Saya membagi tesis ini di dalam lima (5) bab yang secara garis besar akan berisi
uraian deskriptif analitis sebagai berikut:
Bab I. Dalam bab ini, saya paparkan latar belakang persoalan, rumusan persoalan,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka terkait dengan topik yang saya teliti, kerangka teori,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan tesis.
Bab II. Dalam bab ini, saya akan menguraikan berbagai pendekatan reflektif-teoritis
tentang persoalan kekerasan dan kejahatan masa lalu di Timor-Leste. Refleksi utama dalam
bab ini adalah bagaimana peran semiotika dalam membaca ulang sejarah atau historiografi
rezim Orde Baru. Sejarah atau historiografi warisan rezim otoritarianisme tersebut masih
terus menghambat dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang terkait dengan
pelanggaran HAM berat masa lalu di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999.
Bab III. Dalam bab ini, saya akan memaparkan pengalaman traumatis dan narasi
pengalaman para pekerja kemanusiaan JRS Indonesia dalam melakukan proses
pendampingan bagi para pengungsi dan penyintas Timor-Leste lewat program repatriasi
dan rekonsiliasi pasca Jajak Pendapat 1999. Saya akan mengangkat kekuatan dari
narasi-narasi kecil yang didasarkan pada pengalaman traumatis para pekerja kemanusiaan JRS
dalam perspektif psikonalisa. Narasi pengalaman traumatis tersebut dapat digunakan untuk
melawan politisasi ingatan yang dilakukan oleh para pelaku politik supra individual dalam
melanggengkan impunitas bagi semua pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat
Bab IV. Dalam bab ini, saya akan mengupas secara mendalam (politik) ingatan dan
testimoni lapis kedua. Titik tekannya terletak pada hubungan para pekerja kemanusiaan,
pelaku kejahatan, dan penyintas dalam perspektif dekonstruktif. Para pekerja kemanusiaan
akan terus menciptakan ruang-ruang ingatan bagi para penyintas kekerasan politik untuk
mempertahankan tuntutan mereka atas keadilan, kebenaran dan hak-hak dasar atas hidup
mereka yang sampai sekarang masih berada di ruang gelap. Dengan kata lain, identitas para
pekerja kemanusiaan sangat ditentukan lewat komitmennya dalam melakukan (re)produksi
testimoni lapis kedua dalam membangun ingatan kolektif untuk mematahkan impunitas.
Bab V. Di akhir tesis ini, saya akan merefleksikan bahwa penulisan sejarah atau
historiografi yang didasarkan pada pengalaman traumatis sebenarnya merupakan upaya
untuk membangun kembali peradaban kemanusiaan yang telah dihancurkan oleh kekuatan
BAB II
KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR-LESTE:
(INGATAN) SEJARAH DALAM KACA MATA SEMIOTIKA
The present historical juncture is one of inexpressible gravity; its consequences could be extremely grave. Because so much blood has been spilt and so much vital energy wasted, we must ensure that an answer is found for as many of the unanswered questions we have inherited from the past as possible, so that humanity can return to its path without finding its way blocked again by such a grim mass of misery and injustice and without finding its future marred, before long,
by another catastrophe like this one. (Antonio Gramsci, An Active and Functional Neutrality, page. 3 quoted from Pre-Prison Writing).
Persoalan warisan kekerasan dan kejahatan masa lalu selepas runtuhnya rezim
otoriter-totaliter dan perang saudara selalu menjadi bagian yang sangat kompleks dan rumit
dalam transisi kekuasaan. Kompleksitas persoalan seperti itu terjadi di Timor-Leste pasca
lepas dari Indonesia. Timor-Leste mengalami warisan rezim otoriter-totaliter dan sekaligus
perang saudara yang “dibuat” oleh Indonesia. Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan pada masa lalu yang dilakukan oleh Indonesia selama 24 tahun di Timor-Leste tidak secara
otomatis terselesaikan dengan pergantian rezim dan pemerintahan di Indonesia. Fakta ini
meninggalkan persoalan bagi para korban kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di
Timor-Leste yang menginginkan kebenaran diungkap dan keadilan diwujudkan bagi mereka.
Sampai saat ini, pengungkapan kebenaran dan upaya perwujudan keadilan yang
dilakukan di Timor-Leste sepertinya belum ada kemajuan yang berarti. Mengapa? Karena
pengungkapan kebenaran dan upaya mencari keadilan bagi para korban kekerasan atau
penyintas di Timor-Leste sangat tergantung dari sistem hukum di Indonesia. Padahal sistem
hukum di Indonesia tidak bisa dijadikan sebagai pegangan epistemologi-kebenaran dan
harus berbicara tentang pertanggungjawaban masa lalu Indonesia terhadap Timor-Leste.
Logika bisa saja mengatakan bahwa bukti dan fakta sudah cukup untuk membuka kedok
kejahatan seorang pejabat (militer) pemerintah dalam keterlibatannya dalam peristiwa
kekerasan dan kejahatan pada kemanusiaan di Timor-Leste. Namun perasaan selalu
dikepung oleh keragu-raguan yang cukup menyakitkan bahwa pejabat (militer) pemerintah
itu bisa dipastikan tidak akan pernah benar-benar dibuktikan bersalah dan diadili dalam
ruang pengadilan.
Jika dalam wilayah hukum, perjuangan untuk mengungkapkan kebenaran dan
keadilan atas peristiwa kekerasan dan kejahatan pada masa lalu menemukan jalan buntu,
wilayah lain harus bisa menjadi penjaga agar perjuangan itu tidak berhenti dan kehabisan
energi. Membuat narasi sejarah atau historiografi para korban kekerasan masa lalu
merupakan salah satu cara untuk menjaga energi itu tetap terus hidup. Namun demikian,
narasi terkait peristiwa kekerasan dan kejahatan masa lalu masih terus menjadi polemik,
apakah model narasi ini bisa sahih untuk dijadikan “alat bukti” dalam mengungkapkan kebenaran dan keadilan? Mungkin jawabannya cukup sulit.
Dalam kesadaran konstruktif-yuridis negara modern, keadilan dan kebenaran hanya
terjadi mengikuti prinsip-prinsip hukum dan diikuti dengan penegakan hukum di ruang
pengadilan. Namun, dalam konteks pelanggaran HAM dan kejahatan berat masa lalu,
seringkali logika hukum banyak menemukan hambatan untuk membawa para pelaku
dibuktikan bersalah dan bertanggungjawab atas kejahatan yang sudah diperbuatnya pada
yang memiliki kredibilitas tinggi untuk menjunjung prinsip keadilan dan kebenaran di
dalam ruang pengadilan.
Narasi tidak bisa menggantikan kebenaran dan keadilan dalam konteks logika hukum.
Narasi hanya bisa mempertahankan “konteks dan teks”. Kebenaran dan keadilan yang sulit ditemukan lewat logika hukum, masih bisa diwacanakan secara utuh, lengkap dan jujur
lewat narasi sejarah atau historiografi. Fokus kajian dari narasi sejarah atau historiografi
harus memuat aspek terdalam dari trauma, beban sosial dan penderitaan yang masih
ditanggung oleh para korban kekerasan dan kejahatan politik pada masa lalu. Dari titik
singgung itulah bagian ini akan mengkaji secara mendalam berbagai macam teori tentang
narasi sejarah (historiografi), psikoanalisa, dekonstruksi dan semiotika untuk memahami
bagaimana warisan kekerasan dan kejahatan pada masa lalu bisa dibedah tidak sebatas
dalam perspektif logika hukum saja.
Psikoanalisa, dekonstruksi, dan berbagai model pendekatan semiotis bisa
menyumbang refleksi-kritis tentang kajian kekerasan, pelanggaran HAM dan kejahatan
kemanusiaan berat masa lalu. Meskipun demikian, kajian ini tidak meminggirkan dan
menghilangkan logika hukum sebagai elemen penting dan vital sebagai proses final dalam
berbagai upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan. Sulitnya prinsip-prinsip hukum
untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan masa lalu
dikarenakan praktik hukum untuk menangani persoalan tersebut tidak ada dan secara total
terbelenggu dalam hegemoni sejarah (historiografi) sebagai warisan otoritarianisme rezim