Dalam buku Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, J. Sudarminta (2002) menerangkan bahwa ingatan dan kesaksian sangat penting bagi pembentukan
pengetahuan. Dia menjelaskan bahwa ingatan dimengerti sebagai kemampuan manusia
untuk memanggil kembali pengalaman indrawi. Sedangkan kesaksian dimaksudkan sebagai
penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian atau peristiwa dan diajukan
kepada orang lain untuk (di)percaya.
1
Di sini kata “percaya” dimaksudkan sebagai menerima sesuatu sebagai benar
berdasarkan keyakinan akan kewenangan atau jaminan otoritas orang yang memberi
kesaksian. Pengalaman indrawi langsung dan ingatan pribadi mengenai suatu peristiwa atau
fakta tidak selalu kita miliki. Akan tetapi, kita bisa mempercayai kebenaran tentang suatu
peristiwa masa lalu lewat kesaksian orang lain. Dan sangat menarik yang dikatakan oleh
Sudarminta bahwa masyarakat manusia tidak pernah bisa berjalan kalau manusia tidak
pernah menerima dan mempercayai kesaksian orang lain. Karenanya, jika warga
masyarakat sudah kehilangan kepercayaan satu sama lain, maka hidup bersamanya akan
menjadi kacau.2
Ingatan dan kesaksian menjadi pilar pokok pengetahuan sosial. Dalam konteks ini,
ada persoalan yang sangat mendasar yaitu apakah kekerasan dan pelanggaran HAM berat
masa lalu masih bisa menempati jalur logikanya yang benar. Alih-alih mencari logika yang
benar, kita berhadapan pada kenyataan yang justru sebaliknya, apa yang bisa dikatakan
sebagai kesalahan logis bisa menjadi kebenaran dan sebaliknya apa yang dikatakan sebagai
kebenaran logis bisa disalahkan secara mutlak. Karenanya rekonsiliasi tidak bisa tanpa
pengungkapan kebenaran dan harus didasarkan pada keadilan. Jika tanpa keduanya, maka
rekonsiliasi hanya sekedar sebagai alat politik untuk menutup persoalan masa lalu. Inilah
kenyataan paling menyakitkan yang dialami oleh para korban pelanggaran HAM berat
masa lalu.
Seperti dituturkan oleh Arief Priyadi (dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre,
2003), bapak dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, korban penembakan tragedi
2
Lihat, J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 31-43.
Semanggi I saat bercerita tentang pengalamannya mencari kebenaran bagi anaknya. Apa
yang dialaminya justru membuka kenyataan bahwa logika kebenaran tidak berpihak
kepadanya. Dia mengalami sendiri bahwa abnormalitas jalan pikiran manusia sering dia
temukan dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan. Korban justru sering diadili dan
dituduh sebagai pihak yang disalahkan. Demikian dituturkan oleh Bapak Arief Priyadi,
“[…] Apalagi pelaku pelanggaran HAM selama berlangsungnya pemerintahan Republik
Indonesia adalah aparat militer. Bila hal ini akan diundangkan mereka akan berusaha sekuat tenaga menghapus substansi tentang perlunya pengungkapan kebenaran. Mereka akan langsung pada istilah rekonsiliasi seraya melupakan masa lampaunya. Pada akhirnya akan banyak hambatan yang muncul dari sini. Pengalaman pribadi dalam upaya mencari kebenaran terhadap kasus yang menimpa Wawan (anak saya) saja menghadapi banyak kendala. Padahal sudah banyak cara yang kami lakukan bersama teman-teman LSM dalam melakukan tuntutan, mulai dari demonstrasi, audensi dan cara-cara lainnya. Segala risiko yang menyakitkan sudah kami alami.
Paling tidak ada tiga hambatan utama yang akan kita hadapi nantinya. Hambatan pertama
kami hadapi adalah pada pertengahan bulan November 1998 di mana kita semua mendengar pernyataan Jenderal Wiranto yang menyatakan tidak ada aparat militer yang melakukan penembakan dengan menggunakan peluru tajam. Ini merupakan tingkat paling awal, yang mana penguasa melakukan rekayasa penutupan kasus. Hambatan kedua adalah lemahnya sistem peradilan di negara kita, yang menyebabkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan militer hanya Puspom TNI yang berhak untuk menangani persoalan tersebut. Padahal peradilan militer merupakan tempat persembunyian paling aman bagi kalangan militer yang telah melakukan tindak kejahatan. Sehingga, mereka tidak dapat diadili di peradilan umum. Hambatan ketiga adalah sebagai mana masa transisi di negara lain, aparat keamanan akan melakukan tindakan pengingkaran terhadap apa yang telah mereka perbuat. Mereka akan saling menutupi dan menyangkal segala tindakan yang telah dilakukan oleh korp, bahkan tidak jarang terjadi pola lempar tanggung jawab. Penembakan itu belum tentu dilakukan oleh kalangan militer, demikian jawaban yang selalu mereka lontarkan.”3
Pengalaman Bapak Arief Priyadi tersebut merupakan bentuk kesaksian dan testimoni
dari korban. Kesaksian dan testimoni seperti itu secara tepat bisa diaplikasikan juga bagi
para korban kekerasan negara dalam tragedi berdarah di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat
tahun 1999. Korban yang mengalami sakitnya penyalahgunaan kekuasaan justru menjadi
3
kelompok yang paling sulit untuk mendapatkan kebenaran. Bahkan yang lebih ironis dan
tragis, malah mereka ini seringkali harus mengalami stigma sebagai kelompok yang paling
bersalah dan negatif. Korban adalah pesakitan di negara penuh para preman (centeng) yang
berusaha mengelak dari tuduhan kejahatan dan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam konteks pendudukan Indonesia di Timor-Leste, para preman (centeng) yang
membela negara itu lebih tampak dan jelas. Seperti apa yang digambarkan oleh Herminia
Mendes, salah seorang penyitas dalam pembantaian di Gereja Liquica pada 6 April 1999
seperti berikut ini,
“[…] Pada pukul 9 pagi, pada 6 April, Eurico Guteres dan anak buahnya datang ke kantor gereja di Liquica untuk berbicara dengan Padre Rafael dan Padre José. Kami mendengar bahwa, selama pertemuan itu Eurico Guterres mengatakan bahwa dia akan mengajukan sebuah permintaan kepada Bupati Leoneto Martins. Eurico mengatakan bahwa jika Leoneto memenuhi tuntutan milisi, maka milisi akan membiarkan para warga untuk pulang ke rumah dengan aman. Tetapi pertemuan Eurico dengan Leoneto tidak menghasilkan jaminan itu.
Pada awalnya Brimob tiba seolah untuk menyelamatkan orang-orang. Kenyataannya, Brimoblah yang justru memulai tembakan. Sekitar jam satu siang, Milisi Besi Merah Putih bersama polisi dan militer menyerang gereja. Kemudian mereka melepaskan tembakan ke udara guna memberikan sinyal kepada milisi untuk memasuki gereja, dan kemudian mereka mulai menembaki orang-orang. Dengan mengenakan topeng yang menutupi wajah mereka, milisi dan militer kemudian menyerang dengan kapak, pedang, pisau, bom, dan senjata api. Polisi menembak kakak lelaki saya, Felix dan milisi membacok saudara-saudara sepupu saya, Domingos, Emilio, serta seorang bayi berusia 8 bulan[…]”4
Kesaksian Herminia Mendes ini jelas mengungkapkan sebuah fakta atas kebenaran
bagaimana aparat negara yang mendukung milisi melakukan tindak pelanggaran HAM dan
kejahatan kemanusiaan. Namun, kebenaran yang sudah terang benderang terungkap di
depan mata, belum tentu bisa menjadi dasar untuk menuntut tanggung jawab aparat militer
(negara) yang terlibat dalam peristiwa pembantaian tersebut. Dalam konteks tersebut, maka
4
dasar-dasar epistemologis menjadi hancur lebur dan terjadi sesat logika yang berjalan terus
dalam ruang dan ingatan publik.
Maka, seperti dikatakan oleh Sudarminta, jika masyarakat kehilangan kepercayaan
terhadap peran kesaksian dan testimoni sebagai pondasi akan kebenaran (juga terhadap
pengetahuan) manusia, maka yang terjadi adalah kekacauan. Inilah letak paling mendasar
dari apa yang disebut kesaksian dan testimoni. Kesaksian dan testimoni menjadi landasan
untuk membangun kembali dasar-dasar kebenaran (pengetahuan) yang sudah kacau balau
oleh kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu yang telah memutar
balikan nalar berpikir. Mereka yang telah menjadi korban dan menderita, justru digencet
dan diberi stigma sebagai manusia-manusia yang bersalah. Namun mereka yang melakukan
tindak kejahatan dan telah terbukti melanggar HAM justru dibenarkan bahkan disanjung
sebagai “pahlawan.”
Di sinilah letak persoalan yang paling pelik dan rumit dalam mencari kebenaran dan
keadilan dalam konteks pelanggaran HAM berat dan kejahatan masa lalu. Bagaimana
dengan para korban yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan? Bagaimana dengan
keluarga korban yang terus mencari kebenaran dan keadilan, namun justru malah
mendapatkan ancaman dan teror? Bagaimana dengan para pekerja kemanusiaan yang telah
hidup bersama korban? Apakah kesaksian dan testimoni mereka masih dibutuhkan untuk
membangun epistemologi dan logika sosial agar kehidupan masyarakat kembali didasarkan
oleh rasa percaya? Jawabannya tentu tidak sederhana, apalagi dalam konteks Timor-Leste
pasca pendudukan Indonesia, semua persoalan tentang kekerasan, kejahatan kemanusiaan
dan pelanggaran HAM berat masa lalu masih dibentengi oleh tembok maha dahsyat dan