Rupanya kebebasan yang ditenggak setelah rezim totaliter-otoritarian tumbang, tidak
langsung memberikan kelegaan bagi kehidupan rakyatnya. Justru suasana yang terjadi
adalah sebaliknya, kehidupan bernegara dan berbangsa malah menjadi lintang pukang
dalam kekacauan. Tumbangnya sebuah rezim totaliter-otoriter selalu meninggalkan
timbunan “feses” (tinja, kotoran) yang sangat banyak akibat dari perilaku kekuasaan itu
sendiri. Para pengungsi asal Timor-Leste yang mengungsi pada tahun 1999-2004 di
wilayah Timor Barat adalah wujud konkret dari timbunan feses politik kekuasaan tersebut.
Budi Hardiman (2005) menguraikan dengan amat tajam konsep Elias Canetti tentang feses
kekuasaan tersebut. Dikatakannya bahwa “feses” adalah dampak paling nyata dari
negativitas, yakni kandungan dari kesalahan kita. Uraiannya tentang “feses” yang disitir
“(Feses) mengandung seluruh kesalahan kita. Padanya dapat dikenali apa yang telah kita
bunuh. Ia adalah jumlah lumatan dari seluruh indikasi-indikasi yang melawan kita.”11
Lebih lanjut dijabarkan:
“Pada feses kita, kita menyaksikan destruksi, bukan destruksi itu belaka, melainkan apa-apa yang telah kita destruksikan, segala yang pernah mencoba melawan, namun akhirnya remuk dalam pencernaan kita dan kita keluarkan sebagai hal-hal negatif dari tubuh kita, yakni mangsa atau korban yang adalah makanan kita. Kita bukan hanya tak ingin melihat apa yang telah kita nikmati itu. Dinaungi oleh rasa malu yang entah mengapa sulit dijelaskan, momen
ekskresi merupakan momen yang sangat privat.”12
Tafsir filosofis tentang feses menegaskan bahwa manusia selalu dalam situasi sendiri dalam
menghadapi fesesnya. Feses itu sendiri merupakan tanda negatif kekuasaan sebagai proses
destruksi yang diisolasi dalam ketersembunyian.13 Pengalaman hidup para pengungsi dan
penyintas konflik kekerasan menjadi sebentuk “timbunan feses” sebagai warisan yang membawa kompleksitas tersendiri pasca tumbangnya rezim totaliter-otoriter.
Wajah pengungsi dan penyintas sebenarnya adalah wajah feses kekuasaan yang
selama ini membangun pondasi kekuasaan berdasarkan kekerasan. Mewacanakan
kekerasan pasca tumbangnya rezim otoriter-totaliter tidaklah mudah, karena feses
kekuasaan tersebut ingin segera dibuang dan disimpan dalam jamban. Meskipun demikian,
feses itu tetap menimbulkan aroma tidak sedap dan bau busuk. Karenanya, orang sering
dengan segera ingin membuat jamban yang bagus dan rapat agar aroma feses itu tidak
tercium lagi. Itu berarti bahwa dalam menghadapi feses, orang sudah dihinggapi perasaan
malu karena itu menyangkut hal yang paling privat dalam diri manusia.
11
Lihat Budi Hardiman, Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Jakarta: Gramedia, 2005, hal. xxiii
12
Lihat Budi Hardiman, 2005, hal. xxiii. 13
Gagasan-gagasan yang dikembangkan dalam program rekonsiliasi dan repatriasi bagi
para pengungsi dan penyintas di Timor-Leste, sebenarnya merupakan usaha untuk
mengolah feses itu menjadi bermanfaat kembali. Namun menjadi soal di sini, feses itu
tetaplah sebuah kotoran yang pada hakikatnya ingin segera dibuang, dihancurkan dan
ditaruh di dalam tempat yang tersembunyi. Apakah orang yang pekerjaannya berkecomber
di tengah lautan feses itu memang memiliki daya tahan untuk terus menghirup aroma tidak
sedap dari feses itu? Atau, apa yang memberikan dorongan kekuatan bagi banyak orang
untuk mengolah feses itu? Jika analogi tentang feses itu adalah hasil dari negativitas sebuah
kekuasaan otoriter-totaliter, maka menjadi hal yang paling mendasar untuk diketahui
bagaimana trauma akan feses kekuasaan tersebut dapat mendorong terbangunnya (politik)
ingatan dan identitas para pekerja kemanusiaan yang pekerjaannya menyelam dalam bahasa
negativitas dan menyusup dalam relung semua peristiwa kekerasan?
Feses tetaplah menjadi bagian dari apa yang secara alamiah di(re)produksi oleh
manusia. Manusia memang harus selalu mengeluarkan fesesnya sebagai bagian dari
mekanisme biologis untuk menjaga keseimbangan. Nah, apakah juga negativitas kekuasaan
selalu di(re)produksi dalam sistem kekuasaan untuk menyeimbangkan kehidupan?
Jawabannya mungkin saja positif, bahwa kekerasan memang selalu di(re)produksi oleh
kekuasaan, dalam rupa dan kepentingan yang sangat beragam dan tidak bisa secara jelas
ditentukan siapa pemilik kepentingan itu. Karenanya, menjadi sebuah tindakan yang melulu
utopis untuk melakukan sebuah upaya rekonsiliasi, toh pada suatu saat kekerasan dan
dendam akan di(re)produksi dalam kesempatan dan ruang yang lain.
Tentu saja, rekonstruksi sebuah tata kehidupan yang hancur setelah konflik kekerasan
kehancuran, kesedihan dan seterusnya tubuh-tubuh manusia itu bisa terlihat dan diraba
dengan indra kita secara empiris. Dan itu berarti bahwa feses itu sangat nyata dan empiris.
Maka dari itu, jika rekonstruksi tata kehidupan yang hancur oleh konflik kekerasan tersebut
diletakkan untuk melihat sikap Indonesia dalam menangani kasus Timor-Leste pasca Jajak
Pendapat 1999, jelaslah masih jauh panggang daripada api. Indonesia mengalami proses
transisi politik yang tidak “mematahkan” apa yang sudah ada atau lama terjadi, baik itu dari
aspek hukum, politik dan tata kelola kenegaraan yang diwariskan oleh rezim
otoriter-totaliter Orde Baru. Semua itu hanya dirubah atau direnovasi berdasarkan apa yang lama,
misalnya saja amandamen konstitusi, revisi undang-undang politik yang merevisi
kedudukan TNI di parlemen, atau memasukkan unsur hak asasi manusia di dalam
konstitusi. Namun semua perubahan itu masih berdasarkan apa yang lama.14
Dalam konteks itu, Agung Putri (Baskara T. Wardaya, dkk, 2007) menerangkan
demikian, “Namun dalam perubahan apapun, negosiasi dan penyangkalan, pemaksaan dan pembangkangan senantiasa datang silih berganti. Dalam arus inipun moral politik berkontestasi, antara gelombang massa yang menyalahkan (blaming) elit penguasa dan elit politik yang mati-matian mempertahankan (defending) „kebenaran‟ atas tindakannya di masa lalu.”15
Agung Putri (2007) juga mencatat bahwa normalitas baru yang terjadi pada
negara pasca otoritarianisme adalah persoalan yang tidak langsung bisa memberikan
kepastian karena masih tersimpan kekerasan masa lalu yang campur aduk dengan situasi
kekinian. Dengan mengutip Martha Minow, dia menuliskan demikian, “Kekerasan hidup
14
Bdk. Agung Putri, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, 2007, Jakarta: ELSAM, hal. viii. 15
secara simultan antara yang lalu dan sekarang, memperkuat kumpulan-kumpulan fantasi, distorsi, mitos dan kebohongan.”16
Dalam silangan berbagai tindakan itulah, sebenarnya
kekuasaan transisional setelah menyingkirnya rezim otoriter-totaliter membentuk bahasa
negativitasnya sendiri sebagai torehan kokoh dari warisan otoritarianisme tersebut.
Torehan-torehan ingatan sebagai warisan otoritarianisme tersebut masih sangat kuat
mewarnai penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di
Timor-Leste.
Para peneliti dari Belanda, seperti Freek Colombijn, Nico G. Schulte Nordholt, Kees
van Dijk, dan lain sebagainya (Frans Husken dan Huub de Jonge (Ed.), 2003) menyatakan
bahwa “budaya praktik kekerasan” yang terjadi di Indonesia sebenarnya sudah terjadi dan
mengakar pada sejarah Indonesia sendiri. 17 Para peneliti Belanda tersebut sangat terkejut
dengan ledakan berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde
Baru. Mengapa kekerasan massal bisa terjadi di Indonesia dan sangat masif? Jika kita
menggunakan “genealogi kekerasan” sebagai salah satu konsep untuk menilik lebih jauh
praktik kekerasan di Indonesia, kita tidak bisa mengesampingkan masa-masa pra kolonial
dan kolonial. Praktik para elit penguasa yang selalu menyewa jagoan atau memelihara
“preman” untuk melindungi kekuasaannya, sudah ada sejak sebelum Orde Baru. Praktik
politik “premanisme” itu secara telanjang bisa kita saksikan dalam proses transisi
kekuasaan di Timor-Leste pada tahun 1999.
16
Lihat Agung Putri, 2007, hal. xi. 17
Lihat Frans Husken dan Huub de Jonge (Ed.), Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998, 2003, Yogyakarta: LKiS.
Tentu saja fakta historis itu menjadi salah satu persoalan dalam keadilan transisional
yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Timor-Leste dan Indonesia. Namun saya tidak
secara khusus menggali “genealogi kekerasan” tersebut. Saya lebih menitikberatkan
bagaimana dampak “genealogi kekerasan” yang menghasilkan negativitas tersebut telah menghancurkan identitas kemanusiaan rakyat Timor-Leste bagaikan feses. Dan
penghancuran identitas kemanusiaan tersebut sebagai bukti otentik dari warisan sejarah
atau historiografi otoritarianisme Orde Baru. Sangatlah menarik untuk dikaji dan
direfleksikan bagaimana orang-orang yang pekerjaannya mengolah feses kekuasaan
tersebut, seperti para pekerja kemanusiaan JRS, bisa survive dan kemudian mampu membangun identitas kemanusiaan para penyintas (survivors).
Pengalaman para pekerja kemanusiaan JRS dalam mendampingi para penyintas untuk
membangun kembali identitas kemanusiaannya pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste
seringkali lepas dari penulisan sejarah atau historiografi. Para pekerja kemanusiaan ini
menjadi kelompok yang termaginalkan dalam berbagai ruang-ruang ingatan sosial. Namun
kelompok ini justru memiliki kekuatan untuk membangun ingatan kolektif atas pengalaman
masa lalu berdasarkan peristiwa negatif yang pernah mereka saksikan dan alami. Para
pekerja kemanusiaan ini menjadi saksi yang hidup bagaimana penyintas selalu menuntut
kebenaran dan keadilan untuk diwujudkan dalam ruang-ruang kehidupan bersama.
Selain sebagai corong suara para penyintas yang menuntut kebenaran dan keadilan,
ingatan para pekerja kemanusiaan ini sangat penting bagi dekonstruksi dan rekonstruksi
pengetahuan sosial. Pengetahuan harus disusun berdasarkan data dan fakta obyektif-empiris
dan ingatan sosial. Maurice Halbwachsn (1992) dalam bukunya “On Collective Memory”
sosialnya.18 Tidak ada orang yang benar-benar bisa lepas dari ikatan-ikatan sosial bahkan
mimpi yang sangat pribadipun, sebenarnya merupakan perwujudan dari ingatan seseorang
terhadap pengalaman sosialnya. Dari sini ditegaskan bahwa ingatan itu memiliki sifat
kolektif dan sosial. Menjadi semakin penting bahwa ingatan seseorang terhadap peristiwa
trauma kekerasan politik, sebenarnya memiliki ikatan sosial yang sangat kuat untuk
dijadikan sebagai bahan dasar penyusunan epistemologi sosial.
Lebih lanjut, dalam perspektif yang lain, Priscilla B. Hayner (2001) menegaskan
adanya korelasi yang sangat penting antara ingatan kolektif dan konteks pencarian
kebenaran lewat pembentukan Komisi Kebenaran dan Keadilan.19 Dia mengatakan bahwa
salah satu tugas pokok dari Komisi Kebenaran yang bertugas untuk mengkorek persoalan
kekerasan dan pelanggaran HAM pasca runtuhnya rezim berkuasa adalah berfokus pada
masa lalu. Upaya mencari kebenaran sebagai akibat dari pelanggaran HAM dan kekerasan
pasca rezim otoriter runtuh haruslah berpijak pada “masa lalu.”
Masa lalu ini biasanya segera ingin dihapus oleh rezim transisi yang masih mewarisi
rezim terdahulu. Dan sebisa mungkin semua jejaknya dilenyapkan dari ingatan publik.
Kesulitan untuk melacak jejak masa lalu tersebut juga dialami oleh Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Indonesia – Timor-Leste. KKP Indonesia-Timor-Leste dibentuk dengan mandat untuk mencari fakta sebagai landasan untuk mengungkapkan kebenaran
yang terkait dengan pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di Timor-Leste pasca
18
Maurice Halbwachs, On Collective Memory, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1992, hal. 46-51.
19
Jajak Pendapat 1999. Itu berarti bahwa mendaur ulang feses kekuasaan itu selalu tidak
mudah. Demikian ungkap KKP:
“Terdapat banyak penyebab konflik tahun 1999 yang sangat rumit dan saling berkaitan. Beberapa penyebab ini tak ayal lagi dapat dirunut kembali setidaknya sampai tahun 1974, dan kepada peristiwa yang terjadi setelah berakhirnya kehadiran kolonial Portugal. Penyebab lainnya muncul dari konteks politik yang lebih terkini berupa perkembangan tahun 1998 di Indonesia. Sebab-sebab yang melatarbelakangi berbagai aspek konflik tahun 1999 memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan khusus untuk mendapatkan pemahaman penuh mengapa konflik itu terjadi dalam cara-cara tertentu, dan bagaimana berbagai institusi
dan individu terlibat di dalamnya.”20
Dalam ayunan pendulum antara “sebab” dan “kebenaran”, maka sebuah Komisi
Kebenaran seperti KPP memulai kerjanya untuk mengungkap kejahatan masa lalu. Namun,
konsep “sebab” ini selalu menjadi persoalan karena dalam logika berpikir orang, konsep
“sebab” selalu akan bisa memberikan penjelas pada “akibat”. Apakah setelah tahu apa sebab dan akibatnya, lantas kebenaran bisa terformulasikan dengan jelas? Sulit rasanya
untuk bisa mengatakan bahwa kebenaran dalam konteks kekerasan politik yang sudah
berlangsung begitu lama bisa menemukan akar penyebab dan kemudian bisa menerangkan
akibatnya secara komprehensif. Hal ini mengindikasikan bahwa ingatan manusia atas
sebuah peristiwa sangatlah terbatas. Namun demikian, apa yang dilakukan untuk
mengungkapkan kebenaran masa lalu, jelas sangat tergantung pada ingatan manusia
terhadap peristiwa tersebut.
Serpihan ingatan manusia tentu saja tidak bisa langsung dipercaya sebagai informasi
dalam penulisan sejarah, sosiologi, politik dan lain sebagainya. Namun, ingatan yang
dituturkan secara lisan bisa menjadi cara alternatif untuk membuat sebuah “dekonstruksi
20
Dokumen Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Indonesia dan Timor-Leste, Per Memoriam Ad Spem, Jakarta: ELSAM, hal. xviii.
dan rekonstruksi” sekaligus atas pengalaman masa lalu. Bahan-bahan lisan menjadi salah satu sumber utama dalam penulisan sejarah dari bawah untuk melakukan dekonstruksi dan
rekonstruksi ingatan masa lalu. Metode ini pun bisa menjadi salah satu sumber alternatif
untuk penulisan sejarah atau historiografi. Seperti ditegaskan demikian:
“Dalam menilai kebenaran yang terkandung dalam wawancara lisan, seseorang harus menggunakan prosedur yang sama seperti saat ia menilai kebenaran dokumen tertulis. Kita harus memeriksa ulang informasi yang diperoleh, menimbang bias yang ada pada sang pencerita atau penulis, memeriksa konsistensi internal dari suatu narasi, dan seterusnya. Pada akhirnya, kita harus menggunakan perangkat yang sangat mengambang dan tidak pasti, yakni
„akal sehat‟. Salah satu alasan mengapa prosedur penilaian sumber lisan dan tulisan itu sama
adalah karena sumber tulisan sendiri sering didasarkan pada informasi yang dikumpulkan secara lisan. Dokumen dasar yang digunakan sejarawan – surat kabar, laporan intelijen atau polisi, dan sebagainya – ditulis oleh orang-orang yang melakukan wawancara lisan. Dalam hal ini, sumber lisan punya kelebihan dibandingkan dokumen tertulis: peneliti bisa kembali kepada orang yang diwawancarai berulang-ulang untuk meminta penjelasan dan gambaran lebih rinci mengenai sesuatu. Kita dapat terus mengajukan pertanyaan kepada narasumber.”21
Rekonstruksi berdasarkan narasi atau tuturan lisan tentu tidak langsung bisa sebagai
dasar pada kebenaran. Sekali lagi, ingatan masa lalu yang dituturkan secara lisan selalu
mengandung bahaya untuk menjadi bias. Seperti dituliskan oleh Saskia Eleonora Wieringa
(1999) dengan mengutip Fay Weldon:
“Berapa banyak yang rekaan dan berapa banyak pula yang benar? Tidak ada kebenaran
obyektif tentang ingatan-ingatan kita. Karena itu usaha untuk mengatasi perbedaan pun barangkali sia-sia belaka. Memang benar, kita ini kumpulan dari masa lalu. Kita semua tersusun dari ingatan-ingatan. Tetapi ingatan adalah sesuatu yang tak menentu, yang mengalami pengalaman, yang menyaring yang kasar atau yang lembut menurut cita rasa sesaat, pola jaman, kelompok yang kebetulan seiring jalan: cara kita berenggan pada kejadian-kejadian tertentu, atau membukakan tangan kita menyambutnya.”22
21
John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Lisan, Jakarta: ELSAM, 2004, hal. 2.
22
Dalam Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba Buana dan Kalyanamitra,1999, hal. 1.
Apa yang dikutip oleh Wieringa dari Fay Weldon menegaskan kembali, bahwa
ingatan manusia terbatas dan ada potensi untuk menjadi bias. Namun, ingatan itu pula yang
menjadi dasar utama dari dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah masa lalu. Tanpa ingatan
sulit bagi kita untuk bisa menemukan sebuah alur kisah yang sudah terpendam begitu lama.
Meskipun terkandung bahaya bias, narasi atau tuturan lisan tentang peristiwa masa lalu
tetap menjadi sumber utama untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi penulisan
sejarah atau historiografi.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Paul Thompson (Robert Perks dan Alistair
Thomson, 1998) yang menulis tentang “The voice of the past, Oral History.” Demikian tulisnya,
“Oral history is not necessarily an instrument for change; it depends upon the spirit in which
it is used. Nebertheless, oral history certainly can be a means of transforming both the content and the purpose of history. It can be used to change the focus of history itself, and open us new areas of inquiry; it can break down barriers between teachers and students, between generations, between educational institutions and the world outside; and in the writing of history – whether in books, or museums, or radio and film – it can give back to the people
who made and experienced history, through their own words, a central place.”23
Paul Thompson menekankan bahwa penulisan sejarah harus dikembalikan kepada
pelaku utamanya, yaitu manusia yang mengalami semua peristiwanya. Hal ini menegaskan
bahwa sejarah tidak harus bertumpu pada dokumen atau arsip tertulis (resmi), namun
semua orang bisa menciptakan sejarahnya sendiri. Perspektif ini menemukan bentuknya
lewat berbagai model baru penulisan sejarah, terutama lewat model konstruksionis radikal.
Laurie J. Sears (2007) menjelaskan dengan sangat tepat dan menarik lewat artikelnya yang
berjudul “Reading Ayu Utami: Notes Toward A Study of Trauma and The Archive in
23
Paul Thompson, “The voice of the past, Oral History”, dalam Robert Perks and Alistair Thomson (Ed.), The Oral History Reader, London and New York: Routledge, 1998, hal. 22.
Indonesia.” Artikel ini memberikan gambaran yang sangat tepat apa yang ditulis oleh James Siegel (dalam Sears, 2007) tentang pengalaman traumatis yang tersirat dalam sejarah
Indonesia. Karya Siegel ini berbasiskan pada pengalaman pembantaian 1965 di Jawa Timur
dan merupakan afirmasi dari apa yang juga digagas oleh Dominick LaCapra.
Menurut Sears, baik Siegel dan LaCapra tidak menyandarkan kebenaran sejarah lewat
“documentary approach”, melainkan condong ke konstruksionis radikal. Bagi mereka, bukti-bukti masa lalu bisa memberikan dasar penting dan perlu bagi historiografi. Bukti dan
kebenaran sejarah tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pokok, yaitu estetika, ideologi dan
kepentingan politik. Model penulisan sejarah yang menganut pendekatan konstruksionis
radikal bisa ditemui dalam novel (sejarah). Lewat novel (sejarah), kita bisa mengetahui
bahwa pendakuan kebenaran masa lalu bisa merupakan jalinan yang saling berkelindan
antara estetika, ideologi dan kepentingan politik.24 Karenanya, novel Ayu Utami yang biasa
disebut sastra wangi (fragrant literature) bisa menjadi representasi dari model konstruksionis radikal. Lewat penulisan novel (sejarah) inilah kita bisa memahami secara
lebih tepat apa yang disebut sebagai “the Archive” sebagai konsep fundamental dalam penulisan sejarah lisan (oral history).
“The Archive” merupakan tuturan dari manusia sebagai pelaku utama dalam pengalaman atau peristiwa sejarah. Berdasarkan tuturan pelaku utama yang mengalami
langsung peristiwanya sejarah kemudian di(re)konstruksi dengan pendekatan yang radikal.
Dalam konteks inilah, Sears menandaskan bahwa Ayu Utami berhasil menyingkap
24
Laurie J. Sears, “Reading Ayu Utami: Notes Toward A Study of Trauma and The Archive in Indonesia”, dalam Academic Research Libray, April 2007, hal. 25
pengalaman traumatis sejarah Indonesia dalam konteks rezim Orde Baru. Demikian
tulisnya,
“Utami, in particular, introduces two traumatized heroes in her novels, portrays experiences
of delay and haunting, and offers fragmented stories that can be illuminated through Freud‟s
ideas. The idea of destroyed archives haunting the nation in particularly relevant for work on New Order Indonesia, and this idea is a starting point for reconsidering Indonesian histories and their silences. In the end, Utami suggests that post-reformasi Indonesia still suffers from the traumas of the New Order period and that melancholia or depression may be the affect
haunting Indonesia‟s future.”25
Dari paparan Sears bisa diambil garis tegas bahwa sejarah atau historiografi masa lalu
bisa diteliti lewat kerangka berpikir Freudian. Dari sana kita bisa melihat bahwa sejarah
atau historiografi sangat mungkin menyimpan berbagai trauma yang harus dibaca, ditafsir,
dan ditulis ulang. Jika hal itu tidak dilakukan, maka sejarah atau historiografi akan terus
menyimpan persoalan melankolia dan depresi. Persis disinilah pentingnya penulisan yang
menggunakan “Archives” dalam membantu ingatan untuk lepas dari trauma sejarah, seperti
halnya warisan rezim Orde Baru terhadap ingatan kolektif masyarakat Indonesia.