Penjara yang Tidak Membuat Jera Panggung dagelan di negeri ini telah dikuasai oleh para politisi dan birokrat. Penegakan hukum yang katanya tidak pandang bulu, hanya menjadi pepesan kosong. Wong cilik yang terjerat kasus hukum seringkali kalah oleh uang dan keluar dari penjara sebagai pesakitan. Namun lihatlah para politisi dan birokrat yang tersandung kasus hukum. Mereka bisa menyulap penjara menjadi tempat yang mewah. Fasilitas nyaman ala Ayin atau Gayus Tambunan hanyalah puncak gunung es dari kasus lainnya yang belum, atau tidak ingin, terungkap. Begitu keluar dari penjara, mereka bisa kembali berkuasa. Mau bukti? Nurdin Halid salah satunya. Bukankah hal ini sangat “menggelikan”?
Sebagai sebuah tempat, kumpulan sel penjara memang disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Nama yang sangat bagus, karena tujuannya adalah memanusiakan manusia. Ironisnya, penjara yang diagung-agungkan sebagai tempat “memperbaiki” manusia yang pernah melakukan kesalahan justru menjadi sekolah kejahatan yang efektif. Tidak percaya? Silakan simak kasus peredaran narkotika di sebuah Lapas baru-baru ini. Tentu saja ada “orang dalam” yang bermain disana.
Selama ini, paradigma hukuman yang digunakan bagi pelaku kejahatan adalah dengan pemenjaraan dan denda. Nyaris semua jenis kejahatan berujung di bui. Pengecualian terjadi pada beberapa kasus narkotika dimana sang pesakitan dianggap “hanya” sebagai pengguna yang membutuhkan rehabilitasi. Parahnya, penjara menjadi semacam pusat pendidikan dan latihan bagi mereka yang hendak mempelajari modus dan ilmu terbaru dalam melakukan kejatahan. Tak heran banyak mantan narapidana (napi) yang memilih untuk menjadi residivis.
Seharusnya penegak hukum juga memandang aspek psikologi manusia dalam memperlakukan orang yang melakukan kejahatan. Setiap manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang ingin diterima oleh orang lain. Bahkan tahap perkembangan paling awal dalam kehidupan manusia adalah trust. Setiap anak harus mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari orangtuanya, terutama ibu. Jika tidak mendapatkan hal tersebut, kemungkinan besar mereka akan menjadi manusia yang tidak pernah percaya kepada orang lain.
Penulis menyarankan agar dilakukan proses identifikasi masa lalu bagi setiap orang yang terjerat kasus hukum. Kejahatan yang dilakukan saat ini tak lepas dari masalah yang pernah menimpa seseorang di masa lalu. Ingat kasus mutilasi oleh Babe? Rekam jejak di masa lalu menunjukkan bahwa ia dilingkupi trauma masa kecil. Pemenjaraan hanya menghukum kejahatan yang terjadi saat ini. Tapi pemenjaraan tidak dapat mematikan akar masalah dari si pelaku kejahatan. Apalagi ditambah dengan bobroknya mental penegak hukum di negeri kita.
Hukum harus ditegakkan. Bentuk hukuman pun harus disesuaikan. Bagi mereka yang mencuri karena tak tahu lagi cara mencari makan, tidak perlu sampai dipenjara. Ajarkan mereka keterampilan sosial. Lain cerita dengan para koruptor. Mereka seharusnya diasingkan dalam penjara baja di bawah tanah.