Historiografi tentang tragedi kemanusiaan di Timor-Leste versi pemerintah Indonesia
menyerupai “pepesan kosong”. Namun demikian, teks itu yang harus dikaji dan dipahami, karena teks itu yang melanggengkan impunitas dan menindas ingatan secara totaliter. Sifat
historiografi yang lahir dari rezim totaliter-otoritarian, seperti halnya Orde Baru, cenderung
me(re)produksi “pepesan kosong”, namun sangat berbahaya bagi masa depan kemanusiaan. Dalam konteks ini, LaCapra kembali menekankan bahwa historiografi bukan saja sebuah
catatan masa lalu yang penulisannya hanya didasarkan pada deretan waktu dan
dokumentasi peristiwa, misalnya: “Pada tanggal 21 Januari 1975, Fretilin dan UDT membentuk koalisi”, “Pada April 1975, Ali Moertopo mengundang perwakilan Fretilin dan UDT secara bersama-sama tetapi terpisah untuk berkunjung ke Jakarta”, “Antara Desember 1974 dan Februari 1975, Tim Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha) beranggotakan delapan orang, yang dimpimpin oleh Kolonel Dading Kalbuadi, tiba di Atambua” dan lain sebagainya.38 Karenanya, pembacaan, penafsiran dan pemahaman historiografi harus lebih dari sekedar kronologi waktu dan dokumentasi peristiwa.
Kronologi waktu dan dokumentasi peristiwa tidaklah mengatakan apa pun tentang
apa sebenarnya yang terjadi dibalik semua peristiwa dan kejadian yang berada dalam ruang
dan waktu masa lalu. Model historiografi seperti itu memang membantu ingatan akan
38
sebuah peristiwa, namun menghancurkan ingatan yang lain, yaitu bagaimana manusia
mengalami ketakutan, ketidakadilan, penyiksaan, kelaparan, pembunuhan dan lain
sebagainya tidak bisa terbaca dan terungkap secara jujur dan jelas.
Singkatnya, bagi LaCapra historiografi konvesional tidak mampu menembus
penggambaran tentang aspek traumatis dalam tragedi manusia di balik sebuah peristiwa
sejarah. Historiografi konvensional tidak mampu membahasakan trauma dalam bentuk
narasi yang dialami dalam sebuah tragedi kemanusiaan yang begitu besar dan luas
dampaknya. Karena itu, LaCapra menawarkan sebuah pendekatan yang cukup menarik
untuk membaca dan menafsirkan historiografi sebagai produk teks yaitu dengan kerangka
berpikir psikoanalisa dan dekonstruksi. Maka dalam tesis ini saya mengkombinasikan
pendekatan yang digagas oleh LaCapra dengan menyebutnya sebagai nalar semiotis.
Dalam bingkai nalar semiotis tersebut, saya akan membaca dan menafsirkan tragedi
kemanusiaan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat tahun 1999. Kronologi waktu dan
peristiwa yang terjadi di Timor-Leste pada waktu itu, tidak saya paparkan dalam paradigma
self-sufficient atau dokumenter seperti yang biasa dilakukan oleh para sejarawan dalam menyusun historiografi konvensional, serta tidak pula dalam kerangka konstruktivisme
radikal yang seringkali cenderung menekankan dimensi fiksionalitas dalam historiografi.
Metode “jalan tengah” seperti yang digagas oleh LaCapra menjadi acuan utama bagaimana saya membaca, menafsirkan, memahami dan merefleksikan kekerasan dan kejahatan
kemanusiaan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat tahun 1999. “Jalan tengah” tersebut
dalam gagasan LaCapra disebut sebagai peran dan fungsi “middle voice”. Dalam penelitian ini, “middle voice” direpresentasikan pada kalangan pekerja kemanusiaan di JRS Indonesia
dengan kompleksitas pengalamannya selama mendampingi para pengungsi dan penyintas
asal Timor-Leste dalam program repatriasi dan rekonsiliasi dari 1999-2004.
Dengan memakai skema Roland Barthes (St. Sunardi, 2002) dalam membedah mitos,
kita bisa melihat bagaimana historiografi warisan Orde Baru membentuk ruang ingatan dan
narasi para pekerja kemanusiaan di JRS? Setelah itu, bagaimana symptom-symptom ingatan tersebut dibenturkan dengan pengalaman mereka sendiri selama bersentuhan langsung
dengan para pengungsi dan penyintas (survivors) yang mereka dampingi dalam program rekonsiliasi dan repatriasi? Apakah perjumpaan dengan para pengungsi membuka ruang
keputusan untuk menunda (dekonstruksi) makna terhadap mitos historiografi warisan Orde Baru? Dan apakah tragedi kemanusiaan di Timor-Leste masih membuat makna “tak sadar”
yang terus menyetir ingatan dan narasi para pekerja kemanusiaan? Dalam konteks tersebut,
apakah historiografi Orde Baru (signifiant) masih memberikan sumbangan pada
“ketidaksadaran” makna (signifie) pada persoalan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan pasca Jajak Pendapat di Timor-Leste?
Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste pasca Jajak Pendapat masih
menyisakan problem impunitas yang berkepanjangan. Kebenaran berada dalam ruang
kegelapan. Kebenaran menurut siapa? Narasi yang dibuat versi pelaku (perpetrators)
menjadi sebuah bayang-bayang yang tak berujung pangkal, karena hanya sebuah dalih
untuk menutupi dusta dan kepalsuan. Maka, produksi dan reproduksi historiografi bagaikan
sebuah kebenaran. Seperti ditulis oleh Jujun Suriasumantri demikian, “Tapi kebenaran lalu jadi rumit Andai ke-tidakbenar-an, yang dibenarkan….”39
Dan disinilah letak persoalannya bagaimana historiografi dibaca dalam nalar
semiotis. Penelitian ini ingin membaca dan memahami apa yang sebenarnya “kebenaran”, “ke-tidakbenar-an” dan “ke-tidakbenar-an yang dibenarkan”. Dalam pemikiran Roland
Barthes, mitos yang terkandung dalam historiografi akan bergerak dalam tegangan tersebut.
Mitos harus dicari dalam “pepesan kosong”, namun mitos itu masih terus operasional
dalam ruang ingatan banyak orang yang mengalami, menyaksikan, melihat, dan seterusnya,
semua peristiwa yang terjadi di Timor-Leste pada tahun 1999 dan sesudahnya.
Mitos itu sendiri merupakan sistem semiotik. Seperti diterangkan oleh St. Sunardi
(2002) demikian,
“Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu
form, concept, dan signification. Dengan kata lain, form sejajar dengan signifier, concept
dengan signified, dan signification dengan sign. Pembedaan istilah-istilah ini dimaksudkan bukan hanya supaya kita tidak bingung, melainkan juga karena proses signification dalam sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat dua tidak persis sama. Kalau sistem pertama adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem kedua memang mengambil model sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pada sistem kedua.”40
Narasi dalam sebuah historiografi bisa dikaji sebagai sebentuk mitologi, karena
semiotika sendiri mengakui bahwa historiografi sendiri merupakan bagian dari ilmu-ilmu
sosial, terutama sejarah. Hal ini juga ditegaskan oleh Roland Barthes demikian,
39
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal. 1.
40
“Mitologi menjadi bagian dari semiotika sejauh mitologi merupakan ilmu formal,”[…]dan menjadi bagian ideologi sejauh mitologi menyangkut ilmu sejarah, yaitu mempelajari ide-ide-dalam-bentuk (ideas-in-form).41
Lebih lanjut dituliskan oleh St. Sunardi bahwa “Pengalaman atau pengetahuan tentang sejarah menjadi faktor kunci untuk menangkap form dari sebuah mitos.”42
Setelah
form dari sebuah mitos ditangkap, maka diteruskan dengan membongkar mitos tersebut. Roland Barthes sendiri sudah mengembangkan metode untuk membongkar mitos yang
disebutnya dengan demontage semiologique atau pembongkaran semiologi. Barthes sendiri bertolak dari semiologi de Saussure dalam mengemukakan teorinya tentang konotasi dan
mitos sebagai alat untuk membongkar makna yang sudah dikondisikan oleh proses
pembudayaan secara massal. Dan menurut Benny H. Hoed (2011), teori Derrida pun
bertolak dari landasan yang sama yakni semiologi de Saussure tentang tanda. Pijakan dasar
teorinya bertolak dari relasi antara signifiant dan signifie. Namun, bagi Derrida, relasi itu tidak statis, tidak tetap dan atau tidak stabil seperti pandangan de Saussure.43
Metode Derrida untuk membongkar mitos dengan metode dekonstruksi seperti
dijelaskan oleh Benny Hoed demikian,
“Dalam kenyataannya, relasi itu dapat “ditunda” untuk memperoleh relasi yang lain atau
baru. Dengan demikian, makna suatu tanda diperoleh tidak sekadar berdasarkan pembedaan antar tanda semata yang hubungan antara penanda-petandanya bersifat tetap (statis), melainkan dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang dan waktu. Bahkan Derrida mendorong kita untuk melakukan penundaan itu secara sadar sebagai suatu tindakan berpikir kritis. Yang terjadi dalam proses pemahaman makna tanda bukan sekadar karena ada proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses “penundaan” hubungan
antara penanda (bentuk tanda) dan petanda (makna tanda) untuk menemukan makna lain atau 41 St. Sunardi, 2002, hal. 100. 42 St. Sunardi, 2001, hal. 106. 43
makna baru. Proses tersebut dikenal sebagai proses “dekonstruksi”. Proses dalam hubungan
yang baru ini disebutnya differance.”44
Bertolak dari penjelasan tersebut, saya ingin mengkombinasikan pendekatan semiotik
dalam membaca teks historiografi yang pernah dilakukan oleh para pekerja kemanusiaan di
JRS dalam program rekonsiliasi dan repatriasi pengungsi Timor-Leste pasca tragedi tahun
1999. Apakah produksi dan reproduksi teks historiografi para pekerja kemanusiaan ini
berhasil membuat “penundaan” atas makna yang diakibatkan oleh hegemoni historiografi warisan Orde Baru atau tidak?
Namun demikian, proses dekonstruksi itu bukan sebuah proses yang secara linear
bisa dilakukan karena teks historiografi itu menyangkut masa lalu yang sangat diwarnai
oleh trauma. Pengalaman yang dinarasikan oleh para pekerja kemanusiaan pun semuanya
hampir bertutur tentang tragedi pengungsi Timor-Leste, pastilah di sana ada
endapan-endapan bawah sadar dalam proses pemaknaan atas tanda-tanda yang tersirat dalam teks
tersebut. Bagi LaCapra, dalam setiap bentuk historiografi, terutama historiografi yang
terkait dengan masa lalu dan peristiwanya sendiri terkait dengan tragedi kekerasan dan
kejahatan kemanusiaan, pasti ada tanda yang tidak bisa dituturkan secara verbal. Dari sini,
LaCapra menyodorkan sebuah metode psikoanalisa dalam memahami dan membaca
historiografi tersebut.
Mengungkap makna dalam teks yang tersembunyi karena adanya trauma akan sangat
terbantu dengan teori semiotika yang dikembangkan oleh Jacques Lacan (Benny H. Hoed,
2011). Dalam semiotika Lacan, hubungan signifiant-signifie tidak selalu dapat dijadikan dasar untuk membangun makna. Lacan memperlihatkan bahwa diferensiasi dalam relasi
44
antar-signifiant harus dilakukan untuk mencari makna dengan menggunakan metode psikoanalisa. Hal ini karena signifie dalam bahasa (teks) “tak sadar” tertutup oleh batas yang tak tertembuskan.45
Bruce Fink (1995) dalam bukunya The Lacanian Subject, memberikan penjelasan bagaimana Lacan mengartikan trauma dan bahasa (teks). Demikian tulisnya,
“One of the faces of the real that we deal with in psychoanalysis is trauma. If we think of the real as everything that has yet to be symbolized, language no doubt never completely transforms the real, never drains all of the real into the symbolic order; a residuum is always left. In analysis, we are not interested in just any old residuum, but in that residual experience that has become a stumbling block to the patient. The goal of analysis is not exhaustively symbolize every last drop of the real, for that would make of analysis a truly infinite process, but rather for focus on those scraps of the real which can be considered to have been traumatic. By getting an analysand to dream, daydream, and talk, however incoherently,
about a traumatic “event,” we make him or her connects it up with words, bring it into relation with ever more signifiers.”46
Selanjutnya ditulis oleh Bruce Fink demikian,
“To what end? Trauma is implies fixation or blockage. Fixation always involves something
which is not symbolized, languge being that which allows for substitution and displacement –
the very antithesis of fixation[…] Language allows for such equations and thus for the substitution of one loved object for another or the displacement of cathexis from one object to another. When, as is the case in melancholia, no such substitution or displacement is possible,
fixation is at work, and some part of the real remains to be symbolized.”47
Dalam kompleksitas untuk memahami masa lalu yang diwarnai oleh tragedi
kemanusiaan, penulisan sejarah (historiografi) haruslah menempatkan trauma sebagai pilar
utama atau substansi di dalam narasi (atau) teks dari sejarah tersebut. Maka historiografi
harus menggunakan pendekatan semiotis agar tidak sekedar menjadi sebentuk teks
45
Benny H. Hoed, 2011, hal. 70. 46
Bruce Fink, The Lacanian Subject, Between Language and Jouissance, New Jersey: Princeton University Press, 1995,hal. 26.
47
dokumenter tanpa makna, namun harus memberikan sumbangan yang cukup kuat pada
proses signifikasi kebenaran yang terjadi pada saat ini. Demikian tulis LaCapra,
“The question is wether historiography in its own way may help not speciously to heal but to
come to terms with the wounds and scars of the past. Such a coming-to-terms would seek knowledge whose truth claims are not one-dimensionally objectifying or narrowly cognitive but involve affect and may empathetically expose the self to an unsettlement, if not a secondary trauma, which should not be glorified or fixated upon addressed in a manner that strives to be cognitively and ethically responsible as well as open to the challenge of utopian aspiration. Trauma brings about a dissociation of affect and representation: one disorientingly feels what one cannot represent one numblingly represents what one cannot feel. Working through trauma involves the effort to articulate or rearticulate affect and representation in a manner that way never transcend, but way to some viable extent counteract, a reenacment, or acting out, of that diabling dissociation.”48
Trauma membawa pada situasi kesadaran, namun kesadaran yang datang dari situasi
“kehancuran” yang berdampak pada kondisi psikologi manusia. Kondisi itu berdampak pada representasi terhadap pemaknaan akan tanda. Hal ini juga berpengaruh pada
bagaimana orang memahami, menafsirkan dan memaknai teks (narasi) dalam sebuah
produksi atau reproduksi historiografi. Seseorang bisa saja mengalami disorientasi terhadap
apa yang dia rasakan sehingga tidak mampu untuk merepresentasikan apa yang dia rasakan.
Namun terkadang orang tidak memiliki kekuatan untuk merepresentasikan apa yang tidak
dia rasakan. “Working through” trauma mendorong seseorang untuk sampai pada berbagai usaha untuk mengartikulasikan atau mengartikulasikan kembali apa yang dia alami
(rasakan) sebagai sesuatu yang harus dikatakan dalam berbagai bentuk narasi.
Dari situlah, dalam pandangan LaCapra, pendakuan sejarah mulai bisa mendapat
kebenaran, sejauh sejarah itu merupakan bentuk dari empati dari keterlibatan seseorang
terhadap masa lalu dan pengalaman masa lalu itu terkait dengan tragedi kemanusiaan yang
48
masih diselimuti oleh impunitas. Impunitas terus berlangsung selama hegemoni
historiografi resmi belum dibongkar atau didekonstruksi. Maka, membongkar historiografi
resmi tersebut harus dilakukan dengan cara memunculkan historiografi baru (differance), agar mitos yang terus mau ditampilkan oleh wacana penguasa lewat narasi (atau) teks
historiografinya tidak lagi menjadi landasan bagi pelanggengan impunitas. Impunitas bisa
terbongkar jika pengalaman-pengalaman traumatis juga dituturkan dan bisa menjadi teks
yang bisa memunculkan signifikasi baru pada ingatan kekinian. Jika “pepesan kosong” itu
bisa ditangkap struktur dan bentuknya, maka proses dekonstruksi membantu ingatan untuk
melawannya, agar “pepesan kosong” itu tidak digunakan untuk menghancurkan identitas
kemanusiaan. Terutama dalam konteks ini, tidak digunakan lagi untuk menghancurkan
identitas para korban kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Timor-Leste pasca Jajak
BAB III
TRAUMA DAN NARASI PENGALAMAN
PEKERJA KEMANUSIAAN JRS INDONESIA:
PERSPEKTIF PSIKOANALISA
I would make a correlation that will be significant in my later argument – a correlation that indicates the desirability of relating deconstructive and psychoanalytic concepts. I would argue, or at least suggest, that undecidability and unregulated differance, threatening to disarticulate relations, confuse self and other, and collapse all distinctions, including that between present and past, are related to transference and prevail in trauma and post-traumatic acting out in which one is haunted or possessed by the past and perfomatively caught up in the compulsive repetition or traumatic scenes –scenes in which the past returns and
the future is blocked or fatalistically caught up in a melancholic feedback loop. (Dominick LaCapra, Writing History, Writing Trauma, page 21)
Barangkali trauma tidak saja berdampak pada goncangan psikologis, namun bisa
terkena pada cara kerja otak. Emosi bermula dari gangguan otak. Tetapi bisa juga
sebaliknya, kondisi psikologis yang mempengaruhi cara kerja otak. Buruknya lagi, jika
keduanya mengalami goncangan dalam waktu yang bersamaan, manusia akan mengalami
gangguan ingatan dan kejiwaan sekaligus. Kegilaan bisa jadi merupakan representasi dari
goncangan pada otak dan juga psike-nya. Dalam situasi seperti itu manusia dinyatakan tidak sehat secara mental atau psikologisnya. Mengapa saya memulai dengan kalimat ini?
Tentu ada latar belakang ceritanya. Hari Rabu, tanggal 21 September 2011, sekitar jam
sembilan malam, saya melihat siaran tentang Timor-Leste di Metro TV. Judul programnya
“Journalist on Duty.”
Saya menangkap narasi yang dikatakan oleh narator (reporter) Metro TV tentang
kondisi terkini Timor-Leste, demikian katanya,
“Selepas berpisah dari Indonesia, Timor-Leste belum banyak mengalami perubahan yang berarti, khusus dalam hubungan bilateral dengan Indonesia, penyelesaian masalah perbatasan, kerjasama bidang investasi, dan penerapan teknologi masih menjadi agenda utama kerjasama bilateral kedua negara. Menarik disimak, Perdana Menteri Timor-Leste yang juga mantan
combantant, Xanana Gusmao, justru menuding pihak asing sebagai penyebab keterpurukan Timor-Leste. Menurut Xanana badan dunia PBB telah menginjak-injak kedaulatan negara. Dari tahun 2000 hingga 2008, komunitas internasional telah membelanjakan 8 miliar US Dollar di Timor-Leste. Hasilnya, menurut Xanana, tidak ada pembangunan fisik yang berarti dan kemiskinan justru kian menjadi-jadi. Menurut laporan dana moneter internasional atau IMF, Timor-Leste tergolong negara berpenghasilan rendah. Menduduki peringkat ke-164 dari 183 negara, pendapatan per kapita Timor-Leste tahun 2010 sebesar 588 US Dollar. Jelas pernyataan Xanana ini tamparan bagi pihak asing yang selama ini mendukung kemerdekaan Timor-Leste dari Indonesia.”1
Malam itu, siaran Journalist On Duty di Metro-TV membuat otak dan psike saya menjadi panas membara dibuatnya, meskipun belum berujung pada gangguan jiwa yang
akut. Apakah pengalaman seperti itu bisa dikatakan sebagai pengalaman traumatis? Apakah
pengalaman seperti ini juga dialami oleh para pekerja kemanusiaan JRS lainnya yang dulu
pernah mendampingi para pengungsi dan penyintas di Timor-Leste? Apakah trauma para
korban kekerasan bisa bermutasi ke tubuh para pendamping korban? Seperti apa
pengalaman trauma para pekerja kemanusiaan tersebut? Benarkah narasi bisa memiliki
fungsi untuk menghilangkan pengalaman traumatis itu? Apakah narasi para pekerja
kemanusiaan bisa menjadi testimoni untuk penulisan historiografi dari bawah?
Menarasikan pengalaman negatif adalah salah satu cara untuk menghapus trauma.
Narasi yang berdasarkan pengalaman traumatis juga memiliki kekuatan untuk menghapus
luka-luka sejarah dan sangat penting sebagai pijakan untuk membongkar impunitas.
Historiografi seperti itu harus dilahirkan dari pengalaman traumatis akan peristiwa tragis
dan brutal, seperti tragedi Timor-Leste pasca Jajak Pendapat 1999. Maka, narasi sejarah
harus disusun dari testimoni mereka yang pernah bersentuhan langsung dengan pengalaman
1
Narasi yang saya rekam dari Jounalist On Duty, Metro TV, yang ditayangkan pada Rabu, 21 September 2011.
traumatis para korban, bukan dari kalangan pelaku kekerasan dan bukan pula dari kalangan
elit penguasa yang melegalkan kekerasan tersebut.