• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Agama Budha di Indonesia Jadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Agama Budha di Indonesia Jadi"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB l

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persoalan Iman agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran agama di Indonesia ini. Pentingnnya masalah agama di Indonesia tampak jelas pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Indonesia memiliki ratusan agama dan kepercayaan. Semua kepercayaan itu diakui dan masih tetap eksis hingga saat ini, sehingga negara Indonesia menjadi negara yang paling beragam dalam hal kepercayaan.

Munculnya berbagai aliran teologi dan kepercayaan membawa banyak dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif keberagaman agama diantaranya adalah budaya dan akulturasi suatu agama dengan budaya setempat maupun dengan agama lain. Hal ini menimbulkan corak budaya yang sangat unik dan beragam. Agama Islam misalnya, karena terjadi pencampuran budaya dari Islam murni dengan agama Hindu dan animisme, terbentuklah agama Islam Indonesia yang kita anut saat ini. Sedangkan dampak negatifnya adalah timbulnya perpecahan dan perbedaan pendapat di masyarakat serta tidak saling pengertian, sehingga memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari, seperti kasus Poso dan kasus Sampang beberapa waktu lalu. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.

(2)

bangsa bisa membangun candi sebesar dan semegah itu. Dengan berbagai ukiran di dinding-dinding candi yang begitu detail dan memiliki beribu kisah yang tersembunyi, sehingga dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia dan diangkat sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.

Saya begitu tertarik untuk mengangkat agama Budha di Indonesia sebagai makalah saya karena berbagai alasan. Saya berpendapat bahwa agama Budha adalah salah satu agama yang telah sukses membawa pengikutnya dalam suatu ajaran perdamaian. Buktinya, sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali konflik atau pertikaian antara agama Budha dengan agama lainnya, walaupun agama Budha secara harfiah belum menemukan tuhannya.

Semoga makalah yang saya buat dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan. Selamat membaca!

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Budha?

2. Bagaimana sejarah dan perkembangan agama Budha di Indonesia? 3. Apa saja peninggalan agama Budha di Indonesia?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan agama Budha di Indonesia 2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan agama Budha di Indonesia 3. Untuk mengetahui peninggalan-peninggalan agama Budha di Indonesia

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan

Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.

A. KEHIDUPAN BUDDHA

Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama

dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni

(harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").1

Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis

(4)

antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata dalam Sanskerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).2

Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah

India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.

Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab

Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.

B. TAHAP AWAL AGAMA BUDDHA

Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.

1. Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)

2 "Dictionary of Buddhism" by Damien Keown (Oxford University Press, 2003) ISBN 0-19-860560-9.

(5)

Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.3

2. Konsili Kedua Buddha (383 SM)

Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.

Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").

Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat

Oxus dan bertarikh abad pertama.

(6)

3. Dakwah Asoka (+/- 260 SM)

Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya

(273–232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.

Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani

yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.

4. Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)

Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.

Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sanskerta, dan secara

harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional

Sejarah Agama Budha di Indonesia | 6

Kapital (pucuk pilar)

sebuah pilar yang didirikan oleh maharaja Asoka di

(7)

Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma

Pitaka).

Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.4

5. Dunia Helenistik

Beberapa prasati

Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima

dakwah agama Buddha: Antiokhus II Theos dari Kerajaan Seleukus (261–246 SM), Ptolemeus II Filadelfos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari

4 "National Museum Arts asiatiques- Guimet" (Editions de la Reunion des Musées Nationaux,

Paris, 2001) ISBN 2-7118-3897-8.

(8)

Makedonia (276–239 SM), Magas dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander dari Epirus (272–255 SM).

"Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)5

Kemudian, menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua budaya ini:

"Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan

Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama

Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).

Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di Alexandria (disebut oleh Clemens dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-monastik pra-Kristen bernama Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali "Theraputta"), yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Linssen).6

Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja

5 http://id.wikipedia.org/w/indek.php?title=piagam-piagam_asoka, diakses 30 April 2014. 6 "Living Zen" by Robert Linssen (Grove Press, New York, 1958) ISBN 0-8021-3136-0.

(9)

Alexander Yaneus (103-76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi

Yudea pada 63 SM.

Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").7

6. Ekspansi ke Asia

Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India banyak memengaruhi sukubangsa

Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM berkat dakwah maharaja Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan

Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad pertama sampai

abad ke-5 Masehi.

Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya manneris mereka menyebar di Asia Tenggara

mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara abad ke-5 dan abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.

7Ibid,.

Penggambaran suku Mon

(10)

Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda

dan enam kawannya semasa abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt.

Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 29–17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke

Asia Tenggara mulai abad ke-11.

Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya, menuju ke Khotan di dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.8

7. Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)

Dinasti Sungga (185–73 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata

(raja terakhir dinasti Maurya), hulubalang tentara Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha diubah menjadi kuil Hindu, seperti di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath, dan Mathura.9

8. Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)

8 http://id.wikipedia.org/w/indek.php?title=piagam-piagam_asoka, diakses 30 April 2014. 9 http://id.wikipedia.org/w/indek.php?title=kekaisaran_sungga, diakses 30 April 2014.

(11)

Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM: pertama-tama kaum

Seleukus dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun 250 SM.

Raja Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180 SM

dan sampai sejauh Pataliputra. Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir

abad pertama SM. penindasan kaum Sungga (185–73 SM).

Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja Menander I (yang berkuasa dari +/- 160–135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam aksara

Drakhma perak Menander I (berkuasa

+/-160–135SM). Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah

"Raja Penyelamat Menander".

(12)

Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda Panha antara raja Yunani Menander I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun 160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di stupa -stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus,

Praec. reip. ger. 28, 6).10

Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").11

9. Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)

Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa

yang berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.12

Kaum Kushan

menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha

10Richard Foltz, Religions of the Silk Road: Premodern Patterns of Globalization, New York:

Palgrave Macmillan, 2010. ISBN 978-0-230-62125-1.

11 "The Diffusion of Classical Art in Antiquity" by John Boardman (Princeton University Press,

1994) ISBN 0-691-03680-2.

12 "The Shape of Ancient Thought. Comparative studies in Greek and Indian Philosophies" by

Thomas McEvilley (Allworth Press, New York, 2002) ISBN 1-58115-203-5.

Sejarah Agama Budha di Indonesia | 12 Koin emas Kekaisaran Kushan

(13)

kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran

Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".

Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.

Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari

dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sanskerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.

Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.13

10. Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)

Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada tahun 538.14

11. Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)

Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh

13 Ibid,.

(14)

serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke Cina terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri Lanka.

Raja Anawrahta (1044–1077), pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada

1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.

Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai

sekitar 1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14 sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13.

Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam

Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.15

C. SEJARAH AGAMA BUDHA DI INDONESIA

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia

selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama resmi di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu sebagai agama klasik Indonesia. Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha berasal dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah

Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara, seperti Taiwan,

15 "Hinduism and Buddhism: An Historical Sketch" by Sir Charles Eliot, ISBN 81-215-1093-7.

(15)

Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha kemudian juga masuk ke

nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada di

Indonesia saat ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua

keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

1. Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien.16 Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan 16Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia (http://www.baghavant.com/home.php?

(16)

Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain

Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292

hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama

Kristen di Nusantara.

(17)

2. Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta,

sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.17

George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak saat

itu kerajaan sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat. Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

 Serangan dari Dinasti Chola dari

Koromandel, India Selatan (1017&1025)

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Akibat dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

 Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya

17Kerajaan Sriwijaya (http://www.melayuonline.com/Ind/history/dig330/), diakses 30 April 2014. Wilayah kekuasaan Kerajaan

(18)

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, kemudian muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

 Kekalahan perang dari kerajaan lain

Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya yaitu perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama beberapa abad.18

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, Tsing melakukan kunjungan ke kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha, dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Dan kemudian semakin lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.19 Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti, nama Sakyakirti ini berasal dari tsing yang berkenalan saat singgah di sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan buddhis yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.20 Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1000 pendeta yang belajar buddhis di Sriwijaya.

18 Ibid,.

19Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia (http://www.baghavant.com/home.php?

link=sejarah&tipe=sejarah_buddhisme_indonesia_2), diakses 30 April 2014.

20 Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha

(http://viharakhantibumi.blogspot.com/2010/01/tokoh-tokoh-sejarah-pada-masa-budha.html), diakses 30 April 2014.

(19)

3. Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.21

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama

candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya,

Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran

Siwasiddhanta kecuali

Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan

Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang

disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

21 D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs38 (3/4): hal. 353

—359.

Peta wilayah kekuasaan Majapahit

berdasarkan Kakawin

Nagarakretagama; keakuratan

(20)

Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan

Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran

bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa

dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para

Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur.

Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha

sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi

(21)

yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

4. Masa Indonesia modern

1) Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari

Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada

pertama yang datang untuk menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara.22 Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang

(22)

bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.

2) Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, yaitu adanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan

Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau

Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili dalam

(23)

Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme

Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

3) Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia berdasarkan data kuantitatif 1961-1971= 2.1%,

1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%. Berdasarkan data tersebut, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun yaitu, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, yaitu sekitar 24.1 juta penduduk.23

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 1,8 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau,

Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sebenarnya karena pada saat itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia sehingga mereka disensuskan sebagai penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha sekitar 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau sekitar 0.6%. Pada tahun 2010, jumlah penganut agama Buddha sekitar 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau sekitar 0.4%.24

Berdasarkan data tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa jumlah

23Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000 sumber www.bps.go.id, diakses 30

April 2014.

(24)

penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak belakang dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat

Tionghoa dan beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah 1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha.2526

25http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17, diakses 30 April 2014.

26 http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html, diakses 30 April

2014.

(25)

D. PERKEMBANGAN ALIRAN BUDDHA DI INDONESIA

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit

dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu

Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan

semenjak runtuhnya kerajaan

Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia

(PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Agung Indonesia yang berasal dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan sebagainya.

Stupa Buddha di Candi Borobudur

(26)

1. Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan

Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

2. Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo

Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut Kasogatan. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal

(27)

dari kata "sugata", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah vihara di daerah Muara Karang

dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia

bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

3. Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante

Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives,

(28)

sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI).

E. PENINGGALAN BUDHA DI INDONESIA

Banyak peninggalan agama budha di Indonesia. Peninggalan-peninggalan tersebut umumnya berupa candi. Di dinding candi Budha umumnya terdapat relief-relief yang menceritakan sesuatu. Cerita itu umumnya tentang kelahiran sang Budha, kisah-kisah penyebaran Budha, atau kisah tentang kerajaan yang membangun candi tersebut. Bahkan candi-candi tersebut masih digunakan untuk upacara keagamaan agama Budha hingga sekarang. Berikut beberapa peninggalan candi Budha:

1. Candi MENDUT

Dahulu bernama Veluvana (hutan bambu) dan menghadap ke Barat Laut (ke arah Buddha Gaya). Didirikan oleh Raja Indra Gananatha pada tahun 809, prasastinya dikeluarkan tahun 810. Kalau menaiki tangga sampai di serambi muka, maka terlihat dinding- dinding sebelah belakang serambi dihias dengan relief - relief pohon Kalpavreksa (pohon untuk memohon sesuatu) disertai dewi Hariti (simbol kesuburan) di sebelah Utara dan dewi Kuwera (simbol kemakmuran) di sebelah Selatan.

(29)

Di Mendut terdapat tiga patung besar. Di tengah-tengah adalah patung Buddha Gotama dengan mudra “Dharmacakra” (memutar Roda Dharma). Di sebelah kanannya adalah patung Bodhisatva Avalokitesvara dengan mudra “Vara” (di daerah Tengger disebut Buddha Kesvara). Di sebelah kirinya adalah patung Bodhisatva Vajrapni dengan mudra “Simhakarna”. Ketiga patung tersebut dalam Mahayana dikenal sebagai “Sang Ratnatraya” atau “Tri Ratna”. Di sebelah luar candi terdapat patung dewi Tara (cakti dari Sang Buddha) yang dipahat di dinding Utara, Bodhisatva Avalokitesvara di dinding Timur dan Bodhisatva Manjusri di dinding Selatan. Di candi Mendut diadakan upacara kebaktian dan khotbah- khotbah sebelum bermeditasi di Borobudur .

2. Candi PAWON

Didirikan oleh raja Samarottungga (anak dari Raja Indra) pada tahun 826, prasastinya dikeluarkan tahun 824. Candi Pawon merupakan pintu gerbang dari candi Borobudur, dimana umat membersihkan badan dan pikirannya dari kekotoran- kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat yang dianggap suci itu.

Desa sekitar candi Pawon bernama Vajranalan. “Vajra” berarti senjata ampuh dari dewa Indra dan “Nala” berarti api kerajaan, sehingga besar sekali kemungkinan bahwa dahulu kala ada patung dewa I ndra di candi Pawon.

3. Candi BOROBUDUR

A.Keterangan Umum

Nama aslinya adalah “Dasabhumi Sambhara Budara” yang berarti “Bukit dari sepuluh tingkatan Kerokhanian”, yang kemudian disingkat menjadi Sambhara Budara, lalu Bharabudara dan dengan logat Jawa menjadi Borobudur.

Candi Borobudur, monumen Dinasti

Syailendra yang dibangun di Magelang,

(30)

Borobudur menghadap ke arah Timur dan dirikan diatas bukit pada tahun 826, prasastinya dikeluarkan tahun 824. Pembuatannya dipercayakan kepada seorang arsitek dari India yang bernama Gunadharma. Dahulu kala Borobudur seluruhnya dicat putih dan berada ditengah-tengah sebuah danau. Borobudur berukuran 123 x 123 m; tinggi aslinya 42 m.27 (ujungnya telah patah ± 8 m) dan terdiri atas empat bagian :

Alas bawah. 5 (lima) lapis lingkaran persegi yang berlekuk sehingga berbentuk segi 20. 3 (tiga) lapis lingkaran bundar. 1 (satu) stupa besar di tengah-tengah. Kesemuanya itu melambangkan “Dasa Bhumi” atau 10 (sepuluh) Kesempurnaan (Paramita) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisatva untuk dapat menjadi Buddha. Lapisan-lapisan yang berbentuk segi 20 diberi serambi, sehingga merupakan lorong-lorong. Dinding dari serambi-serambi ini, baik di bagian luar maupun di bagian dalam diberi relief - relief (gambar-gambar pahat) yang mengkisahkan cerita-cerita tertentu. Pada dinding dalam dari lorong pertama terdapat relief – relief tentang riwayat Buddha Gotama berdasarkan naskah “Lalita Vistara”.

Pada dinding luarnya terdapat cerita tentang kelahiran dari Pangeran Siddharta sebagai Bodhisatva menurut kitab “Jatakumala”. Pada lorong-lorong yang lain terdapat cerita-cerita dari para Bhodisatva lain dari kitab “Gandavyuha”; sedang di kaki candi yang tertutup terdapat lukisan- lukisan yang berhubungan dengan hukum Karma dari kitab “Karma Vibhanga”.28

Dari lapisan pertama sampai keempat terdapat patung-patung Dhyani Buddha (masing-masing 92 buah), yaitu :

1. menghadap ke Timur: Aksobya dengan mudra “Bhumis parsa” (menunjuk bumi sebelah saksi).

2. menghadap ke Selatan: Ratnasambhava dengan mudra “Vara” atau “Varada” (memberi anugerah).

27 Borobudur, Sinar Harapan, tanggal 17 dan 24 Februari 1983. 28 DR. Soekmono, Candi Borobudur, Pustaka Jaya, 1981.

(31)

3. menghadap ke Barat: Amitabha dengan mudra “Dyana” (meditasi).

4. menghadap ke Utara: Amogasidhi dengan mudra “Abhaya” (jangan takut).

Pada baris ke-5 menghadap ke- 4 jurusan terdapat 64 buah patung dari Dhyani Buddha Vairocana dengan mudra “Vitarka” (meyakinkan). Pada lingkaran bundar yang terdiri dari 3 lapisan terdapat 72 buah patung-patung Vajrasatva dengan Dharma cakra-mudra dalam stupa-stupa yang dindingnya berlubang. Lubang- lubang stupa pada lapisan kesatu dan kedua (masing-masing 32 dan 24 buah) berbentuk “belah ketupat” sebagai lambang “masih belum dalam keseimbangan sempurna”; pada lapisan ketiga lubangnya berbentuk persegi sebagai lambang “mantap dalam keseimbangan”.

Jumlah patung yang terdapat di Borobudur ialah 368 + 64 + 72 = 504 buah. Stupa besar di tengah-tengah, dindingnya tidak tembus dan di dalamnya terdapat rongga yang sekarang kosong, dimana mungkin sekali dahulu tempat relief dari Sang Buddha. Ketiga candi diatas setelah selesai, dikeramatkan oleh puteri dan Raja Samarottungga, yaitu Rajaputeri Pramo dawardhani pada tahun 843 (prasasti tahun 840). Dari akhir abad ke-15 untuk lebih dari 300 tahun lamanya Borobudur ditelantarkan.

B. Usaha-usaha menyelamatkan Candi Borobudur29

Pada tahun 1815 atas perintah Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stanford Raffles, maka opsir zeni Ir. H.C.Cornelius memimpin pembersihan wajah candi yang masih disebut-sebut dalam “Babad Tanah Jawi” seabad sebelumnya. Lebih dari 200 penduduk dipaksa kerja rodi selama 45 hari menebang pohon, membabat dan membakar belukar serta mengelupas tanah yang sudah menyelimuti candi yang kakinya sudah melesak 10 meter ke dalam tanah. Dan Borobudur pun terjaga dari tidurnya yang pulas ± 3 abad lamanya. Sayang Raffles tidak dapat meneruskan usahanya karena sudah harus pergi dari Indonesia.

29 DR. Soekmono, Riwayat usaha penyelamatan Tjandi Borobudur, Pelita Borobudur, seri A no. 1,

(32)

Pada tahun 1835 pekerjaan untuk menyelamatkan candi Borobudur baru dapat dilanjutkan kembali. Seorang seniman Jerman, A. Shaefer, pada tahun tersebut untuk pertama kalinya mengabadikan Borobudur diatas celluloid. Ada 5000 foto yang telah dibuatnya, yang kemudian dilanjutkan dengan penggambaran relief-reliefnya diatas kertas oleh F. C. Wilson dan Schonberg Mulder, dari tahun 1849 sampai dengan tahun 1953. Pada tahun 1873 monografi pertama tentang Borobudur diterbitkan oleh Museum Purbakala Leiden, negeri Belanda. Ditahun itu pula seorang ahli potret kenamaan, I. van Kinsbergen diberi tugas untuk memperbaharui potret-potret Borobudur. Saking telitinya kerja I. van Kinsbergen (dia sendiri ikut membersihkan sudut-sudut candi), sehingga 200 relief yang selama ini terpendam dalam tanah ikut tersingkap. Pada tahun 1885 kaki candi yang ditelan bumi itu “ditemukan” oleh J.W. Ijzerman. Ternyata di belakang kaki candi yang nampak masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi pahatan relief. Kaki yang tersembunyi ini diabadikan oleh Cephas selama setahun (1890-1891), untuk mana 12. 500 meter kubik batu dipindahkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Penemuan ini penting artinya, yang disebut “Khamadhatu” (lingkaran hawa nafsu) yang sebelumnya tersembunyi dari pandangan mata. 160 panel dalam lingkaran ‘Hawa Nafsu’ itu menggambarkan ajaran Karma (Hukum sebab dan akibat setiap perbuatan baik dan buruk), sebagaimana tertera dalam kitab “Karmavibhangga”.30 Pada tahun 1834 Residen Kedua melakukan pemugaran secara tambal sulam dan memerintahkan pembersihan lebih lanjut, agar wajah candi kelihatan cantik. Batu-batu yang berserakan disekeliling candi disingkirkan ke kaki bukit, sedangkan stupa-stupanya dibenarkan letaknya. Pada tahun 1844 stupa induknya diperbaiki, namun ia pun melakukan perbuatan yang merusak, yaitu:

a. diatas candi Borobudur diberi bangunan bambu sebagai tempat para pembesar Belanda dan nyonyanya minum teh dengan santainya sambil menikmati panorama senja tatkala sang surya berpamitan dengan seisi bumi.

b. tatkala seorang Raja Siam (Thailand) datang pada pertengahan abad 19,

30 Menyingkap tabir misteri Borobudur, PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan.

Kedaulatan Rakyat, tanggal 12 Februari 1983. Merdeka, tanggal 29 Januari, t.t.

(33)

Residen kedua menghadiahkan kepada beliau 8 (delapan) gerobak batu-batu candi Bo ro budur dan 50 (lima puluh) relief, disamping 5 (lima) patung Sang Buddha sendiri, 2 (dua) patung singa penjaga candi, 1 (satu) pancuran berwujud “makara” (kepala gajah berbentuk kambing, bertelinga kerbau dengan singa mini didalam moncongnya), sejumlah kepala “kala” (raksasa dan “dewa waktu” dalam mitologi jawa) dari pangkal tangga dan gapura, serta sebuah patung raksasa dari bukit sebelah Barat - Laut candi Borobudur.31

Hampir saja pengrusakan elemen-elemen Borobudur itu makin menjadi-jadi, ketika para ahli di negeri Belanda mengusulkan, agar relief-reliefnya dipindahkan saja ke museum Leiden, mengingat kondisi candi yang semakin rusak. Untunglah gagasan itu penentangnya dari kalangan ahli sendiri, sehingga tidak jadi. Pada tahun 1900 setelah dokumentasi dan penelitian dianggap memadai, maka oleh Pemerintah Belanda dibentuk panitia khusus untuk pemugaran Borobudur yang diketuai oleh Dr. J. L. A. Brandes. Dan seperti halnya operasi pertama di zaman Raffles, kembali seorang opsir zeni, letnan Ir. T h. van Erp, memainkan peranan utama sebagai penyelamat candi Borobudur. Ada tiga hal yang dibebankan kepada Ir. van Erp dalam usaha menyelamat kan Borobudur:

1. menanggulangi bahaya runtuh dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunannya, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada teras (tingkat) pertama, serta memperbaiki gapura, relung dan stupa, termasuk stupa induk.

2. mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki itu dengan pengawasan yang ketat dan pemeliharaan yang cermat. Untuk itu saluran airnya perlu disempurnakan dengan jalan memperbaiki lantai lorong dan pancuran air.

3. memperlihat kan bangunan candi sejelas-jelasnya, bersih dan utuh32

Seluruh pekerjaan pemugaran yang dimulai tahun 1907 baru selesai empat tahun kemudian dengan menelan biaya 100. 000 gulden. Ir. van Erp pun

31 Drs. Soedirman, Borobudur salah satu keajaiban dunia, Yogyakarta, 1980.

32 Boediharjo, Pelestarian warisan budaya melalui pariwisata, suatu kasus studi pembangunan

(34)

telah membuat satu warning system (petunjuk pengamanan), yakni lapisan beton pengaman diantara 2 (dua) buah batu pada bagian dinding yang paling miring di sebelah Barat tangga Utara tingkat pertama. Bilamana sambungan itu patah, maka Borobudur berada dalam keadaan bahaya.

Pada bulan Januari 1926 telah dapat diketahui adanya kerusakan yang disengaja oleh turis asing yang ingin menyimpan tanda mata dari Borobudur. Peristiwa ini menjadi pendorong bagi penelitian yang lebih intensif terhadap batu-batu dan terutama relief-relief candi. Dan nyatanya banyak relief yang menampakkan tanda-tanda retak. Tangan jahil? Bukan! Setelah diamati dan dibanding-bandingkan kiri-kanan ternyata bukan karena tangan jahil, melaikan karena suhu yang sangat cepat berganti; dari panas yang menyengat kemudian disusul hujan terus-menerus. Ternyata dari 120 panel relief “Lalita Vistara” yang menceritakan riwayat Sang Buddha sejak direncanakan lahir dari sorga Tusita sampai khotbahnya yang tersohor di Banares, ada 40 buah yang rusak.33

Pada tahun 1929 dibentuk panitia baru untuk melakukan pengamatan dan pengamanan. Dari hasil penyelidikan panitia, diketahuilah penyebab kerusakannya, yakni: korosi kimiawi, kerja mekanis dan kekuatan tekanan. Korosi disebabkan oleh pengaruh iklim yang merusak batu-batu candi yang jelek kwalitasnya. Lapisan oker kuning yang dulunya dimaksudkan meratakan warna relief untuk keperluan pemotretan, ternyata berhasil melindungi batu-batu yang keras. Tetapi terhadap batu-batu yang lunak akibatnya jadi lain, yait u terkelupas. Cendawan dan lumut terang menambah korosi pula. Namun sebab pokok korosi yang paling sadis adalah derasnya air yang merembes ke luar bangunan candi melalui celah-celah dan pori-pori batu-batuan candi itu sendiri.

Adapun kerusakan mekanis terutama disebabkan oleh tangan dan kaki manusia atau penyebab lainnya diluar candi. Kerusakan lain ialah, karena tekanan bobot batu-batuan candi itu sendiri. Pada tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia mengundang seorang ahli purbakala India, tetapi belum sempat memberi laporan. Pada tahun 1965 atas prakarsa Menteri P&K, Ny. Artati M.

33 Yasir Marjuki & Toeti Heraty, Borobudur, Djambatan, 1989.

(35)

Sudirdjo SH, maka untuk mencegah kerusakan yang lebih fatal, telah dilakukan pembongkaran atas dinding-dinding Utara dan Barat yang miring oleh Dr. R. Soekmono. Pada tahun 1967 Dr. R. Soekmono ketika mengikuti Kongres Orientalis International di Ann Arbor (AS) minta perhatian kongres atas nasib Borobudur. Unesco tertarik kepada nasib Borobudur dan berjanji untuk memberi bantuan.

Pada tahun 1968 Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Nasional Penyelamat Borobudur dan beberapa ahli luar negeri dihubungi antara lain:

1. Prof. C. Voute, ahli geologi kenamaan.

2. Dr. G. Hyvert, ahli pengawetan patung relief.

3. Prof. Benard Philipe Groslier, arkeolog perancis kenamaan yang namanya tidak dapat dipisahkan dari penyelamatan candi-candi Angkor di Kamboja.

Pada bulan Juni 1971 Panitia pemugaran Borobudur dibentuk dengan diketuai oleh Prof. Ir. R. Rooseno dan didampingi oleh Dr. R. Soekmono. Pada tahun ini pula Dirjen Unesco, Rene Maheu datang ke Indonesia untuk menandatangani bantuan Unesco sebesar US $ 6 juta dari biaya pemugaran yang diperkirakan US $ 7,75 juta (menurut perkiraan tahun 1975 biaya tersebut telah membumbung sampai US $ 16 juta).

Pada tanggal 11 Agustus 1973 Borobudur mulai dipugar dengan mengikut sertakan ahli-ahli dari Unesco, Lembaga Purbakala, Fakultas Sastra UI, ept. Geologi ITB dan Fakkultas Teknik & Pertanian UGM. Menurut perkiraan pemugaran Borobudur akan makan waktu delapan tahun.

C. Keterangan dari relief-relief tentang riwayat Buddha Gautama34

Menurut naskah “Lalita Vistara”, yang terdapat di lorong pertama (bagian Rupadhatu) pada dinding sebelah dalam. Dari pintu timur sampai ke pintu Selatan

34 Moertjipto & Bambang Prasetyo, A glimpse of Temples, Direktorate General of Torism,

(36)

1. Sang Bodhisattva di sorga Tusita sedang menerima penghormatan dari para dewa dengan berbagai alat musik.

2. Sang Bodhisattva memberitahukan para dewa tentang keinginannya turun ke dunia menjadi Buddha dan untuk memberi bimbingan kepada mereka yang telah tersesat dan menolongnya mendapatkan Jalan Yang Benar.

3. Seorang Brahmana mengajar para muridnya tentang kebijaksanaan duniawi dan memberitahukan kepada mereka bahwa dua belas tahun kemudian akan turun ke dunia. Seorang Buddha yang akan membebaskan umat manusia dari Samsara (lingkaran tumimbal-lahir).

4. Para Pratyeka Buddha, setelah mendengar tentang akan turunnya Sang Bodhisattva ke dunia, terbang ke Sorga untuk menyambut dan mengiringkannya.

5. Sang Bodhisattva mengajar para dewa tentang Dharma.

6. Sebelum Sang Bodhisattva turun ke dunia, terlebih dulu Beliau menyerahkan Mahkotanya (Tyara) kepada penggantinya, yaitu Bodhisattva Maitreya.

7. Bodhisattva Maitreya mengajar Dharma kepada para dewa.

8. Raja Suddhodana bersuka-cita dengan permaisurinya, Ratu Maya Dewi di istana Kapilawastu.

9. Para bidadari mengunjungi Ratu Maya Dewi di istana.

10. Para dewa mempersiapkan diri untuk mengiringi Sang Bodhisatva turun ke dunia.

11. Pemberian hormat terakhir di sorga Tusita sebelum Sang Bodhisattva turun ke dunia.

12. Di Pavilyun Sri Garbha, Sang Bodhisattva duduk bermeditasi dan selanjutnya turun ke dunia diusung oleh para dewa.

(37)

13. Ratu Maya Dewi, sewaktu tidur di istana, bermimpi seekor gajah putih memasuki perutnya dan kemudian Ratu menjadi hamil.

14. Sang Ratu tidak usah kuatir apa-apa, karena Dewa Cakra melindungi Beliau.

15. Sang Ratu pergi ke taman Asoka untuk menemui Raja Suddhodana.

16. Raja Suddhodana ketika tiba di taman Asoka dengan menunggang gajah.

17. Raja Suddhodana berjumpa dengan Sang Ratu di serambi. Sang Ratu menceritakan tentang mimpi beliau dan bertanya tentang arti dari mimpi tersebut.

18. Karena Raja Suddhodana tidak dapat menerangkan arti dari mimpi Sang Ratu, maka beliau minta pendapat dari seorang Brahmana yang bernama Asita. Asita menerangkan bahwa Ratu akan hamil dan akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Putera ini mempunyai bakat untuk menjadi seorang pemimpin dunia.

19. Raja Suddhodana gembira sekali mendengar ramalan tersebut dan memberikan hadiah yang berlimpah-limpah kepada Asita dan para Brahmana lainnya.

20. Para dewa yang mendengar berita yang menggembirakan ini, membangun tiga buah istana untuk Ratu Maya Dewi.

21. Para dewa telah membuat Ratu Maya Dewi serempak terlihat di tiga alam.

22. Sebelum bayi dilahirkan, Ratu telah melakukan hal-hal yang mujizat: beliau dapat menyembuhkan orang-orang sakit dan orang-orang yang cacat badannya.

23. Raja Suddhodana memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang miskin.

(38)

25. Satu hal yang aneh terjadi sewaktu Raja sedang bermeditasi: seekor anak gajah masuk ke istana dan memberi hormat kepada Raja.

26. Persiapan untuk mengunjungi taman Lumbini.

27. Ratu dengan kereta menuju ke taman Lumbini. Setelah tiba, kereta berhenti dan Ratu dengan gembira berjalan-jalan di taman.

28. Di taman Lumbini dengan berdiri berpegangan pada cabang pohon Sal, Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki. Segera setelah dilahirkan Sang bayi sudah dapat berjalan tujuh tindak dan diatas tiap tapak kaki muncul bunga teratai. Sehabis melahirkan seminggu Ratu meninggal dunia.

29. Setelah Ratu meninggal dunia, maka Sang Pangeran diasuh oleh bibinya yang bernama Pajapati. Sang bayi diberi nama Siddharta.

30. Pangeran Siddharta di pangkuan ibu tirinya.

Dari pintu Selatan sampai ke pintu Barat

1. Seorang Brahmana bernama Asita mengunjungi Pangeran Siddharta.

2. Dewa-dewa dari alam Suddhavasa mengunjungi Pangeran Siddharta.

3. Para penduduk yang karyaraya mempersembahkan hadiah-hadiah kepada Pangeran Siddharta.

4. Pangeran Siddharta pergi ke Vihara untuk mendapatkan pendidikan.

5. Setibanya di Vihara, gurunya pingsan melihat wajah Pangeran Siddharta yang demikian cemerlang.

6. Sang Pangeran berhias dengan memakai berbagai macam permata.

7. Para penduduk memberi hormat kepada Sang Pangeran.

8. Pangeran Siddharta dan gurunya di ruang belajar.

9. Pangeran Siddharta mengunjungi desa-desa untuk melihat sendiri

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan KPH Tana Toraja merupakan program Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja yang memiliki visi “terwujudnya pengelolaan kawasan hutan produksi yang

Peserta didik dipersilahkan menganalisis fungsi linear sebagai persamaan garis lurus pada suatu permasalahan kontekstual dan menentukan gradient persamaan garis lurus

Untuk dapat menuliskan hasil transliterasi aplikasi mobile “Artos” oleh Mdrawbot mScara, diperlukan perantara sebuah server dan aplikasi mDraw, dimana server ini akan

Dalam beberapa kasus terlihat bahwa majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta

Pemberian tepung daun salam dalam ransum nyata (P<0,01) meningkatkan pertambahan bobot badan ayam broiler selama lima minggu pemeliharaan dibandingkan dengan kontrol positif

Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna tetapi kereaktifannya

KONSERVATISME AKUNTANSI (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015) ” ini dengan baik.. Skripsi ini disusun sebagai

Bagi sektor perbankan yang menghadapi lingkungan, kondisi dan tantangan yang serupa, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya untuk mengevaluasi