• Tidak ada hasil yang ditemukan

Instrumen Dan Kkl 1 Pgra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Instrumen Dan Kkl 1 Pgra"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan, karena dapat membantu manusia dalam mencapai kemajuan. Pendidikan yang tepat telah mendorong Islam mencapai kejayaannya pada masa klasik, begitu pula pendidikan yang kurang tepat membawa kemunduran Islam pada masa belakangan. Karena itu, jika umat Islam ingin maju,

pendidikannya mestilah dibenahi. Dan pembenahan ini hanya dapat dilakukan manakala umat Islam memahami sejarah pendidikannya sendiri.

Oleh karena itu, berbicara tentang Pendidikan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari sejarah penyebaran dan perkembangan umat Islam di bumi nusantara. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M. dan berkembang pesat sejak abad VIII M dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, maka pendidikan Islam juga mengalami perkembangan seiring dengan dinamika perkembangan Islam. Di mana saja di Nusantara ini terdapat komunitas umat Islam, maka di sana juga terdapat aktivitas pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam ketika itu dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi lokal di mana kegiatan pendidikan itu dilaksanakan.[1]

Persoalan lain yang menjadi masalah dalam melacak pengajaran Islam di Nusantara adalah tentang siapa yang memperkenalkan Islam ke Nusantara. Karena itu muncul teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang. Teori lain menyatakan bahwa Islam tersebar di Indonesia oleh para ulama (mulla). Sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa kekuasaan (konversi) keraton sangat berpengaruh bagi pengislaman di Nusantara. Masuknya Islam penguasa akan diikuti oleh rakyatnya secara cepat.[2]

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan menulis dengan mengacu pada rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana Pola Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Islam?

2. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam Sampai Periode Walisongo?

(2)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Sebelum Kedatangan Islam

Berkenaan dengan masalah pendidikan Sebelum kedatangan Islam memberi gambaran kepada kita bahwa kontak pertama antara pengembangan agama Islam dan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia, menunjukkan adanya semacam

akomodasi cultural. Di samping melalui pembenturan dalam dunia dagang, sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam kadang-kadang terjadi pula dalam suatu relasi intelektual, ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika kepercayaan pada dunia lama mulai menurun.[3]

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak itu tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik Etis

(Ethische Politik), yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan.

Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional pada pengetahuan duniawi. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem

pendidikan tradisional. Adapun tujuan didirikannya sekolah bagi pribumi adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Jika begitu, pemerintah Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional. Mereka tidak bisa bekerja baik di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.

(3)

adalah alat penetrasi kebudayaan barat di tengah berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan Islam.

B. Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.[4] Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam; demikian halnya di Aceh dengan mentransfer lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa pendidikan agama yang melembaga

berabad-abad berkembang secara pararel.[5] Pesantren berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari keduanya, namun keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.

Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri adalah orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat Islam, mereka inilah yang dikenal sebagai “guru mangaji”. Santri dalam arti orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima karena rumusannya mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam ilmu agama, para santri tinggal di rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nama pondok, karena terbuat dari bambu.[6]

(4)

dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.

Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.

Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan sebelumnya, padepokan.

Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda). Di Sumatera Barat, pendidikan Islam tradisional di sebut Surau. Di Minangkabau, Surau telah ada sebelum datangnya Islam, adalah merupakan tempat yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Raja Aditiwarman telah mendirikan kompleks Surau disekitar bukit Gombak, Surau digunakan sebagai tempat berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

Menurut Sidi Gazalba, sebelum Islam datang di Minagkabau, Surau adalah bagian dari kebudayaan masyarakat setempat yang juga disebut “uma galang-galang”, adalah bangunan pelengkap rumah gadang. Surau dibangun oleh Indu, bagian dari suku, untuk tempat berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda, kadang-kadang bagi mereka yang sudah kawin, dan orang-orang tua yang sudah uzur.

Kedatangan Islam tidak merubah fungsi Surau sebagai tempat penginapan anak-anak bujang, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai tempat belajar membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah. Namun, dari segi fungsi Surau lebih lebih luas daripada fungsi Masjid. Masjid hanya digunakan untuk shalat lima waktu, shalat jum’at, shalat ‘id. Sedangkan Surau juga digunakan shalat lima waktu, sebagai tempat belajar agama, mengaji, bermediatsi dan upacara-upacara, di samping sebagai tempat semacam asrama anak-anak bujang. Lebih lanjut Surau digunakan

sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki sisten yang teratur, ini dapat dibuktikan dengan didirikannnya Surau sebagai lembaga pendidikan Islam oleh Syekh Burhanuddin (1646-1691) setelah berguru kepada Syekh Abdurrauf bin Ali.[7] Dengan demikian Surau telah berubah fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran Islam.

(5)

menginap para musafr, tempat membaca hikayat, dan tempat mendamaikan jika ada warga kampung yang bertikai.[8] Sedangkan dayah adalah lembaga pendidikan yang terdapat hampir di tiap-tiap uleebalang, seperti halnya di tiap-tiap kampung harus ada meunasah. Setiap dayah memiliki sebuah balai utama sebagai tempat belajar dan salat berjama’ah. Dilihat dari mata pelajaran yang diajarkan, dayah mengkaji materi pelajaran yang lebih tinggi daripada di meunasah.

Lembaga-lembaga pendidikan semacam Pesantren, Surau, Meunasah dan Dayah memiliki peran penting dalam mengajarkan nilai-nilai Islam, terjadi transfer ilmu, transfer nilai dan transfer perbuatan (transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill) sehingga mampu mencetak intelektual muslim Nusantara yang patut diperhitungkan dalam era peta pemikiran Islam.

C. Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan-Kerajaan Islam

Salah satu tujuan adanya pendidikan Islam adalah terbentuknya masyarakat muslim di Indonesia. Terbentuknya masyarakat muslim disuatu daerah adalah melalui proses yang panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’i.

Dengan terbentuknya komunitas atau masyarakat muslim pada beberapa daerah di Indonesia ini, mendorong untuk membentuk kerajaan Islam sebagai pusat kekuatan atau kekuaaan politik didalam proses Islamisasi di Indonesia. Maka berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai dan Perlak di Aceh pulau Sumatera, Demak di pulau Jawa, kerajaan Mataram, dan sebagainya. Dengan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia ini, maka fase perkembangan Islam berikutnya adalah fase perkembangan Islam dan politik, yang artinya perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan politik.

Tumbuhnya kerajaan Islam sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di Indonesia ini jelas sangat berpengaruh sekali dalam proses Islamisasi/ pendidikan Islam di Indonesia, yaitu sebagai suatu wadah/ lembaga yang dapat mempermudah penyebaran Islam di Indonesia. Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin memperoleh perhatian, karena kekuatan politik digabungkan dengan semangat para mubaligh (pengajar agama pada saat itu) untuk mengajarkan Islam merupakan dua sayap kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.

(6)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedatangan Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang dan ulama-ulama, mereka datang dari Arab, Persia maupun India, penyebarannya adalah berada pada jalur-jalur dagang internasional pada saat itu. Pendidikan Islam Islam dilakukan dalam bentuk khalaqah di rumah-rumah pedangang ataupun ulama maupun dengan tauladan. Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa sangat berhasil karena mampu

mengislamisasikan wilayah Jawa. Lembaga pendidikan yang digunakan adalah pesantren. Keberhasilannya didukung oleh pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kultur masyarakat Jawa.

Pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di Indonesia sudah berlangsung cukup baik. Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di Indonesia ini sangat berpengaruh bagi proses islamisasi di Indonesia sebagai peranannya didalam penyiaran agama Islam, melalui para Ulama sebagai

mubaligh/ pendidik dalam penyiaran agama Islam dan kerajaan Islam sebagai wadah kekuasaan politik Islam, keduanya sangat berperan dalam mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufk. (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Asrohah, Hanun. Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Logos, 1999.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992. Rukiati, Enung K dan Fenti Hikamawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M, 1983.

(7)

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.[butuh rujukan] Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.[butuh rujukan] Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. [butuh rujukan] Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.[butuh rujukan] Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.[butuh rujukan] Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan.[butuh rujukan] Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596.

Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah

menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[5] Defnisi pesantren[sunting | sunting sumber]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa.[butuh rujukan] Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (قودنف) yang berarti penginapan.[butuh rujukan] Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai.[butuh rujukan] Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]

(8)

Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.[butuh rujukan] Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[butuh rujukan] Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren[sunting | sunting sumber] Pondok[sunting | sunting sumber]

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara Kyai dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofr, bahwa adanya sikap timbal balik antara Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun

pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

(9)

dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agaknya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang

terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan

memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat. Masjid[sunting | sunting sumber]

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofr berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem

pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

(10)

ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik[sunting | sunting sumber]

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia

terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin

penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofr dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifkasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan

(11)

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi Kyai.

Santri[sunting | sunting sumber]

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofr berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti

pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai[sunting | sunting sumber]

(12)

Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta

pandangan Islam melalui pendidikan.

Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan gambaran

kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifkasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Peranan[sunting | sunting sumber]

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.[butuh rujukan] Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horisontal (kesadaran sosial).[butuh rujukan] Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).[butuh rujukan] Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[16]

(13)

telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.[butuh rujukan] Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi.[butuh rujukan] Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.[butuh rujukan] Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).[butuh rujukan] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.[butuh rujukan]

Jenis pesantren[sunting | sunting sumber]

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf[sunting | sunting sumber]

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf.[butuh rujukan] Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salaf adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.[butuh rujukan] Sebagian besar pesantren salaf menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para santri, pada umumnya

menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam.[butuh rujukan] Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.[butuh rujukan]

Pesantren modern[sunting | sunting sumber]

(14)

dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.[butuh rujukan] Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.[butuh rujukan] Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.[butuh rujukan] Namun, perbedaan pesantren dan

madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.[butuh rujukan] Ada juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren[sunting | sunting sumber]

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya:

Munculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana publik.

Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.

Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.

(15)

MAKALAH

KARAKTERITIK NILAI-NILAI PESANTREN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Makalah ini diSusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Kepesantrenan

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah Kepesantrenan dapat terselesaikan.

Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai

(16)

Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT., jualah penulis memohon Rahmat dan Ridho-Nya.

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... .... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

C. Tujuan... 1

BAB II PEMBAHASAN... 2

A. Asal-usul Pesantren... 2

B. Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren... .... 3

C. Karakteristik Pendidikan Pesantren... .... 3

D. Unsur-unsur Kelembagaan Pesantren... .... 6

E. Peran Pondok Pesantren bagi Masyarakat... .... 7

BAB III PENUTUP... 9

(17)

DAFTAR PUSTAKA ... 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya

berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.salah satunya adalah pesantren.

Sesuatu yang unik pada dunia pesantren adalah begitu banyak variasi antar satu pesantren dengan pesantren yang lain. Namun demikian, dalam berbagai aspek dapat ditemukan kesamaankesamaan umum. Kalau ditelusuri lebih lanjut,maka akan ditemukan kesamaan-kesamaan umum dan variabel-variabel struktural seperti bentuk

kepemimpinan, organisasi pengurus, dewan kiai atau dewan guru, susunan rencana pelajaran, kelompok santri dan bagian-bagian lain yang apabila dibandingkan antara satu pesantren dengan pesantren yang lain, dari satu daerah dengan daerah yang lain, maka akan ditemukan tipologi dan variasi dunia pesantren.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Asal-Usul Pesantren?

2. Bagaimanakah Pertumbuhan Kelembagaannya? 3. Bagaimana Karakteristik Pesantren?

4. Apa saja unsur-unsur kelembagaan pesantren? 5. Peran Pondok-Pesantren bagi Masyarakat?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Menjelaskan Asal-usul pesantren

(18)

3. Menjelaskan Bagaimana Karakteristik Pesantren 4. Membahas unsur-unsur kelembagaan pesantren 5. Membahas pondok pesantren bagi masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal-Usul Pesantren

Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah pesantren, kiai dan santri masih diperselisihkan.

Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan Pe dan akhiran an yang menunjukan tempat. Dengan demikian pesantren artinya “Tempat para santri”. Selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata sant (Manusia Baik) dengan suku Tra (Suka Menolong) sehingga kata pesantren dapat berarti “Tempat Pendidikan Manusia baik-baik”.

Ada yang berpendapat bahwa pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu dari kiai atau guru tersebut maa

masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru atau kiai tersebut.

Wahjoetomo, mengatakan bahwa pesantren yang berdiri di tanah air,khususnya di jawa dimulai dan dibawa oleh wali songo, dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah “Pondok Pesantren yang pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syekh Maulana Maghribi (Wafat tanggal 12 Robi’ul awal 822 H atau tanggal 8 april 1419 M di Gresik“.

(19)

tersebar di jawa sistem tersebut diambil oleh Islam. Juga istilah ngaji,istilah pondok, langgar di jawa,Surau di Minangkabau, Rangkang Aceh, Bukan berasal dari bahasa arab, merupakan istilah yang terdapat di India.

Dari segi bentuknya antara pendidikan Hindu di Indonesia dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk asal-usul pendidikan pesantren, seperti penyerahan tanah dari negara untuk kepentingan agama, sistem pendidikan hindu maupun pesantren di indonesia tidak dijumpai pada sistem pendidikan yang asli di Mekkah, letak pesantren yang didirikan di Desa. Semua itu dapat dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa asal-usul pesantren dari India.

Mahmud yunus menyatakan dalam sejarah pendidikan islam bahwa asal usul pesantren yang menggunakan bahasa arab pada awal pelajarannya, ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibukota wilayah islam,tradisi menyerahkan tanah oleh negara dapat ditemukan dalam sistem waqaf.

Dengan mengemukakan pendapat para pakar tersebut,membutikan bahwa persoalan-persoalan historis tentang asal-usul pesantren tidak dapat diselesaikan dan dipahami secara keseluruhan, sebelum problematika yang lannya terselesaikan terlebih dahulu, yaitu tentang kedatanga Islam di indonesia.

B. Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren

Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. Misalnya, Raden rahmat (Yang dikenal sebagai sunan Ampel) mendirikan pesantrennya didaerah kembang kuning (Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairoh dan Kiai Bangkuning. Setelah melalui

beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebardi pelosok-pelosok tanah air. Pertumbuhan dan

(20)

C. Karakteristik Pendidikan Pesantren

Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren,maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan:seperti materi pelajaran dan metode pengajaran,prinsip-prinsip pendidikan,sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santriserta hubungan keduanya.

1) Materi pelajaran dan Metode Pengajaran

Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode Wetonan adalahmetode kuliah dimana para santri

mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu.

Metode sorogan adalah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya,kiai membacakan dan menerjemahkannya kalimat perkalimat; kemudian menerangkan maksudya.

Metode Hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya .Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau Nazam.

2) Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan esantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.Umumnya,kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiai nya,maka ia berpindah ke kitab yang lain.Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal,tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai paling tinggi.

3) Fungsi Pesantren

(21)

4) Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren

Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatannya yang holistik, pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya. Setidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren :“(1) theocentric; (2) Sukarela dalam pengabdian; (3)kearifan; (4) kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6) mengatur kegiatan

bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) kemandirian (9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;(10) mengamalkan ajaran agama (11) belajar di pesantren bukan untuk mencari Ijazah (12) restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai.

5) Sarana dan tujuan Pesantren

Dalam bidang sarana,pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fsik kini sudah berubah total.Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah.Namun,Kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.Sarana belajar misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sedia kala,dengan duduk diatas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai menyampaikan pelajaran.

Mengenai tujuan pesantren,sampai kini belum ada suatu rumusan yang defnitif.Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan,meskipun semangatnya sama,yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta

meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.Adanya keberagaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan

independensinya.

6) Kehidupan Kiai dan Santri

(22)

Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang diberikan secara berjenjang dan berulang-ulang.Masing-masing kitab dipelajari bertahun-tahun bahkan pengajaran dipesantren tidak mengenal kata tamat atau selesai.

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya,sebagai sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan pada umumnya.

Setidaknya ada delapan ciri kehidupan di pesantren :

a) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya b) Kepatuhan santri kepada kiai

c) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren d) Kemandirian

e) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan f) Disiplin sangat dianjurkan

g) Berani menderita untuk mencapai satu tujuan h) Pemberian Ijazah.

D. Unsur Unsur Kelembagaan Pesantren

Dalam lembaga pendidikan islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur:kiai yang mengajar dan mendidik serta menjadi panutan,santri yang belajar pada kiai,masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan shalat jamaah,dan asrama tempat tinggal para santri.

Selain unsur-unsur kelembagaan,karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari struktur organisasinya yang meliputi;Status kelembagaan,struktur organisasi,gaya

(23)

Setiap pesantren memiliki struktur yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.Ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pesantren mempunyai dua sayap:sayap yang menjaga nilai-nilai kebenaran absolut dan sayap yang menjaga nilai-nilai kebenaran relatif.Sayap pertama bertanggung jawab pada pelestarian kebenaran atau kemurnian agama,sedangkan sayap kedua bertanggung jawab pada pengamalan nilai-nilai

absolut,baik dalam pesantren maupun diluar pesantren. Ajaran kiai,ustad, kitab-kitab agama yang diajarkan di pesantren diyakini memiliki kebenaran absolut oleh para santri, karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenaran dan keabsahan sebuah ajaran mereka hanya memahami dan mengamalkannya.

Gaya kepemimpinan pesantren adalah mempunyai daya untuk menggerakan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuatu sesuai kehendak pimpinan.Karena landasan keikhlasan,maka apa saja yang direncanakan mendapat dukungan penuh baik dari santri maupun masyarakat luas.

Suksesi kepemimpinan terutama pada pesantren milik pribadi adalah bersifat

patrimonial,dimana kepemimpinan diwariskan kepada keluarganya,seperti dari pendiri diwariskan kepada anaknya,menantu dan cucunya;tetapi juga kadangkala diserahkan kepada santri senior yang berprestasi;tanpa harus ada hubungan keluarga.

E. Peran Pondok-Pesantren bagi Masyarakat

Sejarah penyebaran Islam di muka bumi tidak bisa terlepas dari tempat ibadah umat Islam yaitu masjid. Masjid tak hanya digunakan untuk shalat, tetapi digunakan juga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam. Para sahabat Nabi juga melakukan dakwahnya dengan fasilitas masjid, begitu juga para tabi’in serta tabi’ut tabi’in dan para ulama’ dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam.

Dengan berjalannya waktu, nampaknya dengan hanya mengandalkan masjid tak cukup untuk menjadi fasilitas menyebarkan agama Islam. Sehingga berdiri pondok pesantren yang tersebar di penjuru nusantara, khususnya di tanah jawa. Dalam sejarah

perkembangan Islam di Indonesia, peran pesantren sangat penting dalam mencerdaskan bangsa dan membentuk bangsa yang bermoral mulia.

(24)

merupakan pimpinan pesantren dan juga menjadi fgur yang ditokohkan dalam lembaga ini, di samping itu juga terdiri dari struktur kepengurusan pesantren yang terdiri dari ketua santri dan beberapa pengurus yang lain. Sebagai warga negara yang beragama Islam patut bangga dan bersyukur dengan banyak berdirinya pesantren serta terus ikut membantu dengan memberikan kontribusi kepada pondok-pesantren agar terus berkembang dan maju keberadaannya.

Berkembangnya manusia tak cukup hanya dengan pertumbuhan fsik yang sehat, tetapi perlu dilengkapi dengan pertumbuhan rohani yang bagus. Pendidikan yang ditawarkan oleh pesantren merupakan cerminan pendidikan jiwa yang harus ada bagi setiap manusia. Jika kita mahu melihat fenomena dalam masyarakat secara obyektif, maka kita akan menjumpai bahwa ada perbedaan yang jauh antara orang yang mahu belajar

pengetahuan agama Islam di pesantren dengan orang yang hanya mempelajari Islam lewat pendidikan di lembaga formal. Kenapa demikian? Karena disamping waktu yang tersedia di lembaga formal jauh lebih sedikit, juga karena materi keislaman yang

disediakan sangat terbatas. Berbeda dengan realita yang ada di pesantren, lembaga ini benar-benar memaksimalkan perannya dalam mencetak kader-kader yang

berpengetahuan Islam secara luas dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari paparan di atas, maka nampak jelas bahwa peran pesantren bagi masyarakat sangat dibutuhkan. Di samping itu pesantren juga mendidik santrinya untuk bisa disiplin, mandiri, hidup sederhana dan peka dengan sosial. Kehidupan di pesantren tak sama dengan kehidupan di apartemen atau layaknya hidup di rumah sendiri. Karena memang sengaja untuk membentuk siswa yang siap hidup sederhana dan lebih mementingkan kepentingan umat.

Walaupun pesantren tak selamanya bisa menjamin alumninya akan menjadi orang-orang yang sukses atau pandai dalam wawasan keisalaman. Namun, sedikit atau banyak peran pesantren tetap sangat dibutuhkan dalam perkembangan pendidikan dan moral bangsa Indonesia. Ketika terjadi ada alumni pondok pesantren yang kurang berhasil, maka ini bukan kesalahan pesantren sepenuhnya. Karena tak ada pesantren yang mengajarkan ajaran yang jelek. Ketika terjadi seperti itu, mungkin lebih dekat dengan faktor alumni tersebut. Seperti karena kurang serius dalam mematuhi aturan pesantren dan dalam belajar serta mungkin juga kesadaran yang belum sepenuhnya ada pada dirinya untuk mengamalkan segala hal kebajikan yang ia telah tahu. Intinya dengan adanya lembaga pesantren bisa mencerdaskan bangsa.

(25)

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah pesantren,kiai dan santri masih diperselisihkan.

2. Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia.Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa,mereka memanfaatkan Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama

Islam.Misalnya, Raden rahmat (Yang dikenal sebagai sunan Ampel) mendirikan

pesantrennya didaerah kembang kuning (Surabaya).Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairoh dan Kiai Bangkuning. Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebardi pelosok-pelosok tanah air. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosio-kutural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

3. Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren, maka dapat dilacak dari

berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan: seperti materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santriserta hubungan keduanya.

4. Dalam lembaga pendidikan islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur:kiai yang mengajar dan mendidik serta menjadi panutan, santri yang belajar pada kiai, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan shalat jamaah, dan asrama tempat tinggal para santri. Selain unsur-unsur kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari struktur organisasinya yang meliputi; Status

kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan, dan suksesi kepemimpinan.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata,H.(Ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, grasindo, yakarta,2001,h.93

Ahmad Syaf’i Nur, Pesantren :Asal Usul Dan Pertumbuhan Kelembagaan, Dalam Buku yang di Edit oleh Abuddin Nata yang berjudul Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia,Grasindo,Jakarta,2001

Azyumardi Azra,Prof.Dr.H., Pendidikan Islam;Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,Logos,Jakarta,2002

Dawam rahardo,M. (Ed.), Pesantren Dan Pembaharuan,LP3ES,Jakarta,1974 .Hasbullah, Drs., Sejarah pendidikan Islam di Indonesia,Raja Grafndo Persada,Jakarta,1996

Zamakhsyari Dofer, Tradisi Pesantren,LP3ES,Jakarta ,1983

Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam,Raja Grafndo Persada,Jakarta,1996

Marwan Saridjo et.al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, Drama Bakti,Yakarta,1982 Mastuki HS,M.Ag dan M.Ishom El-saha,M.Ag. Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren,Diva Pustaka,Jakarta,2003

(27)

Kumpulan Makalah Gratis

Beranda Konsultasi Tentang Saya

Jumat, 22 Maret 2013

Book Review Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Book Review

Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Oleh: Mutawalli

Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979)

Sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut dari mulai masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang. Di antara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua, dan dinilai sebagai hasil proses sejarah yang panjang. Pesantren sering disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah agama Hindu.[1] Eksistensi pesantren yang

(28)

Karya Mahmud Yunus yang akan direview ini, sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan buku-buku lainnya, dimana di dalam buku ini secara matang dijelaskan satu persatu sebab musabbab berkembangnya pendidikan di Indonesia. Buku ini diakui merupakan buku pertama yang mengulas sejarah tentang pendidikan Islam di Indonesia secara lengkap karena buku ini tidak hanya memuat tentang penjelasan-penjelasan sejarah dari para ahli namun juga dibubuhi dengan dokumen-dokumen yang mendukung akan keberadaan sejarah tersebut, baik dokumen yang berupa poto-poto maupun dalam bentuk naskah tua. Sehingga wajar bila kita berkiblat pada buku ini dalam mengkaji tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Pendekatan

Buku Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, tidak dapat digolongkan ke dalam penulisan sejarah tradisional yang ciri pokoknya menyajikan peristiwa sejarah dalam bentuk kisah dengan bahasa yang berbeda yaitu menggunakan pendekatan naratif. Dalam buku ini, Mahmud Yunus mengguakan metode interdisipliner, yang sekarang ini lebih dikenal sebagai sejarah totalitas, yang dikembangkan oleh mazhab annales (annales school), karenanya disebut juga sebagai pendekatan Annales.[3]

Buku dengan judul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia yang dikarang oleh Mahmud Yunus ini secara keseluruhan terdiri dari empat bagian, yang mana setiap bagian terdiri dari beberapa bab. Buku ini merupakan hasil pengembaraan dari si penulis sendiri, baik dia melakukan penyelidikan dengan berkirim surat dan dengan pergi sendiri ke daerah-daerah yang bersangkutan. Sehingga Mahmud Yunus mengungkapkan dalam kata pengantarnya bahwa pada umumnya sejarah pendidikan Islam di daerah itu amat kabur dan tidak jelas kapan waktu, tanggal dan tahunnya, kadang-kadang hanya dengan perkiraan saja. Hanya yang terang dan jelas ialah sejarang pendidikan islam dalam perkembangan terakhir.

(29)

dalam bahasa melayu, tablig-tablig, penyiaran agama pada masyarakat, aliran baru di Minangkabau, perkumpulan-perkumpulan Islam di Minangkabau, dan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Bab V: zaman modernisasi madrasah-madrasah di Minangkabau, normal Islam, Islamic College dan lain-lain, muktamar madrasah yang pertama (1936), sekema susunan madrasah-madrasah sebelum Indonesia merdeka, rencana pelajaran awaliah/ibtidaiyah, perguruan tinggi islam, dan pendidikan islam zaman Jepang. Bab VI: pendidikan islam sesudah Indonesia merdeka, pendidikan agama di Sekolah Rakyat, keadaan madrasah-madrasah pada tahun 1945-1959, Universitas Darul Hikmah, dan riwayat singkat ulama-ulama Minangkabau. Bab VII: pendidikan Islam di Jambi, dan tumbuh dan berkembangnya madrasah di Minangkabau seperti: Madrasah Nuruh Iman, Madrasah Nurul Islam dan lain-lain. Bab VIII: pendidikan Islam di Aceh, keemasan

pesantren-pesantren di Aceh, ulama-ulama Aceh yang terkenal di abad ke17, tafsir al-Qur’an Syekh Abdur Rauf bahasa Melayu, masa perubahan pesantren, dan madrasah Islam modern Langsa. Bab IX: pendidikan Islam di Sumatera Utara, pertumbuhan

pesantren di Sumatera Utara, lahirnya madrasah-madrasah, munculnya Universitas Islam Sumatera Utara, dan pesantren/ madrasah Mustafawiyah di Tapanuli. Bab X: pendidikan Islam di Sumatera Selatan, mulai dari pertumbuhan pondok pesantren, madrasah sampai kepda berdirinya universitas di Sumatera Selatan.

Kemudian pada bagian kedua membicarakan tentang sejarang pendidikan Islam di Jawa yang dijabarkan dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab I: masuknya Islam di pulau Jawa, dibahas juga tentang para wali yang menyebarkan Islam di pulau Jawa, lalu di bab ini juga dijabarkan organisasi-organisasi pendidikan Islam, di dalam bab ini juga terdapat penjelasan tentang zaman kerajaan Islam Mataram dan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, pendidikan Islam di Jawa sebelum tahun 1900 M dan dijabarkan juga peran pondok pesantren di Jawa dari 1900 M. Bab II: Pendidikan Islam di Jawa Timur yang mana di dalam bab ini pondok pesantren mulai kelihatan perannya dalam pendidikan Islam, terlihat dalam pembahasannya tentang pondok pesantren Tebuireng yang

dibangun oleh K. H. Hasyim Asy’ari, lalu ada pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, pondok pesantren Rejoso Peterongan, dan pondok modern Gontor Ponorogo Madiun, dan dijelaskan pula peran Nahdhatul Ulama (NU) dalam mengembangkan pendidikan Islam di Jawa. Bab III: Pendidikan Islam di Jawa Tengah/Yogyakarta. Pada bab ini banyak

disinggung beberapa madrasah yang bermunculan di samping itu pula banyak

bermunculan ogranisasi Islam seperti Muhammadiyah yang mana organisasi ini memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan Islam, ini terlihat dengan banyaknya madrasah yang dibangun dan dibangun pula universitas untuk mendukung

berkembangnya pendidikan Islam di Indonesia khususnya di Jawa Tengah. Bab IV:

Pendidikan Islam di Jawa Barat. Pada bab ini juga dijelaskan peran madrasah dan pondok pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia ini dibuktikan dengan adanya pondok pesantren persatuan Islam bandung, pondok pesantren/madrasah Gunung Puyung Sukabumi dan persatuan umat Islam Majalengka, pesantren persis di Bandung dan madrasah Al Khairiyah Banten. Bab V: Madrasah-madrasah di Jakarta. Diantaranya:

(30)

Lalu pada bagian tiga, Yunus menjelaskan tentang pendidikan Islam di Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku. Dijabarkan dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab I: masuknya Islam ke Sulawesi dan Nusa Tenggara, dan masuknya Islam ke Kalimantan dan Maluku. Bab II: Pendidikan Islam di Sulawesi, pertumbuhan dan perkembangan

madrasah dan pondok pesantren dan Universitas Muslim Islam Makasar. Bab III: pada bab ini Yunus khusus membahas tentang pendidikan di Nusa Tenggara, madrasah Nahdlatul Wathan Lombok, dan madrasah-madrasah lainnya yang berkembang di Lombok. Bab IV: pendidikan Islam di Kalimantan. Dalam bab ini, banyak dijelaskan tentang banyaknya pondok pesantren dan madrasah yang sudah menjamur dan memiliki peran yang penting dalam perkembangan pendidikan di belahan Indonesia ini.

Pada bagian terkahir yaitu tepatnya bagian keempat dijelaskan tentang persatuan

pendidikan Islam di Indonesia. Pada bagian ini hanya terdiri dari satu bab, dimana dalam bab ini dijelaskan berdirinya Kementerian Agama di Yogyakarta/Jakarta, bedirinya

persatuan pendidikan guru-guru Agama Islam di Indonesia, berdirinya PGA dan SGHA di luar Jawa, banyaknya sekolah-sekolah kementerian agama (tahun 1951-1954 M),

kemudian dibangunnya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogya, Akademi Dinas Ilmu Agama Jakarta, dan Al Jami’ah Al Islamiah Al Hukumiah (IAIN) dan terkahir penutup.

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Jawa

Akar historis-kultural pesantren tidak terlepas dari perkembangan Islam di Indonesia yang bercorak sufstik dan mistik. Jika dilihat dalam konteks yang lebih besar lagi, aliran sufsme dan mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat di Jawa ini juga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong proses Islamisasi secara umum.[4] Dalam pergumulannya, pesantren menyerap banyak budaya Jawa pedesaan yang cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itu, di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desa-desa, pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional. Pesantren memiliki kekhasan tersendiri jika dibanding dengan lembaga pendidikan

lainnya. Akar budaya yang kuat menyebabkan pesantren menjadi sebuah entitas yang begitu erat dengan masyarakat dalam menanamkan misinya.[5] Bahkan pesantren menjelma menjadi sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncretic,[6] yang tidak dapat terpisah dari masyarakatnya.

Pesantren sudah mulai muncul pada masa pertumbuhan Islam di Jawa. Hal ini dapat dilihat dari munculnya pesantren Ampel Denta Surabaya yang didirikan oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Selanjutnya muncul pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, yang pesantrennya terkenal sampai ke daerah Maluku. Orang-orang dari daerah itu, terutama Hitu, berguru kepada Sunan Giri.[7]

(31)

menjadikan pondok pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan rakyat tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan, kebanyakan pondok pesantren masih berada di wilayah pinggiran. Pada tanggal 22 Desember 1945 Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengamanatkan agar pendidikan di langgar-langgar (pesantren) dan madrasah terus berjalan dan dipercepat. Meskipun demikian, sistem pendidikan pondok pesantren tidak masuk dalam sistem pendidikan nasional. Seiring dengan program pembangunan di Indonesia, dengan watak kemandiriannya, pondok pesantren mengalami perkembangan yang pesat. Pondok pesantren tidak hanya menjelma sebagai lembaga pendidikan rakyat tetapi juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat.

Sejak masa Orde Baru bermunculan banyak organisasi yang orientasi kegiatannya berfokus pada bidang sosial dan keagamaan, seperti bidang pendidikan. Pendirian

lembaga pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Berbagai peran potensial yang dimainkan oleh pesantren menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat di sekitarnya sekaligus menjadi rujukan moral (reference of morality) bagi kehidupan masyarakat umum.[8]

Sebagai salah satu kota wali di wilayah Jawa, Kudus memiliki Sunan Kudus dan Sunan Muria sebagai local model yang sangat berpengaruh di kawasan pantai utara

(Pantura) Jawa Tengah. Bahkan kebesaran dua wali tersebut memberikan justifkasi Kudus sebagai “kota santri”, dengan salah satu indikasinya adalah banyak pesantren dengan berbagai macam variannya.[9] Dengan demikian, Kudus sebagai kota kecil yang memiliki 86 pesantren produktif dapat menjadi media untuk mencapai tujuan pembangunan

daerah melalui mobilisasi sumber daya lokal (santri dan masyarakat). Produktivitas pesantren dapat dilihat secara manajerial, kurikulum, kepemimpinan, alih generasi, rekruitmen guru dan santri, serta proses pendidikan dan pembelajaran.

Pesantren dengan berbagai macam spesifkasi, visi, misi, dan orientasinya, menjadi varian menarik, terutama dalam memajukan pendidikan Islam di Kudus.

Pemetaan warisan tradisi Kudus Kulon dan Kudus Wetan memberikan corak, seperti tradisi dan nuansa keilmuan yang semakin menarik bagi masyarakat di luar Kudus. Ketertarikan tersebut berpangkal pada wilayah dan kantong-kantong santri yang tidak lagi didominasi oleh komunitas Menara[10], akan tetapi komunitas dan kantong-kantong lain yang

(32)

kiai-kiai berperanan penting dalam proses pendidikan masyarakat.[12] Sebagian kiai di Kudus tidak memiliki pesantren dan bahkan tidak memiliki santri tetap, sehingga tidak selalu terikat secara ketat dengan kegiatan-kegiatan pesantren. Namun demikian, di sisi lain juga banyak kiai yang memiliki pesantren, walaupun mereka tidak secara full timer (mukimin) menangani pesantren.[13]

Pada umumnya kebesaran seorang kiai sangat berhubungan dengan kebesaran pesantren yang diasuhnya. Semakin besar pesantren yang dimiliki seorang kiai, semakin besar ke-kiai-annya, namun tidak demikian yang terjadi di Kudus. Kondisi pesantren di Kudus tidak sebesar pesantren-pesantren di Jawa Timur. Jumlah pesantren di Kudus sampai saat ini mencapai puluhan pesantren, namun yang terbesar ada tiga, yakni Pondok Tahfdz Yanbu’ul Qur’an (PTYQ), Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo dan Pondok Pesantren al-Muayyad Kudus. Pesantren yang pertama memiliki lebih kurang 900 santri dengan fokus pembelajaran menghafal al-Qur’an dan pesantren ke dua memiliki lebih kurang 600 santri dengan pembelajaran ilmu-ilmu syariah dan dalail al-khairot, dan pesantren ke tiga

memiliki santri sekitar 600 orang. Pesantren-pesantren yang lain memiliki santri lebih kurang 100 orang.

Salah satu pondok pesantren besar di Kabupaten Kudus adalah pondok pesantren Darul Falah. Pesantren salaf yang terkenal dengan Thariqah Dalail al-Khairat ini berlokasi di Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kudus. Wilayah Kecamatan Jekulo termasuk dalam wilayah “Kudus Wetan”. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH Ahmad Basyir pada tahun 1970 ini memegang teguh ajaran Dalail al-Khairat dengan ciri khas puasa bertahun-tahun. Pondok pesantren Darul Falah memiliki motto “Njiret Weteng, Nyengkal Mata” yang memiliki makna ''Masa muda bersusah payah, maka pada saat tua akan menemukan kesuksesan. Sengsara itu berati berani lapar, berani bangun tengah malam, dalam artian untuk belajar.'' Motto kalimat ini bersumber dari petuah Sunan Kalijogo dalam salah satu Kitab Jawa yang menyerukan para santrinya untuk berperilaku prihatin dan bersahaja (tidak mementingkan kenikmatan lahiriah).[14] Ajaran tersebut menjadi salah satu dasar dari ajaran Dalail al-Khairat yang dikembangkan di pesantren Darul Falah. Dalail al-Khairat adalah salah satu ijazah dengan ciri khas puasa bertahun-tahun, yang di kalangan

masyarakat awam dikenal dengan sebutan puasa dalail.[15] Ijazah Dalail al-Khairat ini pula yang menjadi ciri khas Pesantren Darul Falah.

Santri-santri yang belajar di Pesantren Darul Falah ini berasal dari berbagai daerah, yaitu: Kudus, Jepara, Demak, Kendal, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Banten, dan sejumlah kota di Sumatera. Di pesantren ini dipersiapkan asrama atau pondok yang digunakan oleh para santri untuk tinggal selama mereka belajar. Santri-santri yang belajar di pesantren Darul Falah terdiri atas santri putra dan santri putri.

(33)

Dengan lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pondok pesantren memasuki babak baru dalam dunia pendidikan di negeri ini. Pondok pesantren telah masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.[16] Dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Kemudian dalam pasal 30 ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,

pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.[17] Dengan adanya ketentuan ini, secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perhatian serius sebagaimana sub-sistem pendidikan yang lain.[18] Undang-Undang ini memiliki dampak yang positif bagi perkembangan pendidikan di Pesantren. Fenomena ini dapat dilhat juga pada perkembangan pendidikan di Pesantren Darul Falah. Karena metode pembelajaran yang diterapkan sangat sistematis, Pada tahun 2003 pesantren Darul Falah dipercaya sebagai pengelola program wajib belajar 9 tahun di Kabupaten Kudus. Dengan program ini, para santri yang telah menempuh pendidikan selama 9 tahun di pesantren ini diakui setara dengan menempuh pendidikan 9 tahun program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Hal ini memiliki efek positif bagi para santri. Program pendidikan dasar (dikdas) ini

menjadikan para santri yang lulus ujian mengantongi dua dokumen kelulusan yang setara dengan ijazah MI/SD atau MTs/SMP masing-masing Surat Tanda Lulus (STL) dari

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Dengan dokumen itu, para santri salaf bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi atau memasuki pasaran kerja.[19]

Dalam perkembangannya pada tahun 2004 untuk memudahkan pengelolaan,

kepengurusan pondok pesantren dipecah menjadi empat, yakni Darul Falah I, II, III, dan IV. Darul Falah I dan II diperuntukan bagi santri putra, sedangkan Darul Falah III dan IV untuk santri putri. Kegiatan belajar para santri terdiri atas kegiatan harian, mingguan, dan selapanan atau bulanan. Kegiatan harian meliputi program tahfdh Alquran untuk santri putri, jamaah shalat, tadarus, kajian kitab sekolah pagi, musyawarah wajib, musyafahah Alquran, takhashshush An-Nasyri dan diakhiri qiyam al-lail.[20]

Penutup

Sesungguhnya pondok pesantren (madrasah) sangat memiliki andil yang sangat besar dalam meningkatkan pendidikan Islam di Indonesia. Karena pendidikan yang kita rasakan saat ini, sesungguhnya berawal dari madrasah atau pondok pesantren yang dipandu oleh para kiyai atau tuan guru, ini terbukti dengan banyaknya pondok pesantren yang

menjamur di setiap daerah dan pulau seantero negara Indonesia ini, baik dari Sabang sampai Merauke.

Perlu kita ketahui bersama bahwa madrasah atau pondok pesantren terduhulu

(34)

dilakukan. Bila melihat pondok pesantren yang terdahulu yang memiliki ciri khas dalam mengkaji kitab-kitab yang dikarang oleh para kiyai mereka baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu. Pergeseran yang kita rasakan saat ini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana pondok pesantren itu berada.

Terlepas dari berbedaan yang ada di dalam pondok pesantren baik tempo dulu maupun pondok pesantren saat ini, tentunya yang menjadi perhatian kita adalah maanfaat dari keberaan madrasah atau pondok pesantren tersebut yang mana dengan adanya pondok pesantren atau madrasah di sekeliling kita menunjukkan bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dikalahkan dengan pendidikan-pendidikan umum yang sudah

menjamur seiring dengan perkembangan zaman dan majunya teknologi. Dengan adanya buku sejarah yang membahasa tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia memberikan dampak yang sangat positif bagi kita, sehingga kita bisa mengenal lebih jauh tentang keberadaan madrasah atau pondok pesantren dalam menyebarkan pendidikan Islam di Indonesia.

[1]Amin Haedari, “Mengembangkan Pendidikan Pesantren Berbasis Tradisi”, Jurnal Pondok Pesantren Mihrab Edisi II Tahun IV (Departemen Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan CV. Kawula Muda Jakarta, 2006), 46.

[2]Taufk Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 110.

[3] Jamaluddin, Asia Tenggara Masa Modern Awal : Book Review, 1-2.

[4]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 35. Bukti yang jelas mengenai kecenderungan mistis dalam Islam di Indonesia telah memberi kesan bahwa kaum suf yang menjadi agen utama Islamisasi. A. H. Johns adalah pendukung utama argumen ini. Ia menjelaskan bahwa Islamisasi di Indonesia bersamaan waktunya dengan periode ketika sufsme mulai mendominasi dunia Islam. Lihat juga M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), 46.

(35)

[6]Amin Haedari dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), 2. Lihat juga H.M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global (Yogyakarta: Laksbang, 2006), 6.

[7]Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 192.

[8]Sulthon dan Khusnuridlo..., 14.

[9]Em Nadjib Hassan, et al., Profl Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005), 2.

[10]Menara (Masjid dan Menara Kudus) merupakan salah satu warisan peninggalan dari Sunan Kudus. Komunitas Menara menunjuk pada sebuah daerah yang masih termasuk wilayah Kudus Kulon (sebelah barat Kali Gelis), yang banyak berdiri pesantren. Pesantren-pesantren tersebut banyak terdapat di sekitar Masjid dan Menara Kudus.

[11]Di daerah Jekulo terdapat 16 Pesantren, di Undaan terdapat 10 pesantren, dan di Gebog berdiri 10 pesantren. Fakta-fakta ini menunjukkan persebaran pesantren di Kabupaten Kudus sudah mulai merata. Lihat Em Nadjib Hassan…, 50-57.

[12]Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid., [13]Ibid., 3.

[14]Suara Merdeka, 24 Oktober 2005. [15]Ibid., 105.

[16]Amin Haedari, kata pengantar dalam Direktori Pesantren (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), iii.

[17]Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta: Sinar Grafka, 2003), 10 dan 16.

[18]Fatah Syukur, “Sistem Nilai dalam Budaya Organisasi di Pesantren”, Forum Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam STAIN Pekalongan Vol. 2, No. 2 (Jurusan Tarbiyah STAIN

Pekalongan, 2004), 152-153.

[19]S. Huda, “Wajar Dikdas di Pesantren Salafyah”. Rindang No. 11 Tahun XXX Juni (Semarang: Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah, 2006), 9.

[20]Departemen Agama Kabupaten Kudus, Lima (5) Profl Pondok Pesantren Di Kudus (Departemen Agama Kabupaten Kudus, 2008), 21-22.

(36)

Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom) Arsip Blog

▼ 2013 (3)

▼ Maret (3)

ULANGAN MID SEMESTER

Kumpulan Soal Agama Islam SD

Book Review Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dala...Mengenai Saya mutawalli lomboktengah

Lihat profl lengkapku

Google+ Followers

(37)

MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup

keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.

Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan diferensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada

masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.

(38)

Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah

mendialogkannya dengan paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang

ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.

Salah satu hal yang perlu dimodifkasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.

B. Rumusan Masalah Apa pengertian pesantren?

Apa saja macam-macam pesantren?

Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang? Bagaimana system pendidikan pesantren?

Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system pendidikan pesantren?

Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap eksistensi pesantren itu sendiri

BAB II

PESANTREN

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memikul gaya lateral yang dialami oleh bangunan, struktur harus memiliki daktilitas yang memadai di daerah joint atau elemen struktur tahan gempa seperti

dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran Dinas Perhubungan (DLLAJR) dalam menertibkan aturan lalu lintas angkutan umum adalah suatu

a) pegukuran tersebut dapat memusatkan perhatian perencanaan program pada masalah-masalah yang menonjol. Dengan data hasil pengukuran dapat dijamin alokasi pemakaian waktu serta

Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang telah dirubah oleh para ahlul kitab dimana perubahan yang mereka lakukan disesuaikan dengan kebutuhan yang

Jika Anda tidak memiliki Microsoft Excel 2007, maka ketika Anda membuat chart baru, chart akan muncul dengan sebuah datasheet yang sangat mirip dengan spreadsheet.. Aplikasi

• Semakin disadari bahwa etika medis sendiri (yang hanya mengatur relasi antara dokter dengan pasien) dipandang tidak mencukupi untuk..

Oleh karena itu para pelaku pasar swalayan jangan hanya mementingkan persaingan harga dan tidak memperhatikan bahwa pelayanan merupakan sesuatu hal yang harus diperhatikan pada saat

Seperti mengembangkan silabus dan menyusun Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran