• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dukungan Masyarakat Sipil Internasional

BAB V ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI

A. Dukungan Masyarakat Sipil Internasional

Jaringan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, dengan solidaritas internasional, menjalin kolaborasi yang secara efektif memberi tekanan bagi rezim

sebagai pra-kondisi menuju penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Seperti dijelaskan Bonar Tigor Naipospos: 370

Jaringan [solidaritas internasional]…lebih dulu ada, ketimbang jaringan internasional tentang Indonesia. Mereka lebih tahu tentang Timor-Leste lebih dulu ketimbang bangsa Indonesia…mereka [solidaritas internasional] terlibat masalah Indonesia, karena…sadar bahwa persoalan Timor-Leste tidak akan terpecahkan kalau tidak ada perubahan politik di Indonesia, tidak ada demokrasi di Indonesia. Karena itulah mereka [solidaritas internasional] juga bicara tentang Indonesia. Dan itu, menguntungkan bagi Indonesia…sekarang kelompok-kelompok di luar negeri yang bicara tentang Indone sia, tentang Aceh, tentang Papua, adalah tadinya gerakan-gerakan yang peduli tentang Timor-Leste…jaringan yang dibangun teman-teman Horta [Jose Ramos Horta]…setelah terlibat begitu lama, mereka berbicara banyak hal [termasuk] demokrasi di Indonesia.

Demikian juga bagi organisasi seperti PRD, solidaritas internasional memberi ruang untuk memgembangkan jaringan internasional yang luas: 371

Penerimaan luas PRD di dunia internasional, karena mendukung soal Timor Timur….artinya, menjadi terbuka ruangnya untuk bersolidaritas…didukung gerakan-gerakan lain, karena faktor Timor Timur. Karena hanya faktor radikal dan kiri, kita punya jaringan yang tetap…tapi itu lebih bermakna ideologis. Tapi untuk solidaritas soal Timor Timur, membuat PRD mendapat tempat yang lebih [luas] dalam gerakan internasional. Itu jasa gerakan perjuangan Timor Timur.

Dalam hal ini, kolaborasi masyarakat sipil internasional untuk Timor-Leste, selama dasawarsa 1990-an secara optimal mengaitkan perjuangan penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste dengan gerakan demokrasi di Indonesia. Misalnya demonstrasi di Jerman, pada bulan April 1995. Ketika itu,

370

Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. Salah seorang Indone sianis yang memperkenalkan masalah Timor-Leste dengan Naipospos, adalah Herbert Feith yang mengajarkan masalah Timor-Leste kepada para mahasiswa-nya selama menjadi dosen UGM.

371

menghadiri Pekan Hannover Fair ke-95, harus pontang-panting menghindari aksi kelompok solidaritas Jerman dan CNRM [berintikan Renetil], yang dikenal di Indonesia sebagai Peristiwa Dresden. Aksi itu, membuat Suharto marah, sehingga menjadikan oposan Indonesia yang hadir pada waktu itu, sebagai ‘kambing hitam’.372 Sri Bintang Pamungkas dihukum 4 tahun penjara, dan Yeni Rosa Damayanti terpaksa dibatalkan paspornya, dan baru memperolehnya kembali setelah Suharto jatuh.373 Pada bulan November 1997, Suharto juga didemo, pada pertemuan APEC di Vancouver (Kanada). Ketika itu, beberapa orang Indonesia dan 13 orang Timor-Leste yang diasingkan, 10 hari sebelumnya melakukan tur di Kanada, mengimbau pihak berwenang untuk ‘menghalangi Suharto atau penjarakan dia’ atas kejahatannya di Timor-Leste dan Indonesia.374

Dalam hal ini, gerakan pro Timor-Leste di Indonesia menjalin hubungan kontinu dengan solidaritas-solidaritas Australia, melalui jaringan Action in Solidarity with Indonesia dan East Timor (ASIET), pimpinan Max Lane, maupun

372

Para oposan Indonesia, yang hadir, atas undangan beberapa Universitas Jerman. Di antaranya Goenawan Muhammad, Sri Bintang Pamungkas dan Yeni Rosa Damayanti. Selama peradilan Sri Bintang, CNRM menyurati Menlu Ali Alatas, bahwa para oposan Indonesia tersebut tidak terlibat dalam pengorganisiran dan secara langsung terlibat dalam demonstrasi di Jerman. Selengkapnya lihat Stanley (Penyunting). 1997. Sri Bintang Pamungkas: Saya Musuh Politik Soeharto. Pijar Indonesia. Jakarta. Hlm. 232.

373

Selama eksil, Yeni Rosa Damayanti, menghadiri seminar internasional mengenai Timor- Leste di Portugal dan melakukan studi tur ke beberapa negara Eropa dan Jepang. Wawancara Yeni Rosa Damayanti, Jakarta, 26 April 2007.

374

Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 124.

misalnya melalui PRD, terlibat beberapa kali dalam kampanye solidaritas internasional soal Timor-Leste bersama ASIET di Australia.376 Sementara sebuah majalah triwulan Australia, Inside Indonesia dibentuk pada tahun 1983. Laporan Chega! menuliskan bahwa majalah tersebut menjadi sebuah media pertukaran informasi yang dihormati dan menjadi sumber informasi alternatif satu lagi tentang Timor-Leste untuk para pembaca Indonesia.377

Selain itu, para aktivis Indonesia secara reguler menjadi partisipan dalam pertemuan APCET, yang memulai konferensi pertamanya di Filipina pada tahun 1994. Pada pertemuan ke-2 di Kuala Lumpur (Malaysia, 9-11 November 1996), yang dibubarkan paksa pemerintah Malaysia, 8 orang aktivis Indonesia dideportasi, bersama semua peserta dari luar negeri. Termasuk panitia APCET, dan aktivis LSM Malaysia sempat ditahan beberapa hari, demi menjaga solidaritas ASEAN, walaupun sebenarnya menurut hukum setempat tindakan pembubaran itu melanggar hukum dan merusak citra Malaysia dalam pergaulan

375

ASIET mengalakkan hubungan antara grup klandestin mahasiswa Timor-Leste, dengan organisasi sosialis yang menuntut perubahan di Indonesia. Sedangkan IAPC didirikan Australian Council for Overseas Aid (ACFOA, sekarang AFCID), untuk menumbuhkan hubungan rakyat ke rakyat antara Indonesia dan Australia, dan sebagian untuk menutup kelemahan persepsi di Indonesia yang menganggap NGO-NGO Australia terlalu fokus ke Timor-Leste. Kontribusinya pada International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan organisasi Indonesia lainnya, memungkinkannya untuk mengangkat Timor-Leste dalam lingkungan yang lebih positif. Pada tahun 1992, sekretarisnya, Pat Walsh, diusir dari Indonesia, dan dicekal selama beberapa tahun, setelah disebut dalam pengadilan pembantaian Dili. Ibid., Hlm. 122, 130.

376

Hubungan SPRIM/PRD, lihat surat-surat Wilson untuk Max Lane, dalam Wilson, 2005. Op.Cit.

377

Idem., Editor majalah ini terdiri dari sejumlah aktivis dan intelektual seperti Path Walsh, Gerry Van Klinken, dan Max Lane.

mendapat tekanan Indonesia dan ancaman pembubaran dari pemerintah Thailand, dapat berlangsung penuh. Demikian juga menyusul jatuhnya Suharto, pada bulan Agustus 1998 sebuah pertemuan APCET, akhirnya diselenggarakan di Jakarta.

Jaringan yang lebih luas, juga dibangun dengan organisasi seperti ETAN (East Timor Action Network) dan lembaga Amnesty International serta kelompok-kelompok solidaritas Eropa. JC misalnya, menjalin hubungan dengan Amnesty International Belanda, Australian Council of Human Rights dan Human Rights Watch. Sejumlah aktivis Indonesia, juga secara reguler diundang dalam berbagai pertemuan internasional tentang Timor-Leste. Di antaranya George J. Aditjondro, menjadi pembicara pada seminar internasional (1997) di Universitas Porto, yang diprakarsai Prof. Barbedo Magalhães;379 serta Anom Astika (PRD) dan Profesor Lukman Sutrisno (dosen Universitas Gadjah Mada),380 pada seminar internasional di Sydney, Australia, Juni 1996. Sedangkan Bonar Tigor Naipospos (Pijar), bersama Roque Rodrigues (wakil CNRM di Portugal) melakukan ‘speaking tour’ ke beberapa negara Amerika Latin, seperti Brasil, Argentina dan Uruguay (3

378

Roy Pakpahan. Op.Cit., Hlm. 47-48.

379

Seminar yang diprakarsai Prof. Barbedo Magalhães di Portugal, menyatukan aktivis dan kaum akademisi, termasuk dari Indonesia; berbagi informasi, mengembangkan kebijakan dan strategi tentang Timor-Leste. Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm.122.

380

Menurut Aditjondro, Prof. Lukman Sutrisno sudah lama memperjuangkan perbaikan nasib rakyat Timor-Leste, namun dalam kerangka integrasi. Lihat Aditjondro, dalam Sindhunata, (Editor). Mengenang Y.B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm. 205.

Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam acara yang sama, dan tampil sebagai pembicara di beberapa negara Eropa dan Jepang, dengan komposisi yang lebih beragam. Misalnya aktivis buruh independen, Mochtar Pakpahan 382 dari SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), dan Wilson dari SPRIM tahun 1996. Nama terakhir mendapat hadiah Michele Turner Award, dari East Timor Relief Association (ETRA), Melbourne, pada tahun 1998 untuk esainya tentang Xanana Gusmão.383 Pada tahun 1997, Tri Agus Susanto Siswowihardjo (Pijar) dan Chotibul Umam Wiranu dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),384 juga diundang ke konferensi tentang Timor-Leste di Portugal.