• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " Buletin Planolog Volume 7 Edisi 1 Tahun 2011"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DARI REDAKSI

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buletin Planolog Edisi Pertama Tahun 2011 ini dapat diterbitkan kembali, semuanya ini tentunya bisa dilaksanakan atas dukungan dan kontribusi aktif keluarga besar Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Pembaca yang budiman, tema yang diusung pada edisi ini “Inisiatif Baru Pemantapan Kawasan Hutan Menuju Beroperasinya KPH”. Hal ini terkait dengan adanya Inisiatif Baru Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk mempercepat penyelesaian sisa batas kawasan hutan yang belum ditata batas dan mendorong beroperasinya KPH. Artikel yang mendukung antara lain tentang KPH, Pengukuhan, Kedudukan Fungsional Perencana serta rubrik anda bertanya kami menjawab termasuk informasi Mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Melengkapi informasi tersebut, kami sajikan reportase kegiatan Rakornis Ditjen Planologi Kehutanan yang diselenggarakan di Jakarta dan Mukon Ditjen Planologi Kehutanan di Denpasar.

Beberapa artikel yang perlu diketahui antara lain tentang Teknologi Informasi, Pendidikan serta Pendidikan dan Pelatihan Teknis Kehutanan.

Dibulan penuh berkah ini pula, Redaksi mengucapkan selamat Selamat menjalankan ibadah puasa dan sekaligus mengucapkan ”SelamatHari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H”, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Redaksi.

Menu Buletin

Era Baru Ditjen Planologi………. Percepatan Pengukuhan Membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan……… Rapat Koordinasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sehangat Minyak Kayu Putih ……… Implikasi Triple Strategi Berbasis Pedesaan …………... Pertemuan Konsultasi (MUKON)……….. Status Kemajuan Implementasi Prepres No.85 ……….. Partisipasi Masyarakat Sekitar Hutan……….. Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS)……… Jabatan Fungsional Menuju PNS Profesional………….. Mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan………... Cybercrime di Indonesia………. Metode E-learning……….. Menulis dan Mengirimkan Surat Via E-Mail………….. Anda Bertanya Kami Menjawab………

1

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

Penanggung Jawab : Sekretaris Ditjen Planologi Kehutanan

Dewan Pembina : Direktur Lingkup Ditjen Planologi Kehutanan

Pemimpin Redaksi : Yana Juhana

Anggota Redaksi : Gunardo Agung Prasetyo Syaiful Ramadhan Triyono Saputra

Redaksi Pelaksana : Didik Setyawan Sudjoko Prajitno Yos Nelson Makalew

Editor : Watty Karyati Deazy Rachmi Tommy M Nainggolan Jati Wisnu Murthy Lilit Siswanti

Desain Grafis : Emma Yusrina Wulandari Niken Pramest

Sekretariat : 

Bagian Program dan Evaluasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan  Gd. Manggala Wanabakti Blok I Lantai 8 Telp. (021) 5730289 

(3)

 

(4)

    

ERA BARU DITJEN

PLANOLOGI

S

udah dua tahun Badan Panologi Kehutanan berubah kembali menjadi Direktorat

Jenderal di Kementerian Kehutanan.

Eksistensinya makin ditantang oleh pesatnya

perubahan dan perkembangan zaman. Dan, tak kalah peliknya, tuntutan layanan dari

para pemangku kepentingan juga makin beragam dan kompleks.

Segudang persoalan

yang menjadi tanggung jawab institusi yang dulu bernama Ditjen Inventarisasi dan Tata

Guna Hutan era Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap ini pun sudah menunggu

Sebut saja, soal tata batas yang tak kunjung tuntas, lalu soal penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) – yang sarat dengan kepentingan, juga sebagian masih terkatung-katung. Belum lagi persoalan lain yang juga tak kalah urgensinya, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan untuk keperluan pertambangan dan kegiatan lainnya di luar kehutanan, kemudian masalah penanganan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan atau transmigrasi. Masalah lain, yang juga terkait dengan Ditjen Planologi adalah menyangkut dukungan terhadap komitmen Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen.

Ini semua masalah prioritas yang membutuhkan jawaban cepat, lugas dan tuntas, dengan mengedepankan aspek profesionalitas. Tentu saja semuanya mengacu pada visi maupun misi baru (2010-2014) yang diemban Ditjen Planologi, yang antara lain bertekad mewujudkan kepastian kawasan hutan dan optimalisasi penatagunaan kawasan hutan; mengendalikan penggunaan kawasan hutan; memantapkan prakondisi pengelolaan kawasan hutan; serta mewujudkan kesatuan pengelolaan hutan dan optimalisasi penyiapan areal pemanfaatan hutan.

Lantas bagaimana langkah konkret jajaran aparatur Ditjen Planologi Kehutanan, berikut kami sampaikan publikasi ulang wawancara Ir. Bambang Soepijanto, MM., Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dengan wartawan Majalah Tropis pada Majalah Tropis Edisi 01/ Tahun IV/Maret 2011 adalah sebagai berikut:

Berkaitan tata ruang, dunia usaha menilai tidak ada kepastian, hingga ragu dalam berusaha? Harusnya tidak ada keraguan. Sebelum masalah tata ruang selesai, kan sudah ada TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan). Dan ini sudah sejak tahun 80-an. TGHK ini merupakan kesepakatan para pemangku hutan. Lagipula, dalam penyelesaian RTRWP itu kan ada dua institusi yang harus serasi; Kemenhut dan Pekerjaan Umum. Keduanya harus matching dan dipaduserasikan. Kalau sudah selesai ya segera diperdakan, dan berlaku untuk semua. Tapi kalau belum matching, itu yang menjadi persoalan. Apalagi pengaturan ruang itu kan bagian Pekerjaan Umum.

1

Kalau begitu kalau menetapkan RTRW ini Kemenhut tidak sendiri?

(5)

yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan mana yang berfungsi sebagai kawasan hutan produksi dan kawasan lindung.

Apa yang menjadi kesulitan dalam menyelesaikan perubahan tersebut?

Sebenarnya kalau lurus-lurus, misalnya untuk kepentingan umum saja, biasanya mudah. Tapi kalau sudah masuk berbagai kepentingan, ini yang agak sulit karena harus mengakomodir semua kepentingan yang ada. Apalagi Pemda sekarang mengharapkan nilai tambah dari perubahan tersebut.

Mengapa RTRW selalu menjadi persoalan dalam berinvestasi?

Sebenarnya, tidak akan timbul permasalahan, bila Kepala Daerah tetap menggunakan TGHK (Tata GUna Hutan Kesepakatan). TGHK sudah menetapkan berapa luas hutan, letaknya dimana saja. “kan semua sudah ditetapkan dalam TGHK”. Bukankah TGHK itu merupakan kesepakatan tertinggi dari semua pemangku kehutanan. Kalau itu kawasan lindung dan kawasan hutan produksi, jangan diberikan izin untuk kelapa sawit atau kegiatan non kehutanan. Semua dalam TGHK sudah jelas.

Tapi nyatanya kebanyakan seperti itu seakan mengabaikan keberadaan TGHK?

Ya kebanyakan para Bupati atau pejabat di daerah tersebut tidak sabar. Ini mungkin karena didesak peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), mereka mengundang investor di daerahnya untuk berinvestasi. Lantaran keterbatasan lahan, mungkin terhadap kawasan hutan pun mereka keluarkan izin. Semestinya tidak demikian, mereka punya hak untuk mengusulkan perubahan tata ruang wilayah.

Maksudnya, mereka mengusulkan ke Pemerintah Pusat?

Benar. Karena penetapan kawasan, khususnya kehutanan, itu wewenang pusat. Dalam hal ini Menteri Kehutanan. Mereka usulkan perubahan ke Menteri Kehutanan, kalau ada perubahan. Tapi bisa juga mengusulkan tidak ada perubahan. Bagi yang tidak ada perubahan, Menteri hanya menetapkan kembali tata ruang yang lama. Gubernur declare bahwa Provinsi tersebut tidak ada perubahan tata ruang. Dalam dinamikanya, tata ruang itu memang bisa berubah, ini disebabkan pemekaran daerah, pembangunan infrastruktur dan lain-lain yang membutuhkan ruang untuk menampung semua perubahan itu.

Usul tersebut tidak serta merta disetujui kan? Tidak. Ini semua melalui proses. Bagi daerah yang mengajukan perubahan, harus dilihat dulu cakupan luasnya, strategis tidaknya. Nah, untuk menentukan itu, Kementerian Kehutanan menurunkan, Tim Terpadu –yang beranggotakan instansi dan lembaga, termasuk LIPI dan Perguruan Tinggi. Tim Terpadulah yang berperan sebagai penentu. Menteri Kehutanan sifatnya hanya menetapkan, dan itupun bila sudah mendapat persetujuan DPR-RI.

Artinya keputusan tertinggi ada pada Tim Terpadu?

Ya. Tapi sebelumnya, Tim Terpadu melakukan paparan di hadapan Menteri kehutanan dan sejumlah Pejabat Daerah, termasuk Gubernur dan Bupati, serta instansi yang terkait. Dalam paparan ini, pejabat daerah yang mengusulkan diberikan kesempatan untuk mempertanyakan, bila hasil kajian Tim Terpadu tidak sesuai dengan yang mereka usulkan. Tim Terpadu ini sifatnya independen, dan diberikan hak penuh untuk memutuskan bahwa layak atau tidak layak kawasan itu diubah. Sebut saja misalnya pengajuan perubahan 100 Ha tapi hanya disetujui 20 Ha, itulah yang harus disepakati.

Kalau begitu, usulan Gubernur dan Bupati bisa saja tidak disetujui Tim terpadu?

Bisa saja. Tim Terpadu punya pertimbangan sendiri berdasarkan hasil kajiannya. Tim Terpadu bekerja atas dasar amanah Undang-Undang. Jadi tidak ada lagi tim yang bisa menentukan selain Tim Terpadu. Maka disitulah kenapa kedua Tim Terpadu dan Instansi Independen, biasanya dari LIPI. Karena sebagai lembaga penelitian LIPI dianggap independen. Bagi kehutanan tidak ada sandaran yang lain dalam memutuskan, boleh tidaknya perubahan, selain dari hasil penelitian kajian Tim Terpadu.

Apa saja biasanya yang menjadi pertimbangan Tim terpadu dalam memutuskan suatu wilayah boleh berubah atau tidak?

Masalah geografis. Wilayah tersebut sudah ada perkampungan. Di dalamnya berdiri fasilitas umum, seperti jalan raya, pelabuhan, dan lain-lain. Terhadap kawasan hutan yang seperti ini, Tim Terpadu punya pertimbangan lain. Kendati demikian, Tim Terpadu tidak bisa memutihkan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Undang-Undang tidak memperkenankan adanya pemutihan terhadap keterlanjuran penggunaan kawasan hutan. Amanat Undang-Undang tidak

(6)

mengatur masalah pemutihan dan juga tukar menukar lokasi.

Terhadap yang keterlanjuran ini, seperti halnya di Kalimantan Tengah, bagaimana solusinya? Akan kita selesaikan secara adil. Ada beberapa pertimbangan. Terhadap perusahaan yang memiliki izin berdasarkan kepada perundangan yang berlaku, hanya mungkin mereka kurang prosedural, harus diberlakukan dengan adil. Tapi tidak terhadap yang bodong, tanpa izin, ini jelas akan ditindak. Inventarisasi terhadap persoalan ini sudah dilakukan sejak 2010 kemarin. Dan terhadap beberapa kasus yang berinvestasi tanpa izin, dari Kemenhut ditargetkan 2011 sudah selesai.

Terjemahan secara adil itu bagaimana?

Adil itu bisa terima semua pihak. Kebetulan, saya ditunjuk sebagai ketua, dalam proses penyelesaian masalah itu. Persoalan itu menyangkut kepentingan nasional, telah membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan, dan mengentaskan kemiskinan. Kita targetkan selesai dalam 3 tahun. Dalam penyelesaian kasus ini, tidak semua harus dihukum atau dipidanakan. Bukankah ada istilah di bidang hukum, lebih baik melepaskan 1000 orang yang bersalah, daripada memenjarakan 1 yang tidak salah.

Sebenarnya dalam kasus ini dimana letak kesalahan?

Ada kecederaan dalam proses. Hanya memang dalam posisi saat ini, tidak terlalu jelas mana yang salah dan mana yang benar. Apalagi kalangan investor merasa mereka telah mendapat izin dari Pemda setempat. Dan bagi Pemda sendiri pun punya alasan, memberikan pemasukan bagi daerah, demi peningkatan PAD. Jadi penyelesaian yang terbaik adalah bagaimana kita berlaku adil, bisa diterima semua pihak.

Lalu strategi penyelesaian yang akan Anda lakukan?

Ada berbagai tipologi. Misalnya, izin benar tapi ruangannya salah. Atau sebaliknya. Ada yang tanap izin. Tipologi ini harus dipilah-pilah. Makanya di dalam penyelesaian ini, anggotanya lengkap. Ada kejaksaan, Bareskrim, Kepolisian, Kehutanan, Pekerjaan Umum, Pemda. Jadi ketika diusulkan, semua pihak menerima jangan sampai nantinya hanya pihak kehutanan saja yang dipersalahkan dalam kasus ini, seperti yang sudah-sudah.

Apa hikmah dari persoalan ini?

Ini pembelajaran bagi Pemda agar tidak mudah menggunakan wewenang dalam memberikan izin tanpa memperhatikan TGHK atau tata ruang. Kalau itu tidak selesai, maka keadaannya seperti sekarang ini, menjadi sumber kemelut. Di daerah banyak batas-batas yurisdiksi yang hilang, tidak jelas, dihilangkan oleh alam, dll.

Persoalan tata batas, hingga saat ini masih berapa panjang yang belum dilaksanakan tata batas, dan bagaimana program Anda ke depan? Sampai saat ini masih ada 63.267 Km yang masih belum terselesaikan dari target awal seluas 282.873 Km. Sebelumnya untuk jangka waktu 5 tahun ini, sampai tahun 2014, diprogramkan 25.000 Km. Tapi kami memandang, kalau dituntaskan semua, 63 ribu Km hingga 2014, mengapa tidak. Bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga ke depan, tata batas ini, bukan lagi menjadi hambatan, baik yang berkaitan dengan kehutanan maupun di luar kehutanan.

Apa mungkin?

Saya akan minta bantuan Bapenas dan Kemenkeu untuk anggaran. Dan prinsipnya mereka tidak ada masalah. Artinya soal financial aman. Sekarang, kita tinggal fokus pada SDM. Nah, soal ini, kita akan outsourcing dengan konsultan-konsultan. Jadi tidak lagi mengandalkan SDM kehutanan saja.

Soal perizinan yang berkaitan dengan konservasi lahan atau pinjam pakai, sering dikeluhkan terlampau lamban. Apa program Anda?

Nah, Planologi sebagai lokomotif namun masih Senja Utama yang masih bisa ditabrak oleh Agro Bromo karena lambat. Maka “kepala” ini saya ganti Shinkansen. Kita berharap dengan Shinkansen bisa lebih cepat. Langkah awal untuk perizinan ini, bahwa terhadap perizinan yang belum tuntas akan dipercepat, sehingga pada akhir Januari pada posisi 0 *(nol). Kalau permohonan itu memenuhi syarat, kita teruskan ke Menteri Kehutanan, dan yang tidak, kita tolak.

Kita sudah masuk babak baru, babak percepatan?

Kita berharap seperti itu. Sehingga permohonan-permohonan yang baru itu masuk kepada speed up gaya baru. Tidak boleh bertele-tele lagi.

Berapa lama target waktu sebelum permohonan mulai dari tahap awal sampai naik ke

meja Menteri?

Kemarin dihitung masih 140 hari karena

(7)

banyak pertimbangan teknis. Tapi kalau bisa dipersingkat. Kalau telaah di kita, 5 hari kerja saja sudah selesai semua, kemudian kalau menunggu dengan instansi lain, kita tunggu sampai 15 hari kerja. Sesungguhnya 30 hari kerja bisa selesai. Yang saya inginkan hanyalah kepastian waktu yang paling singkat sehingga, katakanlah 140, maka pada hari ke 130, si pemohon sudah berandai-andai miliknya akan pasti keluar 10 hari lagi. Pokoknya asal syarat dan kecukupannya oke, maka hanya akan menunggu 140 hari selambat-lambatnya.

Dengan menganalogikan seperti itu segala yang berurusan dengan Ditjen Planologi bisa cepat? Begini tegasnya, Ditjen Planologi harus terdepan, membukakan jalan buat unit-unit lainnya dalam menjalankan program kehutanan dan non kehutanan. Non kehutanan, seperti industri perkebunan dan pertambangan, yang sebagian besar memanfaatkan kawasan hutan.

Bagaimana Anda memaknai Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) dalam proses pembangunan kehutanan ?

RKTN itu kita ibaratkan Matahari yang menyinari rencana strategis kehutanan. Adapun rencana strategis itu, rembulan yang member cahaya pada Rencana Kerja Tahunan Kementerian Kehutanan yang di dalamnya ada rencana Kementerian antar lembaga.

Apa program dan stategi Anda hingga eksistensi Planologi tak sekadar menjadi pelengkap pada unit-unit di Kementerian Kehutanan ini?

Kementerian Kehutanan, memang merupakan tipe organisasi yang terintegrasi. Mulai dari perencanaan hingga controlling, itu ada pada unit-unit yang berbeda. Berbeda dengan organisasi di Kementerian lain. Sebagai unit yang memiliki tugas pokok dan fungsi, melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perencanaan makro bidang kehutanan, semestinya peran dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sangat strategis dalam menyiapkan prakondisi pengelolaan hutan.

Maksud Anda biar arah pembangunan kehutanan lebih jelas?

Kita berharap seperti itu. Tak ada lagi kisruh karena soal tata ruang, atau persoalan tata batas wilayah. Tata ruang wilayah itu harus match dengan kawasan hutan. Pemberian izin untuk kegiatan investasi yang bukan pada lokasinya tidak terulang lagi. Semua sudah jelas, mana kawasan hutan dan mana non kawasan.

Lantas sekarang, Anda melihatnya?

Respon Anda terhadap rekomendasi KPK, apa rencana aksinya?

Kita memang masih dituntut kerja keras. Semestinya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan ini ibarat gerbong kereta api, adalah lokomotifnya; menarik gerbong lainnya. Dan sekarang, kita ingin memerankan Ditjen Planologi seperti itu, sebagai lokomotif dari unit-unit lain di Kementerian Kehutanan.

Rekomendasi KPK itu utamanya adalah perbaikan peraturan perundangan kehutanan yang wewenangnya Menteri Kehutanan. Yang kedua adalah perbaikan peta. Peta provinsi yang ada sekarang adalah skala 1:250.000 sedangkan KPK minta 1:50.000. Namun hal itu tidak mungkin karena terlalu besar jadinya.

Apa mereka mau memahami, tentang keinginan Anda menempatkan Ditjen Planologi seperti itu?

Apa sebab? Kita sudah sampaikan, mereka cukup

memahami, bahwa peran Ditjen Planologi sebagai perumus kebijakan makro dan perencanaan kawasan hutan, memang harus menjadi penunjuk arah bagi pembangunan kehutanan keseluruhan. itu, tugas besar Ditjen Planologi.

 

Ya….kalau skala 1:50.000 itu di unit pengelola. Tapi nantinya akan dibuatkan di Kabupaten peta berskala 1:100.000. Namun target Ditjen Planologi adalah ada peta kawasan hutan tingkat desa. Supaya aparat desa ikut mengawal batas-batas yang dia miliki. Jadi nantinya, peta kawasan itu ada ditingkat kabupaten berskala 1:100.000 dan didesa skala 1:50.000. tidak di kecamatan, karena kecamatan itu ‘kan tidak punya wilayah, sifatnya koordinator. Yang punya wilayah itu desa. Sama dengan Gubernur, ada provinsi yang tidak punya wilayah, yang punya adalah Kabupaten.

Jadi dengan lokomotif ini, Anda berharap semua bisa ketarik?

(8)

 

PERCEPATAN PENGUKUHAN MEMBANGUN

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN

OLEH SUDJOKO PRAJITNO

PENDAHULUAN

Perencanaan Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 merupakan mandat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan, Rencana Kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan

rencana pembangunan kehutanan. Rencana kawasan hutan dalam skala geografis, terdiri dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP), Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) dan Rencana Pengelolaan Hutan di Tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (RKPH). Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2011 tanggal 28 Juni 2011 merupakan arahan makro indikatif pemanfaatan dan penggunaan spasial/ ruang disusun berdasarkan hasil inventarisasi hutan nasional.

Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan antara lain:

Pengukuhan Hutan : penunjukan kawasan hutan sesuai fungsi dan peruntukannya; proyeksi batas; pemancangan patok batas; pengukuran dan pemetaan termasuk pemasangan pal batas; pembuatan Berita Acara Tata Batas. penetapan kawasan hutan sesuai status, batas, dan luas wilayah hutannya.

Penatagunaan Hutan : penetapan fungsi kawasan hutan; penetapan penggunaan kawasan hutan;

Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan : Penyusunan rancang bangun KPHL dan KPHP oleh Gubernur dengan pertimbangan Bupati/ Walikota; penetapan arahan pencadangan

KPHL dan KPHP; Pembentukan/ Usulan Penetapan KPHL dan KPHP; Penetapan KPHL dan KPHP.

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan : Tata hutan yang meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok, pembagian kedalam petak, tata batas dalam wilayah KPHL/KPHP, pemetaan; Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan jangka panjang 10 tahun dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek 1 tahun;

Pengukuhan kawasan hutan secara bertahap dansimultan dapat dilaksanakan percepatannya dengan langkah-langkah kebijakan identifikasi permasalahan, analisa kebijakan, pengendalian dan pengawasan.

Pelaksanaan seminar dalam rangka pengembangan jabatan fungsional lingkup Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan peluang/ aktivitas kepada pejabat fungsional sebagaimana tema seminar yaitu ”Terwujudnya Peran Aktif Pejabat Fungsional untuk Pencapaian Target Percepatan Tata Batas dalam rangka Pemantapan Kawasan Hutan”.

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah ”Terbangunnya Dinamika Pembangunan Kehutanan yang Serasi, Seimbang dan Sukses Progresif untuk Mewujudkan Sistem Manajemen Hutan Lestari ”.

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN

(9)

 

Indonesia tahun 2009, pengukuhan batas kawasan hutan tahun 2005 – 2009 sampai tahap penataan batas kawasan hutan sepanjang 2.218,99 km, pengesahan Berita

Acara Tata Batas mencapai 703.283,01 km, dan penyelesaian penetapan kawasan hutan seluas 159.807,60 hektar sebagaimana tabel berikut.

Tabel 1 : Perkembangan Penataan Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005 – 2009.

No. Provinsi Tahun (km) Jumlah

2005 2006 2007 2008 2009 (km)

1 N. A.Darussalam - 30,34 - - - 30,34

2 Sumatera Utara - 33,75 - 69,34 - 103,09

3 Sumatera Barat - 69,11 - - - 69,11

4 Riau - - -

-5 Jambi - - -

-6 Sumatera Selatan - - -

-7 Bengkulu - - - 0,51 - 0,51

8 Lampung - - - - 129,74 129,74

9 Bangka Belitung - - -

-10 Kepulauan Riau - - -

-11 D.K.I Jakarta - - -

-12 Jawa Barat 117,14 - - - 0,47 117,61

13 Jawa Tengah - - -

-14 D.I Yogyakarta - - -

-15 Jawa Timur - 31,04 - - - 31,04

16 Banten - - -

-17 Bali - - -

-18 N. T. Barat - - -

-19 N. T. Timur - 74,52 - 46,63 - 121,15

20 Kalimantan Barat 27,18 - - 21,20 - 48,38

21 Kalimantan Tengah - - -

-22 Kalimantan Selatan - - -

-23 Kalimantan Timur 174,79 80,91 155,96 - - 411,66

24 Sulawesi Utara 23,84 - - - - 23,84

25 Sukawesi Tengah - - 106,86 - - 106,86

26 Sulawesi Selatan - - -

-27 Sulawesi Tenggara - - 41,03 43,43 216,92 301,38

28 Gorontalo - - -

-29 Sulawesi Barat - - -

-30 Maluku - 30,55 63,74 - 629,99 724,28

31 Maluku Utara - - -

-32 Papua Barat - - -

-33 Papua - - -

-Jumlah 342,95 350,22 367,59 181,11 977,12 2 218,99

(10)

 

Tabel 2 : Perkembangan Pengesahan Berita Acara Tata Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005 – 2009.

Tahun Jumlah

No. Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009

Unit km Unit km Unit km Unit km Unit km Unit km

1 N.A. Darussalam - - - - -

2 Sumatera Utara - - - - - 5 198 927,26 5 198 927,26 3 Sumatera Barat 3 74,55 - - - 8 200 071,56 11 200 146,11

4 Riau - - - - - 7 284 177,02 7 284 177,02

5 Jambi - - - - -

6 Sumatera

Selatan - - - - - 1 14 910,00 1 14 910,00

7 Bengkulu - - - - -

8 Lampung - - - -

9 Bangka Belitung - - - 1 8,26 - - 1 8,26

10 Kepulauan Riau - - - - -

11 D.K.I Jakarta - - - - -

12 Jawa Barat 3 140,82 - - - 3 140,82

13 Jawa Tengah - - - - -

14 D.I Yogyakarta - - - - -

15 Jawa Timur - - - - -

16 Banten - - - - -

17 Bali - - - - -

18 N. T. Barat - - - - -

19 N. T.Timur - - - - - 5 122.91 5 122.91

20 Kalimantan

Barat - - - - - 2 60,39 2 60,39

21 Kalimantan

Tengah 2 78,28 - - - 2 40,00 4 118,28

22 Kalimantan

Selatan - - - - - -

23 Kalimantan

Timur 4 169,74 - - - - 1 33,82 11 325,70 15 529,26

24 Sulawesi Utara - - - - - 3 43,40 3 43,40

25 Sukawesi

Tengah - - - 29 1 576,08 29 1 576,08

26 Sulawesi

Selatan 1 86,71 - - - 6 260,21 7 346,92

27 Sulawesi

Tenggara - - - - - 9 1 036,56 9 1 036,56

28 Gorontalo - - - - -

29 Sulawesi Barat -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- --

30 Maluku - - - - -

31 Maluku Utara - - - - -

32 Papua Barat - - - - - 6 1 045,32 6 1 045,32

33 Papua 1 43,72 - - - 2 51,70 3 95,42

Jumlah 14 593,82 - - - - 2 42,08 96 702647,11 112 703 283,01

(11)

 

Tabel 3 : Perkembangan Penetapan Kawasan Hutan Tahun 2005 - 2009

Tahun Jumlah

No. Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009

Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha Unit ha

1 N.A. Darussalam - - - - - - 1 80,00 1 80,00

2 Sumatera Utara - - - - - - 1 2 372,40 1 2 372,40

3 Sumatera Barat - - - 2 9 490,08 2 9 490,08

4 Riau - - - - - - 6 10 642,30 6 10 642,30

5 Jambi - - - - - - 1 13 529,40 1 13 529,40

6 Sumatera

Selatan - - - - - - 5 63 416,01 5 63 416,01

7 Bengkulu - - - - - - 2 6 30- 2 6 30-

8 Lampung - - - - - - 1 175,00 1 175,00

9 Bangka Belitung - - - - - - - - - -

10 Kepulauan Riau - - - - - - - - - -

11 D.K.I Jakarta - - - - - - - - - -

12 Jawa Barat 2 2 929,86 - - - 2 86,53 4 3 012,39

13 Jawa Tengah - - - 2 13 740,65 2 13 740,65

14 D.I Yogyakarta - - - - - - - - - -

15 Jawa Timur - - - - - - - - - -

16 Banten - - - - - - - - - -

17 Bali - - - - - - - - - -

18 N. T. Barat - - - -

19 N. T. Timur - - - 2 7 945,32 2 7 945,32 20 Kalimantan Barat 2 2 618,25 - - - - 21 Kalimantan

Tengah - - - - - - - - - -

22 Kalimantan

Selatan - - - - - - - - - -

23 Kalimantan Timur - - - - - - - - - -

24 Sulawesi Utara 1 31 172,20 - - - - 25 Sukawesi

Tengah 1 1 502,00 - - - - - - - -

26 Sulawesi Selatan - - - - - - - - - -

27 Sulawesi

Tenggara - - - - - - - - - -

28 Gorontalo - - - - - - - - - -

29 Sulawesi Barat - - -- -- -- -- -- -- -- -- -- --

30 Maluku 1 105,30 - - - - - - - -

31 Maluku Utara - - - - - - - - - -

32 Papua Barat - - - - - - - - - -

33 Papua - - - - - - - - - -

Jumlah 7 38 327,61 - - - - - - 25 121 479,99 32 159 807,60

(12)

 

Pemantapan kawasan hutan merupakan satu langkah awal (prakondisi) dalam mewujudkan kehutanan yang efisien, efektif, rasional dan progresif. Hasil pembangunan kawasan hutan terutama pengukuhan batas kawasan hutan telah mengalami pasang surut, baik karena:

- terbatasnya tenaga terampil dan tenaga ahli

dalam pengukuran, pemetaan dan penataan batas hutan serta dalam proses pengukuhan;

- terbatasnya anggaran pemerintah;

- belum optimalnya cara pandang nilai

prioritas pengukuhan batas hutan dalam pembangunan kehutanan;

- konsistensi kebijakan yang tidak

mendukung dan hal-hal lain;

sehingga setelah berjalan lama hasil pemantapan kawasan hutan dengan fakta dan juridis batas hutan dilapangan masih sangat kecil yaitu kurang dari 25 %.

Permasalahan dan kendala yang dihadapi secara berjenjang dapat dipahami sebagai berikut :

1. Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah masih sebatas slogan ”prioritas” tidak sesuai dengan kebijakan nyata.

2. Kebijakan dalam pengaturan hak wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pelaksanaan pengukuhan dan pemeliharaan batas hutan tidak konsisten. 3. Pengukuhan Batas Hutan seolah berdiri

sendiri, sedang amanah Undang Undang nomor 41 Tahun 1999 pada Pasal 1 amar 14, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18 dan Pasal 19, jelas mengatur bahwa keberadaan dan penggunaan kawasan hutan menjadi mandat Negara kepada Pemerintah Pusat. 4. Terbatasnya tenaga terampil dan tenaga

ahli, baik dalam jumlah, persebaran, pembinaan maupun pengadaannya.

5. Biaya tata batas hutan sangat mahal dan tidak menjanjikan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

6. Kebijakan prioritas pelaksanaan pengukuhan batas hutan parsial belum menempatkan terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan secara de facto dan de jure sebagai kebutuhan/ kepentingan utama untuk mewujudkan manajemen hutan yang stabil/ mantap, efisien, efektif, progresif dan optimal lestari.

7. Dokumen pengukuhan batas hutan belum diperlakukan sebagaimana dokumen negara yang harus dikelola secara benar, cepat, aman, spesial, prioritas.

8. Kebijakan perencanaan kurang memperhatikan target akhir atau titik terselesaikannya pengukuhan batas hutan dan sanksinya.

9. Penganggaran pengukuhan batas hutan belum menjadi pertimbangan pertama dan terbesar.

ANALISA KEBIJAKAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 399/Kpts-II/1990 tanggal 6 Agustus 1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, yang dimaksud dengan :

a. Pengukuhan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan.

b. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengukuran dan pemetaan termasuk pemasangan pal batas serta pembuatan BATB.

c. Berita Acara Pengumuman Trayek Batas adalah berita acara yang di dalamnya memuat penjelasan tentang ada atau tidak adanya hak-hak pihak ketiga.

d. Berita Acara Tata Batas adalah berita acara tentang penataan batas yang disusun oleh Panitia Tata Batas dengan dilampiri peta tata batas, berita acara pengumuman pemancangan batas, surat-surat bukti yang diperlukan serta penjelasannya.

e. Penetapan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas suatu wilayah hutan menjadi kawasan hutan tetap.

(13)

 

Alur kegiatan pelaksanaan pengukuhan batas kawasan hutan sebagai berikut :

ARSIPARIS ←←←←←←←← DOKUMEN NEGARA tentang KAWASAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN

PENETAPAN Status, luas, letak, fungsi

DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN

VERIFIKASI DAN PENGESAHAN

B.A.T.B

B.A.T.B dan Peta dilampiri B.A.P.T.B. serta Draf S.K. Penetapan

KEPALA BPKH + PANITIA TATA BATAS HUTAN

BERITA ACARA TATA BATAS

HUTAN

B.A.T.B dan Peta dilampiri B.A.P.T.B.

TIM TATA BATAS HUTAN

PENGUKURAN, PEMETAAN DAN PEMASANGAN PAL

BATAS

Pal beton atau kayu kelas I

KETUA TIM, KEPALA DESA, CAMAT, KEPALA

BPKH

B.A.P.T.B. DAN PETA PEMANCANGAN TRAYEK

BATAS

Penandatanganan

TIM TATA BATAS, KEPALA DESA DAN

MASYARAKAT

PENGUMUMAN TRAYEK BATAS HUTAN

Rintis dan Tanda Batas Hutan dilapangan dan Peta Trayek Batas Hutan

TIM, KEPALA DESA, PANITIA TATA BATAS

HUTAN

INVENTARISASI DAN PENYELESAIAN HAK-HAK

PIHAK KETIGA

Hak-Hak Pemilikan, Hak Guna Bangunan, Hak Adat, Hak Penggunaan, Hak

Pemanfaatan

TIM DAN KEPALA DESA

PEMANCANGAN PATOK BATAS

KEPALA BPKH + PANITIA TATA BATAS

HUTAN

RAPAT PANITIA TATA BATAS HUTAN

FUNGSIONAL SURTA BPKH

PEMBUATAN PETA KERJA TRAYEK BATAS HUTAN

KEP.MENTERI KEHUTANAN →

PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN

Keterangan : B.A.P.T.B = Berita Acara Pengumuman Trayek Batas Hutan. B.A.T.B. = Berita Acara Tata Batas Hutan.

(14)

 

Kegiatan pengukuhan hutan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Persiapan yang terdiri dari penyusunan peta kerja dan konsep trayek batas

2. Penyelenggaraan rapat-rapat Panitia Tata Batas

3. Pemancangan patok batas

4. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas

5. Pengumuman trayek batas

6. Pembuatan dan penanda-tanganan Berita Acara Pengumuman Trayek Batas

7. Pengukuran dan pemetaan serta pemasangan pal batas

8. Pembuatan dan penanda-tanganan Berita Acara Tata Batas

9. Penetapan kawasan hutan

Percepatan pengukuhan batas kawasan hutan dapat ditempuh melalui beberapa pilihan kebijakan :

1. Sinkronisasi pengukuhan batas kawasan hutan sebagai bagian dari pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam perencanaan pembangunan terpadu.

2. Pembenahan organisasi dengan menyertakan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan setempat sebagai Anggota Panitia Tata Batas Hutan.

3. Kebijakan prioritas bahwa keberhasilan pengukuhan batas luar kawasan hutan sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas seorang Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

4. Optimalisasi dan penambahan serta mutasi tenaga fungsional Survei dan Pemetaan (SURTA) terutama tingkat terampil ke wilayah Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

5. Penyelenggaraan Sistem Kearsipan Elektronik Dokumen Negara untuk seluruh dokumen pengukuhan kawasan hutan menjadi Dokumen Negara Bidang Kehutanan.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dapat disusun rencana sebagai berikut :

Tabel. Standar Kegiatan (Pegunungan Jawa Barat)

Kegiatan Tenaga (orang) Hari Biaya

Teknis Buruh (Rp)

Inventarisasi Trayek Batas dan Identifikasi Hak-Hak Pihak Ketiga (1 lks/35 km)

Pemancangan Batas Sementara ( 1 lks/35 km)

Penataan Batas Definitif (1 lks/ 35 km)

2 + 1

3 + 1

3

-

12

27

50

55

41

92.045.000;

144.020.000;

246.255.000;

Jumlah 9 + 2 39 146 482.230.000;

Tenaga teknis untuk setiap lokasi diperlukan 1 orang fungsional SURTA. Beban kerja yang dapat diberikan kepada setiap orang tenaga fungsional SURTA adalah 2 (dua) kali atau 2 (dua) lokasi penataan batas untuk menyelesaikan penataan batas sepanjang 70 km. Berdasarkan perhitungan diatas maka pelaksanaan pengukuhan batas hutan perlu optimalisasi anggaran sesuai jumlah tenaga fungsional SURTA yaitu M orang SURTA x 2 x Rp. 482.230.000; dengan hasil kerja setiap akhir tahun 70 M km. Penyelesaian Berita Acara Tata Batas menjadi tugas utama Kepala

Balai Pemantapan Kawasan Hutan dibantu Kepala Seksi.

PENGENDALIAN PENGAWASAN

Penentuan ukuran kemajuan dimaksudkan dengan menetapkan tolok ukur selesai

proses pengukuhan kawasan hutan sesuai penanggung jawab dan penilaian kinerja seorang pemangku jabatan pengukuhan hutan dalam tiga tahap yaitu :

1) Tahap penataan batas hutan.

(15)

 

yang didukung dengan ditandatanganinya Berita Acara Tata Batas Hutan oleh Panitia Tata Batas Hutan dan Gubernur. Tahap ini merupakan tanggung jawab Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

Oleh karena itu efisiensi, efektivitas dan kecepatan penyelesaian tata batas fisik lapangan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas Hutan oleh Panitia Tata Batas Hutan dan Gubernur dapat sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas seorang Kepala Balai Pamantapan Kawasan Hutan.

2) Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan.

Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan adalah tahapan proses pengukuhan batas kawasan hutan sampai pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan dilampiri draf Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan.

Oleh karena itu efisiensi, efektivitas dan kecepatan penyelesaian pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan dan usulan Penetapannya dapat sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas oleh Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan.

3) Tahap Penetapan Kawasan Hutan. Tahap Penetapan Kawasan Hutan adalah tahapan proses pengukuhan batas kawasan hutan telah selesai secara fisik dan hukum. Tindak lanjut penetapan kawasan hutan diperlukan untuk kearsipan sebagai Dokumen Negara Bidang Kehutanan. Penetapan, Dokumentasi, dan Sosialisasi status kawasan hutan dan Perencanaan penggunaan menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan c.q Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Perkembangan pengukuhan batas kawasan hutan perlu dipantau secara sistematis untuk mengetahui dan mengambil kebijakan yang diperlukan, baik proses maupun tindak lanjut dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.

Berdasarkan tolok ukur diatas dapat dipantau kualitas dan kuantitas pengukuhan hutan yang secara obyektif dapat sebagai landasan kebijakan pengelolaan hutan. Pemantauan

melalui kegiatan evaluasi dan monitoring serta pembinaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan untuk menetapkan kebijakan pemeliharaan dan rekonstruksi batas hutan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan beberapa permasalahan dan alternatif serta rencana pelaksanaan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pekerjaan utama dari Planologi Kehutanan adalah menyiapkan keberadaan hutan, kawasan hutan dan penggunaannya secara de facto dan de jure yang didukung oleh konsistensi, transparansi Kebijakan Pemerintah dalam perencanaan, pelaksanaan dan penetapan tolok ukur pelaksanaan pengukuhan dan pemeliharaan batas hutan.

2. Sebagaimana amanah Undang Undang nomor 41 Tahun 1999 pada Pasal 1 amar 14, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18 dan Pasal 19, bahwa keberadaan dan penggunaan kawasan hutan menjadi mandat Negara kepada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu seluruh kegiatan pengukuhan, pemeliharaan dan rekonstruksi batas kawasan hutan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah.

3. Pengadaan dan peremajaan tenaga terampil dan tenaga ahli SURTA baik dalam jumlah, persebaran, pembinaan harus disesuaikan dengan beban kerja untuk pengukuhan, pemeliharaan dan rekonstruksi batas hutan.

4. Biaya tata batas hutan sangat mahal dan tidak menjanjikan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu harus tetap menjadi beban Pemerintah.

5. Kebijakan prioritas pelaksanaan pengukuhan batas hutan parsial harus dapat menempatkan pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara de facto dan de jure sebagai kebutuhan/ kepentingan utama untuk mewujudkan manajemen hutan yang stabil/ mantap, efisien, efektif, progresif dan optimal lestari.

(16)

 

aman, spesial, prioritas terutama di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 7. Kebijakan pimpinan harus mengutamakan

kredibilitas seorang Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan maupun Sub Direktorat Pengukuhan dalam memenuhi tolok ukur keberhasilan pengukuhan hutan dalam penempatan pejabatnya.

Saran Alternatif dan Rencana

1. Penempatan nilai prioritas utama kegiatan pengukuhan kawasan hutan secara nyata baik kebijakan, kegiatan, dan penganggarannya harus menjadi kesepakatan para penentu kebijakan Kementerian Kehutanan.

2. Kegiatan yang bersifat ”syiar” perlu pembatasan untuk dialokasikan kepada kegiatan pengukuhan hutan.

3. Perencanaan pengukuhan kawasan hutan harus mempunyai tolok ukur selesai kapan dan berapa secara rialita, bukan sekedar menetapkan angka 25.000 km per tahun yang belum tentu didukung kemampuan dan kebijakan apa yang harus segera diterbitkan.

4. Penetapan tolok ukur keberhasilan pengukuhan hutan sebagaimana Tahap Penataan Batas Hutan, Tahap Pengesahan Berita Acara Tata Batas Hutan, Tahap Penetapan Kawasan

Hutan agar dipertimbangkan dalam penempatan dan penilaian seorang Aparatur Pengukuhan Kawasan Hutan. 5. Optimalisasi tenaga fungsional SURTA

yang ada di BPKH dan penempatan tenaga fungsional SURTA yang ada di Pusat ke BPKH perlu dipertimbangkan dalam percepatan pengukuhan batas kawasan hutan.

6. Dokumen pengukuhan kawasan hutan harus diperlakukan sebagaimana Dokumen Negara lainnya dan disimpan dalam Sistem Kearsipan Elektronik maupun penyimpanannya secara baik 7. Sinkronisasi pengukuhan batas kawasan

hutan sebagai bagian dari pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam perencanaan pembangunan terpadu.

(17)

RAPAT KOORDI NASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) MENUJU PEMENUHAN TARGET BEROPERASI NYA 120 KPH TAHUN 2014

30 Mei - 1 Juni 2011

Oleh : Ubaidillah Salabi

Bertempat di Hotel Permata, Bogor, pada tanggal 30 Mei s.d. 1 Juni 2011, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal

Pemanfaatan Kawasan Hutan menyelenggarakan kegiatan “Rapat Koordinasi

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)”. Rakor KPH dihadiri berbagai stake holder dari Pusat dan Daerah, diantaranya 33 Kepala KPH (KKPH) dan calon KKPH, 20 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, 8 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, Bappenas, Eselon I Lingkup Kementerian Kehutanan, Perguruan Tinggi, NGO, Mitra, dan Donor.

Penyelenggaraan Rakor KPH bertujuan untuk menggali beberapa hal pokok yaitu:

a. Mengidentifikasi isu utama pembangunan KPH dan percepatan pembangunan KPH,

b. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan pada wilayah KPH yang

akan dijadikan bahan untuk melakukan konvergensi kegiatan Eselon I dengan lokus wilayah KPH, dan

c. Merumuskan rincian kegiatan dalam tata hubungan kerja antara KPH-Dinas Kehutanan Prov./Kab./Kota-Kementerian Kehutanan.

  Gb : Arahan Dirjen Planologi, Ir. Bambang Soepijanto,

MM. (Dok. Dit. WP3H)

Hari pertama, Rakor KPH dibuka dengan Arahan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,

dilanjutkan paparan materi seputar permasalahan KPH oleh Kepala KPHL Rinjani Barat, Kepala KPHL Batu Tegi kemudian disusul Kepala KPHP Banjar.

Dalam arahannya, Direktur Jenderal Planologi antara lain menyatakan bahwa untuk mewujudkan pengelolaan hutan di tingkat tapak pada tahap awal dibangun KPH Model sebagai stimulan. Pada saat ini organisasi KPH didesain memiliki eseloneering, namun nantinya diharapkan dapat menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Di masa mendatang KPH diharapkan menjadi organisasi profesional berbasis bisnis yang mampu menghidupi organisasi menjadi mandiri. Dengan adanya KPH yang mandiri akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berbasis kawasan hutan. Dalam pengelolaan hutan perlu ditumbuhkan semangat dan kreatifitas berbisnis serta think out of the box.

Forum Rakor berlanjut dengan tanggapan dari beberapa Narasumber seperti Ir. Soetrisno, M.M., Dr. Hadi Pasaribu, M.Sc., Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Prof. Dr. Soeyitno, Dr. Agus Setyarso, M.Sc., dan Ir. Karta Sirang, M.S. Para narasumber memberikan beberapa catatan penting sebagai bahan diskusi berikutnya. Rakor kemudian berlanjut dengan diskusi sebagai persiapan diskusi utama yang akan diselenggarakan pada esok harinya.

(18)

Pembagian Kelompok FGD

Kelompok A Kelompok B

Dinas Kehutanan Riau, Sijunjung, Jambi, Merangin, Kalbar, Kalsel, Gorontalo, DIY, Banjar, Sulbar, Malinau

Sorolangun, Babel, Lampung, Kalteng, Bali, Papua Barat, Sorong, Sumsel, Kaltim, Tarakan, Kapuas Hulu, Sultra KPH Pocut Meurah Intan, Sungai Beram Hitam,

Merangin, Merakai, Sintang, Bali Barat, Bali Timur, Dampelas Tinombo, Sorong, Kapuas, Madina, Lakitan, Gedong Wani, Kapuas Hulu, Malinau, Jeneberang, Gunung Sinopa, Poigar

Sijunjung, Sorolangun, Batu Tegi, Banjar, Bali Tengah, Pohuwato, Kapuas, Lalan, Muara Dua, Yogyakarta, Berau, Rinjani Barat, Lariang, Biak Numfor, Wae Sapalewa

Kementerian Kehutanan Donor dan NGO

  Gb. Suasana Selama Diskusi FGD B (Dok. Dit WP3H)

Focus Groups Discussion yang dipandu seorang Fasilitator dan Narasumber menghasilkan identifikasi permasalahan yang berkembang di masing-masing daerah. Beberapa kata kunci yang dibahas dalam grup diskusi adalah berbagai isu pembangunan KPH, langkah-langkah percepatan pembangunan KPH, kegiatan utama KPH, tata hubungan kerja KPH-Pemda-Kemenhut, dan dukungan Eselon I terhadap KPH.

Isu-isu utama pembangunan KPH yang dapat diidentifikasi meliputi enam aspek, yakni :

1. Kawasan

Isu-isu kawasan yang mengemuka mencakup konflik tenurial, tumpang tindih kawasan, pengukuhan yang belum selesai, kepastian batas kawasan, izin pemanfaatan yang tidak aktif dan masih adanya kontradiksi peraturan pengukuhan kawasan hutan. Khusus untuk wilayah pengelolaan KPH, masih adanya ketidaksepakatan dalam pembentukan wilayah KPH lintas kabupaten/kota dan wilayah KPH dalam kabupaten/kota.

2. Sumber Daya Hutan

Isu sumber daya hutan yang dapat diidentifikasi meliputi ketersediaan data dan informasi sumber daya hutan yang tidak memadai, penentuan nilai manfaat sumber daya hutan untuk menentukan core business KPH, pemanfaatan sumber daya hutan illegal, konflik dengan masyarakat adat dan tekanan terhadap sumber daya hutan yang semakin meningkat.

3. Sumber Daya Manusia

Dari aspek sumber daya manusia, muncul beberapa isu pokok, yakni : penempatan personil sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lokal yang seringkali tidak mempertimbangkan kompetensi personil, keterbatasan jumlah dan kualifikasi tenaga teknis kehutanan yang bertugas di pemerintah daerah, dan perlunya mekanisme yang memungkinkan memberikan insentif bagi personil KPH sesuai dengan kinerja pengelolaan hutan. 4. Organisasi

Aspek organisasi yang mengemuka sebagai isu pembangunan KPH meliputi:

a. Organisasi KPH lebih dipandang sebagai penambahan beban bagi daerah dibanding sebagai penyelesaian masalah pengelolaan hutan.

b. Pembentukan organisasi KPH sesuai Permendagri Nomor 61 tahun 2010 memerlukan waktu lama.

c. Belum ada kriteria tipe organisasi KPH sebagai tindak lanjut Permendagri Nomor 61 tahun 2010.

d. Hirarki tatakelola dan tata hubungan kerja yang belum jelas.

(19)

 

f. UPT Kemenhut belum sepenuhnya mendukung KPH.

5. Sarana Prasarana

Dalam pemenuhan sarana dan prasarana

KPH, dukungan pemerintah provinsi/pemkab/pemkot masih kurang.

6. Dana

Isu pendanaan merupakan isu yang sangat krusial dalam pembangunan KPH. Beberapa isu pendanaan yang diidentifikasi adalah :

a. Keterbatasan APBD untuk pembangunan KPH yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan daerah dan atau kurangnya political will dalam alokasi anggaran untuk pembangunan kehutanan di daerah.

b. Dana pembangunan kehutanan masih banyak terfokus di UPT Pusat.

c. KPH tidak memiliki kewenangan untuk mengelola cash flow anggaran.

d. Mekanisme pendanaan rumit dan dana dekonsentrasi sulit masuk ke kabupaten.

Rakor KPH juga telah melakukan identifikasi kegiatan pengelolaan hutan dalam wilayah KPH. Hasil identifikasi ini akan menjadi bahan dalam penyusunan konvergensi kegiatan eselon I dalam lokus wilayah KPH. Sebagaimana tujuan Rakor, Rakor KPH juga telah memberikan masukan penyempurnaan rincian kegiatan dalam tata hubungan kerja antara KPH-Dinas Prov/Kab/Kota-Kemenhut yang draftnya telah disiapkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Selain apa yang telah dicapai di atas, Rakor juga menghasilkan rumusan rekomendasi sebagai berikut :

1. Program jangka panjang mengenai transformasi kelembagaan nasional. Pusdal bertugas memastikan perencanaan di tingkat regional termasuk evaluasinya. Pusdal sebagai brigade planologi di tingkat regional bertugas memastikan rencana-rencana regional.

2. KPH mengubah total bangunan kelembagaan kehutanan. Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi pembangunan manusia kehutanan. SDM kehutanan akan sangat tergantung dari pendidikan dan latihan.

3. Agenda penting Pokja Percepatan Pembangunan KPH:

a. Jangka pendek : melihat peran UPT dalam pembangunan KPH. Perlu rapat khusus Pokja untuk memastikan

pembangunan KPH secara nasional. Berdasarkan Inpres 3/2010, Kemenhut ditargetkan membangun 60 unit KPH Model dan 20% berlembaga. Sebagai tindak lanjutnya, Menhut perlu membuat instrumen kebijakan yang diturunkan ke UPT sebagai arahan untuk mendukung target Inpres tersebut.

b. Perlu tim pendamping guna melakukan road show ke daerah untuk percepatan pembangunan KPH.

4. Organisasi dan sarpras adalah isu politis. Oleh karenanya, perlu Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur terkait Permendagri No. 61 Tahun 2010. Selain itu diperlukan pula Surat Menteri Kehutanan ke Gubernur, Bupati/Walikota untuk memformulasikan political will daerah dalam pembangunan KPH, khususnya mengenai pembentukan kelembagaan dan sararan prasarana KPH.

5. Perlu dibentuk Sekretariat Nasional (Seknas) sebagai instrumen nasional yang memperkuat pembangunan KPH. Relevansi Seknas KPH sangat penting terkait dengan tata kelola pemerintahan, mekanisme REDD, dan bagian dari mekanisme penurunan GRK 26%.

6. Revisi peraturan perundangan yang menjadi kendala dalam implementasi pembangunan KPH.

7. KPH adalah organisasi yang (diharapkan) mandiri. Untuk itu, diperlukan kreatifitas pengelola KPH untuk melakukan inovasi-inovasi kegiatan. Perlu dipertimbangkan opsi lain KPH mendapatkan dana selain BLU atau badan usaha.

8. Konvergensi UPT masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga diperlukan sinergitas program.

9. Perlu sosialisasi kelembagaan KPH di tingkat provinsi, kabupaten/kota untuk mentransformasi kelembagaan KPH sesuai dengan Permendagri 61/2010 agar KPH tidak menjadi bentuk lain dari Dinas.

(20)

SEHANGAT MINYAK KAYU PUTIH,

SEHANGAT PROSPEK PENGELOLAAN HUTAN

PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) YOGYAKARTA

oleh: Deazy Rachmi Trisatya

(Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Pertama pada Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan)

Di pagi yang cerah itu, rombongan peserta Sosialisasi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melakukan peninjauan lapangan ke lokasi KPH Yogyakarta. Peninjauan lapangan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para pengelola KPH melalui berbagi pengalaman dalam pengelolaan KPH yang sudah beroperasi di tingkat tapak dengan melihat secara langsung dan berdiskusi dengan pengelola KPH Yogyakarta.

Dua unit bus yang membawa rombongan peserta tiba di lokasi peninjauan pertama yaitu Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole di Gunung Kidul sekitar pukul 09.30 WIB. Rombongan disambut dengan bau semerbak khas kayu putih dan hawa yang terasa lebih ‘hangat’ jika tidak dapat dikatakan panas. Setelah sambutan dan penjelasan mengenai pengelolaan Pabrik Minyak Kayu Putih (Gambar 1) dalam konteks KPH Yogyakarta dari Kepala Balai KPH Yogyakarta,

Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih, Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Tim Pokja Percepatan Pembangunan KPH (Dr. Agus Setyarso), peserta dibagikan sampel minyak kayu putih hasil produksi Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole. Peserta sangat antusias menerimanya dan beberapa peserta terlihat langsung membaui aroma minyak kayu putih tersebut (Gambar 2).

Minyak kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang berpotensi untuk terus dikembangkan. Minyak kayu putih merupakan hasil destilasi ranting dan daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron) yang banyak ditanam di KPH Yogyakarta. Pada awalnya tanaman Kayu Putih ditanam pada tahun 1950 di RPH Dlingo (Kabupaten Bantul) dan di kawasan Gunung Kidul pada tahun 1960 sebagai upaya konservasi tanah dan air

Gambar 1. Sambutan dan penjelasan pengelolaan Pabrik Minyak Kayu Putih

Sumber: Trisatya (tidak dipublikasikan)

Gambar 2. Peserta yang tampak antusias menerima sampel Minyak Kayu Putih

Sumber: Trisatya (tidak dipublikasikan)

(21)

untuk mengatasi tanah kritis di daerah tersebut. Tanaman Kayu Putih dipilih karena merupakan jenis tanaman pioneer yang cepat tumbuh dan diharapkan dapat segera menutup tanah kritis yang menjadi masalah di wilayah Gunung Kidul. Bertahun-tahun kemudian, saat tanaman Kayu Putih berhasil menghijaukan kawasan Gunung Kidul, pada tahun 1971 didirikan Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole untuk pemanfaatan daun Kayu Putih sebagai bahan baku pembuatan Minyak Kayu Putih. Pemanfaatan daun Kayu Putih juga dilakukan pada wilayah lain yaitu dengan dengan didirikannya empat buah pabrik Minyak Kayu Putih lainnya pada tahun 1980 di Gelaran (BDH Karangmojo), Kediwung, Dlingo (BDH Yogyakarta) dan Sermo (BDH Kulonprogo). Dalam kegiatan peninjauan lapangan ini, peserta berkesempatan melihat proses penyulingan Minyak Kayu Putih di pabrik

dengan luas 446 m2 yang terletak di Bagian Daerah Hutan (BDH) Playen ini. Penyulingan daun Minyak Kayu Putih yang dilakukan di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole saat ini telah mempertimbangkan nilai ekonomis dan finansial antara lain dengan digantinya peralatan lama dengan peralatan yang sistem pengolahannya lebih maju. Hal ini diakui oleh Kepala Balai KPH Yogyakarta, Ir. Sri Haryanto yang mengemukakan bahwa untuk menuju beroperasi dan berproduksinya KPH diperlukan proses yang panjang dan tidak sebentar sehingga diperlukan

strategi yang tepat untuk menyakinkan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan pendanaan. Strategi yang dilakukan oleh KPH Yogyakarta adalah menggunakan APBN untuk pemanfaatan tanaman Kayu Putih. Setelah tanaman Kayu Putih tersebut berhasil menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengelola KPH melakukan lobby dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pembangunan KPH. Pada awalnya kegiatan pemanenan daun Kayu Putih dilakukan setiap dua tahun sekali dan setelah mendapatkan dukungan pemerintah daerah kegiatan pemanenan dilakukan setiap satu tahun sekali, sehingga ada perubahan bentuk pemanenan dari pemanfaatan menjadi pengusahaan. Selain kegiatan pemanenan Kayu Putih, KPH Yogyakarta melakukan kegiatan penyadapan Pinus.

Alokasi APBD Provinsi DIY tahun 2009 untuk KPH Yogyakarta sebesar Rp. 16.000.610.891,- dengan fokus kegiatan sebesar 80% dialokasikan untuk pembangunan Pabrik Minyak Kayu Putih karena memberikan hasil PAD yang cukup signifikan. Dalam satu hari, Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole dapat memproduksi Minyak Kayu Putih sebanyak 170-190 liter. Gambar 3 menunjukkan produksi Minyak Kayu Putih di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole pada tahun 2000-2009.

Gambar 3. Produksi Minyak Kayu Putih di Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole

(22)

Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole dan empat pabrik lainnya yang berada di bawah Balai Pengolahan Hasil Hutan dan Perkebunan

memiliki rencana produksi daun Kayu Putih sebagaimana dalam Gambar 4.

Gambar 4. Rencana Produksi Daun Kayu Putih 2009-2014

Daun Kayu Putih sebagai bahan baku Minyak Kayu Putih diperoleh dari areal Kayu Putih di lima

BDH di KPH Yogyakarta dengan luas total 4,472.72 ha (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Hutan Kayu Putih Balai KPH Yogyakarta

No BDH RPH Luas (ha)

1. Karangmojo Kenet 534.10

Gelaran 710.90 Nglipar 690.70 Candi 130.70

2. Paliyan Karangmojo 371.66

3. Yogyakarta Dlingo 137.80

Mangunan 110.20

4. Kulon Progo Sermo 66.40

5. Playen Bunder 371.40

Banaran 251.90 Wonolagi 281.82 Gubugrubuh 448.72 Menggoran 233.72 Kepek 132.70

TOTAL 4,472.72

Daun Kayu Putih dipetik dengan sistem rimbas, yaitu pemangkasan tanaman Kayu Putih yang berumur lima tahun atau lebih dengan ketinggian satu meter. Sistem rimbas dinilai lebih efisien dibandingkan dengan pemetikan sistem urut, yaitu pemetikan dengan alat khusus (arit) untuk daun-daun yang sudah cukup umur. Pada sistem

urut, pemetik harus memilih satu per satu daun-daun yang sudah cukup umur. Selain itu, sistem rimbas dinilai dapat mengimbangi kebutuhan pabrik akan kebutuhan daun Kayu Putih yang cukup besar. Kebutuhan daun untuk pabrik sekitar 10,000 kg/hari dengan kemampuan rata-rata setiap pemetik daun sekitar 150 kg/hari.

(23)

Tenaga kerja/pemetik daun Kayu Putih yang berasal dari desa-desa sekitar hutan dapat mengantongi Rp. 30,000,-/hari untuk pekerjaan ini.

Pemangkasan dengan sistem rimbas dapat dilakukan setiap sembilan bulan, tetapi di KPH Yogyakarta pemangkasan biasa dilakukan setiap satu tahun sekali setelah tanaman Kayu Putih berdaun lebat. Pemangkasan selanjutnya dilakukan setinggi satu meter yang bertujuan agar ketinggian tanaman Kayu Putih dipertahankan pada ketinggian satu meter. Pemangkasan dilakukan pada awal musim

kemarau saat tanaman telah menumbuhkan daun dalam jumlah yang cukup banyak.

Tegakan Kayu Putih di KPH Yogyakarta ditanam dengan sistem tumpangsari dengan proporsi 70% : 30% untuk tanaman pangan dan Kayu Putih. Untuk meningkatkan produksi daun Kayu Putih, tumpangsari antara tanaman pangan dan Kayu Putih dilakukan dengan Sistem Jalur dengan jarak tanam 1 meter x 1 meter dengan proporsi 50% : 50% atau 5,000 tanaman Kayu Putih per hektar (Gambar 5). Dengan pola ini, masyarakat dapat memanen hasil tanaman tumpangsari tiga kali dalam setahun.

Gambar 5. Tumpangsari tanaman pangan dan Kayu Putih dengan Sistem Jalur

Setelah pemetikan/pemangkasan, daun yang siap disuling disimpan dengan menebarkan daun di lantai yang kering dengan kondisi suhu kamar dan sirkulasi udara yang terbatas untuk mencegah proses hidrolisis. Waktu penyimpanan dibatasi paling lama satu minggu untuk mencegah pendamaran komponen-komponen dalam daun. Proses selanjutnya adalah penyulingan minyak kayu putih yang terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pembuatan uap, penguapan daun, pendinginan dan pemisahan minyak (Gambar 6).

Setelah pemetikan/pemangkasan, daun yang siap disuling disimpan dengan menebarkan daun di lantai yang kering dengan kondisi suhu kamar dan sirkulasi udara yang terbatas untuk mencegah proses hidrolisis. Waktu penyimpanan dibatasi paling lama satu minggu untuk mencegah pendamaran komponen-komponen dalam daun. Proses selanjutnya adalah penyulingan minyak kayu putih yang terbagi dalam tahapan sebagai berikut: pembuatan uap, penguapan daun, pendinginan dan pemisahan minyak (Gambar 6).

 

 

Pendinginan

 

 

 

 

Pembuatan

 

Uap

 

Penguapan

 

Daun

 

Pemisahan

 

Minyak

 

(24)

Setelah proses pemisahan minyak, Minyak Kayu Putih ditampung dalam jerigen dan diendapkan selama 24 jam untuk memisahkan kotoran atau air yang tersisa. Daun sisa pemasakan dikeluarkan dari bak daun, dijemur dan dicetak dalam bentuk briket/bahan bakar dengan ukuran berat kurang lebih 5 kg/briket.

Untuk tahun 2010 diperkirakan hasil penjualan produksi Minyak Kayu Putih sebesar Rp. 4,458,792,000,- dengan PSDH sebesar Rp.

15,840,000,- dengan asumsi harga Rp. 117,000,-/liter yaitu Harga Jual Dasar (HJD) Perum Perhutani yang merupakan besaran minimal yang ditetapkan Direksi Perum Perhutani untuk kepentingan penjualan di dalam negeri (Gambar 7). Pemasaran dilakukan dengan cara lelang dengan mengacu pada HJD tersebut.

Gambar 7. Hasil Penjualan Produksi Minyak Kayu Putih KPH Yogyakarta Tahun 2004-2010

Penjelasan Kepala Balai KPH Yogyakarta dan Kepala Pabrik Minyak Kayu Putih Sendangmole tentang pendapatan yang diperoleh dari produksi Minyak Kayu Putih ditanggapi positif para peserta Sosialisasi Pembangunan KPH. Tak pelak hal ini semakin menyadarkan para pengelola KPH di daerah lain, yang selama ini beranggapan bahwa pengelolaan KPH sulit untuk berkembang/mandiri dan tidak dapat mendatangkan keuntungan. Pemanfaatan hasil hutan non kayu, dalam hal ini daun Minyak Kayu Putih, terbukti dapat memberikan hasil yang tidak sedikit bagi pengelola dan pemerintah daerah.

Pengusahaan hutan yang pada awalnya ‘sekedar’ pemanfaatan sebagian kecil dari hasil hutan non kayu jika dikelola dengan profesional dalam suatu institusi di tingkat tapak terbukti dapat memberikan keuntungan yang tidak sedikit,

baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Kemandirian pengelolaan KPH dapat dicapai dengan menumbuhkan jiwa enterpreunership dan kreatif dalam memanfaatkan peluang pada pengelolaan KPH sehingga pengelolaaan hutan yang dilakukan sejalan dengan prinsip sustainable forest management, sustainable business management dan sustainable livelihood management.

REFERENSI

BPKH Wilayah XI Jawa Madura. 2009. Penataan Wilayah/Blok Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.

BP2HP. 2005. Sekilas Pabrik Penyulingan Minyak Kayu Putih. Tidak Dipublikasikan.

(25)

 

IMPLIKASI

TRIPLE STRATEGY

BERBASIS PEDESAAN DALAM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN KEHUTANAN

Oleh : Syaiful Ramadhan*)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Pembangunan Kehutanan merupakan bagian integral dari pendukung Kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu II yang telah

menetapkan penyelenggaraan pembangunan dengan target pencapaian

pertumbuhan 7 % melalui triple track strategy yaitu, pengurangan kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro poor, pro job, pro growth) yang berbasis pedesaan. Sementara isu perubahan iklim menuntut pembangunan dengan emisi karbon yang rendah (pro environment) berdampak pada kehutanan untuk wajib berkontribusi menurunkan emisi karbon 14 % dari target penurunan emisi karbon 26 % secara Nasional.

Pemanfaatan sumber daya hutan selama ini diarahkan pada pembangunan kehutanan, dan penyediaan lahan untuk pembangunan non kehutanan (konversi hutan). Meskipun hasil-hasil pembangunan tersebut secara ekonomi telah berkontribusi positif terhadap pembangunan nasional, namun pemanfaatan tersebut telah memunculkan kondisi yang kontra produktif seperti berkurangnya penutupan lahan (deforestasi) dan degradasi fungsi yang secara fisik menurunnya produktifitas kehutanan akibat meluasnya lahan kritis (Renstra Dephut, 2005-2009).

Fakta empiris menunjukkan, bahwa terdapat kesenjangan kemampuan pemulihan lahan kritis dengan laju deforestasi yang terjadi. Data Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010 – 2014 menunjukkan, bahwa sampai dengan periode tahun 1985 terjadi laju kerusakan 600 ribu ha – 1,2 juta ha pertahun, 1985 - 1997 laju deforestasi rata-rata 1,7 juta pertahun,

periode 1998 – 2000 rata-rata laju deforestasi 2,8 juta ha per tahun, dan pada 10 tahun terakhir terakhir tercatat laju deforestasi 1,6 juta ha pertahun. Sementara alokasi pelaksanaan rehabilitasi lahan nasional untuk 5 tahun hanya mencakup tanaman seluas 2,5 juta ha atau rata-rata 500.000 ha termasuk pembangunan Hutan Rakyat 250.000 ha pertahun (Renstra Kemenhut 2010-2014).

Penurunan produktifitas pembangunan kehutanan akibat luasnya lahan kritis tersebut, berdampak pada penurunan kontribusi kehutanan terhadap PDRB (penurunan proporsi sumbangan pembangunan kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi). Data statistik kehutanan dan BPS tahun 2007 atas dasar harga konstan tahun 1993, menunjukkan penurunan kontribusi kehutanan terhadap PDRB dari 1,66 % pada tahun 1997 menjadi hanya 0,91 % pada tahun 2006. Jika dampak terhadap krisis air, produksi pangan, dan kontribusi terhadap perubahan iklim diperhitungkan, maka dapat dipastikan didapatkan total penurunan kemampuan pembangunan yang lebih besar lagi.

Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, dan longsor, serta menurunnya kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air dan bahkan dengan ketahanan pangan. Oleh karena itu, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan minimal harus 30 persen dari luas wilayah.

(26)

 

yang sangat obyektif, bahwa akar penyebab terjadinya kondisi tersebut di atas, adalah belum optimalnya manajemen hutan yang dipicu dari kurang tersedianya data dasar sumberdaya hutan yang akurat, baik lokasi, luas, dan potensi. Lemahnya data dasar tersebut melemahkan basis perencanaan pengelolaan secara menyeluruh, melemahkan posisi kepastian status kawasan hutan sebagai aset Negara secara hukum, sehingga lebih banyak energi, materi dan waktu yang terkuras untuk penyelesaian konflik status lahan (tenurial) dan hal tersebut mengurangi kapasitas pembangunan kehutanan.

Pengukuhan dan penatagunaan hutan kedalam fungsi produksi, lindung dan konservasi di masa lalu, menghasilkan terlampau besarnya luasan kawasan hutan dalam satuan luas per fungsi yang kurang mempertimbangkan aspek optimalisasi pengelolaan dan rentang kendali pengawasan. Dalam konteks itulah, sesuai mandat perundangan, harus segera dilakukan kelanjutan penatagunaan hutan menuju pembentukan wilayah pengelolaan dan khususnya pada unit manajemen hutan terkecil yang dapat dikelola secara optimal dan lestari (alokasi efisien sumberdaya hutan). Diharapkan dalam satuan luas tersebut, pengelolaan hutan mulai akurasi data dasar letak, luas, dan

kondisi potensinya dapat dioptimalisasikan. Pembentukan KPH ini

juga menuntaskan tugas pemantapan kawasan hutan sebagai prakondisi pembangunan kehutanan, sebagaimana telah ditegaskan dalam Permenhut nomor P.42/Kpts-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Hutan, yaitu rencana pembangunan kehutanan wajib mengacu pada rencana kawasan hutan.

Selanjutnya dari aspek kebijakan pembangunan nasional juga telah menginternalisasikan mandat global, seperti MDG’s dan isu Perubahan Iklim, dimana dua kabinet pemerintahan RI secara berturut-turut telah mencanangkan komitmen strategi pembangunan yang berpihak pada

pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran (pro poor & pro job), serta keberpihakan pada pertumbuhan yang ramah lingkungan (pro growth & pro environment) diujungi dengan kata kunci “berbasis pedesaan” (RPJM 2010-2014). Kata kunci tersebut menggagas ide pokok, bahwa hasil pembangunan wajib merupakan agregat dari pembesaran perekonomian pedesaan yang berdampak langsung pada nikmat meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang berhubungan langsung dengan kondisi keberadaan, keberagaman, sampai dengan dampak akibat ketiadaan suatu sumberdaya.

Ide pokok pembangunan di atas, sangat selaras dengan prinsip desentralisasi dan demokratisasi yang terus berproses dalam pembelajaran menuju terbentuknya tata kelola Negara (Pemerintah, Masyarakat dan Sumberdaya) yang baik sesuai dengan tujuan Nasional yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu hakikinya adalah “mencerdaskan kehidupan Bangsa, sehingga mampu berperan aktif dalam pergaulan global dengan tetap mempertahankan kedaulatan”.

Khususnya dalam pembangunan kehutanan dengan mandat mentransformasikan potensi multi manfaat sumberdaya hutan menjadi barang dan jasa nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal tersebut kini kerap menjadi jargon pembangunan berupa pengelolaan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial dari hutan secara berkelanjutan dan distribusinya secara berkeadilan.

(27)

 

dengan minimal dampaknya pada kehidupan dalam jangka panjang.

Sumber daya alam telah mengajarkan teori kesetaraan yang dinyatakan oleh seorang Guru Besar Pertanian Syamsoeoed Sajad pada era tahun tujuhpuluhan, memandu para pengelola, agar tingkat ekploitasi terhadap suatu sumberdaya berbanding lurus atau tidak melebihi kedalaman pengetahuan kita tentang sumberdaya tersebut. Eksploitasi sumberdaya hutan misalnya disebut berlebihan, bila jenis-jenis pohon terlanjur di ekploitasi padahal pengetahuan budidaya seperti asal bibit, tehnik peremajaan, tingkat ketersediaan (stock) dan pertimbangan jangka waktu rehabilitasi serta riap, dan resiko kehilangan jenis maupun ekosistem tidak/belum cukup dikuasai.

Sumberdaya yang berbasis lahan juga telah mengajarkan Hukum Pertambahan yang Menurun (Law of Diminishing Return), yaitu : Eksploitasi yang terus menerus pada sumberdaya yang tetap akan secara pasti menurunkan produktifitas, dan bahkan akan merusak dan menghilangkan manfaatnya. Sumberdaya hutan secara kodrati membutuhkan waktu pemulihan keberadaan dan manfaat yang lama, sehingga ketiadaan tempo untuk pembaharuannya akan berkonsekuensi pada percepatan dimensi waktu berlakunya hukum pertambahan yang menurun, bahkan terbentuknya lahan kritis yang non produktif dan mengundang bencana.

Strategi pengelolaan hutan dengan pendekatan proses menjamin keberadaannya (keep it), mengenali karakteristik, multi fungsi manfaatnya dan menjadikannya menjadi data dasar/baseline (learn/study it), baru memanfaatkannya dengan alokasi secara efisien (use it), merupakan filosofy tata kelola hutan yang baik. Hal yang mendasari pengelolaan tersebut, didahului dengan perencanaan kawasan hutan yang secara spasial akan menjadi baseline keberadaan, letak, dan fungsi manfaat sumberdaya secara

berkelanjutan lintas generasi, sesuai kodrat penciptaannya.

Indikator keberhasilan kinerja akan sangat ditentukan oleh keberadaan unit-unit kelola yang terukur, ketiadaan unit-unit analisis tersebut, akan mengkondisikan kinerja yang tidak jelas (disclaimer opinion). Secara empirik satuan ukuran berbasis pada ukuran satuan terkecilnya, contohnya : ukuran kinerja pertanian pangan dari sisi produksi adalah tonase per unit satuan sawah (ha), ukuran kinerja tranportasi salah satunya unit panjang dan kelas jalan, ukuran kinerja transmigrasi satuan pemukiman, ukuran kinerja perkebunan adalah unit kebun, unit industri pengolahan dlsb. Ukuran kinerja kehutanan selayaknya diukur dari unit analisis/kelola terkecil pula, yaitu : kelola di tingkat tapak, yang didefinisikan oleh peraturan perundangan sebagai unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa proses pembentukan unit kelola hutan terkecil tersebut telah memakan waktu yang panjang. Tak kurang dukungan regulasi dari UU nomor 5 tahun 1967 sampai dengan UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dukungan alih teknologi dan pengetahuan melalui mekanisme bantuan hibah bilateral, multilateral, bahkan dari sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem terdesentralisasi (otonomi) yang didukung proses demokratisasi.

Dengan tidak bermaksud menghilangkan upaya keras dan melelahkan para pihak, kenyataannya harus diakui jangankan beroperasi, pembentukan unit kelola/manajemen yang dimandatkan pembentukan mulai dari UU saat ini masih “terkendala” oleh berbagai isu bias persepsi kepemilikan KPH, dan isu kelembagaan mulai penyamaan persepsi konsepsi kelembagaan sampai dengan sumber dan mekanisme pendanaan pembentukannya.

Gambar

Tabel 1 : Perkembangan Penataan Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005 – 2009.
Tabel 2 : Perkembangan Pengesahan Berita Acara Tata Batas Luar Kawasan Hutan Tahun 2005
Tabel 3 : Perkembangan Penetapan Kawasan Hutan Tahun 2005 - 2009
Tabel. Standar Kegiatan (Pegunungan Jawa Barat)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Penelitian dan Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ; (1) Kepemilikan Manajerial (KM) sebagai variabel eksogen diukur dengan proporsi

menghitung volume (V) masing-masing kegiatan untuk setiap jenjang Jabatan Fungsional Pembina Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan dalam 1 (satu) tahun, sesuai dengan satuan

Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi

 Uraikan permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran, prestasi belajar dan profesionalisme guru (untuk KKG/MGMP); kepala sekolah

Aturan terkait PPN PMSE tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan

Visi pembangunan nasional seperti dirumuskan dalam GBHN adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dn sejahtera, yang

Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisis tabel input output, dilakukan antara lain oleh Razali (1996), yang melakukan penelitian di Kabupaten Sabang,

Ngunit hanggang ngayon, opisyal na wika pa rin ang Ingles at ang Pilipino (base sa Tagalog) ngunit ang wikang pambansa ay Filipino na, at ito ay gagamitin sa