BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan Teori
2.1.1. Teori Perubahan Struktural
Teori-teori perubahan struktural (struktural change theory)
memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang akan memungkinkan
negara-negara terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam
negeri mereka dari perekonomian pertanian subsisten tradisional yang hanya
mampu mencukupi keperluan sendiri ke perekonomian yang lebih modern,
lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki
sektor industri manufaktur dan jasa-jasa yang tangguh (Todaro, 2000).
2.1.1.1. Teori W. Arthur Lewis
Teori Lewis membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia
Ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja. Menurut model
yang diajukan oleh Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua
sektor :
1) Sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan
penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama
dengan nol. Ini merupkan situasi yang memungkinkan Lewis untuk
mendefinisikan kondisi “surplus” tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa
sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu
2) Sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi
dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit
demi sedikit dari sektor subsisten.
Perhatian utama dari model Lewis ini diarahkan pada terjadinya
proses pengalihan tenaga kerja di sektor yang modern. Pengalihan tenaga
kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya
Total Produk (Manufaktur) Total Produk (Manufaktur)
Sumber : M.L. Jhingan (2008)
Gambar 2.1
Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis
2.1.1.2 Teori Hollis B. Chenery
Teori Chenery mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik yang
sekiranya berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembangunan.
Faktor-faktor yang didapatinya penting antara lain adalah kelancaran transisi
dari perekonomian agraris ke perekonomian industri; kesinambungan
akumulasi modal fisik dan manusia; perubahan jenis permintaan konsumen
dari produk kebutuhan pokok ke berbagai macam barang dan jasa;
perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat industri berkat migrasi
para pencari kerja dari daerah-daerah pertanian di pedesaan dan kota-kota
kecil; serta pengurangan jumlah anggota dalam setiap keluarga dan kenaikan
populasi pada umumnya (Todaro, 2000).
Analisis teori Pattern of Development menjelaskan perubahan struktur
dalam tahapan proses perubahan ekonomi dari negara berkembang yang
mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri
sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Peningkatan peran sektor industri
dalam perekonomian sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang
berhubungan sangat erat dengan akumulasi capital dan peningkatan sumber
daya (Human Capital).
a) Dilihat dari Permintaan Domestik
Apabila dilihat dari permintaan domestik akan terjadi penurunan
permintaan terhadap konsumsi bahan makanan karena dikompensasikan oleh
peningkatan permintaan terhadap barang- barang non kebutuhan pangan,
mengalami peningkatan dalam struktur GNP yang ada. Di sektor perdagangan
internasional terjadi juga perubahan yaitu peningkatan nilai ekspor dan impor.
Sepanjang perubahan struktural ini berlangsung terjadi peningkatan pangsa
ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan penurunan pangsa sektor
yang sama pada sisi impor.
b) Dilihat dari Tenaga Kerja
Apabila dilihat dari sisi tenaga kerja ini akan terjadi proses perpindahan
tenaga kerja dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di
perkotaan, meski pergeseran ini masih tertinggal (lag) dibandingkan proses
perubahan struktural itu sendiri. Dengan keberadaan lag inilah maka sektor
pertanian akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan tenaga kerja,
baik dari awal maupun akhir dari proses tranformasi perubahan struktural
tersebut.
Secara umum negara-negara yang memiliki tingkat populasi tinggi yang
pada dasarnya menggambarkan tingkat permintaan potensial yang tinggi,
cenderung untuk mendirikan industri yang bersifat substitusi impor. Artinya
mereka memproduksi sendiri barang-barang yang dulunya impor untuk
kemudian dijual di pasaran dalam negeri. Sebaliknya negara-negara dengan
jumlah penduduk yang relatif kecil, cenderung akan mengembangkan industri
yang berorientasi ke pasar internasional. Teori perubahan struktural
menjelaskan bahwa percepatan dan pola transformasi struktural yang terdaji
pada suatu negara dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang saling
Dari pengamatan “Chenery dan Syrquin” di peroleh pola yang
sistematik bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi sektor pertanian
sangat menonjol, kemudian dengan semakin tingginya Produk Nasional Bruto
(PNB) peran pertanian akan semakin menurun. Sedangkan pangsa industri dan
jasa-jasa semakin meningkat, landasan dari terjadinya perubahan dengan arah
seperti di atas diawali dengan kesenjangan produktivitas marginal dari sumber
daya yang dipakai di sektor pertanian dan industri (Sirojuzilam dan Kasyful
Mahalli, 2010).
Sumber : Tulus Tambunan (2001)
Gambar 2.2
Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan Ekonomi
Secara lengkap faktor-faktor yang dianalisis oleh Chenery dan
Syrquin untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi
dalam proses pembangunan, dan cara-cara yang digunakan untuk menunjukkan
Tabel 2.1
Cara-cara yang Digunakan untuk Menunjukkan Corak Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan
Faktor-faktor yang Dianalisis Cara-Cara Yang Digunakan Untuk Menunjukkan Perubahan yang Terjadi
I. Proses Akumulasi 1.
Pembentukan modal domestik bruto Aliran masuk modal (di luar impor barang dan jasa)
Tingkat pemasukan anak-anak ke sekolah dasar dan sekolah menengah
Dengan melihat perubahan anak yang bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah.
II. Proses Alokasi Sumber Daya 4. Pembentukan modal domestik bruto Konsumsi rumah tangga
Konsumsi pemerintah
Konsumsi atas bahan makanan
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Faktor-faktor yang Dianalisis Cara-Cara Yang Digunakan Untuk Menunjukkan Perubahan yang Terjadi
III. Proses Demografis dan Distribusi 7.
Bagian dari 20 persen penduduk yang menerima pendapatan paling tinggi Bagian dari 40 persen penduduk yang menerima pendapatan paling rendah
Dengan melihat perubahan jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari
Sumber : Sadono Sukirno (2006)
2.1.1.3 Teori John Fei dan Gustav Ranis
Teori Fei-Ranis berkenaan dengan suatu negara terbelakang yang
kelebihan buruh disertai perekonomian yang miskin sumberdaya, di mana
sebagian besar penduduk bergerak di bidang pertanian di tengah pengangguran
hebat dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Ekonomi pertaniannya
mandeg. Kebanyakan orang bergerak di lapangan pertanian tradisional.
Bidang-bidang nonpertanian memang ada, tetapi tidak begitu banyak
mempergunakan modal. Disitu juga ada sektor industri yang aktif dan dinamis.
Pembangunan terdiri dari pengalokasian kembali surplus tenaga kerja di bidang
ke sektor industri dimana mereka menjadi produktif dengan upah yang sama
dengan upah di bidang pertanian.
Di dalam mengemukakan teori pembangunan ekonominya, Fei dan
Ranis membuat asumsi berikut:
1. Ada ekonomi dua muka yang terbagi dalam sektor pertanian tradisional
yang mandeg, dan sektor industri yang aktif.
2. Output sektor pertanian adalah fungsi dari tanah dan buruh saja.
3. Di sektor pertanian tidak ada akumulasi modal selain dalam bentuk
penggarapan tanah kembali (reklamasi).
4. Persediaan atau penawaran tanah bersifat tetap.
5. Kegiatan pertanian ditandai dengan hasil (return to scale) yang tetap
dengan buruh sebagai faktor variabel.
6. Diasumsikan bahwa produktivitas marginal buruh adalah nol. Jika
penduduk melampaui jumlah di mana produktivitas marginal buruhnya
nol, buruh dapat dialihkan ke sektor industri tanpa mengurangi keluaran
(output) pertanian.
7. Output sektor industri adalah fungsi dari modal dan buruh saja. Tanah
tidak mempunyai peranan sebagai faktor produksi.
8. Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai fenomena eksogen.
9. Upah nyata di sektor industri dianggap tetap dan sama dengan tingkat
pendapatan nyata (sebelumnya) sektor pertanian. Mereka menyebutnya
10. Pekerja di masing-masing sektor hanya mengkonsumsikan produk-produk
pertanian.
Berdasarkan asumsi ini, Fei dan Ranis menelaah pembangunan
ekonomi surplus-buruh menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama, para
penganggur tersamar, yang tidak menambah output pertanian, dialihkan ke
sektor industri dengan upah institusional yang sama. Pada tahap kedua, pekerja
pertanian menambah keluaran pertanian tetapi memproduksi lebih kecil dari
pada upah institusional yang mereka peroleh. Para pekerja semacam ini juga
dialihkan ke sektor industri. Jika migrasi para pekerja ini berlangsung terus,
akan dicapai suatu titik di mana pekerja pertanian menghasilkan ouput yang
sama dengan upah institusional. Ini mengawali tahap ketiga yang menandai
akhir tahap tinggal landas dan awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh
pertanian menghasilkan lebih besar daripada perolehan upah institusional. Di
dalam tahap ini kelebihan buruh sudah terserap dan sektor pertanian berangkat
menjadi komersial (Jhingan, 2008).
2.1.1.4. Teori Isard
Isard (1960) dalam Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli (2010)
memberikan suatu pola pergeseran struktur ekonomi dearah dalam penyerapan
tenaga kerja. Pola yang dikembangkannya adalah perbandingan perubahan
tenaga kerja daerah dengan perubahan tenaga kerja daerah yang lebih luas.
Perubahan Tenaga Perbandingan Perusahaan Kerja Daerah Tenaga Kerja Daerah Dengan Nasional
Y
1000
0 100 X Perubahan Tenaga
Kerja Nasional Sumber : Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli (2010)
Gambar 2.3
Pertumbuhan Relatif Sektor-sektor 2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah pada umumnya didefinisikan
sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu
daerah meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999).
Menurut Blakely (1989), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat
mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang
pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup
pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif,
lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan
pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Dimana, kesemuanya ini
mempunyai tujuan utama yaitu untuk meningkatkan jumlah dan jenis
peluang kerja untuk masyarakat daerah (Arsyad, 1999).
Pembangunan ekonomi oleh beberapa ekonom dibedakan
pengertiannya dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi diartikan
sebagai :
a) Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat, yaitu tingkat pertambahan
PDRB/GNP pada suatu tingkat tertentu adalah melebihi tingkat
pertambahan penduduk.
b) Perkembangan PDRB/GNP yang berlakudalam suatu daerah/negara
diikuti oleh perombakan dan modernisasi struktur ekonominya.
Ada 2 kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan pembangunan
daerah yaitu :
a) Tekanan yang berasal dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan
perekonomiannya.
b) Kenyataan bahwa perekonomian daerah dalam suatu negara
dipengaruhi oleh setiap sektor secara berbeda-beda (Kuncoro, 2004).
2.1.2.1. Teori Ekonomi Neo Klasik
Pada teori ini terdapat hubungan antara tingkat pertumbuhan suatu
negara dengan perbedaaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada
(negara yang sedang berkembang), tingkat perbedaan kemakmuran antar
wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara
yang sedang berkembang lalu lintas modal masih lancar sehingga proses
penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi
(Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, 2010).
2.1.2.2. Teori Basis Ekonomi
Menurut teori basis ekonomi, pertumbuhan dan perkembangan suatu
wilayah tergantung kepada adanya permintaan dari luar terhadap produksi
wilayah tersebut, sehingga perekonomian wilayah dibagi menjadi sektor basis
atau basis ekspor dan sektor non basis. Sektor basis yang mengekspor
produksinya keluar wilayah disebut basis ekonomi. Apabila permintaan dari
luar wilayah terhadap sektor basis meningkat, maka sektor basis tersebut
berkembang, dan pada gilirannya dapat membangkitkan pertumbuhan dan
perkembangan sektor-sektor non basis didalam wilayah yang bersangkutan,
sehingga akhirnya mengakibatkan berkembangnya wilayah yang bersangkutan
(Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, 2010).
2.1.2.3. Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral (central place teory) menganggap bahwa ada
hirarki tempat (hirarchy of place). Setiap tempat sentral didukung oleh
sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya. Tempat
sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi
2.1.2.4. Teori Kausasif Kumulatif (Cummulative Causation)
Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan
konsep dari teori kausasif kumulatif (cumulative causation).
Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperparah kesenjangan antara daerah maju dan
terbelakang. Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif
dibanding daerah lain (Arsyad, 1999).
2.1.2.5. Teori Lokasi
Teori lokasi adalah suatu penjelasan teoritis yang dikaitkan
dengan tata ruang dari kegiatan ekonomi. Hal ini selalu dikaitkan pula
dengan alokasi geografis dari sumber daya yang terbatas yang pada
gilirannya akan berpengaruh dan berdampak terhadap lokasi berbagai
aktivitas baik ekonomi maupun sosial.
Berbagai penelitian teori lokasi oleh para ahli telah banyak
dilakukan untuk memberikan suatu konsentrasi dan yang berhubungan
dengan pengetahuan umum tentang lokasi industri. Dalam
perkembangannya teori geografi berhubungan dengan beberapa masalah
tentang tata letak permukiman, penyebaran, keterkaitan ruang dan lokasi
dari kegiatan ekonomi yang pada akhirnya berhubungan erat dengan teori
lokasi (Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, 2010).
2.1.2.6. Teori Model Daya Tarik
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang
paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya
industrialis melalui pemberian subsidi dan insentif (Arsyad, 1999).
2.1.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah 2.1.3.1. Adam Smith
Menurut Adam Smith ada dua aspek utama dari pertumbuhan
ekonomi, yaitu pertumbuhan output (GDP) total, dan pertumbuhan penduduk
(Boediono, 1981).
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi 5
tahap yang berurutan yang dimulai dari masa berburu, masa berternak,
masa bercocok taman, masa berdagangan, dan tahap masa industri.
Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional
kemasyarakat modern yang kapitalis. Dalam prosesnya, pertumbuhan
ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian kerja antar
pelaku ekonomi. Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input
bagi proses produksi, pembagian tenaga kerja merupakan titik sentral
pembahasan dalam teori ini, dalam upaya peningkatan produktifitas kerja.
Dalam pembangunan ekonomi modal memegang peranan penting (Hasani,
2010).
2.1.3.2. Whilt Whitman Rostow
W.W. Rostow memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses
perkembangan ekonomi. Ia membedakan adanya lima tahap pertumbuhan
ekonomi yaitu (1) masyarakat tradisional, (2) prasyarat untuk tinggal landas,
(3) tinggal landas, (4) dewasa (maturity), dan (5) masa konsumsi massal
2.1.3.3. Friedrich List
Menurut List, sistem liberalisme yang laissez-faire dapat
menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Perkembangan ekonomi
sebenarnya tergantung pada peranan pemerintah, organisasi swasta dan
lingkungan kebudayaan. Perkembangan ekonomi hanya akan terjadi,
menurut List, jika dalam masyarakat ada kebebasan dalam organisasi
politik dan kebebasan perorangan.
Perkembangan ekonomi, menurut List, melalui 5 fase yaitu
primitif, beternak, pertanian, pertanian dan industri pengolahan
(manufaktur), dan akhirnya pertanian, industri pengolahan dan
perdagangan. Pendekatan List dalam menentukan tahap-tahap
perkembangan ekonomi tersebut berdasarkan pada “cara produksinya”nya.
2.1.3.4. Bruno Hilderbrand
Hilderbrand mengatakan bahwa perkembangan ekonomi bukan
didasarkan pada “cara produksi” ataupun “cara konsumsi”, tetapi pada “
cara distribusi” yang digunakan. Oleh karena itu ia mengemukakan 3
sistem distribusi yaitu perekonomian barter (natura), perekonomian uang,
dan perekonomian kredit.
2.1.3.5. Karl Bucher
Menurut Bucher, perkembangan ekonomi melalui 3 tahap yaitu
produksi untuk kebutuhan sendiri (subsisten), perekonomian kota dimana
pertukaran sudah meluas, dan perekonomian nasional dimana peran
2.1.3.6. Harrod Domar
Menurut teori ini, setiap perekonomian harus mencadangkan atau
menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah
ataupun mengganti barang-barang modal (gedung, alat-alat, bahan baku) yang
telah aus atau rusak. Namun untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan netto terhadap cadangan
atau stok modal (capital stock) (Todaro, 2000).
2.1.3.7. Thomas Robert Malthus
Malthus tidak menganggap proses pembangunan ekonomi terjadi
dengan sendirinya. Malahan proses pembangunan ekonomi memerlukan
berbagai usaha yang konsisten di pihak rakyat. Dia tidak memberikan
gambaran adanya gerakan menuju keadaan stasioner tetapi menekankan
bahwa perekonomian mengalami kemerosotan beberapa kali sebelum
mencapai tingkat tertinggi dari pembangunan. Jadi menurut Malthus proses
pembangunan adalah suatu proses naik-turunnya aktivitas ekonomi lebih
daripada sekedar lancar tidaknya aktivitas ekonomi.
Menurut Malthus pertumbuhan penduduk saja tidak cukup untuk
berlangsungnya pembangunan ekonomi. Malahan, pertumbuhan penduduk
adalah akibat dari proses pembangunan (Jhingan, 2008).
2.1.4. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Ukuran-ukuran mengenai keterkaitan ekonomi pada dasarnya
menggambarkan hubungan antara perekonomian daerah dengan lingkungan
menganalisis perubahan stuktur ekonomi daerah dibanding perekonomian
nasional. Analisis ini memberikan data tentang kinerja perekonomian dalam 3
bidang yang berhubungan satu sama lain yaitu:
a) Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan cara menganalisis
perubahan pengerjaan agregat secara sektoral dibandingkan dengan
perubahan sektor yang sama diperekonomian yang dijadikan acuan.
b) Pergeser proposional mengukur perubahan relatif, pertumbuhan atau
penurunan, pada daerah dibandingkan dengan perekonomian yang lebih
besar dijadikan acuan. Pengukuran ini memungkinkan kita untuk
mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada
industri-industri lebih cepat ketimbang perekonomian yang dijadikan acuan.
c) Pergeseran diferensial membantu kita dalam menentukan seberapa jauh
daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan
acuan. Oleh karena itu, jika pergeseran diferensial dari suatu industri
adalah positif, maka industri tersebut lebih tinggi daya saingnya
ketimbang industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan acuan
(Arsyad, 1999).
2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di
suatu wilayah/propinsi dalam suatu periode tertentu ditunjukkan oleh data
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga yang berlaku
atau atas dasar harga konstan. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai
merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahunnya. Sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar. PDRB
atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur
ekonomis. Sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui
pertambahan ekonomi dari tahun ke tahun.
2.1.5.1. Pengertian PDRB
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah seluruh
nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi yang
beroperasi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Atau apabila
ditinjau dari segi pendapatan merupakan jumlah dari pendapatan yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk di wilayah
tersebut yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu.
2.1.5.2. Metode Penghitungan PDRB
Ada dua metode yang dapat dipakai untuk menghitung PDRB, yaitu :
1. Metode Langsung
Penghitungan didasarkan sepenuhnya pada data daerah, hasil
penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemakaian metode ini dapat dilakukan
a. Pendekatan Produksi
PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu
wilayah/region dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan
NTB adalah Nilai Produksi Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut
dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam proses produksi.
b. Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh
faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah/region
dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga
modal, dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan
pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pula komponen
penyusutan dan pajak tak langsung neto.
c. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, pengeluaran
konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan
inventori dan ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor), di
dalam suatu wilayah/region dalam periode tertentu, biasanya satu tahun.
Dengan metode ini, penghitungan NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir
2. Metode Tidak Langsung / Alokasi
Penghitungan dengan menggunakan metode ini merupakan
penghitungan nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan
nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi
pada tingkat regional. Indikator yang digunakan adalah indikator yang paling
besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktifitas kegiatan ekonomi
tersebut.
Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung
pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode
tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena metode langsung akan
mendorong peningkatan kualitas data daerah, sedang metode tidak langsung
akan merupakan koreksi dalam menghitung dalam pembanding bagi data
daerah.
2.1.5.3. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan
1. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku
merupakan jumlah seluruh NTB atau nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu periode tertentu, biasanya satu
tahun, yang dinilai dengan harga tahun yang bersangkutan.
NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari pengurangan
NPB/Output dengan biaya antara masing-masing dinilai atas dasar harga
berlaku. NTB menggambarkan perubahan volume/kuantum produksi yang
subsektor dan sektor. Mengingat sifat barang dan jasa yang dihasilkan oleh
setiap sektor, maka penilaian NPB/Output dilakukan sebagai berikut :
a. Sektor primer yang produksinya bisa diperoleh secara langsung dari
alam seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, pertama kali
dicari kuantum produksi dengan satuan standar yang biasa digunakan.
Setelah itu ditentukan kualitas dari jenis barang yang dihasilkan.
b. Sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas
dan air minum, dan sektor bangunan, penghitungannya sama dengan
sektor primer. Data yang diperlukan adalah kuantum produksi yang
dihasilkan serta harga produsen masing-masing kegiatan, subsektor, dan
sektor yang bersangkutan.
c. Sektor tersier yang secara umum produksinya berupa jasa seperti sektor
perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, bank
dan lembaga keuangan lainnya, sewa rumah dan jasa perusahaan serta
pemerintah dan jasa-jasa, untuk penghitungan kuantum produksinya
dilakukan dengan mencari indikator produksi yang sesuai dengan
masing-masing kegiatan, subsektor, sektor. Pemilihan indikator produksi
didasarkan pada karakteristik jasa yang dihasilkan serta disesuaikan
dengan data penunjang lainnya yang tersedia.
2. Penghitungan Atas Dasar Harga Konstan
Penghitungan atas dasar harga konstan pengertiannya sama dengan
atas dasar harga berlaku, tetapi penilaiannya dilakukan dengan harga suatu
perubahan volume/kuantum produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah
dihilangkan dengan cara menilai dengan harga suatu tahun dasar tertentu.
Penghitungan atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan atau sektoral. Juga untuk melihat perubahan
struktur perekonomian suatu daerah dari tahun ke tahun.
Pada dasarnya dikenal empat cara penghitungan nilai tambah atas
dasar harga konstan. Masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Revaluasi
Dilakukan dengan cara menilai produksi dan biaya antara
masing-masing tahun dengan harga pada tahun dasar. Hasilnya merupakan output dan
biaya antara atas dasar harga konstan. Selanjutnya nilai tambah atas dasar
harga konstan, diperoleh dari selisih antara output dan biaya antara atas dasar
harga konstan.
b. Ekstrapolasi
Nilai tambah masing-masing tahun atas tahun dasar harga konstan
diperoleh dengan cara mengalikan nilai tambah pada tahun dasar dengan
indeks produksi. Indeks produksi sebagai ekstrapolator dapat merupakan
indeks dari masing-masing produksi yang dihasilkan ataupun indeks dari
berbagai indikator produksi seperti tenaga kerja, jumlah perusahaan dan
lainnya, yang dianggap cocok dengan jenis kegiatan subsektor, dan sektor
yang dihitung.
Ekstrapolasi juga dapat dilakukan terhadap output atas dasar harga
output akan diperoleh perkiraan nilai tambah atas dasar harga konstan.
c. Deflasi
Nilai tambah atas dasar harga konstan diperoleh dengan cara
membagi hasil nilai tambah atas dasar berlaku masing-masing tahun dengan
indeks harga. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator biasanya
merupakan indeks harga konsumen (IHK), indeks harga perdagangan besar
(IHPB) dan sebagainya, tergantung mana yang lebih cocok.
Indeks harga di atas dapat pula dipakai sebagai inflator, dalam
keadaan dimana nilai tambah atas harga berlaku justru diperoleh dengan
mengalikan nilai tambah atas dasar harga konstan dengan indeks harga
tersebut.
d. Deflasi Berganda
Dalam deflasi berganda yang dideflasi adalah output dan biaya
antaranya, sedangkan nilai tambah diperoleh dari selisih antara output dan
biaya hasil deflasi tersebut. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator
untuk perhitungan output atas dasar harga konstan adalah IHK atau IHPB
sesuai cakupan komoditinya, sedangkan indeks harga untuk biaya antara
adalah indeks harga dari komponen input terbesar.
2.1.6. Ketenagakerjaan 2.1.6.1. Definisi Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah penduduk yamg berumur di dalam batas usia
kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain.
batas umur maksimum. Tenaga kerja (manpower) dibagi pula ke dalam dua
kelompok yaitu angkatan kerja (laborforce) dan bukan angkatan kerja.
Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia
yang bekerja, atau yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara
sedang tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk
bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja
yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari
pekerjaan (Dumairy,1996).
Selanjutnya, angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subsektor
yaitu kelompok pekerja dan penganggur. Yang dimaksud pekerja adalah
orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang mempunyai
pekerjaan, dan memang sedang bekerja, serta orang yang mempunyai
pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.
Adapun yang dimaksud penganggur adalah orang yang tidak mempinyai
pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan masih mencari pekerjaan
(Hasani, 2010).
2.1.6.2. Tenaga Kerja di Negara Sedang Berkembang (NSB)
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan
lapangan kerja relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran di NSB
menjadi semakin serius. Tingkat pengangguran terbuka terbuka di perkotaan
hanya menunjukkan aspek – aspek yang tampak saja dari masalah kesempatan
kerja di NSB yang bagaikan ujung sebuah gunung es. Tenaga kerja yang
berbagai bentuk dan underemployment di NSB sangat jarang, tetapi dari hasil
studi ditunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari penduduk perkotaan di NSB
bisa dikatkan tidak bekerja secara penuh ( underutilitized ). Untuk itu dalam
mengurangi masalah ketenagakerjaan yang dihadapi NSB perlu adanya solusi
yaitu, memberikan upah yang memadai dan menyediakan
kesempatan-kesempatan kerja bagi kelompok masyarakat miskin. Oleh karena itu,
peningkatan kesempatan kerja merupakan unsur yang paling esensial dalam
setiap strategi pembangunan yang menitikberatkan kepada penghapusan
(Arsyad, 1999).
2.1.7. Analisis Shift Share
Analisis Shift Share dalam Hasani (2010) adalah analisis yang
bertujuan untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian
daerah dengan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar (regional
atau nasional).
Teknik analisis shift share ini membagi pertumbuhan sebagai
perubahan (D) suatu variabel wilayah, seperti tenaga kerja, nilai tambah,
pendapatan atau output, selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh-
pengaruh : pertumbuhan nasional (N), industri mix/bauran industri (M), dan
keunggulan kompetitif ( C ).
Bentuk umum persamaan dari analisis shift share dan
komponen-komponennya adalah :
2.2. Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini memuat tentang penelitian-penelitian yang dilakukan
sebelumnya yang mendasari pemikiran penulis dan menjadi pertimbangan
dalam penyusunan skripsi ini, adapun penelitian-penelitian tersebut adalah :
a) Penelitian Irman I.P. Simanjuntak (2010) tentang Analisis Transformasi
Struktural Perekonomian Sumatera Utara (Skripsi Program Studi
Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini
menggunakan pendekatan model ekonometrika dengan teknik analisis
metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS). Adapun
kesimpulan dari penelitian tersebut adalah peranan sektor pertanian
sangat besar terhadap struktur perekonomian Sumatera Utara meskipun
jumlah kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) Sumatera Utara semakin menurun persentasenya dari
tahun 1983 sebanyak 30,25 persen dari total PDRB dan menjadi 25,05
persen pada tahun 2008.
Peranan Sektor Industri berperan besar terhadap PDRB Sumatera
Utara dengan jumlah kontribusi sektor industri yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Perkembangan sektor industri sangat pesat meskipun
pada tahun 1983-1988 sektor industri masih menjadi sektor ketiga
penyumbang PDRB, namun sejak tahun 1989-2008 kontribusi sektor
industri sangat besar hingga menjadi sektor kedua terbanyak memberikan
Sektor Jasa memberikan peranan yang sangat signifikan terhadap
struktur perekonomian Sumatera Utara sejak tahun 1983-2008. Terbukti
dengan sektor jasa tetap menjadi sektor utama dan terbesar dalam
memberikan kontribusi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto) Sumatera Utara.
Penyerapan tenaga kerja oleh masing-masing sektor tidak
tergantung dengan besarnya jumlah kontribusi masing-masing sektor.
Sektor pertanian masih menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga
kerja sejak tahun 1983-2008, diikuti oleh sektor jasa dan terakhir sektor
industri. Hal ini disebabkan pada umumnya masyarakat Sumatera Utara
lebih banyak bekerja di sektor pertanian dan pada dasarnya sektor
pertanian lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan
dengan penggunaan teknologi. Tenaga kerja sektor industri lebih banyak
menggunakan teknologi dibandingkan tenaga manusia sehingga tenaga
kerja yang bekerja di sektor industri lebih sedikit dari sektor lainnya.
Berbeda dengan sektor jasa yang menggabungkan penggunaan teknologi
dan tenaga kerja manusia sehingga terjadi peningkatan terhadap jumlah
tenaga kerja sektor jasa.
Sumatera Utara telah mengalami transformasi (perubahan )
struktural yaitu dari sektor pertanian (primer) ke sektor jasa (tersier)
yang menjadi sektor utama dalam struktur perekonomian. Hal ini dapat
dilihat dengan sumbangan (kontribusi) masing-masing sektor terhadap
b) Penelitian Akrom Hasani (2010) tentang Analisis Struktur Perekonomian
Berdasarkan Pendekatan Shift Share di Provinsi Jawa Tengah Periode
Tahun 2003 – 2008 (Skripsi Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Universitas Diponegoro). Penelitian ini menggunakan
pendekatan teknik perencanaan pembangunan analisis Shift Share.
Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah komponen jumlah
dari analisis shift share menunjukkan bahwa sektor industri yang
paling banyak dalam menyerap tenaga kerja sebesar 17,88 % selanjutnya
diikuti sektor perdagangan sebesar 13,25 % dan sektor jasa sebesar 11,19
% sedangkan sektor pertanian menunjukkan nilai negatif sebesar 57,67 %
artinya bahwa telah terjadi pergeseran dalam penyerapan tenaga kerja di
provinsi Jawa Tengah.
Komponen jumlah dari analisis shift share menunjukkan nilai
positif semua dari 4 sektor tersebut, sektor industri yang paling
banyak dalam memberikan konstribusi terhadap PDRB di provinsi
Jawa Tengah sebesar 40,9 % diikuti sektor perdagangan sebesar 23,33
% dan sektor pertanian sebesar 22,97 % kemudian sektor jasa sebesar
12,8 %. Artinya bahwa telah terjadi pergeseran sektor perekonomian
dari sektor perekonomian tradisional ke sektor perekonomian modern.
Pergeseran struktur ekonomi di provinsi Jawa Tengah dari
struktur ekonomi pertanian ke struktur ekonomi industri tetapi belum
bergeser ke sektor ekonomi perdagangan dan jasa. Pergeseran ini diikuti
PDRB dari sektor pertanian ke sektor industri di provinsi Jawa Tengah.
c) Penelitian Diena Fadhilah (2010) tentang Analisis Perubahan Struktur
Ekonomi Di Propinsi Sumatera Utara (Tesis Pasca Sarjana Program
Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara). Penelitian
ini menggunakan pendekatan laju pertumbuhan ekonomi dan teknik
analisis kuantitatif. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
perubahan struktur ekonomi yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara
mengarah pada proses transformasi ekonomi, dimana transformasi
ekonomi di Propinsi Sumatera Utara terjadi pada dua periode yaitu antara
tahun 1994 sampai dengan 1997 dan antara tahun 2000 sampai tahun
2008. Pada dua periode tersebut, sektor primer terlihat sedikit menurun
kontribusinya dibandingkan sektor sekunder dan tertier. Selebihnya pada
periode lainnya sektor primer masih memberikan kontribusi yang cukup
besar bagi perekonomian Propinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa peranan sektor
tertier dan sekunder akan semakin besar dalam penciptaan produksi
nasional, akan tetapi peranan sektor tertier dan sekunder tersebut akan
semakin kecil dalam menampung tenaga kerja apabila perekonomian
tersebut semakin bertambah maju (temuan ini bertentangan dengan teori
Lewis “Perekonomian Dua Sektor”).
Selama kurun waktu penelitian, berdasarkan hasil perhitungan
LQ, yang termasuk sektor yang berpotensi adalah sektor pertanian,
d) Penelitian Rita Dwiastuti (2004) tentang Analisis Perubahan Struktur
Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Klaten (Skripsi
Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Institut Pertanian
Bogor). Penelitian ini menggunakan pendekatan teknik perencanaan
pembangunan analisis Shift Share. Adapun kesimpulan dari penelitian
tersebut adalah pada Kabupaten Klaten terjadi perubahan struktur
ekonomi. Perubahan struktur ekonomi Kabupaten Klaten tersebut
ditunjukkan dengan peranan sektor primer yang semakin menurun
meskipun masih besar kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Klaten.
Sedangkan nilai kontribusi yang disumbangkan oleh sektor sekunder dan
sektor tersier semakin meningkat.
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah telah membawa
pengaruh positif terhadap perubahan PDRB Kabupaten Klaten. Hal ini
dapat dilihat dengan meningkatnya PDRB Kabupaten Klaten. Bauran
industri dan keunggulan kompetitif mempunyai pengaruh yang negatif
terhadap perubahan PDRB Kabupaten Klaten.
Sektor-sektor yang mengalami keunggulan kompetitif telah dapat
meningkatkan PDRB selama periode analisis, tetapi pengaruh spesialisasi
berakibat pada penurunan PDRB Kabupaten Klaten.
Pada Kabupaten Klaten ada 4 sektor yang merupakan sektor basis
yaitu; sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perushaan,
Adapun perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Pada penelitian sebelumnya, sektor ekonomi yang digunakan pada
analisis shift share dibedakan menjadi 4 sektor yaitu sektor
pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Pada penelitian ini,
sektor ekonomi yang digunakan pada analisis shift share dibedakan
menjadi 3 sektor yaitu sektor primer (pertanian), sektor sekunder
(industri), dan sektor tersier (jasa).
2. Pada penelitian sebelumnya, perbandingan daerah yang digunakan
pada analisis shift share adalah antara wilayah nasional dengan
wilayah provinsi. Pada penelitian ini, perbandingan daerah yang
digunakan pada analisis shift share adalah wilayah provinsi yaitu
provinsi Sumatera Utara dengan wilayah Kabupaten/Kota yaitu
2.3. Kerangka Konseptual
Struktur Perekonomian Kota Pematang Siantar
Transformasi Struktural Pendekatan Sektor-sektor :
1. Sektor Primer (Pertanian) 2. Sektor Sekunder (Industri) 3. Sektor Tersier (Jasa)
Pergeseran Penyerapan dan Kontribusi :
1. Tenaga Kerja 2. PDRB