Dominick LaCapra (2001) dalam bukunya Writing History, Writing Trauma.
LaCapra mengelaborasi pendekatan psikoanalisa dan dekonstruksi untuk membaca
kembali pengalaman traumatis masyarakat Jerman dalam ingatan sejarah mereka
tentang Holocaust. Sejarah yang dia maksudkan adalah sejarah yang syarat dengan muatan tragedi kemanusiaan, seperti yang dialami oleh masyarakat Jerman terhadap pembantaian
warga Yahudi yang dilakukan oleh kaum Nazi Jerman di bawah komando Hitler.
Untuk meneropong peristiwa sejarah tersebut, LaCapra menegaskan bahwa
pendekatan dekonstruksi dan psikoanalisa bisa dijadikan salah satu alat analisa untuk
memahami tragedi kemanusiaaan masa lalu, seperti diterangkannya demikian:
“I would make a correlation that will be significant in my later argument – a correlation that indicates the desirability of relating deconstructive and psychoanalytic concepts. I would argue, or at least suggest, that undecidability and unregulated differance, threatening to disaraticulate relations, confuse self and other, and collapse all distinctions, including that between present and past, are related to transference and prevail in trauma and in post-traumatic acting out in which one is haunted or possessed by the past and performatively caught up in the compulsive repetition of traumatic scene – scenes in which the past returns and the future is blocked or fatalistically caught up in a melancholic feedback loop. In acting out, tenses implode, and it is as if one were back there in the past reliving the traumatic
scene.”24
LaCapra menegaskan cara pandang psikoanalisa tentang masa lalu dalam dua
kategori yang tegas dan berbeda, namun saling terkait satu sama lainnya yaitu: acting out
24
Dominick LaCapra, Writing History, Writing Trauma (selanjutnya disingkat WHWT), Baltimore and London: Johns Hopkins University Press, 2001, hal. 21.
dan working through. Namun demikian, konsep working through haruslah menjadi pijakan dasar untuk bersikap terhadap masa lalu. Demikian ungkapnya,
“Any duality (or double inscription) of time (past and present or future) is experientially
collapsed or productive only of aporias and double binds. In this sense, the aporia and the double bind might be seen as marking a trauma that has not been worked through. Working through is an articulary practice: to the extent one works through trauma (as well as transferintial relations in general), one is able to distinguish between past and present and to recall in memory that something happened to one (or one‟s people) back then while realizing that one is living here and now with openings to the future.”25
Dengan tegas, LaCapra mengangkat kembali peran ingatan (memory) dalam sebuah pengalaman traumatis masa lalu untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah
atau historiografi. Baginya, trauma masa lalu bukan saja bagian dari pengalaman yang
sekedar dihadirkan kembali pada masa sekarang dan kemudian langsung bisa digunakan
untuk menata masa depan. Tentu saja tidak semudah itu, karena tindakan mengingat dan
menghadirkan trauma masa lalu yang terkait dengan kejadian kejam selalu membawa
kompleksitasnya sendiri. Bahkan bagi kebanyakan orang menghadirkan trauma masa lalu
bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika trauma ini dibebani oleh berbagai persoalan politik
dan dibalut oleh berbagai kepentingan untuk melanggengkan narasi-narasi besar dalam
sejarah atau historiografi. Jika demikian, narasi-narasi besar itu pasti juga akan digunakan
untuk melanggengkan impunitas atau sakralisasi terhadap berbagai bentuk pelanggaran
HAM dan kejahatan kemanusiaan berat.
Tentu saja banyak hal terkait dengan pelanggaran HAM, pembunuhan massal,
penangkapan misterius, penyiksaan, dan lain sebagainya, tidak bisa langsung diungkap
kebenarannya. Diterbitkannya dokumen Chega! (2010) dan Per Memoriam Ad Spem
25
(2010) sebagai upaya untuk pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM dan tragedi
kekerasan di Timor-Leste tenyata tidak membuat satu pun pelaku, terutama dari kalangan
pejabat tinggi (militer) Indonesia, bisa dihadirkan dalam pengadilan untuk dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan mereka yang jelas-jelas telah melanggar HAM dan
tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu berarti bahwa pengungkapan kebenaran
sejarah masa lalu, tidak langsung berakibat pada terwujudnya keadilan.
Untuk itu, bagi LaCapra, apa yang dimaksudkannya dengan memanggil kembali
ingatan akan trauma masa lalu, sebenarnya bukan saja sebuah tindakan mengingat dan
menghadirkan peristiwa keji masa lalu, namun memiliki dampak yang kompleks
menyangkut sebuah pertaruhan politik dan kekuasaan. Persoalan tersebut masih selalu
diikat oleh narasi besar dalam sejarah atau historiografi rezim totaliter-otoriter. Ingatan
tentang masa lalu menjadi sangat rumit karena sebenarnya berisi tentang berbagai distorsi,
mitos dan terlebih kebohongan yang sengaja dilakukan oleh rezim totaliter-otoriter. Dalam
sejarah atau historiografi rezim totaliter-otoriter tersebut pengalaman-pengalaman traumatis
para korban dengan sengaja dimarginalkan dan bahkan seringkali dianggap tidak pernah
ada. Maka dari itu, LaCapra dengan sangat jelas menegaskan bahwa struktur sejarah atau
historiografi harus dibaca kembali dengan metode psikoanalisa, yakni lewat cara“acting out” dan terlebih untuk sampai pada kesadaran “working through”.
Kedua konsep itu merupakan tindakan untuk kembali menghadirkan pengalaman
masa lalu, terutama terkait dengan peristiwa traumatis, namun keduanya berbeda dalam
cara dan landasan kesadaran dalam menghadirkan masa lalu tersebut. “Acting out” adalah sebentuk tindakan repetitif dan usaha untuk menghadirkan masa lalu, namun dorongan
kompulsif masih mendominasi kesadaran orang dalam mengingat masa lalu dan
menghadirkannya kembali di masa sekarang. Sumber dari dorongan acting out adalah pengalaman ketiadaan. Pengalaman ketiadaan ini mengakibatkan situasi kedirian manusia
dipenuhi oleh perasaan takut yang mendalam. Maka orang tidak dikendalikan oleh
rasionalitasnya, namun lebih oleh perasaan emosinya. Untuk mengatasi rasa takut itu,
seseorang justru terus berkubang dalam cengkraman kolonisasi naluri kematian. Naluri
kematian inilah yang akan menimbulkan ketidaksadaran berlangsung terus dan pada
akhirnya akan menimbulkan mesin-mesin destruksi yang mematikan dalam berbagai
bentuknya, seperti perasaan dendam, benci, marah, curiga, tidak percaya dan lain
sebagainya.
Sedangkan, “working through” adalah sebuah tindakan kembali ke masa lalu, menghadirkannya kembali di masa sekarang, namun ada unsur kesadaran untuk mengambil
jarak secara kritis sehingga ada usaha untuk meletakkan kesadaran itu baik di masa lalu,
sekarang dan waktu yang akan datang. Ingatan pun tidak lagi dikuasai oleh ikatan-ikatan
emosi-kompulsif asalkan tindakan ini dilambari oleh kesadaran rasional-kritis. Working through bisa terjadi saat seseorang melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman romantisme-melankolia masa lalu. Sikap terhadap masa lalu tidak lagi terjerat oleh situasi
ketiadaan total, namun bisa menggeser pengalaman ketiadaan itu menjadi pengalaman
kehilangan.
Dari sana muncul sebuah dorongan untuk melakukan ratapan atas pengalaman
kehilangan bukan sebagai bentuk romantisme-melankolia, namun dengan menumbuhkan
waktu seseorang akan menemukan dirinya mampu menerobos belenggu ketakutan akan
kehilangan dan berbalik melakukan perlawanan terhadap perasaan takut yang
mengurungnya itu. Perlawanan ini bukan dalam arti emosional-kompulsif, namun dalam
rangka untuk lepas dari kendali naluri kematian. Pada momen itu, perasaan takut akan
berubah menjadi pengalaman sadar dan ingatan membantu untuk memutuskan rantai
ketidaksadaran. Dalam situasi ini, kesadaran diri tidak lagi dicengkram oleh pengalaman
traumatis, melainkan ada keberanian untuk menempatkan naluri kehidupan dalam
kesadaran yang lebih rasional-kritis baik di masa lalu, masa sekarang dan yang akan
datang.
Oleh karena itu, tindakan kembali ke masa lalu tidaklah sesederhana yang kita
bayangkan dan lakukan seperti halnya memencet tombol-tombol ingatan yang ada di dalam
diri kita. Saat kita ingin mengingat sesuatu di masa lalu, tinggal memencel tombol itu, dan
kita sudah berada pada situasi masa lalu. Namun bagi LaCapra, masa lalu yang terkait
dengan tragedi kemanusiaan yang mengerikan, selalu memuat unsur politik dan etika.
Maka dari itu, tindakan mengingat haruslah dengan landasan kesadaran kritis dan bukan
sekedar dorongan kompulsif belaka. Bukan tindakan “acting out” saja, melainkan harus sampai pada proses “working through” terhadap pengalaman traumatis yang terjadi pada masa lalu.
LaCapra masih menambahkan satu pijakan teori untuk melihat masa lalu dengan
menggunakan pemikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksi. Pokok pemikiran yang
dikembangkan oleh Derrida dalam gagasan dekonstruksinya adalah tentang “differance.”
berpikir dekonstruktif ini digunakan oleh LaCapra untuk menganalisa apa yang berbeda
dari “working through” dan “acting out.” Berpijak dari dua konsep ini, sebenarnya LaCapra tidak sedang menghilangkan keberadaan peran dari dua konsep tersebut,
melainkan sedang menunjukkan bagaimana kedua konsep kalau tidak hati-hati digunakan
bisa terjebak pada perangkap oposisi biner.
LaCapra ingin menekankan bahwa dalam sebuah proses tindakan untuk mengingat
peristiwa kekerasan masa lalu, konsep “working through” harus menjadi metode yang kuat, agar tindakan mengingat tidak sekedar didorong oleh perasaan kompulsif-emosional.
Meskipun tidak bisa dihindari bahwa “acting out” yang mengandung tindakan emosional-kompulsif akan selalu muncul dalam semua tindakan mengingat tragedi kekerasan masa
lalu. Perangkap oposisi biner selalu muncul dalam tindakan kita mengingat masa lalu yang
dipenuhi oleh berbagai pelanggaran HAM dan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam persinggungan tersebut, LaCapra mengatakan pentingnya pendekatan dekonstruksi
Derrida tersebut, yakni membuat “jeda” antara tindakan mengingat acting out yang emosional-kompulsif dan tindakan working through yang didasarkan pada kesadaran rasional-kritis. Metode dekonstruksi bisa memberikan “jeda” terhadap tercampurnya
tindakan mengingat masa lalu pada sekarang dan yang akan datang, baik itu berupa “acting out” dan “working through.” Karenanya kedua konsep ini sebenarnya masih menyimpan berbagai pola oposisi biner yang sangat kuat.
Metode psikoanalis dan dekonstruksi tersebut akan digunakan untuk menganalisa
narasi-narasi yang di(re)produksi oleh para pekerja kemanusiaan JRS yang terlibat dalam
merupakan bagian dari keterlibatan, empati dan solidaritas terhadap penderitaan para
pengungsi dan penyintas. Salah satu narasi pengalaman itu bisa dibaca dari tulisan salah
staf JRS di Timor Barat, demikian:
“Aku duduk di kursi kayu di depannya dan mendengarkan dengan serius setiap
potongan ceritanya, meskipun kadang-kadang aku kurang mengerti apa yang dia ceritakan. Aku sangat tersentuh ketika dia bercerita tentang istrinya, Olinda. Selama ini aku melihat istrinya itu sangat pendiam dan sedih. Dia tampak tidak bahagia setiap kali aku berkunjung ke rumahnya. Dia hanya berbicara beberapa kata saja dan matanya menatap sesuatu yang jauh. Dan itu benar bahwa saudara dan orang tua istri Pak Filipe ini ada di Timor-Leste. Dia satu-satunya yang tinggal terpisah di Kupang, Timor Barat. Sebenarnya Ibu Olinda sangat ingin untuk berkunjung ke orang tua dan saudara-saudaranya tetapi ini akan membutuhkan banyak uang. Pak Filipe berkata: „Dia hanya sendiri tinggal di sini, yang lainnya ada di Timor Timur. Sedih juga karena kita harus mengeluarkan uang untuk membuat passport untuknya meskipun dia hanya ingin berkunjung ke saudaranya di sana, maka hanya mengirim kopi dan gula saja harus membuat passport?‟ Semacam tradisi bagi mereka untuk memberi sesuatu seperti beras, kopi, gula, dll sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Aku bertanya-tanya berapa lama dia akan menunggu selama 6 sampai 10 tahun untuk pulang ke Timor Timur dan jika ada kesempatan dia akan meminta seluruh warga Dilor di Kamp Naibonat untuk pulang dengan jalan kaki bersama-sama dalam barisan yang rapi.”26
Keterlibatan langsung dengan detak hidup para pengungsi dan penyintas menjadi
salah satu kegiatan utama dan rutin dilakukan oleh para pekerja kemanusiaan di JRS.
Mereka menyentuh dan mencium langsung bagaimana aroma penderitaan yang dialami
oleh para pengungsi asal Timor-Leste. LaCapra mau memperlihatkan bahwa “keterlibatan”
pekerja kemanusiaan tersebut akan sangat terkait dengan pengalaman trauma, ketiadaan
dan kehilangan yang dialami oleh para pengungsi dan penyintas. Dalam penggalan catatan
yang dilakukan oleh salah satu staf JRS tersebut, bisa terpampang sebuah gambaran tentang
pengalaman “ketiadaan dan kehilangan” yang dialami oleh Ibu Olinda.
26
Dikutip langsung dari tulisan Philus Yanuarto, Dokumen JRS Timor Barat, dokumen JRS Indonesia.
Dalam konsep LaCapra, ketiadaan dan kehilangan tidak dalam sebuah ruang dan
konsep yang sama. Dua peristiwa itu, barangkali bisa saja secara fisik sama, namun
ketiadaan dan kehilangan tidak sama dalam bentuk pemahaman dan makna yang dialami
oleh semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Apakah Ibu Olinda mengalami
“ketiadaan dan kehilangan” dalam sebuah satuan ruang dan waktu yang bersamaan? Hal ini
bisa dilihat dari konteks trauma dan sejarahnya. LaCapra mau menilik lebih jauh bahwa
trauma yang dialami oleh Ibu Olinda menjadi sangat khusus karena trauma itu terkait erat
dengan peristiwa kekerasan yang terjadi pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste.
Bagi LaCapra, apakah pengalaman Ibu Olinda yang dituliskan oleh staf JRS tersebut
bisa sah sebagai bukti dalam penulisan sejarah? Penulisan sejarah biasanya terjebak pada
model dokumen dan self-sufficient riset model. Model ini lebih menekankan pada studi tentang arsip dokumen dan biasanya akan terjebak pada kuantitatif riset. Secara alamiah,
model riset semacam ini akan menghilangkan sebuah unsur fundamental dalam studi
sejarah yakni penggunaan bahasa dalam struktur naratifnya.
Karena itu, bagi LaCapra bahan sejarah atau historiografi itu sendiri bisa saja berupa
narasi, interpretasi dan analisa. Apa yang ditulis oleh staf JRS tentang kisah Ibu Olinda,
sebenarnya adalah sebuah penggabungan dari narasi, interpretasi dan analisa. Tidak ada
dokumen resmi yang mencatat pengalaman Ibu Olinda. Jika staf JRS tersebut tidak bertemu
dengan keluarga Pak Filipe, apa yang dialami oleh Ibu Olinda mungkin tidak akan pernah
terekam dalam sejarah pengungsian di Timor Barat. Dan saat kisah Ibu Olinda direkam
oleh staf JRS, sebenarnya tidak ada dampak politik yang luar biasa dari kisah Ibu Olinda
Lantas apa pentingnya kisah perempuan pendiam yang merasa kehilangan kontak
dengan saudara-saudaranya di Timor-Leste akibat konflik pasca Jajak Pendapat 1999
tersebut? Apa yang bisa menarik perhatian kita terhadap keinginan seorang Ibu sederhana
yang ingin mengirimkan kopi dan gula kepada sanak saudaranya yang sudah lama berpisah
dengan dirinya? Tentu saja hal ini adalah sebuah peristiwa yang sangat lumrah. Namun, apa
yang lumrah ini menjadi sebuah denyut yang begitu kuat saat peristiwa lumrah itu
ditangkap oleh seorang pekerja kemanusiaan JRS dalam konteks yang sangat luas, yakni
kekejaman dan kekerasan politik pasca Jajak Pendapat 1999 di Timor-Leste.
Persis pada penggalan kisah yang tidak terdokumentasikan secara resmi inilah,
LaCapra membangkitkan sebuah gagasan yang sangat kuat tentang historiografi dari
bawah. Sebuah gagasan historiografi yang didasarkan pada narasi, interpretasi dan analisa
yang seringkali luput dari perhatian para sejarawan. Tentu saja, perspektif alternatif ini
tidak bisa langsung diterima, bagaimana kita akan melihat kebenaran masa lampau hanya
dari sudut pandang sebuah tuturan naratif yang tidak resmi? Padahal, jika masa lampau itu
menjadi sumber dari penulisan sejarah, misalnya para pengungsi, seringkali tidak pernah
tercatat secara baik dalam sebuah sistem administrasi kekuasaan tertentu. Kisah Ibu Olinda
dan para pengungsi, tentu bukan kisah yang akan mendapatkan perhatian, apalagi kisah Ibu
Olinda dan para pengungsi sebenarnya merupakan feses kekuasaan. Artinya, siapa saja
yang duduk sebagai penguasa, dengan segera ingin membuang kisah itu dari mukannya dan
segera melupakannya.
Itu artinya, kebenaran di tengah pusaran “kekuasaan masa lampau” selalu terancam
diungkapkan oleh Frank Ankersmit yang dikutip oleh LaCapra menjadi sangat problematis,
demikian:
“Picture of the past.”…Saying true things about the past is easy – anybody can do that – but saying rights things about the past is difficult. That truly (sic) requires historical insight and
originality….I have elsewhere called these “picture of the past” narrative substance.”27
Persoalan masa lampau, apalagi menyangkut sebuah kekerasan politik, tidak mudah
untuk selalu diingat apalagi dicarikan sebuah bukti pendukung atas persoalan tersebut.
Karena itu, masalah kebenaran di masa lampau, tidak selalu bisa diungkap sebagai bukti
valid atas kebenaran yang ingin diungkap. Seringkali apa yang dijadikan bahan dasar untuk
berbicara tentang masa lalu merupakan tuturan lisan dan ingatan dari para penyintas, sejauh
ingatan itu pernah diungkapkan oleh para penyintas sendiri. Ingatan menjadi salah satu
kunci yang sangat penting dalam membuka kedok kejahatan politik masa lalu.
Maka dari itu, semiotika sangat membantu ingatan bagaimana cara membaca dan
menafsirkan sejarah atau historiografi tentang Timor-Leste pasca Jajak Pendapat tahun
1999. Pendekatan ini menjadi salah satu cara untuk mengetahui bagaimana proses
demitologisasi terhadap pendakuan kebenaran pada masa lalu, terutama terkait dengan
tragedi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang sangat kuat menguasai ruang publik.
Dominick LaCapra (2001) dalam studinya tentang Holocaust berpendapat bahwa ada dua pendekatan yang selama ini sangat kuat berpengaruh dalam historiografi, yaitu: pertama,
pendekatan dokumenter atau self-sufficient research model dan kedua, konstruktivisme
27
radikal (radical constructivism). Kedua pendekatan ini masih dipakai dan diperdebatkan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, terutama sejarah.28
Pendekatan dokumenter atau self-sufficient model menggunakan berbagai macam bentuk arsip dan dokumen-dokumen sebagai dasar untuk menjelaskan otentisitas fakta
masa lalu. Berdasarkan fakta masa lalu tersebut dijadikan dasar dalam menyusun narasi.
Dalam model ini, menulis (writing) tidak menjadi persoalan, namun menjadi subordinasi dari berbagai bentuk fakta, narasi dan analisa. Menulis (writing) dijadikan alat atau medium untuk mengungkapkan berbagai peristiwa dan kejadian masa lalu dan diharapkan bisa
membuka jendela (ingatan) ke masa lalu.
Bahkan, dalam pengertian yang lebih ketat (ekstrim), paradigma dokumenter ini
menggunakan metode kuantitatif untuk menjelaskan kebenaran historiografi dengan
mengacu pada bukti-bukti dalam berbagai bentuknya sebagai berikut: 1). Secara ketat
membedakan antara subyek dan obyek; 2). Kecenderungannya mengkombinasikan
obyektivitas dengan obyektivisme atau secara tegas mengartikan obyektivitas dengan
merujuk pada pernyataan-pernyataan pihak ketiga, kutipan langsung, ringkasan atau
parafrase; 3). Sebuah identifikasi pemahaman historis dengan penjelasan kausalitas atau
dengan kemungkinan kontekstualisasi pada liyan (the other); 4). Penolakan terhadap pengulangan (transference) atau pengaruh peneliti (observer) pada obyek yang sedang diteliti (observation); 5). Sebuah ekslusi atau peniadaan relasi dialogis antara suara atau perspektif peneliti (observer) dengan apa yang sedang diteliti agar asumsi, keterikatan afektif, dan nilai-nilai pribadi tidak berpengaruh pada obyektivitas penelitian.
28
Dengan demikian, paradigma self-sufficient ini hendak menghasilkan historiografi yang pendakuan kebenarannya benar-benar didasarkan bukti otentik (irreducible “aboutness”) dan sangat menekankan penggunaan pernyataan langsung sebagai referensi atas fakta-fakta masa lalu. Historiografi-pun akan disusun berdasarkan struktur dan data
yang komprehensif yang kemudian dituangkan dalam alur narasi, interpretasi dan analisa
yang ketat. Dalil-dalil tersebut akan membedakan penulisan historiografi dengan penulisan
fiksi.29
Sedangkan pendekatan konstruktivisme radikal sangatlah berbeda dengan self-sufficient model. Pendekatan ini lebih menerima pembedaan antara pernyataan historis dan fiksional sebagai referensi atas fakta-fakta masa lalu. Bahkan, pendekatan ini bisa
akomodatif terhadap penggunaan fakta-fakta masa lalu, entah itu sebagai fakta historis atau
fiksi dalam semua lapis struktur cara berpikirnya. Karenanya, para pendukung model ini
memiliki cara yang berbeda dalam metodologi pengumpulan data dan penyusunan
historiografi. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah diterimanya berbagai bentuk
fiksi, sastra dan estetika dalam struktur penulisan historiografi. Tekanan utamanya bahwa
historiografi bisa saja disusun menyerupai sebuah fiksi.
Fiksionalitas menjadi materi utama dalam penyajian tentang masa lalu dan cenderung
sebuah pemaparan sejarah yang tertutup. Karena itu, peneliti (penulis historiografi)
mengalami sendiri reduksi berbagai imajinasi tentang masa lalu. Artinya, imajinasi masa
lalu mungkin akan tereduksi otentisitasnya namun tidak akan sampai pada pengalaman
29
pembaca (atau penonton). Persoalan itu hanya diketahui oleh si peneliti. Dua pendekatan
atau paradigma berpikir tersebut masih terus mewarnai historiografi modern.
Masing-masing memiliki pendukungnya dan juga penentangnya. Namun sebagai sebuah
pendekatan, keduanya bisa saja menyimpulkan kebenaran yang kuat tentang apa yang
terjadi di masa lalu.
Pendekatan konstruktivisme radikal bisa saja menjadi salah satu bentuk pendekatan
dalam historiografi. Sedangkan self-sufficient model, meskipun terkesan merupakan historiografi konvensional, tetap pula bisa melahirkan kebenaran tentang masa lalu.
Problem yang tidak bisa cepat diurai dan masih berjalan terus bahwa kenyataan umum
dalam konteks ilmu-ilmu sosial, model historiografi konvensional ini justru paling kuat dan