• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman - Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman - Seleksi Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan Tahun 2001-2003 Sebagai Penghasil Lateks dan Kayu"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Botani Tanaman

Menurut Kartasapoetra (1988) tanaman karet memiliki sistematika

sebagai berikut; Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Class : Dicotyledoneae, Ordo : Euphorbiales, Family : Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Tanaman karet berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5 – 30,0 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan

sisi bawah agak cerah, panjangnya 5 – 35 cm dan lebar 2,5 – 12,5 cm (Sianturi, 1996).

Buah jadi (fruit set) merupakan produk dari keberhasilan persilangan secara alami maupun secara buatan. Satu buah karet biasanya mengandung tiga butir biji tetapi kadang-kadang ada yang empat biji. Biji karet dilindungi oleh

epicarp (lapisan luar) dan endocarp (lapisan dalam). Epicarp berwarna hijau muda sedangkan endocarp berwarna putih pudar dan apabila buah telah masak fisiologis epicarp akan berwarna hijau tua dan endocarp akan mengeras dan

mengayu. Jika epicarp kering buah akan pecah dan melepaskan biji (Djikman, 1951).

(2)

(ventral) biji agak rata dan punggung (dorsal) agak menonjol. Kulit biji biasanya keras, berkilat dan berwarna cokelat atau cokelat keabu-abuan dengan banyak batik (mosaik) pada permukaan punggung tetapi sedikit atau tidak ada pada bagian perut (Webster dan Baulkwill, 1989).

Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk rangkaian (inflorecentia) yang tangkai utamanya (pedenculus) bercabang terdiri dari atas beberapa malai (panicula) yang berbentuk piramida atau kerucut (Djikman, 1951; Darjanto dan Satifah, 1982).

Batang dan kulit merupakan wadah dari produksi tanaman karet, dimana segala proses assimilasi yang terjadi di daun ditransfer ke dalam tubuh pohon untuk memproduksi lateks. Terbentuknya lateks di dalam batang berhubungan dengan besarnya pertumbuhan pohon (Indraty, 1987).

(3)

2. Pemuliaan Tanaman Karet

Program pemuliaan dan seleksi pada tanaman karet bertujuan untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baik, sehingga diperoleh klon dengan potensi produksi dan sifat sekunder lainnya yang lebih baik dari pada klon yang sudah ada. Usaha ini harus dilakukan secara berkesinambungan dengan tahapan-tahapan pengujian pada tanaman karet. Selain itu, tindakan yang juga perlu dilakukan adalah evaluasi dari beberapa pengujian, sehingga dari beberapa hasil pengujian tersebut akan diperoleh klon anjuran yang lebih baik. Evaluasi ini juga penting untuk melihat perkembangan terakhir dari klon-klon yang sudah dianjurkan (Lasminingsih dan Situmorang, 1990).

(4)

tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat disingkat dari enam tahun menjadi empat tahun (Aidi-Daslin et.al., 2009).

2.1 Tahapan Pemuliaan Tanaman Karet

Adapun beberapa tahapan dalam pemuliaan tanaman karet dimulai dari persilangan, seleksi awal pada tanaman F1, pengujian pendahuluan, dan pengujian lanjutan/adaptasi bahan tanaman seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Tahun

Gambar 1.Tahapan Kegiatan Pemuliaan Karet Dalam Satu Siklus Seleksi

Evaluasi & Seleksi

(5)

2.1.1 Persilangan

Persilangan pada tanaman karet dapat terjadi secara alami dan buatan. Untuk terjadinya persilangan secara alami diperlukan penataan klon secara baik pada pertanaman yang khusus dirancang untuk itu. Kesulitan dalam pemanfaatan biji silang alami adalah disebabkan tidak ada kriteria yang dapat membedakan antara biji-biji hasil silang dalam dan silang luar (Woelan dan Azwar, 1990).

Persilangan buatan merupakan salah satu kegiatan perakitan genotipe unggul baru yang secara terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan klon karet unggul dengan potensi produksi tinggi yang didukung karakter sekunder yang lebih baik. Kegiatan ini selain dititikberatkan untuk mendapatkan klon karet unggul penghasil lateks juga diharapkan sebagai penghasil kayu, sehingga materi persilangan yang harus digabungkan yaitu berasal dari populasi Wickham 1876 yang memiliki keunggulan hasil lateks tinggi dan PN IRRDB 1981 yang memiliki keunggulan pertumbuhan cepat dan jagur (Woelan dan Pasaribu, 2009).

Sumber genetik terbaik dari material Wickham yang memiliki potensi produksi tinggi dan sifat sekunder yang baik dipilih sebagai tetua dalam program persilangan buatan sejak tahun 1985. Tetua yang dipilih untuk persilangan buatan sebahagian besar berasal dari klon-klon sekunder dan tersier seperti BPM seri 100, PB seri 200, RRIC seri 100, seri F, FX dan IAN (Tabel 1). (Aidi-Daslin, 2005).

(6)

Biji-biji hasil persilangan buatan disebut “biji legitim”, karena kedua tetuanya diketahui dan dikendalikan dengan baik, sehingga kombinasi-kombinasi persilangan yang diinginkan dapat dirancang dan diatur lebih leluasa. Masalah utama dalam pembentukan keragaman genetik melalui persilangan buatan adalah rendahnya persentase buah jadi. Disamping itu, waktu pembungaan yang tidak serentak antara dua klon yang ingin disilangkan selalu menghambat keberhasilan pelaksanaan program persilangan (Woelan dan Azwar, 1990).

Dalam program persilangan tanaman karet, umumnya persentase buah jadi dikatakan rendah, hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan. Pengaruh genetik dapat dilihat dari adanya perbedaan kompatibilitas dari pasangan klon yang disilangkan. Dengan adanya faktor-faktor tersebut diatas, maka penyediaan bahan yang akan digunakan untuk seleksi dapat menghambat kemajuan penemuan klon unggul baru. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan metode seleksi yang dipercepat (Woelan dan Azwar, 1990).

Berdasarkan data penelitian yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Sungei Putih, dari 225.278 bunga betina yang disilangkan selama periode tahun 1985 s.d 2005, menghasilkan 6.794 buah jadi yaitu sebesar 3,0 % dari jumlah persilangan. Rendahnya persentase buah jadi pada persilangan karet disebabkan

beberapa hal yaitu, 1) adanya inkompatibilitas antara tetua jantan dan betina, 2) kebutuhan hormon tumbuh dalam endosperm, dan 3) faktor curah hujan dan

(7)

Tabel 1. merupakan daftar tetua-tetua yang sudah digunakan sebagai bahan persilangan buatan untuk program pemuliaan karet semenjak 1985-2005.

Tabel 1 . Tetua Persilangan Program Pemuliaan Karet 1985-2005 Periode

Persilangan Betina Jantan

1985-1990 BPM 1, BPM 101, BPM 107, BPM 109, FX 25, F 4542, GT 1, IAN 873, LCB 870, LCB 1320, PB 86, PB 260, PR 305, RRIC 102, RRIC 110, RRIM 701, PR 107.

BPM 109, FX 25, FX 2784,FX 4037, IAN 717, RRIC 110, RRIM 717, RRIM 600, PB 86, LCB 1320, RRIC 100, RRIC 102.

1991-1995 BPM 24,BPM 101, BPM 107, BPM 109, FX 2784, GT 1, RRIC 110, AVROS 427, LCB 870, PN 6, PN 7, PN 1505, PN 2662, 1996-2000 PB 5/51, PB 86, PB 260, PB

280, BPM 1, BPM 13, BPM 24, BPM 107, BPM 109, RRIC 100, RRIM 600, RRIM 712, IRR 111, IRR 208, IRR 1429, 2508, 2509, 3964, 3966, 4312, 4335, 4343, 5828, 7108, 7115, 8537, 8991.

2001-2005 BPM 24, BPM 109, PM 10, RRIM 600, RRIM 921, RRII 105, PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, RRIC 110, RRIC 130, RRIC 131, RRIC 133, IRR 42, IRR 105, IRR 111, IRR 118, IRR 200, IRR 203, IRR 219, IRR 220.

PB 260, PB 330, RRIC 110, RRIC 130, RRIC 131, RRIM 712, RRIM 901, RRII 105, IRR 5, IRR 42, IRR 105, IRR 107, IRR 111, IRR 118, IRR 200, IRR 220, PN 3508, 3758, 3760,4346,4369,5008,5009,5082, 5507,7684, 8537, 8985.

2.1.2 Seleksi Tanaman F1 (Genotipe)

Seleksi tanaman dilakukan pada tanaman F1 hasil persilangan ditanam di

(8)

Metode Hamaker-Morris-Mann Test

Seleksi progeni dari hasil persilangan, didasarkan kepada beberapa sifat

penting yang meliputi a) potensi hasil lateks, b) pertumbuhan tanaman, c) ketahanan terhadap penyakit, dan d) beberapa karakteristik sekunder yang

menguntungkan. Untuk mempersingkat waktu seleksi, metode evaluasi yang diperkenalkan oleh Hamaker Moris Mann (Djikman, 1951) yaitu biji F1 disadap dengan sistem penyadapan ½ S d/3 pada ketinggian 50 cm dari pertautan okulasi. Seleksi pada populasi F1 dilakukan terhadap progeni-progeni yang memiliki potensi hasil dan sifat sekunder yang baik, dengan intensitas seleksi 1%. Progeni terpilih diperbanyak secara okulasi untuk material dalam pengujian plot promosi. Tahap berikutnya dipilih progeni-progeni terbaik dengan intensitas seleksi 10%, untuk material dalam pengujian pendahuluan klon (Aidi-Daslin, 2005).

(9)

2.1.3 Pengujian Pendahuluan

Uji Pendahuluan (UP) merupakan tahap kedua dalam siklus pemuliaan tanaman karet. Pada tahap ini, genotipe-genotipe hasil persilangan yang telah diseleksi pada Seedling Evaluation Trial diuji dan diseleksi kembali pada UP dalam skala kecil (10-20 tanaman/genotipe) dengan jarak tanam 4 x 5 meter dalam satu baris tanaman. Dari UP ini nantinya akan diperoleh klon-klon unggul harapan dengan nama seri IRR (Indonesian Rubber Research). Evaluasi dan pengamatan pada UP umumnya lebih dititikberatkan untuk menemukan genotipe-genotipe yang pertumbuhannya jagur, berproduksi tinggi, dan memiliki sifat-sifat sekunder yang baik. Orientasi yang paling utama adalah klon karet penghasil lateks dengan target hasil lateks (karet kering) di atas 3000 kg/ha/tahun dan hasil kayu karet di atas 300 m3/ha/siklus (Suhendry, 2002).

2.1.4 Pengujian Lanjutan/Adaptasi

Pengujian lanjutan/adaptasi merupakan pengujian yang dilakukan untuk menguji klon harapan pada berbagai lingkungan. Berdasarkan pada analisis variansnya, akan diketahui ada tidaknya interaksi genotipe x lingkungan (g x e). Jika tidak terjadi interaksi g x e penentuan klon yang ideal sangat mudah untuk dilakukan, yaitu dengan memilih klon-klon harapan dengan rata-rata hasil yang lebih tinggi, namun apabila terjadi interaksi g x e, hasil tertinggi suatu klon pada suatu lingkungan tertentu belum tentu memberikan hasil yang tertinggi pula pada lingkungan yang berbeda (Aidi-daslin dan Sayurandi, 2006).

(10)

untuk menghasilkan genotipe-genotipe apakah nanti sesuai ditanam dalam lingkungan yang luas atau hanya untuk lingkungan tertentu (Aidi-Daslin, 1986). 2.1.5 Pengujian Plot Promosi

Dalam kegiatan pemuliaan tanaman karet lamanya satu siklus tanaman karet merupakan kendala untuk dapat menghasilkan klon-klon unggul baru. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk mempersingkat siklus tanaman tersebut adalah dengan melakukan pengujian “Plot Promosi”. Pengujian Plot Promosi adalah pengujian yang dipercepat dengan memanfaatkan materi genetik hasil seleksi 1% pada tanaman seedling (Seedling Evaluation Trial = SET). Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan klon unggul baru melalui pengujian ini dapat dipersingkat menjadi 15-20 tahun (Woelan, 2005).

Pengujian Plot Promosi ini menggunakan rancangan percobaan ”Simple Latice Design”. Masing-masing plot terdiri dari 30-60 tanaman. Peubah yang diamati adalah lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, waktu buka sadap, persentase matang sadap, ketahanan terhadap penyakit daun, dan potensi produksi kayu (m3/pohon) (Woelan, 2005).

2.1.6 Klon Karet Anjuran

(11)

masuk pengembangan skala terbatas oleh pekebun melalui kerjasama pengembangan dengan Pusat Penelitian (Woelan, 2008).

Klon penghasil lateks yaitu klon yang memiliki produksi lateks tinggi tetapi produksi kayunya rendah. Klon-klon seperti ini sangat sesuai dikembangkan untuk produksi lateks tetapi tidak sesuai untuk produksi kayu. Klonpenghasil lateks-kayu yaitu klon yang memiliki potensi hasil lateks tinggi dan produksi kayu tinggi yang dicirikan dengan pertumbuhan tanaman jagur dengan kayu log yang cukup tinggi. Klon-klon seperti ini sangat sesuai dikembangkan untuk produksi lateks dan kayu karet atau produksi kayunya saja (Sayurandi, 2009).

Berdasarkan rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 Agustus 2009 di Batam Provinsi Kepulauan Riau, maka rekomendasi bahan tanaman karet periode 2010-2014 disusun dengan memperhatikan kepentingan konsumen untuk mengembangkan agribisnis karet baik dari segi kebutuhan lateks maupun kayu. Rekomendasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok klon penghasil lateks, klon penghasil lateks-kayu dan benih anjuran untuk batang bawah, yang merupakan anjuran komersial untuk penanaman skala luas yang disebut sebagai benih bina, dengan komposisi anjuran sebagai berikut:

a. Klon penghasil lateks terdiri dari IRR 104, IRR 112, IRR118, IRR 120, BPM 24, PB 260, PB 230 dan PB 340.

b. Klon penghasil lateks-kayu terdiri dari IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107, IRR 119, dan RRIC 100.

(12)

Klon-klon yang sudah dilepas seperti BPM 1, BPM 107, BPM 109, AVROS 2037, GT1, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, masih dapat digunakan dengan beberapa pertimbangan, antara lain dengan memperhatikan kepentingan pengguna untuk penanaman klon tersebut pada wilayah tertentu maupun kebutuhan lateks atau kayu untuk spesifikasi produk tertentu (Aidi-Daslin, et.al., 2009)

3. Keragaman Genotipe dan Fenotipe

Keragaman yang sering ditunjukkan oleh tanaman sering dikaitkan dengan aspek negatif. Hal ini sering tidak diperhatikan oleh peneliti yang menganggap bahwa susunan genetik dari bahan tanaman digunakan adalah sama karena berasal dari klon yang sama. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari jenis tanaman yang sama. Jika ada dua jenis tanaman yang sama ditanam pada lingkungan yang berbeda dan timbul variasi yang sama dari kedua tanaman tersebut maka hal ini dapat disebabkan oleh genetik dari tanaman yang bersangkutan (Sitompul dan Guritno, 1995).

(13)

pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat dapat menghasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).

Gen-gen tidak dapat menyebabkan berkembangnya karakter terkecuali jika mereka berada pada lingkungan yang sesuai dan sebaliknya tidak ada pengaruh terhadap perkembangan karakteristik dengan mengubah tingkat keadaan lingkungan terkecuali jika gen yang diperlukan ada. Keragaman yang diamati terhadap sifat-sifat yang terutama disebabkan oleh perbedaan gen yang dibawa oleh individu yang berlainan dan terhadap variabilitas di dalam sifat yang lain,

pertama-tama disebabkan oleh perbedaan lingkungan individu berada (Allard, 2005).

4. Kriteria Seleksi

(14)

4.1. Kriteria Seleksi Produksi Lateks

Sifat primer adalah potensi menghasilkan produksi tinggi. Sedangkan sifat yang langsung mempengaruhi rendah tinggi potensi hasil adalah sifat lateks. Sifat ini erat kaitannya dengan volume lateks dan yang dihasilkan pohon, berat kering lateks yang dapat dihasilkan tiap pohon (Rasjidin, 1989).

Lilit batang berkorelasi positif dengan potensi produksi yang dimiliki oleh masing-masing genotipe. Pertumbuhan lilit batang setiap tahun sebelum penyadapan berkisar antara 6,25 – 10,44 cm dengan nilai rata-rata 9,08 cm/thn. Pertambahan lilit batang sesudah tanaman menghasilkan (TM) disadap berkisar antara 1,82 – 4,64 cm/thn dengan nilai rata-rata 3,0 cm/thn. Dari hasil penelitian di kebun percobaan Sembawa, Sumatera Selatan, ternyata pertumbuhan lilit batang mencapai 3,36-4,64 cm/thn (Danimihardja, 1988).

Lilit batang hasil pengamatan terhadap genotipe dari hasil persilangan 1998/1999 menunjukkan keragaman yang tinggi dengan rata-rata 38,57 cm dengan kisaran 10,6-85,5 yang berarti ada segregasi antara turunan yang dihasilkan oleh masing-masing kombinasi (Woelan et.al., 2007).

(15)

1 - 1,9 mm. Dengan demikian setelah 5 tahun kemudian kulit pulihan sudah dapat disadap kembali (Danimihardja, 1988).

Tebal kulit merupakan kriteria yang cukup penting di dalam melakukan identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan di dalam produksi lateks tinggi. Potensi produksi tinggi mempunyai korelasi yang positif dengan tebal kulit (Woelan, et.al., 2001).

Jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit batang berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada peningkatan komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi (Woelan et.al., 2001).

Kadar Karet Kering (KKK) Lateks menunjukkan keseimbangan regenarasi lateks antar sadap. KKK yang rendah menunjukkan terlalu rapatnya frekuensi sadapan sehingga tidak memberikan waktu yang cukup bagi tanaman untuk melakukan sintesis sepenuhnya terhadap lateks yang dipanen. KKK bisa juga sebagai petunjuk bahwa eksploitasi terlalu berat sehingga terkuras semua cadangan karbohidrat dalam jaringan kulit maupun kayu. Solusinya dapat berupa

penurunan frekuensi sadap dan atau penurunan aplikasi stimulasi (Kuswanhadi, et. al., 2009).

4.2. Kriteria Seleksi Produksi Kayu

(16)

kayunya sangat menarik, kayunya mudah digergaji, dibengkokkan dipaku dan diketam (Azwar,1990).

Adapun parameter yang mempengaruhi perhitungan produksi kayu karet adalah lilit batang, tinggi tanaman, dan percabangan pohon karet.

Menurut Wan Razali Mohd et al (1983) bahwa volume kayu karet seangat ditentukan oleh besaran lilit batang dan tinggi tanaman, semakin besar lilit batang dan tinggi tanaman maka volume kayu karet yang dihasilkan semakin besar dan sebaliknya semakin kecil lilit batang dan ketinggian tanaman maka volume kayu yang dihasilkan semakin kecil. Demikian halnya dengan semakin tinggi cabang primer dan tebal kulit maka kayu log yang dihasilkan semakin besar.

Peubah pertumbuhan tanaman yang berhubungan dengan potensi kayu adalah lilit batang dan panjang log bebas cabang. Lilit batang selain berhubungan dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan. Namun tidak ada korelasi antara lilit batang dengan panjang log pada setiap umur tanaman. Oleh karena volume kayu log diduga melalui subsitusi lilit batang dan panjang log, maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah yang memiliki batang besar dan percabangan yang tinggi (Suhendry, 2002).

Pertumbuhan tanaman yang jagur ditandai dengan ukuran lilit batang menjelang penyadapan dan selanjutnya. Perkembangan lilit batang sangat dipengaruhi oleh penyadapan. Selama masa penyadapan pertumbuhan pohon mengalami tekanan sebagai akibat penyadapan. Tiap klon memperlihatkan reaksi

(17)

Tinggi tanaman diukur untuk mengetahui volume kayu per pohon. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan bambu berskala yang dilakukan dari permukaan tanah hingga ke titik tumbuh. Tinggi percabangan tanaman diukur guna untuk mengestimasi volume kayu log. Volume kayu log nantinya akan diestimasi dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Wan Razali et al. (1983) dan salah satu variabel yang diukur untuk itu adalah tinggi batang bebas cabang (Siagian, et.al., 2005).

Gambar

Gambar 1.Tahapan Kegiatan Pemuliaan Karet Dalam Satu Siklus Seleksi
Tabel 1 . Tetua Persilangan Program Pemuliaan Karet 1985-2005

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk kelancaran administrasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2OL6 perlu ditunjuk

Dalam penelitian analisis verifikatif digunakan untuk mengetahui pengaruh manajemen laba terhadap nilai perusahaan dengan kualitas audit sebagai variabel pemoderasi pada

SDH (Syncronous Digital Hierarchy) merupakan teknologi yang sebelumnya telah ada, yang terdiri dari beberapa NE (Network Element) yang saling terhubung dengan menggunakan

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

The result of research showed that palm oil mill integrated waste treatment techonolgy could reduce GHG emission about 421.20 kgCO 2 e/ton FFB (15 L/day treated POME)

[r]

Karena pada pelaksanaan siklus II mengalami peningkatan rata – rata nilai hingga mencapai 80% maka , penelitian tindakan kelas yang berjudul peningkatan hasil

alami  pada  mallusia  dan  bila  dikelola  dengan  baik  emosi