Topik dan tema kekerasan, terkhusus (politik) ingatan, sebenarnya bukan hal baru
sebagai bahan kajian atau tesis bagi mahasiswa/i Ilmu Religi dan Budaya, Universitas
Sanata Dharma. Topik kekerasan dan kaitannya dengan nasionalisme pernah dikaji dengan
sangat menarik oleh Teuku Kemal Fasya (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Narasi Kekerasan dan Libido Nasionalisme dalam Gerakan Sosial, (Potret Gerakan Mahasiswa Aceh 1999-2002)”. Tesis ini mempersoalkan bagaimana narasi kekerasan memiliki ikatan yang sangat dekat dengan berbagai persoalan kebangsaan dan nasionalisme di Aceh.
Sebagai orang (muda) Aceh yang terlibat dalam gerakan sosial yang penuh dengan sejarah
kekerasan, Teuku Kemal Fasya mengungkap dengan sangat lengkap berbagai wacana yang
terjadi dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di bumi Aceh tersebut. Maka dari
itu, agar tidak terjebak pada pendekatan strukturalisme, Kemal mencoba melakukan analisa
narasi terhadap teks dan bahasa yang terkait dengan pengalaman-pengalaman kekerasan
masyarakat Aceh. Salah satu teks yang menjadi pijakannya adalah Hikayat Perang Sabil.
Kemal Fasya menggunakan pendekatan Freudian untuk memahami berbagai
persoalan mendasar tentang nasionalisme di kalangan mahasiswa Aceh dan munculnya
gerakan sosial baru. Menariknya tesis ini juga mempersoalkan pendekatan sejarah dalam
pembentukan dasar-dasar pengetahuan (sosial) masyarakat. Dan Kemal secara gemilang
dan cerdas bisa menjabarkan persoalan tersebut dengan sangat lengkap dan sistematis.
Pokok persoalan dalam tesis Teuku Kemal Fasya adalah bagaimana sejarah (kekerasan)
berperan dalam membentuk ketidaksadaran akan hasrat terbentuknya nasionalisme
(alternatif). Kemal menggunakan istilah libido dalam kategori berpikir Freudian. Libido ini
tersusun berdasarkan pengalaman-pengalaman kefrustasian dan penderitaan masyarakat
Aceh yang selalu tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk
analisa gerakan sosial baru, Kemal menggunakan kerangka teori Alain Touraine dan
Anthony Giddens.
Topik kekerasan dari sudut pandang yang berbeda juga menjadi kajian yang
mendalam dalam tesis berjudul ““Suara-suara di Balik Kesenyapan”: Studi Eksploratif tentang Ingatan Perempuan dan Anak-anak dalam Konflik Poso, Selawesi Tengah.” Tesis yang dibuat oleh Nerlian Gogali (2006) ini mengangkat persoalan suara perempuan dan
teorinya sangat berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh Teuku Kemal Fasya.
Nerlian Gogali menggunakan pendekatan ingatan untuk meneropong persoalan perempuan
dan anak-anak dalam konflik di Poso. Tekanan utamanya pada bagaimana
pengalaman-pengalaman kekerasan membentuk identitas komunitas, terutama pada diri perempuan dan
anak-anak.
Dalam tesisnya tersebut, Nerlian Gogali juga mendasarkan diri pada narasi sejarah.
Dia berusaha untuk melakukan dekonstruksi terhadap narasi sejarah besar dengan narasi
sejarah yang dihasilkan dari pengalaman para korban. Nerlian Gogali berusaha
menunjukkan bahwa setiap individu memiliki peran sangat penting dalam membentuk
konstruksi sejarah dan ingatan kolektif. Terlebih pengalaman korban, seperti dalam konflik
kekerasan di Poso, sangat berperan dalam pembentukan ingatan kolektif. Lebih lanjut,
Nerlian Gogali menegaskan bahwa di tengah kerumunan para korban atau penyintas masih
ada kelompok yang terus termaginalkan suaranya yaitu perempuan dan anak-anak. Sisi
menariknya dari tesis ini adalah bagaimana memberi ruang bicara bagi kelompok paling
tergaminalkan, seperti kelompok perempuan dan anak-anak, di tengah pusaran konflik yang
masif. Karena itu, dengan mengembangkan gagasan Urvashi Butalia (2002), Nerlian Gogali
berusaha menempatkan suara-suara senyap para perempuan dan anak-anak menjadi subyek
pokok dalam narasi sejarah. Dengan demikian, tesis ini mau mendobrak dominasi ingatan
sebagai hasil narasi sejarah besar dan menempatkan posisi kelompok perempuan dan
anak-anak sebagai pemilik atau subyek dari narasi sejarah yang baru di tengah masyarakat
korban.
Masih satu tema dalam persoalan ingatan dan kekerasan, Wahyudi (2008)
Priok 1984.” Dengan mengambil kasus pada peristiwa Priok pada tahun 1984, Wahyudi mau mempersoalkan artikulasi ingatan para korban pasca tumbangnya rezim Soeharto.
Persoalan pokok yang menjadi kajian dalam tesis ini adalah tentang Islah. Menurut Wahyudi, Islah telah memecah solidaritas dan perjuangan para penyintas untuk mengungkap kebenaran dalam Peristiwa Priok. Namun demikian, upaya para korban atau
penyintas untuk menuntaskan persoalan ini ternyata terus berlanjut karena keadilan belum
bisa diwujudkan. Tesis ini mencoba mengkaitkan sesuatu yang sangat mendasar pada
peristiwa kekerasan masa lalu dengan berbagai upaya untuk mengungkap kebenaran dan
mewujudkan keadilan bagi para penyintas. Dari situ, Wahyudi mau mengupas sisi ideologis dari praktik Islah yang digunakan untuk menyelesaikan Peristiwa Priok.
Wahyudi menemukan bahwa praktik Islah yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan Peristiwa Priok sebenarnya tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam.
Mengapa? Karena praktik Islah tersebut ternyata tidak didasarkan pada perwujudan keadilan. Maka dari itu, Wahyudi menegaskan bahwa praktik Islah tidak lebihnya sebuah persekongkolan bersama antara korban dan pelaku untuk mengubur masa lalu.
Persekongkolan itu dia buktikan dalam kasus persidangan HAM Ad Hoc untuk kasus
Tanjung Priok. Proses pengadilan tersebut tidak lebihnya sebagai upaya menutup jalan
untuk mengungkap kebenaran dan mewujudkan keadilan.
Dengan dukungan militer, kelompok pro Islah dengan sangat leluasa melakukan teror dengan beragam cara kepada para korban yang tidak mendukung Islah. Tujuan teror tersebut adalah untuk memperlemah mental kelompok kontra Islah agar tidak memberikan kesaksian apa pun sehingga persidangan bisa digagalkan. Dalam persidangan tersebut, para
memberikan pelupaan ingatan. Hasilnya pun jelas bisa ditebak, para pelaku kekerasan Priok
1984 akhirnya bisa bebas dari jeratan hukum pengadilan HAM Ad Hoc. Temuan menarik
dari tesis ini adalah para korban telah mempolitisasi ingatan mereka sendiri dalam
pengadilan HAM Ad Hoc sehingga bukti tentang pelanggaran HAM akibat kekerasan yang
dilakukan pada tanggal 12 September 1984 akhirnya ter(di)kubur.
Wahyudi juga mengulas bagaimana kekerasan masa lalu selalu menyisakan persoalan
bagi pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan bagi para penyintas. Persoalan
tersebut juga menjadi bahan yang kembali saya angkat dalam tesis ini. Namun konteks
kasusnya sangat berbeda, saya meletakkannya dalam konteks persoalan pengungsi dan
penyintas pasca Jajak Pendapat 1999 di Leste. Penelitian tentang pengungsi
Timor-Leste yang mengungsi di wilayah Timor Barat menjadi tesis yang dikerjakan oleh Aleida
Yovita Sola (2007). Judul tesisnya sendiri berbunyi, “Torehan Sejarah, Taruhan Hidup. Politik Memori Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat, Pasca-Jajak Pendapat 1999.” Tidak jauh berbeda dengan tema-tema kekerasan yang lainnya, Aleida juga mengembangkan analisa narasi dan wacana. Titik tekannya pada usaha untuk
mengangkat narasi perjuangan para pengungsi di tengah wacana dominan yang
di(re)produksi oleh penguasa.
Dalam tesisnya, Aleida juga menggunakan pendekatan ingatan untuk mengangkat
persoalan trauma yang dialami oleh para pengungsi di Timor Barat. Aleida menegaskan
bahwa ingatan para korban kekerasan ternyata mengandung bahaya untuk selalu bias.
Baginya, ingatan tidak pernah murni atau langsung tanpa mediasi. Dalam proses untuk
menggali ingatan para korban, ternyata banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti
ingatan tersebut ditujukkan. Namun demikian, akhirnya Aleida sampai pada kesimpulan
bahwa tuturan langsung dari para korban harus menjadi “fakta” sejarah. Ingatan para
korban, meskipun ada kecenderungan untuk bias, haruslah menjadi subyek penentu sejarah.
Dengan demikian wacana dominan produksi penguasa dengan sendirinya bisa disingkap
kepalsuannya.
Lebih lanjut, tesis yang secara khusus menggali trauma sebagai akibat kekerasan
kolektif dibuat oleh Yustina Dian Rachmawati (2009). Tesis tersebut berjudul
“Menyingkap Lapis Trauma Sekunder, Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998.” Dalam tesisnya, Yustina tidak menempatkan korban atau penyintas sebagai subyek dalam penelitiannya, namun lebih
pada pengalaman pendamping para korban. Yustina melihat bahwa dampak traumatis yang
dialami oleh para korban kekerasan tidak saja tertinggal pada korban langsung, namun juga
berimbas pada para pendamping korban. Lewat tesis ini bisa diketahui bahwa trauma yang
dialami oleh para korban perkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 ternyata juga dialami
oleh para pendamping korban.
Yustina berhasil menyingkapkan bahwa trauma yang dialami oleh para pendamping
korban ini bukan hanya disebabkan bias dari korban perkosaan, namun terlebih karena para
pendamping korban ini mengalami tekanan dari pihak luar, baik dari korban sendiri,
militer, dan masyarakat luas. Kerumitan hubungan korban dan pendamping korban terjadi
karena para pendamping korban mengalami berbagai peristiwa ketidakberdayaan dan
ketakutan yang berdampak pada diri mereka sendiri dan juga terhadap para korban
perkosaan. Para pendamping dan korbannya bagaikan sebuah cermin yang saling
Dari seluruh kajian tentang kekerasan yang sangat beragam baik subyek dan
pendekatannya, lantas apa yang menjadi hal baru dalam tesis saya? Saya tidak
menempatkan korban atau penyintas langsung sebagai subyek penelitian, namun pada para
pekerja kemanusiaan yang mendampingi para pengungsi atau penyintas. Dari sisi subyek
penelitian, tesis ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Yustina. Sedangkan dari konteks
(sejarah) politiknya, tesis saya tidak jauh berbeda dari apa yang sudah dikerjakan oleh
Aleida Yovita Sola yakni pengungsi di Timor Barat pasca Jajak Pendapat 1999. Perspektif
baru yang saya tawarkan dalam tesis ini adalah bagaimana membaca persoalan kekerasan
lewat lintas pendekatan yang fundamental, baik itu kajian narasi, trauma, (politik) ingatan
dan juga pembentukan identitas di kalangan para pekerja kemanusiaan yang pernah
mendampingi para pengungsi dan penyintas konflik kekerasan.
Saya tidak menempatkan narasi para korban langsung, namun melihatnya dari
pengalaman para pendamping korban yang akhirnya mampu me(re)produksi narasi lewat
testimoninya. Tidak hanya berhenti pada pengalaman traumatis, namun bagaimana
pengalaman traumatis itu mereka lampaui dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk
membangun narasi sejarah dari bawah. Kekuatan narasi para pekerja kemanusiaan ini
terletak pada komitmen etisnya untuk mendobrak hegemoni sejarah resmi kekuasaan yang
membelenggu ingatan kolektif. Kekuatan testimoni lapis kedua juga diuji lewat
kemampuannya menyingkap lapis-lapis ketidaksadaran yang dilakukan oleh permainan
politik supra individual untuk terus melanggengkan impunitas dan sakralisasi kekerasan.
Tesis ini juga menggunakan pendekatan ingatan sejarah, namun kekhususannya
bagaimana ingatan bisa menembus proses ketidaksadaran sejarah yang terus berlangsung
tragedi kemanusiaan 1965 di Indonesia ternyata direplikasi dalam proses kolonisasi
Indonesia terhadap Timor-Leste. Dengan membaca ulang pengalaman trauma sejarah lewat
pendekatan semiotis, saya menekankan bahwa pengalaman traumatis yang dialami oleh
para pekerja kemanusiaan JRS pasca Jajak Pendapat 1999 berhasil me(re)produksi tanda
(sign) yang sangat penting untuk membangun (politik) ingatan. (Politik) ingatan sangat fundamental untuk memperjuangkan pengungkapan kebenaran dan perwujudan keadilan
bagi penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor-Leste.