• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI

B. Jaringan Yang Meluas

Seiring meningkatnya suhu politik di Indonesia, pada periode ini, gerakan pro Timor-Leste ikut memperbaharui strateginya. PRD misalnya dari persatuan mendeklarasikan diri sebagai partai yang berasas sosialisme kerakyatan pada 22

381

Lihat Barbedo de Magalhães. 1997. Op.Cit., Hlm. 82-83.

382

Aditjondro menulis bahwa Pakpahan mendukung pelaksanaan referendum yang diawasi PBB di Timor-Leste, dan menuangkan pandangannya dalam buku Potret Negara Indonesia, yang diterbitkan Yayasan Forum Adil Sejahtera. Pada lawatan ke Kanada 1996, Pakpahan mengulang dukungannya untuk referendum di Timor-Leste. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 259.

383

Matebian News, December 1998.

384

PMII berdiri pada tahun 1962, dan pada masa kejatuhan Sukarno, bergabung dalam KAMMI/KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia). Organisasi ini awalnya berinduk pada NU, namun sejak 1973 mendeklarasikan diri sebagai organisasi mahasiswa independen.

pidatonya, mengatakan: 385

Sudah 21 tahun rakyat Maubere memperjuangkan hak kemerdekaannya yang telah dirampas oleh rejim Soeharto. Rakyat Maubere menolak penjajahan, rakyat Maubere mempunyai aspirasi dan ingin berdiri di atas kaki sendiri. Begitu pula rakyat Indonesia, karena mereka senasib denga n kami. Perlawanan yang terus menerus dilakukan oleh rakyat Maubere dan rakyat tertindas di Indonesia menginginkan perubahan dan kesejahteraan…Rakyat Maubere dan khususnya pemuda-pemudi Timor Timur berjuang bagi tercapainya kemerdekaan dan demokrasi bangsa Maubere. Tanpa kemerdekaan bangsa Maubere, tidak akan pernah ada demokrasi dan hak asasi manusia di belahan dunia ini, suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa rakyat Maubere hingga kini masih hidup dalam penjajahan pemerintah kolonial Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya bangsa Indonesia dalam hal ini gerakan pro-demokrasi menunjukkan sikapnya atas dirampasnya hak kami - hak untuk merdeka.

Sementara dalam manifesto politiknya PRD menuliskan: 386

…penjajahan atas Timor Timur haruslah menjadi Bab dari program perjuangan kita, bukan sekedar embel-embel solidaritas – dalam makna tabo terhadap rakyat Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri: MERDEKA. Perjuangan demokrasi Indonesia tidaklah lengkap dan palsu bila tidak menghubungkan dengan tuntutan kemerdekaan bagi rakyat Maubere. Partai Rakyat Demokratik (PRD) menghindari chauvinis-nasionalisme dan menganggap persaudaraan internasional sebagai watak pokok dari perjuangan rakyat.

Namun kemajuan ini, terus dirongrong oleh rezim Orde Baru, yang memuncak pada peristiwa 27 Juli 1996. Ini bermula dari upaya Orde Baru mendongkel pemimpin PDI, Megawati Sukarnoputri, yang popularitasnya menanjak dan muncul sebagai simbol demokrasi. Sebelum itu, Megawati mengadakan pertemuan kader di Timor-Leste, dihadiri ribuan orang. Wilson menilai dukungan yang diberikan rakyat Timor-Leste untuk menunjukkan

385

Wilson. 1996. Op.Cit., Hlm. 9.

386

PRD Tetap Melawan. 1996. Direpro Oleh: Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD).

[ayah dari Megawati], proklamator dan presiden pertama RI terkenal sebagai penentang yang konsisten atas segala bentuk kolonialisme.387

Sehingga dukungan para pemuda Timor-Leste, diwujudkan dengan terlibat aktif dalam aksi mendukung Megawati. Misalnya aksi di Gambir (Jakarta, 18 Juni 1996), yang diikuti 20.000 orang dan berakhir dengan bentrokan berdarah. Puluhan pemuda Timor-Leste, memilih berada di barisan depan, posisi yang harus siap clash dengan aparat keamanan: 388

Mereka tampak dengan energi yang luar biasa meneriakkan yel- yel ‘ABRI pembunuh rakyat’, sambil menerjang maju dengan batu atau tongkat di tangan. Sebuah keberanian yang secara sukarela mereka sumbangkan untuk mendukung Megawati Sukarnoputri dengan terlibat aktif, merasakan pukulan militer, serta satu barisan dengan ribuan pendukung Megawati Sukarnoputri.

Kemudian, pada aksi mimbar bebas, tanggal 27 Juli 1996, di kantor DPP PDI (Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia), Jln Diponegoro, Jakarta, seorang pemuda Timor-Leste memperkenalkan diri dengan nama Lopez, naik ke podium meneriakkan yel- yel, ‘Hidup Megawati!’, ‘Hidup Xanana!’, dan mengatakan: 389

...‘penguasa yang memukuli para pendukung Megawati di Gambir, penguasa yang mengulingkan Megawati melalui Konggres Medan, adalah penguasa yang sama, yang telah merampas hak bangsa Timor-Leste untuk menentukan nasibnya sendiri’, dan menyimpulkan ‘karena perlakuan ABRI kepada Megawati Sukarnoputri dan para pendukungnya, rakyat Timor-Leste

387 Wilson. 1996. Op.Cit. 388 Idem. 389 Idem.

barisan’.

Aksi ini, diserbu sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota PDI resmi, tapi memiliki ciri-ciri seperti preman dan mungkin tentara, menyerang dan mengambil gedung-gedung, yang disusul kerusuhan selama dua hari di Jakarta.390 Pada masa ini ‘politik massa mengambang’ sedang menuju titik akhir, dan rezim Orde Baru menanganinya secara represif. Max Lane, menuliskan: 391

Rezim melancarkan serangan langsung terhadap agen utama yang mempromosikan aksi: PRD; yang dituduh mengorganisir kerusuhan. Propaganda Orde Baru mencap PRD sebagai komunis dan versi baru PKI.

Sehingga praktis pada tahun ini, SPRIM/PRD hanya mencatat satu momen penting, yaitu aksi demonstrasi bersama 755 delegasi pemuda Timor-Leste memprotes pembunuhan pemuda Timor-Leste, Manuel Soares oleh Polisi Jakarta, karena menolak menjadi informan tentara.392

Represi membuat PRD dan organisasi underbow-nya, seperti SPRIM, memulai perjuangan bawah tanah yang singkat, selama dua tahun sebelum Suharto tumbang. Dalam masa- masa sulit tersebut, pengalaman rakyat Timor-Leste yang menghadapi represi keras selama pendudukan ABRI, sedikit banyak memberi ilham bagi gerakan pro-demokrasi Indonesia, untuk tetap bertahan:393

390

Konflik antara Suharto dan Megawati, berkembang menjadi konfrontasi pada bulan Juni 1996, saat pemerintah memutuskan hanya mengakui Konggres PDI yang diorganisir oleh faksi yang anti-Megawati dan pro-rezim. Selengkapnya lihat Max Lane. Op.Cit., Hlm. 166-173.

391

Ibid., Hlm. 173.

392

Lihat Aditjondro. Op.Cit., Hlm. 258.

393

Indonesia…yang takut menghadapi resiko yang sama. Kita dilarang, dibubarkan oleh negara sebaga i organisasi terlarang resmi. Setelah itu, PRD membuat komite-komite aksinya, gabung sama kawan-kawan Timor Timur di mana- mana. Justru ketika saat-saat sulit…kawan-kawan Timor Timur ini memberi inspirasi banyak hal, bahwa kita belum semenderita kalian [kawan-kawan Timor-Leste]. Banyak kerja-kerja yang bisa dilakukan dengan kawan-kawan Timor Timur bersama-sama justru pada saat itu.

Dalam situasi represif, para aktivis PRD mendapat perlindungan dan pembelaan dari Romo Sandyawan yang juga pendukung kemerdekaan Timor-Leste. Oleh majalah Gatra ia dituduh sebagai penganut ajaran teologi pembebasan sesudah peristiwa 27 Juli. 394 Ia pun disidang di Pengadilan Tinggi Bekasi, namun akhirnya dibebaskan. Ketika itu, Uskup Belo yang belum dikenalnya secara pribadi, mengiriminya surat menyatakan dukungan, sementara Gereja Katolik Indonesia bersikap menjauhi, dan curiga bahwa ia telah terlibat lebih jauh dalam politik praktis: 395

Saya diperiksa secara legal…[berdasarkan] hukum gereja, bahwa saya terlibat dalam politik praktis. Romo Mangun [almarhum], mengalami hal yang sama. Tetapi saya bersyukur, pada saat [itu], Mgr. Leo Sukoto [uskup Jakarta], sikapnya independen dan kritis terhadap pemerintah. Justru pada saat akhir Orde Baru, Uskup Leo meninggal, digantikan Mgr. Kardinal Darmaatmadja…agak susah. Ini uskup militer, uskup titular yang ditugaskan untuk mengurus militer.

Namun Romo Sandyawan menampik tudingan tersebut, bahwa apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik: 396

Saya yakin, apa yang saya lakukan menjalankan semangat dari gereja, semangat Injil dan saya berdialog [secara] terbuka…dan saya tidak pernah membawa nama gereja. Tapi kalau kemudian baik, diklaim sebagai milik

394

Lihat Gatra, 31 Agustus 1996.

395

Wawancara Sandyawan Sumardi, Jakarta, 16 Mei 2007

396

Katolik], terlalu dikooptasi oleh kekuasaan…Gereja itu harus benar-benar independen, bahkan mengambil sikap yang membela korban, terutama orang miskin. Terkooptasinya gereja Indonesia itu, ketahuan dari misalnya…pastor-pastor projo yang dikirim oleh militer, untuk menyadarkan orang Katolik Timor-Leste waktu itu [untuk menerima integrasi]. Saya kira suatu tindakan yang ditentang keras oleh Romo Mangun, tetapi dikirim [terus] sampai tahun 1999…sampai Indonesia selesai di sana.

Pandangan Romo Sandyawan tersebut, dalam praktek diwujudkan dengan menerima sejumlah anak muda Timor- Leste yang mendatanginya sebagai penanggung jawab ISJ, sejak tahun 1993 yang salah satunya menjadi sekretaris pribadinya dalam kerja kemanusiaan.397 Sementara budayawan dan rohaniwan Katolik, Y.B. Mangunwijaya, juga secara eksplisit mulai menunjukkan dukungan terhadap perjuangan Timor- Leste di tengah cibiran pemerintah terhadap pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepada Jose Ramos-Horta dan Uskup Belo tahun 1996,398 yang secara moril memperkuat gerakan pro Timor-Leste di

397

Idem. Dua anak muda Timor-Leste yang tinggal bersamanya, yaitu Helio Freitas (sekretaris pribadi) dan Celso Oliveira. Celso, sebelumnya direkrut Jenderal Prabowo Subianto, dibiayai sekolahnya dan sejak kecil tinggal di markas Kopassus, Cijantung. Namun akhirnya menyeberang dalam aksi minta suaka politik di kedubes asing. Atas aktivitasnya, Romo Sandyawan acap diteror, dikirimi granat, dan diancam dibunuh. Pada tahun 1999, mobilnya masuk jurang ditabrak tentara di kawasan Puncak (Bogor), namun ia selamat.

398

Uskup Belo dikecam di Indonesia, sejak tahun 1989, karena mengirim sepucuk surat kepada Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellar, meminta pelaksanaan referendum. Dalam suratnya, tertanggal 6 Februari 1989, Belo menuliskan ‘The People of Timor must be consulted about its future through a plebiscite. Up to now, the people have yet to be consulted. Others speak in the people’s name: Indonesia declares that the people of Timor have already chosen integration, but the people of Timor have never said so; Portugal wishes that time will take care of this problem. Meanwhile, we are dying as a people and as a nations. Lihat Inside Indonesia, Oktober 1989. Kecaman juga datang dari majalah Katolik Hidup, 18 Juni 1989. Sementara sebuah buku yang ditulis mengenai Uskup Belo pada tahun 1997, menyensor surat tersebut, termasuk sejumlah surat pastoral yang

Republika misalnya menuliskan bahwa Pemerintah Indonesia sebenarnya yang patut mendapat nobel, karena telah membuat upaya nyata untuk membangun kesejahteraan penduduk Timor-Leste.399

Namun gerakan pro Timor-Leste, yang kian merebak di Indonesia, mendukung pemberian nobel tersebut. PRD mengeluarkan statemen yang menyatakan: 400

Penghargaan Nobel…tersebut sekaligus juga merupakan tamparan bagi pemerintah yang mendukung Orde Baru yang menduduki Timor Timur, dan menghambat proses demokratisasi di Indonesia.

Dukungan juga datang dari Romo Mangunwijaya yang hadir di Oslo (Norwegia), pada saat pemberian hadiah nobel atas undangan Uskup Belo, dan George J. Ad itjondro atas undangan Jose Ramos-Horta. Setelah itu, Romo Mangunwijaya mulai aktif menulis artikel yang membela perjuangan Timor-Leste. Ia mengkritik tanggapan Gereja Katolik Indonesia yang pada saat detik-detik penerimaan hadiah nobel, ‘sedingin es kutub utara’, dan membandingkan mengecam berita-berita yang berat sebelah mengenai Peristiwa Santa Cruz; surat kepada ketua KWI, Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, menolak menghadiri sidang tahunan KWI (13-12 November 91), sebagai tanda protes terhadap kesombongan ABRI. Demikian juga karena liputan TVRI yang menyudutkan Gereja Katolik Timor-Leste sebagai ‘kambing hitam’. Lihat Aditjondro, Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm 208-209. Buku yang dimaksud adalah Peter Tukan dan Domingos de Sousa. (Editor). 1997. Demi Keadilan dan Perdamaian Diosis Dili: Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, Uskup Diosis Dili Timor-Timur. Komisi Perdamaian dan Keadilan Diosis Dili dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian KWI. Jakarta/Dili. Kata pengantarnya diberikan oleh Frans Seda.

399

Republika, 13 November 1996. Harian ini dimiliki oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Mus lim Indonesia).

400

Statemen atas pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kepada Uskup Belo dan Jose Ramos-Horta. No: 03/A/Statpol/X/1996.

Republik Indonesia pada tahun 1948.401 Selain itu, ia aktif mendampingi para mahasiswa Timor-Leste, yang bermukim di Yogyakarta. Sebuah surat pembaca setelah kematiannya pada tanggal 10 Februari 1999, ditulis aktivis Renetil, Hortensio Pedro Vieira menyebutkan: 402

Kepeduliannya [Romo Mangun] yang besar terhadap masyarakat Maubere membuat saya sangat terharu, ternyata penderitaan saudara-saudara saya di Tim- Tim ikut juga dirasakan oleh orang Indonesia, yang penguasanya secara langsung menciptakan penderitaan di bumi Lorosae… Romo- lah satu-satunya dari kalangan rohaniawan Katolik di Indonesia yang secara berani terbuka dan jujur memihak rakyat Maubere dan Uskup Belo saat kasus Der Spiegel dan Nobel Perdamaian.

Romo Mangun, selalu ikhlas dan tulus memenuhi permintaan para mahasiswa Tim- Tim khususnya di Yogyakarta, baik dalam acara religius ataupun ilmiah. Bahkan Romo Mangun pernah mengadakan misa kemerdekaan Timor-Leste di Yogyakarta, yang dihadiri mahasiswa Timor Timur yang kuliah di Jawa dan Bali, saat menjelang akan diadakan aksi demonstrasi di Deplu, Jakarta pada bulan Juni tahun yang lalu. Ada kesan yang ditinggalkan beliau yang bagi saya sulit dilupakan adalah dia memohon kepada Tuhan agar umurnya diperpanjang untuk bisa menghadiri perayaan hari kemerdekaan Timor Leste...saya pernah bertamu ke kediamannya yang sangat indah dan beliau mengatakan kepada saya, bahwa, rakyat Maubere hidupnya sangat susah sama halnya dengan rakyat Indonesia yang mendapat tekanan dari sebuah rezim. Dan Romo menangis pada saat itu sambil memeluk saya dengan bisikannya yang sangat indah bahwa kamu tidak perlu patah hati yang penting selalu berjuang dan belajar banyak bagaimana membebaskan manusia.

401

Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan (Editor). 1997. Voice of the Voiceless (Suara Kaum Tak Bersuara). Obor. Jakarta. Hlm. 257. Kumpulan tulisan Y.B. Mangunwijaya tentang Timor-Leste, selengkapnya lihat Y.B. Mangunwijaya. 1997. Politik Hati Nurani. Grafi Asri Mukti. Jakarta.

402

Lihat Talitakum, 3 Maret – April 1999. Hortensio Pedro Vieira dan rekannya Calvario Savio, adalah aktivis Timor-Leste, yang ikut memanggul peti jenazah Romo Mangun pada saat terakhirnya. Kasus Der Spiegel, adalah majalah Jerman, yang wawancaranya dengan Uskup Belo dikecam di Indonesia, karena dinilai mengkritik pemerintah Indonesia. Pembelaan Uskup Belo lihat Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan (Editor). 1997. Voice of the Voiceless (Suara Kaum Tak Bersuara). Op.Cit., Hlm. 233-240.

seperti Sri Bintang Pamungkas mulai mendukung perjuangan Timor-Leste. Dukungan yang juga menjadi program Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang didirikannya, meskipun dianggap ilegal oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini tidak mengherankan, mengingat dua veteran dalam demonstrasi paling awal menentang peristiwa Santa Cruz 1991, di Jakarta, Jopie Lasut (Yayasan Hidup Baru) dan Saleh Abdullah (Infight), merupakan pengurus PUDI.404 Sementara aktivis tua yang pertama berbicara mengenai masalah Timor-Leste, termasuk Gunawan Muhamad, redaktur majalah Tempo yang sempat dibredel pada tahun 1994. Ia bersama para jurnalis lain, mendirikan AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dan menerbitkan buletin Oposisi, Independen kemudian Suara Independen pada masa itu.405

Pergeseran pandangan terhadap persoalan Timor-Leste, juga dari mereka yang dulunya beranggapan bahwa Integrasi Timor Timur tidak dapat diganggu gugat. Misalnya Amien Rais, 406 pemimpin organisasi Muslim terbesar kedua di

403

Dukungan bagi perjuangan Timor-Leste, juga telah menyeret Mochtar Pakpahan, Budiman Sujatmiko, Petrus Haryanto (Sekjen PRD), Coen Husain Pontoh, Dita Indah Sari, Wilson, dan 16 pemimpin PRD lainnya ke meja hijau. Mereka dituduh melakukan subversi, yang menurut hukum Indonesia dapat dijatuhi hukuman mati. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 259-260. Beberapa di antaranya, seperti Wilson dalam pembelaannya secara terang-terangan menentang invasi Indonesia di Timor-Leste.

404

Ibid., hlm. 259-260.

405

Ibid., Hlm. 259. Aditjondro, menyebut buletin tersebut pernah menyerang diplomasi yang dijalankan Tutut dalam masalah Timor-Leste dan juga terhadap eksploitasi buruh perempuan Timor-Leste di pabrik Sritex di Jawa Tengah. Idem.

406

Amien Rais, pernah mengkritik keras Uskup Belo pada saat kerusuhan etnik, September 1995 di Timor-Leste. Lihat Aditjondro. 2000. Ibid., Hlm. 282.

menyatakan mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Seperti ditulis ulang oleh Aditjondro, bahwa Amien Rais menyatakan: 407

Timor Lorosa’e pada waktunya, seharusnya diijinkan untuk memisahkan diri dari Indonesia, bila itu memang kehendak rakyatnya…meskipun secara tersirat, Amien Rais, masih menyalahkan rakyat Timor Lorosa’e atas terjadinya segala masalah yang dialami Indonesia...ia percaya Jakarta telah melakukan sejauh mungkin apa yang bisa ia lakukan untuk Timor-Lorosa’e, misalnya dengan investasi infra-struktur seperti sekolah dan rumah sakit...jika perkembangan dalam 3 atau 4 tahun berikut masih belum jelas, dan rakyat Timor-Lorosa’e masih menginginkan referendum, maka menurut saya lebih baik bila mereka diberi kesempatan melaksanakan referendum. Bahkan bila mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia. Biarkan saja. Itu lebih baik bagi mereka dan bagi Indonesia.

Dua minggu sebelum pernyataan Amien Rais tersebut, pada bulan November 1996, Profesor Muladi, rektor Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, menyatakan pendapat yang senada, seperti ditulis Aditjondro: 408

Indonesia harus mempercepat usahanya untuk memecahkan masalah Timor Lorosa’e yang menyebabkannya rentan terhadap kritik di forum- forum internasional...Ia juga mengakui nama baik Indonesia tercoreng dengan pemberian hadiah Nobel Perdamaian bagi Uskup Belo.

Sebelumnya, ia mengkritik upaya Portugal melibatkan Masyarakat Ekonomi Eropa dalam masalah Timor-Leste, yang disebutnya sebagai upaya menegakkan benang basah. Lihat Suara Karya, 30 Juli 1986. Amien Rais bergabung dengan ICMI [berdiri bulan Desember 1990] yang berasosiasi dengan Orde Baru. Termasuk Sri Bintang Pamungkas, pernah menjadi aktivis ICMI dan baru keluar seiring kontradiksi yang meningkat terhadap kekuasaan Suharto. Amien Rais juga menjadi dosen pada Fakultas Sosial Politik, UGM. Setelah pemilu demokratis tahun 1999, ia menjabat ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR, 1999-2005)

407

Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 282-283. Dalam hal ini, aktivis yang penulis wawancarai, umumnya memandang perubahan sikap politik Amien Rais, lebih sebagai politik oportunis untuk meraih simpati internasional menjelang pemilu 1999.

408

pemimpin organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), menilai Timor-Leste sebaiknya tetap bergabung dengan NKRI. Dalam hal ini, minimnya informasi, tampaknya menjadi kendala utama dalam penyikapan isu Timor-Leste. Penulis biografi Gus Dur, Greg Barton menuliskan: 409

Seperti kebanyakan intelektual di Jakarta, Gus Dur tidak mendapat informasi cukup mengenai apa yang sedang terjadi di Timtim. Oleh pihak militer berita yang mencapai Jakarta telah disensor dan mengalami distorsi. Namun demikian, ia tahu bahwa ada perwira-perwira tertentu yang memperlakukan sebuah propinsi sebagai wilayah kekuasaan pribadinya dan mereka ini terbiasa memerintah dengan kejam dan keras. Mereka bukan saja mencuri kekayaan alam dari propinsi tempat mereka ditugaskan, melainkan mereka juga menjadikan daerah operasi mereka sebagai ajang untuk kenaikan karir militer banyak perwira. Lebih lagi, Gus Dur tahu benar reputasi bekas Komandan di Timor Timur, seperti Prabowo Subianto. Mereka ini, demikian Gus Dur suka sekali merekrut milisi, sama seperti mereka melanggar hak azazi manusia secara mengerikan. Gus Dur khawatir bahwa bila referendum diadakan sebelum reformasi berdiri kokoh di Indonesia, maka militer Indonesia akan menjadi jengkel dan akan terdapat kemungkinan terjadinya kekacauan besar di Timtim.

Sehingga keikutsertaan Chotibul Umam Wiranu (PMII),410 pada Jornadas ke-8 tentang Timor-Leste di Porto, tahun 1997, memberi arti penting, solidaritas Islam Indonesia untuk Timor- Leste. Termasuk hadirnya IMCTL (Indonesian Muslim Community for East Timor) sesudah reformasi tahun 1998, yang berbasis di pesantren-pesantren NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebelum itu, isu

409

Greg Barton, 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. LKIS. Yogyakarta. Hlm. 234.

410

Kepada Chotibul U. Wiranu dititipkan buku berisi pidato Jose Ramos Horta pada saat menerima Nobel Perdamaian 1996, kepada Gus Dur, yang menerimanya dengan komentar yang tidak begitu bersimpatik terhadap Ramos Horta. Wawancara Chotibul U. Wiranu, Jakarta, 26 Mei 2007.

menjelaskan: 411

Organisasi semacam NU yang dipimpin Gus Dur, belum pernah [memberikan] peryataan eksplisit tentang advokasi terhadap Timor-Timur. Tapi secara umum Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas besar Islam itu tidak pernah memberikan statement resmi atas nama organisasi untuk memberikan dukungan terhadap proses pemerdekaan Timor- Leste. Secara umum, organisasi mahasiswa Islam tidak punya satu sikap yang begitu [jelas] mengenai masalah Timor Timur. Karena sudah diberi informasi yang sedikit ideologis…[oleh] pemerintah [Orde Baru]…bahwa Timor-Timur itu mayoritas adalah kelompok-kelompok berbasis komunis. Itu argumentasi… yang dikembangkan ke publik…Organisasi besar Islam, termasuk organisasi mahasiswa Islam, dipercaya begitu saja…[namun] dengan teman-teman aktivis di luar organisasi mahasiswa Islam, saya mendapat banyak informasi, bahwa adalah salah memberikan legitimasi [bahwa] Timor Timur harus diambil semata- mata karena membahayakan kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia….Masalah Timor Timur bukan lagi masalah ideologis soal komunisme atau bukan komunisme, tetapi…kesalahan prosedur di dalam memetakan masalah…oleh pemerintah Indonesia…[Misalnya] Aceh yang nyata-nyata mayoritas Islam juga ditangani secara militer…itu mengugurkan argumentasi yang sudah dipahami oleh banyak pihak [kelompok Islam] di Indonesia.

Sementara kelompok pendukung Timor-Leste, pada periode ini mulai merintis beberapa pekerjaan penting, seperti pendirian kantor bantuan hukum [berstatus kantor pengacara], yang difasilitasi Joint Committee (JC), untuk memberikan pelayanan kepada para tahanan atau aktivis politik, awal Agustus 1996 di Dili. Lembaga ini, menjadi cikal bakal Yayasan HAK (Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan), sebuah organisasi pelayanan hukum dan hak asasi pertama di Timor-Leste, yang didirikan dan disahkan pada 23 Maret 1997. Ketika itu, mereka yang bekerja terdiri dari 4 orang Timor-Leste, dibantu Hilmar Farid dari JC. Kehadiran Yayasan HAK mempunyai arti penting, dalam penyebaran

411

Timor-Leste tertutup untuk masyarakat luar, dan terus menghadapi represi militer