisa dibangun tanpa sebuah pengenalan sejarah masa lalu. Masa
depan akan lebih baik, jika masa lalu dinarasikan dengan benar dan jujur. Persis di sini
letak perbedaannya, bagi Diana Wahyuni apa yang dia tulis atau ucapkan tentu tidak sangat
berpengaruh bagi keputusan politis di tingkat elit, namun tulisan dan ucapan itu
memberikan perspektif yang jelas tentang kembali ke masa lalu sebagai bagian yang jernih
tanpa dibayang-bayangi oleh ketakutan. Sedangkan ucapan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno
jelas memberikan dampak pada keputusan-keputusan politis dalam lingkaran elit penguasa
Indonesia, namun masih dibalut oleh sebuah kesadaran kompulsif yang penuh ketakutan
tentang masa lalu.
Diana Wahyuni sepertinya tidak memiliki beban yang begitu menakutkan, saat harus
kembali ke masa lalu tentang Timor-Leste. Baginya masa lalu tentang Timor-Leste
merupakan pengalaman simpati dan empati yang mendalam tentang para pengungsi dan
manusia-manusia yang telah menjadi korban kebrutalan kekuasaan dan politik di
pekerja kemanusiaan JRS lainnya, masa lalu menyimpan kekuatan untuk membangkitkan
kembali berbagai nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental untuk merenda masa depan.