Diana Wahyuni dan para pekerja kemanusiaan JRS adalah manusia-manusia yang
ingin bertindak “konkret”, tidak banyak bicara, tetapi ingin langsung terlibat dengan kehidupan para pengungsi dan korban konflik pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste.
Keterlibatan ini mereka aktualisasikan lewat lembaga kemanusiaan Jesuit Refugee Service
(JRS) Indonesia. Organisasi milik Ordo Serikat Yesus ini menyatakan dirinya sebagai
lembaga kemanusiaan yang secara khusus menangani para pengungsi sebagai korban
konflik kekerasan politik. Para pengungsi yang menjadi fokus dampingan JRS adalah
mereka yang menjadi korban konflik akibat kekerasan politis, misalnya kekerasan yang
muncul akibat perbedaan etnis, agama, ras, dan terlebih karena tindakan represif yang
dilakukan oleh aparatus negara.
Dalam konteks JRS di Indonesia, lembaga ini sudah ada sebenarnya sejak munculnya
manusia perahu dari Vietnam yang akhirnya di tampung di pulau Galang. Kasus manusia
perahu inilah yang menjadi inspirasi Pedro Arrupe SJ, pimpinan tertinggi Serikat Yesus
waktu itu, untuk mendirikan JRS. Dari The Charter and Guidelines JRS (2000) dapat diketahui bahwa JRS didirikan dengan maksud untuk bekerja sedekat mungkin dengan
manusia yang menjadi korban berbagai pertikaian politik.7 Maka, aksi konkret adalah
menjadi salah satu cara bertindak JRS untuk langsung terlibat dengan para pengungsi. Hal
7
Lihat Everybody‟s Challenge, Essential Documents of Jesuit Refugee Service, Roma: JRS, October 2000, hal. 9-25.
ini pulalah yang memberi inspirasi “gerakan kemanusiaan” JRS saat terjadi tragedi kemanusiaan di Timor-Leste sebelum dan sesudah Jajak Pendapat pada tahun 1999.
Proses Jajak Pendapat membelah warga Timor-Leste menjadi pro dan kontra
kemerdekaan. Mereka yang kontra terhadap kemerdekaan dimobilisasi dan membentuk
berbagai macam barisan milisi pembela Indonesia. Ketika hasil referendum akhirnya
menyatakan bahwa rakyat Timor-Leste memilih merdeka, terjadilah amuk masa yang
terprogram dan sistematis untuk menghancurkan dan membinasakan mereka yang
pro-kemerdekaan. Akhirnya, tragedi kemanusiaan di Timor-Leste tidak bisa lagi dibendung.
Ribuan rumah dibakar, ribuan orang saling membunuh dan dibunuh, dan ratusan ribu orang
mengungsi.
Tragedi di Timor-Leste mendesak pimpinan tertinggi Serikat Yesus Indonesia, yaitu
Romo Paulus Wiryono Priyotamtomo, SJ untuk menghadirkan kembali JRS di Indonesia.
Tahun 1999 adalah tahun penting bagi gerakan JRS berkiprah di Indonesia. Menarik bahwa
banyak anak muda waktu itu yang mengambil inisiatif untuk terlibat dengan gerakan JRS
ini. Mereka datang dari kalangan para aktivis yang tersebar di Jawa, ada juga yang datang
dari kelompok biarawan/wati di bawah gereja Katolik, dan juga orang-orang lokal yang
bersimpati dengan tragedi kemanusiaan tersebut.
Selain itu, perlu dicatat bahwa JRS bukanlah sebuah lembaga yang “besar” (dalam arti kekuasaan, uang, jumlah staf, dan sebagainya), tetapi memiliki sebuah gagasan “besar” untuk membawa rekonsiliasi di tengah pertikaian manusia dengan manusia. Tentu saja
pertanyaan yang lantas muncul apakah visi dan misi ini akan berhasil? Apakah visi dan
misi ini relevan dan realistis? Dengan memilih opsi itu, berarti JRS ingin langsung
sendiri hanyalah sekedar “bendera” atau “label” saja dari sebuah organisasi kemanusiaan. Organisasi ini bergerak dan mengaktualisasikan visi dan misinya bersama dengan para
pekerja kemanusiaan yang bekerja dan bergabung bersama dengan JRS.
Mereka inilah yang menterjemahkan maksud dan tujuan JRS didirikan secara konkret
dan bertanggungjawab. Mereka yang bekerja baik secara formal, sukarela, atau
mendapatkan tugas dari lembaga religius tertentu untuk bekerja bersama JRS memiliki
motivasi dan cita-cita yang mungkin saja sama, namun bisa juga berbeda. Tidak dipungkiri
bahwa ada orang yang memang bekerja bersama JRS untuk mendapatkan upah untuk
hidup, ada yang bergabung untuk memenuhi rasa idealismenya, tetapi mungkin juga ada
yang bergabung karena dekat dengan romo tertentu, dan ada juga yang bergabung karena
ditugaskan oleh tarekat atau kongregasinya.
Alasan bekerja dengan JRS sangatlah beraneka macam. Dan kebanyakan dari mereka
sebenarnya adalah orang “biasa” yang sama juga dengan para pengungsi atau penyintas yang mereka dampingi. Para pekerja kemanusiaan di JRS ini bukan juga orang-orang yang
berpengaruh di dalam elit kekuasaan. Mereka juga tidak memiliki posisi strategis dalam
kekuasaan negara dan atau memiliki modal besar di sebuah perusahaan yang bisa
mempengaruhi keputusan politik tingkat tinggi. Mereka ini umumnya tahu bahwa orang
bisa menderita dan penderitaan itu disebabkan oleh kekuasaan yang tidak adil. Penderitaan
itulah yang mungkin menarik mereka untuk bisa lebih masuk dalam aksi konkret. Melawan
penderitaan dengan melakukan solidaritas, empati atau keterlibatan langsung dengan
berbagai persoalan kemanusiaan.
Persoalan yang dihadapi oleh para pekerja kemanusiaan dan JRS sebagai lembaga
Inilah yang menjadi visi dan misi dasar JRS, seperti dikatakan dalam The JRS Charter
(2000) demikian:
“5. In 1995, the 34th General Congregation drew attention to several critical situations, among them over 45 million refugees and displaced persons in today’s world, 80 per cent of whom
are women and children. Often lodged in the poorest of countries, they face growing impoverishment, loss of a sense of life and culture, with consequent hopelessness and despair.
6. In 1997, Pope John Paul II stated, The Church looks with deep pastoral concern at the increased flow of migrants and rufugees, and questions herself about the causes of this phenomenon and the particular conditions of those who are forced for various reasons to
leave their homeland. In fact the situation of the world’s migrants and rufugees seems ever
more precarious. Violence sometimes obliges entire populations to leave their homeland to escape repeated atrocities; more frequently, it is poverty and the lack of prospects for development which spur individuals and families to go into exile, to seek ways to survive in distant lands, where it is not easy to find a suitable welcome.”8
Maka dalam konteks Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999, kehadiran JRS dengan
para pekerja kemanusiaannya di tengah lautan para pengungsi sebenarnya merupakan
sebuah signifiant yang sangat berbeda dengan kenyataan brutal dari tindakan para tentara, milisi-milisi sipil (preman) yang dipersenjatai, atau ideologi-politik yang telah membelah
masyarakat Timor-Leste menjadi pro-kemerdekaan atau pro-integrasi. Sebuah kontras yang
sangat mencolok, saat kita melihat berbagai ketegangan yang terjadi di pengungsian dengan
aneka wajah pengungsi yang memancarkan wajah kumuh penuh harapan yang sulit
dirumuskan, namun di sisi lain mereka juga masih diselimuti oleh mitos tentang ikatan
nasionalisme terhadap Indonesia.
Dalam kekumuhan untuk mengais sisa ikatan nasionalisme itu, kenyataan mereka
sebagai manusia justru terabaikan. Para pengungsi ini benar-benar hidup dalam situasi yang
tidak manusiawi. Mereka hidup dalam keterbatasan untuk mendapatkan makan, minum,
8
The JRS Charter JRS dalam Everybody‟s Challenge, Essential Documents of Jesuit Refugee Service 1980-2000, Roma: JRS, 2000, hal. 14.
kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang memang pantas untuk hidup secara minimal
sebagai manusia. JRS dengan para pekerja kemanusiaannya berusaha menjawab kebutuhan
dasar tersebut. Kebutuhan yang memang bisa memberikan penghargaan agar manusia bisa
disebut sebagai manusia dalam martabatnya.
Selain itu, pengalaman para pekerja kemanusiaan JRS menyingkap signifiant yang berbeda sama sekali. Seringkali persoalan pengungsi Timor-Leste selalu dikaitkan dengan
pilihan-pilihan ideologi-politik. Masalah Timor-Leste selalu terjerat oleh konsep-konsep
baku tentang pertaruhan ideologi-politik dan nasionalisme, namun sebenarnya adalah
politik premanisme yang sedang dimainkan oleh (militer) Indonesia. Sesuatu di luar
perkiraan, politik premanisme itu toh akhirnya membuat segregasi tegas warga Timor-Leste
menjadi pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Persoalan yang terkait dengan dendam dan
kebencian pribadi yang merupakan dampak langsung dan paling rumit di kalangan warga
Timor-Leste tidak banyak diungkapkan. Program rekonsiliasi dan repatriasi yang dilakukan
oleh JRS Indonesia waktu itu, merupakan jawaban langsung terhadap persoalan dendam
dan kebencian personal yang membelah warga Timor-Leste tersebut, namun tidak mau
terperangkap dalam gagasan-gagasan besar tentang nasionalisme.
Namun demikian, apa yang kasat mata, paling tidak dalam berbagai kajian tentang
Timor-Leste, percik-percik dendam dan kebencian yang sifatnya sangat personal tidak
pernah diungkapkan. Padahal, menurut pengalaman teman-teman dari JRS, justru di sinilah
letak paling sulit untuk melakukan program repatriasi dan rekonsiliasi bagi pengungsi
Timor-Leste yang mengungsi ke Timor Barat. Dan untuk memulai program rekonsiliasi dan
repatriasi tersebut, para pekerja JRS mengawalinya dengan membuka komunikasi di antara
Membuka kembali persentuhan tubuh manusia dengan tubuh manusia lainnya, meskipun
seperti dikatakan oleh Elias Canneti (dalam W. Tufan, 2007) persentuhan tubuh itu sesuatu
yang sangat menakutkan, apalagi dalam kondisi manusia yang baru terlibas oleh gerakan
massa yang brutal.9
Proses komunikasi antar kelompok pro-kemerdekaan dan pro-integrasi dimulai
dengan memepertemukan kembali tubuh-tubuh yang tercerai berai tersebut. Program ini
semula dilakukan dengan amat sangat sederhana yakni lewat surat menyurat. Seperti
dikatakan oleh Edi Mulyono SJ sebagai Direktur JRS, saat semua komunikasi terputus,
infrastruktur komunikasi hancur, maka awal-awal setelah konflik yang dahsyat itu, “tukang pos” mulai bekerja yang sebagian besar dilakukan oleh pekerja kemanusiaan JRS. Bekerja menjadi tukang pos inilah yang sangat membekas dialami oleh Prihamangku saat
mengawali bekerja sebagai pekerja kemanusiaan di JRS. Demikian dikatakannya,
“Saya mengantarkan surat ke Aileu…mengantar ke Ermera sampai dengan wilayah puncak yang penuh kabut….(para milisi) lama-lama tahu kalau ada surat
menyurat….kesan saya, pada dasarnya milisi itu menyandera pengungsi….pengungsi-pengungsi itu disandera oleh milisi dan tindakan itu
semacam dilegalkan oleh pemerintah, tentara…padahal mereka tahu….milisi-milisi itu juga banyak yang kangen, tetapi mereka sembunyi-sembunyi kalau mau menitip
surat….”10
Ketakutan kolektif sebenarnya tidak bisa menghapus kenyataan bahwa
masing-masing individu punya ruang privat yang tidak bisa ditipu oleh tujuan-tujuan politis. Tubuh
mereka boleh hanyut dengan identitas kolektif, entah itu sebagai integrasi atau
pro-kemerdekaan, namun dorongan-dorongan perasaan personal tidak hilang dalam kolektivitas
9
Lihat Kosmas Damianus W. Tufan, “Metamorfosis: Pandangan Elias Canetti Mengenai Massa dan Kuasa”, dalam Massa dan Kuasa, Berefleksi Bersama Elias Canetti, Jurnal Filsafat Driyarkara, Th. XXIX No. 1/2007.
10
yang masif. Dalam ruang yang sempit untuk menembus keterlanjuran identitas kolektif
yang telah menciptakan kekerasan dalam bendera-bendera dan kelompok-kelompok yang
saling bermusuhan tersebut, JRS dengan para pekerja kemanusiaannya justru berbalik
melihat apa yang disebut dengan “kebutuhan personal.” Menjawab kebutuhan personal pengungsi memang menjadi ciri khas JRS, seperti dituliskan dalam Guidelines of the JRS,
“5. JRS gives priority to accompaniment and pastoral presence among refugees and forcibly displaced persons. Services are tailored to meet local needs according to the resources available. No mode of assistance is exluded, but JRS normally offers services that are direct and personal. These include programs of pastoral care, various kinds of education for children and adults, social services and counseling, and health care.
6. JRS opts for a personal style of presence, and deliberately keeps its administrative structure as light as possible. JRS is not normally equipped to undertake large-scale emergency or infrastructure projects.”11
Pengalaman personal manusia seringkali masih begitu bergetar kuat saat ditemui
secara personal pula. Inilah pendekatan yang ditekankan oleh JRS dalam melayani,
menemani dan membela hidup para pengungsi dan penyintas konflik kekerasan.
Pendekatan ini seringkali disebut juga sebagai cura personalis, yakni melihat manusia dari dimensi personalitasnya yang paling hakiki dan unik. Hanya saja personalitas itu seringkali
dikaburkan oleh berbagai bentuk pilihan ideologi-politik yang sebenarnya semu, namun
tampak penting untuk menunjukkan eksistensi diri individu atau kelompok. Seperti halnya
membela nasionalisme dengan bersandar pada logika premanisme. Situasi seperti itu sangat
kuat mewarnai kehidupan para pengungsi Timor-Leste yang eksodus ke Timor Barat, yakni
saat arti penting kemanusiaan digilas dan terbenam dalam kegaduhan untuk membela
Indonesia (pro-integrasi) atau lepas dari Indonesia (pro-kemerdekaan).
11
Namun di tengah kegaduhan kolektif untuk bertarung menunjukkan identitas, toh
perasaan kangen yang teramat personal dan sepele itu menyembul di tengah kekacauan
selepas konflik yang mengerikan. Pilihan ideologi-politik tidak pernah memberi ruang pada
perasaan kangen. Padahal kangen adalah perasaan yang sangat manusiawi, menjadi bagian
dari kemanusiaan yang harus diperjuangkan karena dari sinilah sebenarnya benih-benih
rekonsiliasi bisa dimulai dan dilakukan di tengah lautan identitas kolektif yang sedang
berambisi untuk membinasakan satu sama lain.
Menghidupkan rasa kangen dan kerinduan itulah fungsi surat menyurat. Para tukang
pos JRS ini terus menggosok rasa kangen dan kerinduan antara kelompok pro-integrasi dan
pro-kemerdekaan. Pekerjaan ini semakin mendapatkan ruang dan diterima oleh para
pengungsi (milisi) pro-integrasi dan juga pro-kemerdekaan karena JRS dipandang sebagai
lembaga kemanusiaan religius. Simbol religius ini sangat menguntungkan bagi pekerja JRS
untuk terus melakukan tugasnya dalam membangkitkan rasa rindu di antara warga
Timor-Leste yang baru saja berkonflik secara brutal. Rasa rindu atau kangen ini diharapkan akan
mencairkan ketakutan akan persentuhan tubuh-tubuh yang tercerai berai oleh pilihan
ideologi-politik dan identitas kolektif yang telah membuat kehidupan mereka terpecah
belah akibat konflik kekerasan. Demikian dikatakan oleh Prihamangku,
“Keuntungannnya, JRS itu sebagai lembaga religius….religius itu sangat dihormati
oleh tradisi Timor Barat maupun Timor-Leste….suster, frater bisa masuk ke mana -mana, meskipun ada ketakutan, tetapi saya mengira bahwa tidak akan
diapa-apakan….kalau ketemu (orang) TimTim....terus memberitahu ini Amo (Romo), langsung hormat…milisi-milisi pun hormat dan cium tangan….saya pernah
mengantar surat ke daerah Aileu, markasnya Falintil, bersama dengan sopir dari Timor-Leste, tiba-tiba dicegat…mereka keluar dari semak-semak dengan
membawa senapan otomatis…teman saya bilang Amo…terus mereka bilang silahkan Amo…silahkan Amo…”12
12
Program rekonsiliasi dan repatriasi menjadi program pokok bagi JRS, karena
berbagai pertimbangan yang mendesak dan sebenarnya juga sangat “politis.” Program ini dilakukan dengan tujuan yang jelas yakni memulangkan (repatriasi) para pengungsi dari
Timor Barat ke Timor-Leste. Karena sebagian besar pengungsi adalah mereka yang
disinyalir pro-integrasi, maka proses pemulangan itu bukan perkara yang mudah. Para
pengungsi pro-integrasi dan kelompok para milisi belum bisa menerima kalau Timor-Leste
sudah merdeka. Selain itu, seperti sudah banyak diketahui bahwa para milisi adalah mereka
yang melakukan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Mereka yang secara sadar atau
ter(di)paksa menjadi milisi pro-integrasi jelas memiliki beban yang cukup sulit untuk bisa
kembali ke Timor-Leste. Mereka sadar bahwa mereka telah menjadi pembunuh dan pelaku
kejahatan bagi saudara mereka sendiri.
Oleh karena itu, sebelum proses pemulangan, JRS melakukan program rekonsiliasi
terlebih dahulu. Pada titik inilah sebenarnya banyak menguras energi para pekerja
kemanusiaan, karena melakukan program rekonsiliasi berarti harus mendengarkan berbagai
pengakuan tentang tindak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang seringkali sifatnya
sangat personal. Pilihan ini tidak bisa dihindari oleh JRS, karena melakukan rekonsiliasi
berarti harus tahu persoalan yang paling pokok mengapa seseorang menyimpan dendam
dan kebencian dengan orang lain. Hal ini membutuhkan pendekatan yang sangat intensif
dan personal. Pendekatan personal ini menjadi pilihan karena kendala komunikasi yang
terjadi antara para pengungsi di Timor Barat dan warga yang berada di Timor-Leste
rumahnya dirusak, dendam pribadi karena cinta-asmara dan lain sebagainya, menjadi begitu
kuat mewarnai komunikasi antar mereka.
Semula memang api kemarahan dan kekerasan secara legal didukung oleh militer dan
pemerintah Indonesia, demi sebuah kesatuan dan nasionalisme. Namun, saat mereka
melakukan pembunuhan, penghancuran, dan aksi kekerasan lainnya yang membuat saudara
mereka sendiri menderita, tidak ada tanggung jawab dari militer, pemerintah atau bahkan
negara atas apa yang sudah mereka lakukan. Kekerasan akhirnya membuat siapa saja
menjadi korban. Saat kekerasan dilakukan, individu tidak pernah berpikir bahwa akan ada
akibat pada “ketiadaan” (absence) yang begitu mengerikan. Ketiadaan membawa sebuah kompleks dan produksi rasa takut yang terus mencengkam, namun termuat juga sebuah
potensi untuk penguatan terhadap pribadi, bahkan bisa jadi menjadi pengalaman ecstatic.13