• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pengertian Citra - Analisis Perbandingan Kompresi Citra Menggunakan Metode Joint Photographic Experts Group (Jpeg) Dan Burrows-Wheeler Transform (Bwt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1 Pengertian Citra - Analisis Perbandingan Kompresi Citra Menggunakan Metode Joint Photographic Experts Group (Jpeg) Dan Burrows-Wheeler Transform (Bwt)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas landasan teori yang bersifat ilmiah untuk mendukung penulisan penelitian ini. Teori-teori yang dibahas mengenai pengertian citra, jenis-jenis citra digital, metode Joint Photographic Experts Group (JPEG), metode Burrows-Wheeler Transform (BWT), dan beberapa teori pendukung lain dalam penelitian ini.

2.1 Pengertian Citra

(2)

Gambar 2.1 Sistem Koordinat Citra Berukuran M×N (M baris dan N kolom) (Kadir, 2013)

Pernyataan M×N disebut resolusi pada citra. Istilah resolusi terkadang juga digunakan untuk menunjukkan jumlah piksel per satuan panjang dari citra (Salomon, 2004). Resolusi diukur dengan satuan dpi (dots per inch).

Dengan sistem koordinat yang mengikuti asas pemindaian pada layar TV standar tersebut, sebuah piksel mempunyai koordinat berupa (x,y). Dalam hal ini, x menyatakan posisi kolom, y menyatakan posisi baris, dan piksel pojok kiri-atas mempunyai koordinat (0,0) dan piksel pada pojok kanan-bawah mempunyai koordinat (N – 1, M – 1) (Kadir, 2013).

Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti berikut:

( ) [

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ]

(3)

2.2 Jenis-jenis Citra Digital

Terdapat tiga jenis citra digital yang umum digunakan dalam pemrosesan citra. Jenis pertama adalah citra warna. Citra warna atau citra Red-Green-Blue (RGB) merupakan jenis citra yang menyajikan warna dalam bentuk komponen Red (merah), Green (hijau), dan Blue (Biru). Setiap komponen warna menggunakan delapan bit (nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 255) (Kadir, 2013). Citra warna dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Citra RGB (Kadir, 2013)

Jenis kedua adalah citra grayscale. Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pikselnya. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas (Putra, 2010). Intensitas berkisar antara 0 sampai dengan 255. Citra jenis ini menangani gradasi warna hitam dan putih, yang tentu saja menghasilkan efek warna abu-abu. Nilai 0 menyatakan hitam dan nilai 255 menyatakan putih (Kadir, 2013). Citra grayscale dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(4)

Jenis ketiga adalah citra biner. Citra biner adalah citra dengan setiap piksel hanya dinyatakan dengan sebuah nilai dari dua kemungkinan, yaitu nilai 0 dan 1. Nilai 0 menyatakan warna hitam dan nilai 1 menyatakan warna putih (Kadir, 2013). Citra biner dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Citra Biner (Kadir, 2013)

2.3 Citra Bitmap

Untuk skripsi ini, citra yang digunakan untuk proses kompresi adalah citra bitmap. Citra dengan format bitmap (*.bmp) adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang umum dapat digunakan untuk menyimpan citra biner, citra grayscale, dan citra warna. Format ini terdiri dari beberapa jenis yang setiap jenisnya ditentukan dengan jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan sebuah nilai piksel (Putra, 2010).

(5)

Gambar 2.5 Contoh Citra Bitmap (*.bmp)

2.4 Kompresi Citra

Pemampatan citra atau kompresi citra bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan memori dalam merepresentasikan citra digital dengan mengurangi duplikasi data di dalam citra sehingga memori yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit daripada representasi citra semula (Sutoyo, 2009). Hal ini bermanfaat untuk mempersingkat waktu pengiriman citra dan juga menghemat penggunaan memori dalam storage dibandingkan dengan citra yang tidak dikompresi.

Kompresi citra dapat meminimalkan jumlah bit yang diperlukan untuk merepresentasikan citra. Apabila sebuah foto berwarna berukuran 3 inci × 4 inci dengan tingkat resolusi sebesar 500 dot per inch (dpi), maka diperlukan 3 × 4 × 500 × 500 = 3.000.000 dot (piksel). Setiap piksel terdiri dari 3 byte dimana masing-masing byte merepresentasikan warna merah, hijau, dan biru. Sehingga citra digital tersebut memerlukan volume penyimpanan sebesar 3.000.000 × 3 byte + 1080 = 9.001.080 byte setelah ditambahkan jumlah byte yang diperlukan untuk menyimpan format (header) citra. Oleh karena itu diperlukan kompresi citra sehingga ukuran citra tersebut menjadi lebih kecil dan waktu pengiriman citra menjadi lebih cepat (Lidya, 2012).

Kompresi data lebih populer dikarenakan dua alasan yaitu (Salomon, 2004): 1. Orang-orang suka mengumpulkan data dibandingkan membuangnya.

Tidak peduli seberapa besar media penyimpanan seseorang, cepat atau lambat kapasitas media penyimpanan tersebut akan penuh.

(6)

untuk mengunduh sebuah file, kita tentu merasa beberapa detik adalah waktu yang lama untuk kita tunggu.

2.4.1 Teknik Kompresi Citra

Kompresi citra memiliki banyak teknik untuk melakukan pengurangan ukuran kapasitas citra. Teknik kompresi yang berbeda akan mengimplementasikan kombinasi pilihan-pilihan yang berbeda. Metode kompresi citra dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (Putra, 2010):

1. Kompresi Lossless, pada kompresi jenis ini informasi yang terkandung pada citra hasil sama dengan informasi pada citra asli. Citra hasil proses kompresi dapat dikembalikan secara sempurna menjadi citra asli, tidak terjadi kehilangan informasi, tidak terjadi kesalahan informasi.

2. Kompresi Lossy, kompresi data yang bersifat lossy mengijinkan terjadinya kehilangan sebagian data tertentu dari pesan tersebut, sehingga dapat menghasilkan rasio kompresi yang tinggi. Apabila citra terkompresi direkonstruksi kembali maka hasilnya tidak sama dengan citra aslinya, tetapi informasi yang terkandung tidak sampai berubah atau hilang.

2.5 Metode Joint Photographic Experts Group (JPEG)

(7)

Metode JPEG memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode kompresi lainnya, yaitu (Pandit, 2013):

1. JPEG bekerja baik untuk foto dan citra yang kompleks. JPEG menggunakan metode kompresi yang dapat menghilangkan aspek penglihatan warna manusia dari citra untuk mengurangi ukuran citra. 2. JPEG menyimpan citra dengan kedalaman piksel antara 6 sampai 24 bit

dengan kecepatan yang wajar dan efisien.

3. JPEG adalah metode lossy yang menghapus data tidak berguna selama proses encoding.

2.5.1 Proses Kompresi Joint Photographic Experts Group (JPEG)

Proses kompresi dengan metode JPEG adalah sebagai berikut:

1. Proses Discrete Cosine Transform (DCT)

Transformasi kosinus diskrit atau Discrete Cosine Transform yang disingkat dengan DCT, mirip dengan transformasi Fourier, hanya saja DCT menggunakan komponen kosinus saja. DCT telah menjadi pilihan sebagai dasar algoritma kompresi JPEG dan MPEG (Putra, 2010). Dengan transformasi ini dapat meminimalkan jumlah data citra yang diperlukan untuk mepresentasikan suatu citra. Gambar 2.6 menunjukkan pola basis DCT untuk blok piksel 8×8.

(8)

Rumus DCT dua dimensi untuk citra dengan ukuran 8×8 dapat dinyatakan sebagai berikut (Van, 2009):

( ) ( ) ( ) ∑

( ) ( ) ( ) ( )

( ) adalah koefisien DCT yang ditransformasikan dimana variabel

dan . Kemudian ( ) adalah nilai piksel dari blok sampel asli (Van, 2009). Efek pembulatan dan pemotongan pada perhitungan 64 koefisien DCT untuk setiap blok sampel adalah implementasi yang saling memiliki ketergantungan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hasil output dari implementasi yang satu dengan implementasi yang lain dapat sedikit berbeda.

2. Proses Kuantisasi

Kuantisasi dalam metode JPEG adalah proses pengurangan nilai dari masing-masing koefisien DCT dengan cara membaginya dengan nilai kuantisasi yang sesuai pada tabel kuantisasi yang digunakan oleh quantizer, lalu nilai kuantisasi yang didapat dari hasil tersebut kemudian dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. Proses kuantisasi inilah yang menyebabkan metode JPEG sebagai algoritma lossy compression. Rumus untuk menghitung nilai kuantisasi adalah sebagai berikut (Wibisono, 2003):

( ) ( ) ( ) ( )

(9)

Tabel 2.1 Kuantisasi Luminance

i\j 0 1 2 3 4 5 6 7

0 16 11 10 16 24 40 51 61

1 12 12 14 19 26 58 60 55

2 14 13 16 24 40 57 69 56

3 14 17 22 29 51 87 80 62

4 18 22 37 56 68 109 103 77

5 24 35 55 64 81 104 113 92

6 49 64 78 87 103 121 120 101

7 72 92 95 98 112 100 103 99

Nilai kuantisasi yang telah didapat selanjutnya akan dilewatkan dalam bentuk zig-zag seperti pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Proses Zig-zag (Sayood, 2006)

Elemen (0,0) dari blok 8×8 disebut sebagai Direct Current (DC), yang merupakan rata-rata dari nilai piksel. Sementara 63 elemen lainnya disebut sebagai Alternating Current (AC). Setelah dilakukan proses zig-zag scanning atau pemindaian secara zig-zag, maka tahapan selanjutnya adalah pengkodean entropi.

3. Proses Pengkodean Entropi

(10)

akan direpresentasikan dalam bentuk vektor satu dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Matriks Hasil Kuantisasi setelah Dilakukan Proses Zig-zag (Wibisono, 2003)

Pengkodean entropi yang digunakan pada metode JPEG adalah Huffman Encoding. Pada proses ini nilai hasil vektor satu dimensi yaitu koefisien Direct Current (DC) dan Alternating Current (AC) akan dikodekan dengan menggunakan metode Huffman dengan tujuan untuk menghasilkan codeword yang lebih pendek.

2.5.2 Proses Dekompresi Joint Photographic Experts Group (JPEG)

Proses dekompresi dengan metode JPEG adalah sebagai berikut:

1. Proses Dekode Entropi

(11)

Setelah proses dekode entropi selesai, tahap selanjutnya adalah proses unzig-zag scanning atau pemindaian kembali secara zig-zag untuk merubah kembali bentuk vektor satu dimensi ke bentuk matriks dua dimensi agar dapat dilakukan tahap selanjutnya yaitu proses dekuantisasi.

2. Proses Dekuantisasi

Dekuantisasi merupakan fungsi invers yang mengembalikan hasil untuk representasi nilai yang dijadikan sebagai masukan ke dalam proses Inverse Discrete Cosine Transform (IDCT). Proses dekuantisasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Wibisono, 2003):

( ) ( ) ( ) ( )

Nilai dari matriks Quantum (i,j) diambil dari tabel kuantisasi luminance seperti pada proses kuantisasi sebelumnya.

3. Proses Inverse Discrete Cosine Transform (IDCT)

Untuk mengambil data dari citra hasil kompresi, tahap selanjutnya adalah melakukan proses Inverse Discrete Cosine Transform (IDCT) untuk setiap blok. Semua blok akan dikombinasikan kembali ke bentuk citra yang sama dimensinya dengan citra aslinya.

Rumus untuk IDCT adalah (Van, 2009):

( )

∑ ( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( )

(12)

2.6 Metode Burrows-Wheeler Transform (BWT)

Metode Burrows-Wheeler Transform (BWT) adalah algoritma kompresi data, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Michael Burrows dan David Wheeler. Gagasan utamanya adalah memperoleh rasio kompresi data yang lebih baik untuk menghemat ruang penyimpanan dan memberikan transmisi data yang lebih cepat melalui jaringan-jaringan yang berbeda. Kompresi berdasarkan BWT adalah salah satu algoritma terkemuka yang mendekati paling baik untuk data teks pada saat sekarang, namun BWT juga dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja kompresi untuk citra (Van, 2009).

2.6.1 Proses Kompresi Burrows-Wheeler Transform (BWT)

Sebelum melakukan proses kompresi dengan metode Burrows-Wheeler Transform (BWT), terdapat proses yang harus dilewati terlebih dahulu. Proses tersebut adalah data citra yang akan melalui proses kompresi harus diubah dari bentuk piksel dua dimensi ke bentuk piksel satu dimensi berurutan dengan cara pemindaian zig-zag. Setelah bentuk dari data citra diubah lalu dilanjutkan dengan metode BWT. Misalkan sebuah vektor 1 dimensi berurutan p telah didapat seperti berikut:

(13)

Gambar 2.9 Tahap Pertama Forward Transform dari BWT (Van, 2009)

Tahap selanjutnya adalah setiap baris disusun secara leksikografi (berdasarkan kamus). Tahap terakhir dari proses BWT adalah output yang terdiri dari indeks terakhir pada langkah sebelumnya. Berikut tahap kedua dan ketiga dari BWT ditampilkan melalui Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Tahap Kedua dan Ketiga Forward Transform dari BWT (Van, 2009)

Vektor p asli muncul di baris kelima pada Gambar 2.10, dan output dari BWT berada pada kolom terakhir, dinyatakan dengan:

,

(14)

2.6.2. Proses Dekompresi Burrows-Wheeler Transform (BWT)

Metode BWT adalah metode transformasi yang dapat dibalik (reverse) sehingga vektor asli dapat dikembalikan dari output yang dihasilkan oleh BWT tersebut. Di bentuk reverse transform hanya output BWT L dan index yang dibutuhkan untuk mengembalikan vektor urutan aslinya. Tahap reverse BWT ditampilkan pada Gambar 2.11, 2.12, dan 2.13.

Cara membentuk tabel reverse:

a. Langkah ( ): Letakkan kolom n di depan kolom .

b. Langkah ( ): Urutkan panjang string yang dihasilkan secara leksikografi.

c. Langkah : Letakkan list yang terurut di kolom pertama pada tabel.

Gambar 2.11 Tahap Pertama Reverse Transform dari BWT (Van, 2009)

(15)

Gambar 2.13 Tahap Ketiga Reverse Transform dari BWT (Van, 2009)

Output dari reverse transform juga berada di indeks 4, itulah mengapa indeks dimanfaatkan untuk merepresentasikan output dari forward transform dan urutannya adalah , yang mana memiliki urutan asli dari vektor p. Setelah proses dekompresi dengan metode BWT selesai, data citra diubah kembali dari bentuk piksel satu dimensi berurutan ke bentuk piksel dua dimensi dengan cara pemindaian unzig-zag sehingga citra hasil dekompresi dapat ditampilkan kembali.

2.7 Rasio Kompresi

Rasio kompresi pada kedua citra akan diukur untuk mengetahui mana yang lebih baik sesuai kinerja proses kompresinya. Citra sebelum dikompresi akan dibandingkan dengan citra hasil kompresi. Rasio kompresi dapat dinyatakan dengan persamaan matematis sebagai berikut (Putra, 2010):

( )

Dimana:

 = Rasio kompresi (compression ratio)  = Ukuran citra asli

 = Ukuran citra kompresi

(16)

dalam suatu teknik kompresi citra. Namun besarnya nilai rasio kompresi harus diikuti dengan kualitas citra (Napitupulu, 2012).

2.8 Waktu Kompresi

Dalam melakukan kompresi citra dengan metode yang berbeda pasti membutuhkan waktu yang berbeda pula. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan kompresi citra akan memengaruhi kinerja metode kompresi citra tersebut. Semakin cepat waktu kompresi maka akan menjadi salah satu faktor pendukung terhadap suatu metode kompresi citra untuk menjadikannya sebagai metode kompresi citra yang baik. Tapi metode kompresi citra yang memiliki tahapan cukup banyak dan dalam penyelesaiannya memerlukan proses yang rumit pasti akan memakan waktu yang lama. Hal ini kurang baik jika diterapkan nantinya dalam aplikasi kompresi citra.

2.9 Waktu Dekompresi

Tidak hanya waktu kompresi yang berpengaruh pada kinerja metode kompresi citra, waktu dekompresi juga menjadi salah satu faktor pendukung apakah kinerja sebuah metode kompresi citra bisa dikatakan baik atau tidak. Waktu mengembalikan file citra yang telah terkompres akan menjadi penilaian yang sama pentingnya dengan waktu memproses kompresi pada citra.

2.10 Hasil Penelitian Sebelumnya

(17)

Tabel 2.2 Hasil Penelitian Metode JPEG dan Metode BWT menggunakan tiga citra digital memberikan hasil berupa kualitas citra yang baik dan rasio kompresi yang tinggi jika digunakan parameter quality di atas 75, Dimana pada parameter

(18)

No Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Transform sangat efektif jika digabungkan dengan algoritma Run-Length Encoding pada kompresi citra bitmap 24 bit. Rasio kompresi yang dihasilkan oleh penggabungan Run-Length

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Koordinat Citra Berukuran M×N (M baris dan N kolom)  (Kadir, 2013)
Gambar 2.3 Citra Grayscale (Kadir, 2013)
Gambar 2.4 Citra Biner (Kadir, 2013)
Gambar 2.5 Contoh Citra Bitmap (*.bmp)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa 61% harga diri lansia di UPTD Rumoh Seujahtra Geunaseh Sayang Banda Aceh berada pada kategori positif sejumlah 25

Matriks Program dan Investasi Jangka Menengah Bidang Cipta Karya Kabupaten Garut Tahun 2014 - 2018.. No Uraian Kegiatan Lokasi Detail Volu me

Pendidikan pelatihan petugas Rekam Medis di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau dan RS Bina Kasih Kota Pekanbaru diketahui bahwa sebanyak 14 responden (58,3 %) menyatakan cukup baik

Pengertian KLB : (1) Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan

Penyusunan Tugas Akhir ini bukan hanya semata-mata sebagai bagian dari pemenuhan syarat untuk penyelesaian pendidikan sarjana tetapi juga sebagai sumbangsih kami terhadap

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 15 tahun 2012 mengenai panduan valuasi ekonomi ekosistem hutan..

• Dalam rangka pencegahan dan mengatasi kerusakan cagar alam pegunungan cycloop (CAPC), Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan (F) lebih penting atau 9 kali lebih penting dari

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis yang berkaitan dengan konsep strategi pemasaran pendidikan yang telah dilakukan dan strategi