• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERADAAN SASTRA DLM BUKU AJAR BAHASA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBERADAAN SASTRA DLM BUKU AJAR BAHASA I"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

KEBERADAAN SASTRA

DALAM BUKU AJAR

BAHASA INDONESIA

(3)

SEKOLAH DASAR

Penyusun:

Tirto Suwondo Dhanu Priyo Prabowo Sri Haryatmo

Herry Mardianto

Penyunting:

Dhanu Priyo Prabowo Syamsul Arifin

Ceatakan Pertama:

Juni 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Elmatera Publishing

Jalan Waru 73 B, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Yogyakarta Telepon (0274) 4332287, (0274) 486466

Email: elmaterapublishing@yahoo.com

Anggota IKAPI

Katalog dalam Terbitan (KDT)

KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR/Tirto Suwondo, Dhanu Priyo Prabowo, Sri Haryatmo, Herry Mardianto—Cet. 1 –Yogyakarta: Elmatera Publishing

vii + 128 hlm; 14,5 x 21 cm, 2010 ISBN (13) 978-979-185-245-6

1. Literatur I. Judul

(4)

iv

tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper-banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(5)

Salah satu masalah yang sudah lama disoroti oleh masya-rakat adalah persoalan pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, Penerbit Elmatera memberanikan diri untuk menerbitkan buku berjudul Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Buku ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana sastra telah diberdayakan dalam pengajaran sastra di sekolah dasar terhadap buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar yang digunakan di Kotamadia Yogyakarta. Dengan mempertimbang-kan tingkat kemampuan apresiasi siswa, buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang diteliti pun lebih dibatasi lagi, yaitu buku ajar untuk kelas 5 dan kelas 6.

Dengan diterbitkannya buku ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi terhadap khususnya kemajuan dunia pendidikan/pengajaran sastra Indonesia di sekolah dasar dan penelitian terhadap masalah kesastraan Indonesia pada umumnya. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca. Terima kasih.

(6)

vi

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim bahwa akhirnya selesai pulalah tugas “pe -mantauan keberadaan sastra dalam buku-buku ajar bahasa

Indonesia sekolah dasar” yang diamanatkan kepada kami. Kami

sadar sepenuhnya bahwa tanpa ada tangan sakti dari-Nya, sangat-lahmokaljika risalah seperti yang pembaca hadapi ini dapat kami wujudkan. Karena itu, terhadap ini semua, kami menyerah-pasrah kepada kebesaran Tuhan.

Kami menyadari pula, jika tanpa ada bantuan dari berba-gai pihak, apa pun bentuknya, berapa pun jumlahnya, rasanya ter-lalu sulit bagi kami untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas ini. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada (1) Kepala Kanwil Depdikbud Propinsi DIY, (2) Kepala Balai Penelitian Bahasa, (3) Koordinator Subbidang Sastra, (4) Koordinator Sub-bidang Pembinaan, (5) Para Guru SD di wilayah provinsi DIY, (6) Rekan-rekan sejawat dan staf, dan (7) siapa saja, yang lang-sung atau tidak, telah memberikan bantuan kepada kami. Mudah-mudahan jasa dan budi baik mereka memperoleh balasan yang lebih.

Kami menyadari --lagi-lagi menyadari-- bahwa hasil pe-mantauan yang kami wujudkan dalam buku ini baru sampai pada

tahap “menyentuh sebagian”, yang tentu masih jauh dari harapan.

Karena itu, dengan ketenangan hati, dengan kejernihan pikiran, dan dengan tangan terbuka kami menanti kritik dan saran dari Anda (pembaca). Semoga hasil jerih payah sederhana ini ada manfaatnya. Amin.

(7)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT iii

UCAPAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI vii

BAB I

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Masalah 3

1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup 4

1.4 Metode Pemantauan 4

1.5 Data dan Bahan 5

1.6 Ejaan 6

BAB II

KEBERADAAN SASTRA DALAM KURIKULUM

PENDIDIKAN DASAR 1994 7

2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan

Rambu-Rambu 7

2.2 Program Pengajaran Sastra 13

BAB III

KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR

BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR 19

3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka 20

3.1.1 Puisi 20

3.1.2 Prosa 31

3.1.3 Drama 42

3.2 Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara 47

3.2.1 Puisi 47

3.2.2 Prosa 53

(8)

viii

3.3.1 Puisi 65

3.3.2 Prosa 75

3.3.3 Drama 85

3.4 Buku Ajar Terbitan Yudhistira 87

3.4.1 Puisi 88

3.4.2 Prosa 93

3.4.3 Drama 102

3.5 Buku Ajar Terbitan Erlangga 104

3.5.1 Puisi 105

3.5.2 Prosa 112

3.5.3 Drama 114

BAB IV

PENUTUP 119

4.1 Simpulan 119

4.2 Saran/Usulan 121

DAFTAR PUSTAKA 123

(9)

1.1 Latar Belakang

Apabila dibandingkan dengan kondisi pengajaran sastra di ne-gara-negara Eropa, Amerika, dan Asia lainnya, tampak nyata bahwa pengajaran sastra di Indonesia sangat jauh tertinggal. Kenyataan itu telah dibuktikan oleh Taufiq Ismail melalui survei tentang pengajaran sastra dan mengarang yang dilakukan di 13 negara (baca Republika, 24 Oktober—8 November 1997). Hasil survei tersebut antara lain menunjukkan bahwa di Jerman, selama mengikuti pendidikan di SMU, para siswa sekurang-kurangnya telah membaca buku sastra 15 judul, di New York 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul; sementara di Indonesia 0 judul. Angka 0 (nol) menunjukkan dengan jelas bahwa pengajaran sastra di Indonesia be-nar-benar terpuruk.

Jika diamati pada masa-masa sebelumnya, sesungguhnya per-nyataan dan simpulan Taufiq Ismail di atas bukanlah hal baru karena keluhan tentang keterpurukan pengajaran sastra di sekolah-sekolah di Indonesia sudah terdengar sejak dua dasawarsa yang lalu. Berbagai keluhan yang diduga menjadi penyebab keterpurukan pengajaran sastra itu pun dari waktu ke waktu tetap sama, yaitu (1) kurikulum yang sering berubah-ubah dan penyusun kurikulum itu sendiri agak-nya kurang paham tentang hakikat sastra dan pengajaran sastra; (2) bahan ajar yang tidak menunjang, terutama karena ketidaktersediaan bacaan sastra di sekolah; sementara perpustakaan umum juga tidak menyediakan bacaan sastra yang memadai; (3) tujuan pengajaran,

BAB I

(10)

yaitu membina apresiasi sastra, walaupun mungkin diketahui, tetapi kurang disadari dalam pelaksanaannya sehingga pengajaran sastra tidak terarah kepada ranah sikap, tetapi melenceng ke ranah penge-tahuan; (4) strategi pengajaran yang digunakan para guru cenderung tidak variatif, monoton, dan tidak memancing motivasi sehingga siswa kurang bergairah untuk menggeluti sastra; (5) banyak sekali guru, sadar atau tidak, memperlihatkan sikap: rasanya belum mengajar bila para siswa belum merasa kedodoran mengerjakan berbagai tugas; makin “aneh” tugas yang diberikan akan semakin bergengsi, sehingga sastra di hadapan siswa menjadi “makhluk” yang mengerikan, bukan men-jadi sesuatu yang indah; (6) terbatasnya jumlah jam pelajaran; (7) kekurangmampuan guru mengajarkan sastra; (8) ketidakjelasan pen-dekatan dan metode yang digunakan; (9) minat baca siswa yang sangat payah; dan sebagainya (lihat juga Semi, 1991:2—3).

Untuk mengantisipasi keterpurukan pengajaran sastra di seko-lah-sekolah di Indonesia, sebenarnya upaya perbaikan terhadap ber-bagai keluhan di atas juga telah dilakukan sejak lama. Melalui berba-gai pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, kongres, workshop, dan sebagainya, baik yang dilakukan oleh organisasi profesi seperti HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia), HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia), PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia), dan sebagainya maupun oleh organisasi guru se-perti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau organisasi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, berbagai usaha penyempur-naan terhadap kurikulum (1968, 1975, 1984, dan 1994), buku ajar, sistem pendidikan, metode pengajaran (misalnya CBSA), dan seba-gainya telah pula dilakukan; bahkan majalah dan buletin juga telah bayak diterbitkan. Akan tetapi, hingga kini upaya-upaya itu belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Hal itu terbukti—dengan merujuk hasil survei Taufiq Ismail—ternyata hingga sekarang para siswa SMU di Indonesia belum menunjukkan minat yang tinggi dan serius untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra.

(11)

menun-jukkan minat yang besar untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra. Salah satu di antaranya adalah barangkali ketika masih duduk di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP), para siswa tidak ter-biasa atau tidak dibiasakan membaca karya sastra. Diduga demi-kian karena pada hakikatnya terbentuknya minat baca seseorang salah satunya ditentukan oleh faktor kebiasaan membaca sejak dini. Apa-bila sejak SD dan SLTP para siswa telah terbiasa atau telah di-biasakan membaca karya sastra, kemungkinan besar ketika di SMU minat baca dan apresiasi sastra mereka masih tetap ada, atau mungkin justru lebih berkembang. Di satu sisi, memang sulit dihindari bahwa sejumlah kendala seperti yang telah diuraikan di atas akan selalu da-tang menghadang—hal ini mungkin terjadi juga pada bidang-bidang lain pada umumnya—tetapi di sisi lain, bagaimanapun faktor ke-biasaan membaca sejak dini tetap merupakan suatu tindakan yang diyakini mampu menumbuhkan minat baca dan apresiasi sastra pada masa-masa selanjutnya.

Anggapan dan keyakinan di atas pada gilirannya mengindikasi-kan bahwa saat ini perlu dilakumengindikasi-kan serangkaian penelitian, penga-matan, atau pemantauan ulang yang serius terhadap pengajaran sastra di sekolah-sekolah, tidak hanya di tingkat pendidikan menengah (SMU), tetapi juga di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP). Ber-tolak dari keyakinan itulah, kami, tim pemantau sastra Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, pada kesempatan ini mencoba melakukan pemantauan terhadap peng-ajaran sastra di tingkat pendidikan dasar (khususnya SD) di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.2 Masalah

Ada beberapa komponen yang dapat dipantau sehubungan de-ngan upaya melihat tingkat keberhasilan pengajaran sastra di sekolah dasar (SD). Beberapa di antara komponen itu adalah kurikulum (GBPP), buku ajar (buku paket), bahan ajar (materi sastra), dan me-tode pembelajaran.

(12)

mengenai “keberadaan (materi) sastra dalam buku ajar bahasa Indo-nesia SD” itu pun komponen-komponen tersebut tidak akan dipisah-pisahkan secara tegas. Atau dengan kata lain, kendati fokus utama pembahasan tertuju pada materi atau bahan ajar sastra pada buku ajar bahasa Indonesia, program-program pengajaran sebagaimana digariskan dalam kurikulum pun tetap diperhatikan karena program-program itulah yang menjadi landasan penyusunan buku ajar.

1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup

Secara umum pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana keberhasilan pengajaran sastra di sekolah dasar (SD); dan se-cara khusus pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui keberadaan materi atau bahan ajar sastra dalam buku ajar Bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah dasar. Apabila tujuan tersebut telah dicapai, terutama tujuan khususnya, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi upaya perbaikan pengajaran sastra di sekolah dasar pada umumnya dan upaya perbaikan buku-buku ajar Bahasa (dan Sastra) Indonesia untuk sekolah dasar pada khusus-nya.

Perlu diketahui bahwa pemantauan ini dilakukan dalam waktu yang amat terbatas (kurang dari 4 bulan), tenaga dan kemampuan yang juga sangat terbatas, dan biaya yang terlalu sedikit. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, pemantauan ini hanya dilakukan terha-dap buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar kelas 5 dan 6 yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan dipi-lihnya buku ajar kelas 5 dan 6 ialah karena sesuai dengan tingkat perkembangan sosiologis dan psikologisnya, para siswa kelas 5 dan 6 diduga telah memiliki pengalaman dan kemampuan yang cukup untuk menalar dan meng-apresiasi sastra.

1.4 Metode Pemantauan

(13)

sas-tra yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang dijadikan pegangan untuk kelas 5 dan 6 dengan berpedoman pada program-program pengajaran yang tercantum dalam Kurikulum Pendidikan Dasar (GBPP 1994). Data-data hasil pengamatan dikumpulkan dengan teknik simak dan catat, kemudian diklasifikasikan dan disajikan dengan teknik deskriptif.

Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap guru-guru kelas dalam upaya mengetahui apakah pengajaran sastra di sekolah (ma-sing-masing) telah terkondisi dengan baik: keberadaan buku, kondisi dan intensi guru, kecenderungan siswa, teknik yang digunakan dalam pembelajaran, bagaimana sastra diberdayakan, dan sebagainya. Un-tuk menjaring itu semua, wawancara dilakukan secara tertulis, yaitu dengan teknik angket. Dalam wawancara guru diminta mengisi (me-milih jawaban dan menjawab) sejumlah pertanyaan yang telah dise-diakan.

1.5 Data dan Bahan

Data yang dipantau adalah materi atau bahan ajar sastra (puisi, prosa, drama) yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang dijadikan pegangan untuk kelas 5 dan 6. Sementara itu, bahan yang dipantau adalah buku-buku ajar bahasa Indonesia dengan rinci-an sebagai berikut (nama pengarrinci-ang, tahun terbit, judul buku, nama kota: penerbit).

1. a. Alim, Djeniah. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 3: un-tuk Sekolah Dasar Kelas 5. Jakarta: Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

b. Sugono, Dendy. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 4: untuk Sekolah Dasar Kelas 6. Jakarta: Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

2. a. Tim Penyusun Pelajaran Bahasa Indonesia SD. 1993. Pe-lajaran Bahasa Indonesia SD (5a, 5b, 6a, 6b). Klaten: Intan Pariwara.

(14)

3. a. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indone-sia: Pelajaran Bahasa Indonesia (5a, 5b). Sala: Tiga Serangkai.

b. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indone-sia: Pelajaran Bahasa Indonesia (6a, 6b). Sala: Tiga Serangkai.

4. a. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa Indonesia (5a, 5b, 5c). Jakarta: Yudhistira.

b. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa Indonesia (6a, 6b, 6c). Jakarta: Yudhistira.

5. a. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (5A, 5B). Jakarta: Erlangga.

b. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (6A, 6B). Jakarta: Erlangga.

1.6 Ejaan

(15)

Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap keberadaan sastra dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 (Landasan Program dan Pengembangan dan GBPP Bahasa Indonesia untuk kelas 5 dan 6), hasil yang diperoleh antara lain tampak dalam uraian di ba-wah. Akan tetapi, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa uraian tentang pengertian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam kurikulum (GBPP) tersebut (bab I)—baik dalam GBPP untuk kelas 5 maupun dalam GBPP untuk kelas 6—adalah sama, sedang-kan perbedaan hanya tampak pada program pengajarannya (bab II). Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengulangan yang sia-sia, penger-tian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam kedua GBPP itu dikupas dalam satu pembahasan (lihat 2.1), sedangkan pem-bahasan tentang program pengajaran disajikan secara terpisah (lihat 2.2). Pembahasan selengkapnya adalah berikut.

2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan Rambu-Rambu

Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994, khususnya dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kelas 5 dan 6 Se-kolah Dasar, bidang ilmu kemanusiaan yang disebut sastra (Indone-sia) tidak disajikan secara terpisah menjadi mata pelajaran tersendiri seperti halnya Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewargane-garaan), atau Kerajinan Tangan dan Kesenian, tetapi digabungkan

BAB II

(16)

menjadi satu dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa sampai saat ini di bidang pendidikan di Indonesia sastra Indonesia masih dianggap—oleh pe-merintah (penyusun kurikulum ini)—sebagai bidang ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ilmu lain, yaitu ilmu bahasa Indonesia. Sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu bagi-an, jelas bahwa keberadaan sastra Indonesia seolah-olah hanya ber-gantung pada atau berada di bawah “kekuasaan” bahasa Indonesia. Adanya indikasi atau anggapan bahwa keberadaan sastra Indo-nesia berada di bawah “kekuasaan” bahasa IndoIndo-nesia agaknya diper-kuat oleh uraian yang dituangkan dalam GBPP subbab “pengertian” (1994a:15; 1994b:10). Dalam subbab itu diuraikan bahwa mata pe-lajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalahprogram untuk me-ngembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Dilihat dari segi nama mata pela-jarannya, yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia, sebenarnya—dan seha-rusnya—sastra memiliki kedudukan yang sama dan seimbang de-ngan bahasa, tetapi jika dilihat dari segi maksudnya, sastra menjadi tersisihkan. Dikatakan demikian karena dalam uraian tersebut sastra tidak diprogramkan untuk mengembangkan minat, pengetahuan, kete-rampilan apresiasi, dan sikap positif terhadap sastra, tetapi semata-mata hanyalah untuk bahasa. Dengan demikian, sastra hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa.

(17)

se-bagai pembina mental spiritual manusia atau bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sastra Indonesia seakan-akan dianggap—lagi-lagi oleh pemerintah dan khususnya para penyusun kurikulum—tidak memiliki fungsi apa pun dalam kehidupan manusia Indonesia.

Untuk lebih jelasnya, berikut inilah lima butir fungsi mata pelajar-an Bahasa dpelajar-an Sastra Indonesia ypelajar-ang tercpelajar-antum dalam GBPP. (1) Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa.

(2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya. (3) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

(4) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah. (5) Sarana pengembangan penalaran.

(18)

diha-wasan kehidupan, dalam jabaran tujuan itu sastra masih diharap-kan pula dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ber-bahasa. Dengan demikian, sesuai dengan program-program yang telah digariskan, seakan sastra Indonesia layak menjadi “nomor sekian” dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Hal senada terjadi juga dalam uraian tujuan khusus. Dalam tujuan khusus yang dibagi menjadi tiga komponen, yaitu kebahasaan (15 butir), pemahaman (8 butir), dan penggunaan (7 butir), sastra ha-nyalah memperoleh porsi yang sangat sedikit. Di antara 15 butir yang dikelompokkan dalam komponen kebahasaan, tujuan yang bernaan dengan sastra hanya dituangkan dalam 2 butir, yaitu butir ke-14 (siswa mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk puisi, prosa, dan drama) dan butir ke-15 (siswa mampu membe-dakan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa lainnya). Se-mentara itu, di antara 8 butir yang dikelompokkan dalam komponen pemahaman, sastra hanya tercantum dalam 1 butir, yaitu butir ke-8 (siswa memiliki kegemaran membaca/menikmati karya sastra untuk meningkatkan kepribadian, mempertajam kepekaan pe-rasaan, dan memperluas wawasan kehidupannya). Terakhir, di antara 7 butir tujuan yang dikelompokkan dalam komponen penggu-naan, tujuan yang bergayut dengan sastra hanya diungkapkan dalam 1 butir, yaitu butir ke-7 (siswa mampu memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam berbicara dan menulis).

(19)

Kenyataan di atas lebih memprihatinkan lagi apabila masalah kesastraan yang hanya dituangkan dalam 4 butir tujuan itu diamati secara lebih merenik. Hal itu dapat dilihat, misalnya, di antara 4 butir tujuan yang dirancangkan untuk dicapai oleh pengajaran sastra melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ternyata hanya ada 1 butir yang benar-benar mengarah ke ranah afektif, sikap, atau bersifat apresiatif, yaitu butir ke-8 dalam komponen pemahaman (siswa miliki kegemaran membaca/menikmati karya sastra untuk me-ningkatkan kepribadian, mempertajam kepekaan perasaan, dan memperluas wawasan kehidupannya). Sementara itu, yang 3 butir lainnya, yaitu butir ke-14 dan ke-15 dalam komponen kebahasaan dan butir ke-7 dalam komponen penggunaan, lebih mengarah ke ra-nah kognitif atau pengetahuan. Melalui butir ke-14 siswa hanya diarah-kan untuk memperoleh pengetahuan tentang genre (jenis) sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama; sedangkan melalui butir ke-15 dan ke-7 siswa disarankan mempelajari karya sastra hanya untuk menambah penge-tahuan bahasa.

Kenyataan di atas mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa meskipun selama Orde Baru kurikulum sudah diperbaiki berulang-ulang, sastra Indonesia yang telah memiliki sejarah cukup panjang itu belum disadari oleh para penyusun kurikulum sebagai “sesuatu” yang penting. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa me-mang para penyusun kurikulum selama ini tidak paham tentang hakikat sastra dan pengajaran sastra sebagaimana telah disebutkan di bagian pendahuluan (latar belakang). Akibatnya, tujuan pengajaran sastra sebagaimana dirumuskan pula dalam GBPP subbab “ruang lingkup” (1994a:19; 1994b:14), yaitu membina apresiasi sastra, yang hendak dicapai melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, cenderung menyesatkan guru sehingga pengajaran sastra terperangkap ke ranah pengetahuan, bukan mengarah ke ranah sikap (mental).

(20)

isi bacaan”, “siswa memiliki kegemaran membaca”, atau “siswa memi-liki kegemaran menulis”. Akan tetapi, ungkapan “membaca” dan “me-nulis” dalam konteks itu cenderung dimaksudkan sebagai “membaca dan menulis tulisan non-sastra”, bukan “membaca” dalam arti “menik-mati” dan “menulis” dalam arti “mengarang” sastra. Beberapa contoh sederhana semacam itulah yang berperan pula dalam mengesam-pingkan sastra dalam pengajaran bahasa dan sastra di tingkat pendi-dikan dasar.

(21)

yang paling tepat, dan menentukan sumber-sumber bahan ajar (buku, majalah, dan sebagainya). Namun, justru karena kebebasannya itu-lah, berdasarkan pemantauan dan wawancara yang telah dilakukan, guru tampaknya mengalami kebingungan. Beberapa di antara penye-babnya ialah bahwa selama ini belum tersedia buku-buku atau ma-jalah yang khusus untuk menunjang proses pembelajaran sastra. Bah-kan, masih terlalu banyak sekolah yang tidak memiliki perpustakaan; dan jika ada, perpustakaan itu sering kosong karena ketiadaan ba-caan dan pembaca.

2.2 Program Pengajaran Sastra

Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar, khususnya dalam buku Lan-dasan Program dan Pengembangan (1993:31—33), dinyatakan bah-wa program pengajaran di tingkat pendidikan dasar dibagi menjadi dua, yaitu program kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Program kurikuler terdiri atas 10 mata pelajaran, yaitu PPKn, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal; sedangkan kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas kepramukaan, UKS, olah raga, palang merah, dan kesenian. Semen-tara itu, dijelaskan pula bahwa pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indone-sia, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, memperoleh jatah waktu 8 jam per minggu (per jam 40 menit).

(22)

drama, dan dapat menceritakan kembali, memberikan kesan, dan tanggapan). Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa bagaima-napun juga pengajaran sastra tetap tersisihkan. Apalagi, di dalam buku Landasan Program dan Pengembangan (1993:34), kesusastraan juga tidak diprogramkan sebagai salah satu mata kegiatan ekstrakurikuler yang harus dilakukan.

Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang program pengajaran sastra dalam GBPP SD 1994 kelas 5 dan 6, berikut di-sajikan butir-butir tujuan dan pembelajaran yang berkaitan dengan sastra. Seperti diketahui bahwa selama satu tahun, program pembela-jaran secara keseluruhan dibagi menjadi tiga cawu (catur wulan); dan setiap cawu memuat pula pembelajaran sastra. Secara lengkap butir-butir tujuan dan pembelajaran sastra di kelas 5 dan 6 adalah berikut.

a. Kelas 5

Tujuan:

Siswa mampu menyerap isi cerita, puisi, dan drama serta dapat memberikan tanggapan (butir 5).

Pembelajaran: Cawu 1:

(1) Membaca puisi dan menafsirkan isinya.

(2) Membaca buku cerita yang sesuai untuk anak, kemudian mem-bicarakan hal-hal yang menarik.

(3) Mengurutkan gambar seri yang diacak dan membuat ceritanya. (4) Menceritakan peristiwa yang dilihat dan dialami.

(5) Menceritakan kembali secara lisan atau tertulis cerita rakyat dari daerah sendiri atau daerah lain yang telah dibaca atau didengar, kemudian membicarakannya.

Cawu 2:

(1) Membaca cerita dan menyampaikan kesan tentang cerita itu. (2) Menuliskan pengalaman dalam bentuk puisi, kemudian

mem-bacakannya.

(23)

(4) Membaca cerita rakyat dan menyampaikan kesan.

(5) Membaca cerita pendek yang sesuai untuk anak dan membica-rakan isi cerita.

(6) Menulis cerita.

Cawu 3:

(1) Membuat pantun dengan isi yang menyangkut kehidupan anak. (2) Memerankan drama pendek atau bagian drama yang sesuai

untuk anak.

(3) Meringkas cerita yang didengar atau dibaca. (4) Memerankan pelaku yang ada dalam cerita. (5) Menyusun cerita bersama-sama.

b. Kelas 6

Tujuan:

Siswa mampu memahami cerita, puisi, drama, dan dapat mence-ritakan kembali, memberikan kesan, dan tanggapan (butir 4).

Pembelajaran: Cawu 1:

(1) Membahas teks bacaan.

(2) Bermain peran berdasarkan peristiwa nyata atau bacaan. (3) Melengkapi bagian awal, tengah, atau akhir cerita. (4) Membaca beberapa puisi lama dan menceritakan isinya. (5) Mendengarkan cerita rakyat dan menceritakan kembali secara

tertulis.

Cawu 2:

(1) Mendengarkan pembacaan puisi dan membicarakan hal-hal yang menarik.

(2) Menceritakan peristiwa yang pernah dialami atau suasana alam yang pernah dilihat atau dibaca.

(3) Membicarakan hal-hal yang mengesankan dari cerita yang di-baca, didengar, atau ditonton.

(24)

(5) Membaca buku cerita yang disukai dan melaporkannya di de-pan kelas.

Cawu 3:

(1) Menceritakan kembali drama yang didengar atau dilihat. (2) Membaca cerita, mencatat hal-hal yang penting/menarik,

kemu-dian menyusun pertanyaan. (3) Mementaskan naskah drama.

Dilihat dari sisi tertentu, dalam butir-butir di atas tampak bahwa hubungan antara tujuan yang diprogramkan dan kegiatan pembela-jaran yang harus dilakukan, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, telah mencerminkan adanya keseimbangan. Selain itu, tercermin pula bah-wa orientasi kegiatan pembelajaran juga telah diarahkan kepada ke-giatan siswa (student-oriented), bukan lagi kepada kegiatan guru (teacher-oriented), karena pendekatan yang diutamakan dalam du-nia pendidikan dewasa ini bukan lagi material-oriented, melainkan objective-oriented. Akan tetapi, dilihat dari sisi lain, dalam proses pembelajaran sastra itu guru dituntut harus menjadi seorang fasilitator yang kreatif karena sebagaimana terlihat dalam butir-butir di atas, materi sastra tidak dijelaskan secara rinci sesuai dengan aspek-aspek yang ada, tetapi hanya disajikan secara lebih umum (puisi, prosa, drama).

(25)
(26)
(27)

Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan bahwa buku-buku ajar bahasa Indonesia yang dijadikan bahan pemantauan adalah buku ajar untuk kelas 5 dan 6 sekolah dasar yang diterbitkan oleh lima penerbit di Indonesia. Buku-buku yang dimaksudkan itu ialah buku terbitan (1) Balai Pustaka, terdiri atas 2 jilid, (2) Intan Pari-wara, terdiri atas 6 jilid, (3) Tiga Serangkai, terdiri atas 4 jilid, (4) Yudhistira, terdiri atas 6 jilid, dan (5) Erlangga, terdiri atas 4 jilid. Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 010a/U/ 1998, tanggal 21 Januari 1998, tentang penggunaan buku pelajaran di sekolah, buku ajar terbitan Balai Pustaka merupakan buku pela-jaran pokok—karena disediakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI—sehingga buku itu menjadi buku wajib yang harus digunakan di sekolah di seluruh Indonesia. Sementara itu, buku-buku lainnya—yang semuanya terbitan swasta—hanya menjadi buku pe-lengkap pelajaran pokok. Oleh karena itu, upaya untuk mengetahui keberadaan sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar sesungguhnya dapat dilakukan hanya dengan memantau buku ajar terbitan Balai Pustaka karena buku-buku terbitan swasta tidak wajib digunakan di sekolah. Namun, karena hasil wawancara membuktikan bahwa buku-buku terbitan swasta juga di-gunakan di sekolah-seko-lah, keberadaan sastra dalam buku-buku itu akhirnya ditetapkan pula untuk dibahas di sini.

Agar keberadaan sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh masing-masing penerbit dapat diketahui dengan

mu-BAB III

KEBERADAAN SASTRA DALAM

BUKU AJAR BAHASA INDONESIA

(28)

dah, pembahasan materi (bahan ajar) sastra berikut—yang dikelom-pokkan menjadi tiga bagian, yaitu puisi (tradisional dan modern), prosa (cerpen, novel, cerita rakyat), dan drama (sandiwara)—akan difokuskan pada tiap-tiap buku yang diterbitkan oleh masing-masing penerbit. Hal itu dilakukan dengan asumsi bahwa setiap penerbit me-miliki cara, landasan, dan kebijakan sendiri-sendiri dalam memilih, menentukan, dan menerbitkan buku ajar meskipun semuanya berda-sarkan satu acuan, yaitu Kurikulum 1994. Pembahasan selengkapnya adalah berikut.

3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka

Buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 3 (Balai Pus-taka, 1996, cetakan kedua) untuk kelas 5 karya Djeniah Alim dan Lancar Berbahasa Indonesia 4 (Balai Pustaka, 1996) untuk kelas 6 karya Dendy Sugono merupakan buku teks wajib yang disusun berdasarkan Kurikulum 1994. Buku setebal 205 dan 143 halaman milik pemerintah—dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan—tersebut terdiri atas 17 dan 16 bab dan masing-masing bab mengemukakan tema tertentu. Adapun keberadaan sastra (puisi, pro-sa, dan drama) dalam kedua buku tersebut adalah berikut.

3.1.1 Puisi

Dalam buku Lancar Berbahasa Indonesia 3 (untuk kelas 5), bahan ajar atau materi puisi menduduki peringkat terbanyak apabila dibandingkan dengan materi prosa dan drama. Di antara 17 bab (te-ma) yang diajarkan di kelas 5, hanya ada 2 bab yang di dalamnya tidak terdapat materi puisi, yaitu bab 5 dan 8.1 Di antara puisi-puisi tersebut, yang dominan ialah puisi modern (puisi bebas) (terdapat dalam bab 1, 2, 4, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17), sedangkan puisi tradisional (pantun) hanya sedikit (terdapat dalam bab 1, 3, 10, dan 16).

1 Dalam kasus ini, syair lagu dianggap sebagai puisi karena—sesuai dengan

(29)

Sebagian besar puisi modern yang ditampilkan dalam buku ajar tersebut disajikan secara lengkap, dalam arti disertai dengan nama penyair dan sumber kepustakaannya; sedangkan sajian puisi tradi-sional tidak disertai dengan data-data sumbernya. Beberapa karya dan penyair terkenal yang ditampilkan dalam buku pelajaran kelas 5 antara lain ialah “Menyesal” karya Ali Hasjmi (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), “Karangan Bunga” karya Taufiq Ismail (Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966), “Tidur Nak” karya Armijn Pane (Gamelan Jiwa, Bagian Bahasa dan Kebu-dayaan, Departemen P & K Jakarta, 1960), “Bekerja” karya Moza-za (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), “Nelayan” karya Hamka (Pujangga Baru I/7 Januari 1939), dan “Kapal Udara” karya Maria Amin (Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, H.B. Jassin [ed.], Balai Pustaka, 1948).

Dilihat dari makna muatannya, puisi-puisi yang disajikan dalam buku ajar itu secara umum memiliki bobot yang sesuai dengan tingkat pengalaman dan perkembangan jiwa siswa SD kelas 5. Meskipun tidak ditulis oleh anak-anak, tetapi oleh orang dewasa, puisi-puisi itu bagi mereka tetap dapat (mudah) dipahami. Indikasinya ialah bahwa di samping kata-kata yang digunakan untuk membangun puisi itu tidak sarat dengan simbol atau lambang yang gelap, puisi itu juga telah di-sesuaikan dengan tema-tema yang diajarkan. Sebagai contoh, keti-ka diajarketi-kan tema “Pekerja Sosial Muda” (bab/pelajaran 12), puisi yang disajikan ialah puisi yang berbicara tentang duka cita anak-anak kepada kaum muda seperti karya Taufiq Ismail berikut.

Karangan Bunga

Tiga anak kecil

dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba sore itu

Ini dari kami bertiga

(30)

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati siang tadi

(Karya Taufiq Ismail, Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966)

Atau ketika diajarkan tema “kelautan” (bab/pelajaran 16), puisi yang disajikan juga puisi yang berbicara tentang kehidupan di laut seperti karya Hamka berikut.

Nelayan

Matahari sirip sebelah barat Perahu kolek di tepi tebat Nelayan jaka tegak tertegun Memandang riak jala diayun

Menunggu masa saat pilihan Melayang timah membuat pinggan Berdesir-desir darah di dada Rasakan tidak rasakan ada ...

Kecewa timbul jaring tersangkut Lemah lunglai tangan memaut

Sangka kan tunggul selam pun sampai Kiranya akar batang teratai

(31)

Dalam puisi karya Hamka di atas memang terdapat kata-kata yang berasal dari daerah tertentu (Minangkabau) sehingga tidak semua siswa kelas 5 SD di seluruh Indonesia dapat memahaminya. Akan tetapi, untuk mengatasi hal tersebut, dalam buku itu disajikan pula daftar makna kata-kata dalam puisi itu sehingga kesulitan pemaham-an dapat diatasi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa materi puisi yang ada di dalam buku ajar tersebut telah memenuhi syarat sebagai materi yang mendukung tujuan pengajaran sastra sebagaimana diprogram-kan dalam kurikulum. Dinyatadiprogram-kan demikian karena sesuai dengan pe-rintah dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, materi tersebut disajikan tidak hanya untuk dipahami (diapresiasi) maknanya, tetapi juga digunakan sebagai bahan dasar bagi pengembangan ekspresi. Hal itu tampak misalnya dengan adanya perintah untuk mendeklama-sikan, mengubah puisi dengan kata-kata sendiri, mengubah puisi men-jadi prosa (cerita), atau membacakan hasilnya di depan kelas. Berikut ini adalah contoh (bab/pelajaran 14, hlm. 163—164) materi puisi dan beberapa perintah yang mampu mendukung pengembangan apresiasi dan ekspresi sastra siswa.

1. Bacalah dan hapal puisi berikut dengan penuh perasaan! Deklamasikan!

Tidur Nak

Tidur Nak, tidurlah sayang Tidur Nak, ini zaman perang Lekas besar Nak, anakku sayang Tidurlah Nak, lekas bantu perang

Tidur Nak, tidurlah sayang Tidur Nak, hidup penuh cita Lekas besar Nak, anakku sayang

Tidurlah Nak, lekas turut bakti

(32)

2. Apa yang kita rasakan saat membaca puisi tersebut? (1) Puisi di atas digunakan oleh orang tua untuk .... (2) Zaman saat itu adalah zaman ....

(3) Kita berperang saat itu dengan .... (4) Orang tua mengharap agar anaknya ....

3. Cobalah kamu ubah kata-kata dalam puisi Armijn Pane tersebut. Sesuaikan dengan keadaan negara kita saat ini!

....

4. Bacalah puisi atau sajak di majalah atau koran. Pilih puisi ataupun sajak yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau keindahan alam. Setelah kamu membaca contoh puisi atau sajak, cobalah kamu membuat puisi sendiri, yang berhubungan dengan keadaan alam!

5. Bacakan puisimu di depan kelas! Lengkapi kekurangan puisimu sesuai saran guru. Yang terbaik pajangkan di majalah dinding.

Hal yang sama tampak juga pada materi pantun seperti contoh (bab/pelajaran 10, hlm. 115—116) berikut.

1. Bacalah pantun berikut ini dengan jelas dan benar.

Pohon bambu pohon selasih Dikerat di atas batu bata Kukirim surat pelipur lara Hilangkan duka dan rasa sedih Dikerat di atas batu bata Dua-dua diikat menjadi satu Kukirim surat pelipur lara Semoga ibu sehat, gembira selalu

2. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas! (1) Dari siapakah pantun itu?

(2) Kepada siapa pantun ini ditujukan? (3) Mengapa dia membuat surat?

(33)

3. Buatlah pantun sederhana yang menyatakan rasa rindumu kepada adikmu. Bacakan di depan kelas. Jika ada kekurangan, lengkapi sesuai dengan saran gurumu!

4. Bacalah pantun di bawah ini! Apa isi utamanya?

Pandan berbunga dalam rimba Angin berdera dari Tika Badanlah lama tak bersua Kinilah kita baru bertemu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan puisi dalam buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 4 (untuk kelas 6) masih memiliki kecenderungan yang sama dengan keberadaan puisi dalam buku ajar kelas 5 sebagaimana diuraikan di atas. Artinya, se-cara kuantitatif materi puisi dalam buku ajar tersebut juga menempati peringkat tertinggi apabila dibandingkan materi prosa dan drama. Akan tetapi, secara keseluruhan materi sastra dalam buku ajar kelas 6 lebih sedikit dibandingkan dengan materi sastra dalam buku ajar kelas 5. Disimpulkan demikian karena di antara 16 tema (bab) yang disajikan di kelas 6 selama setahun, materi puisi modern hanya disa-jikan 6 kali (dalam bab/pelajaran 2, 6, 8, 10, 13, dan 15), sedang-kan materi puisi tradisional hanya disajisedang-kan 1 kali (dalam bab/pela-jaran 5); sementara 9 kali pelabab/pela-jaran (bab/pelabab/pela-jaran 1, 3, 4, 7, 9, 11, 12, 14, dan 16) sama sekali tidak menyajikan materi puisi.

(34)

Se-orang Abang Becak” karya Anita, dimuat dalam majalah Jakarta, Jakarta (1985); (4) “Pak Guru” karya Ashadi, siswa kelas 6 SD Muhammadiyah Pepe, Bantul, Yogyakarta, dimuat dalam majalah Ga-totkaca, 20 November 1981; (5) “Kopi untuk Ayah” karya Andrian Adi (Jambi), dimuat dalam majalah Bobo, 10 Februari 1994; dan (6) “Sajak Petani” karya Lisa Cahyapratiwi (Tanjungkarang, Lampung). Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari bobotnya puisi-puisi yang dipergunakan sebagai bahan ajar bagi siswa SD kelas 6 telah sesuai pula dengan tingkat pengalaman dan perkembangan jiwa anak seusia kelas 6. Oleh karena buku ajar tersebut merupakan buku wajib bagi siswa SD di seluruh Indonesia, tema-tema puisi yang di-sajikannya pun disesuaikan dengan kondisi lingkungan keseharian sebagian besar anak Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna yang terkandung di dalam puisi-puisi tersebut dengan mudah dapat dipahami mereka (siswa). Apalagi, dengan maksud un-tuk membantu memperlancar pemahaman (apresiasi) dan pengem-bangan imajinasi mereka (siswa), puisi-puisi itu juga disertai dengan gambar. Misalnya, di samping puisi berjudul “Pak Pos” terdapat gam-bar mengenai Pak Pos sedang mengendarai sepeda yang di bagian belakang sepedanya terdapat tas bertuliskan “pos giro” (hlm. 14); atau di bawah puisi berjudul “Doa Seorang Abang Becak” terdapat gambar Abang Becak beserta becaknya (hlm. 62); atau di bawah puisi berjudul “Sajak Petani” terdapat gambar seorang petani dengan cangkul di pundaknya sedang berjalan di pematang (hendak pulang) (hlm. 125).

(35)

inovatif membaca dan atau mencipta puisi sendiri. Berikut contoh ma-teri puisi (bab/pelajaran 13, hlm. 111—114) yang disertai dengan pertanyaan dan tugas-tugas yang cukup apresiatif.

C. Belajar dari Puisi

1. Bacalah

Kopi untuk Ayah

Kutahu engkau sangat lelah Setelah membanting tulang Demi kami sekeluarga

Siang malam Engkau bekerja

Dengan sedikit istirahat Kerja lagi dan kerja lagi

Kini

Engkau duduk di kursi Tunggulah Ayah

Kankubuat secangkir kopi

Terimalah Ayah

Kopi manis pelepas dahaga Walau hanya secangkir Cukup untukmu seorang

Andrian Adi, Jambi, Bobo, 10 Februari 1994.

2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.

(1) Keluarga yang diceritakan puisi ini kaya, sedang, atau miskin? Tulis kalimat mana yang menjelaskan pendapatmu!

(2) Apakah ibu si Adi bekerja? Kalimat mana yang menjelaskan pendapatmu?

(3) Sifat-sifat baik apa yang dapat dicontoh dari Adi? (4) Pada bait kedua, tertulis kalimat / Siang malam / Engkau

(36)

3. Bagaimana membaca puisi?

Bacaan puisi yang baik akan enak didengar. Bacaan yang baik akan terdengar jelas dan merdu.

Bacaan yang jelas dan merdu itu antara lain ditentukan oleh dua hal. Pertama, tinggi rendahnya suara atau nada. Kedua, cepat lambatnya suara atau tempo.

Berikut ini diberikan contoh tinggi rendah dan cepat lambatnya suara.

Angka (1, 2, dst.): menandai tinggi rendahnya suara.

Garis (/, //, dst.): menandai jarak suara antarkata atau cepat lam-batnya suara.

Kopi /// untuk /// ayah /// /// 3 3 3 3 3 2

Kutahu // engkau // sangat // lelah /// 3 3 3 3 3 3 3 3 2

Setelah // membanting / tulang // 3 3 3 3 4 3 3 2

Demi // kami // sekeluarga /// /// 3 3 3 3 2 2 2 2 1

Perhatikan cara mengucapkannya.

a. Ayah Suara A lebih tinggi daripada suara yah.

3 2

b. Setelah // membanting / tulang //

Jarak ucapan kata setelah dengan membanting lebih lama daripada jarak ucapan kata membanting dengan tulang.

4. Ayo mencoba

(37)

dibuat-buat. Tinggi rendah suara setiap anak dapat berbeda dengan anak lain. Akan tetapi, setiap kata pasti jelas ukurannya. Misalnya, suara angka 3 harus lebih keras dari angka 2.

Kedua, bentuklah kelompok dengan anggota tiga anak. Tugas kelompok memberi tanda-tanda cara membaca bait kedua, ketiga, dan keempat.

Ketiga, setelah selesai memberi tanda-tanda cara-cara membaca, sekarang cobalah membaca puisi “Kopi untuk Ayah” secara lengkap. Pilih seorang anggota kelompok yang bacaannya paling baik. Anggo-ta yang bacaannya paling baik itu bertugas mewakili kelompok dalam lomba baca puisi tingkat kelas.

Keempat, adakan lomba baca puisi “Kopi untuk Ayah” tingkat kelas. Siapa yang menjadi juri? Kamu semua menjadi juri. Setelah semua wakil kelompok membaca puisi, pilih tiga pembaca terbaik. Syaratnya, kamu tidak boleh memilih wakil kelompokmu.

Gurumu akan memimpin pemilihan ini.

Contoh materi puisi yang disertai tugas-tugas di atas merupakan contoh yang baik bagi pengembangan apresiasi (menyimak) dan eks-presi (lisan) siswa terhadap puisi. Dikatakan baik karena hal itu diser-tai pula dengan teori tentang bagaimana cara membaca puisi yang baik. Di samping itu, tampak pula bahwa materi dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa menuntut siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan dinamis. Akan tetapi, ada satu hal penting yang seharusnya tidak ter-jadi dalam sajian materi tersebut. Hal itu tampak pada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa (pasal 2). Dalam pertanya-an itu aku dalam puisi diidentikkan dengan Adi, si penulis puisi. Pa-dahal, seharusnya, aku bukanlah Adi, melainkan aku lirik. Hal-hal seperti inilah yang dapat menyesatkan siswa apabila guru tidak terle-bih dulu menjelaskan prinsip-prinsip yang membedakan siapa sesung-guhnya aku penyair dan aku lirik dalam puisi.

(38)

C. Keterampilan

1. ....

2. Mari kita baca pantun yang lucu

Di bawah ini ada pantun yang lucu. Cobalah kamu baca, lalu bicarakan dengan teman kelompokmu. Cari dan katakan bagian-bagian yang lucu. Tahukah kamu mengapa lucu? Lucu itu biasanya sesuatu yang tidak masuk akal atau sesuatu yang tidak biasa terjadi.

Misalnya, pada bait pertama ada pertanyaan musang disepak induk ayam. Biasanya, musang itu memangsa atau makan ayam. Tetapi, pada pantun ini musang disepak ayam. Rasanya, hal itu tidak biasa.

Nah, sekarang baca dan bicarakan bait-bait yang lain.

Bintang kalian terbit senja, terbenam hampir tengah malam, Heran hamba memikirkannya, musang disepak induk ayam.

Lebat sungguh padi dipaya, hanya tumbang tepi pangkalan, Heran sekali hati saya,

burung terbang disambar ikan.

Kupu-kupu terbang melintang, hinggap mengisap bunga layu, Hati di dalam menaruh bimbang, melihat ikan memanjat kayu.

Belimbing masih rebah ditebang, kemarin tanam berleret-leret, Kambing berbaris di tengah padang, biri-biri menghembus terompet.

Lemparkan barang sampai kemari, kami sambut bersuka cita,

Gemparlah orang senegeri, melihat beruk pegang senjata.

(39)

3. Buatlah pantun

Kamu telah membaca pantun. Masih ingatkah kamu bahwa pantun memiliki empat baris. Tiap baris mempunyai empat kata. Ada persamaan bunyi pada suku kata akhir baris pertama dan ketiga serta baris kedua dan baris keempat. Perhatikan bunyi akhir pada tiap baris pantun di atas. Kalau dibaca, baris-baris itu merdu kedengarannya.

Dua baris pertama tidak mempunyai arti atau tidak ada pesan apa-apa kecuali hanya untuk mendapatkan persamaan bunyi. Berbeda dengan kedua baris selanjutnya. Isi atau pesan ada pada kedua baris itu.

Cobalah kamu buat pantun kalau kamu suka pantun.

Demikian sekilas keberadaan puisi dalam buku ajar bahasa In-donesia terbitan Balai Pustaka. Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa materi puisi (modern dan tradisional) yang disajikan dalam kedua buku itu (kelas 5 dan 6) cukup apresiatif walaupun masih ter-dapat beberapa kasus yang menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kesusastraan. Meskipun metode pembelajaran tidak disebutkan se-cara eksplisit dalam sajian pelajaran, pertanyaan dan tugas-tugas yang harus dijawab siswa yang disertakan dalam materi itu seakan-seakan telah menjelaskan sendiri apa sesungguhnya metode yang harus digu-nakan oleh guru. Selain itu, materi-materi tersebut juga mengindikasi-kan adanya keharusan siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan dinamis, sementara guru menduduki posisinya sebagai pembimbing, fasilitator, moderator, dan mitra belajar yang baik, baik dalam tahap apresiasi maupun ekspresi.

3.1.2 Prosa

(40)

(dalam 6 bab) yang ditetapkan sebagai bahan ajar itu pun tidak seluruhnya disajikan secara lengkap.

Karya yang disajikan lengkap hanya ada 4 buah (dalam bab 6, 8, 12, dan 15), yaitu (1) “Burung Balam dan Semut Merah” karya Andy Wasis, dimuat dalam buku Angsa Putih dan Ikan Mas, tanpa nama penerbit, (2) dongeng dari Timor “Dayang Ipu dan Sang Putri”, tanpa nama pengarang, dikutip dari majalah Asyik, Nomor 4, tahun 1993, (3) “Pesan Sang Putra Raja”, tanpa nama pengarang, dikutip dari majalah Bintang Kecil Seri SD Nomor 6, hlm. 18 dan (4) “Asal-Usul Pelangi” karya Siti Ajar Megawati, siswa kelas 5 SDN 1 Aimkel, Lombok (NTB), dimuat dalam majalah Asyik, Nomor 6, hlm. 20. Sementara itu, karya prosa yang berupa cuplikan cerita ada 1 buah (dalam bab 13), yaitu “Kebaikan Akan Selalu Menang” yang diambil dari cerita rakyat Jawa Ajisaka; sedangkan karya yang tidak disajikan dalam buku tetapi disampaikan (diceritakan) langsung oleh guru ada 1 buah, yaitu “Asal-Usul Tari Guel” dari daerah Gayo.

Ditinjau dari segi bobot literernya, cerita-cerita yang disajikan sebagai bahan ajar untuk kelas 5 relatif sesuai dengan tingkat kemam-puan, kebutuhan, pengalaman, dan daya bayang anak-anak seusia SD kelas 5. Di samping karena cara narasinya sederhana, alur cerita kronologis, diakhiri dengan happy sehingga mudah dipahami dan me-nyenangkan, juga karena cerita-cerita itu menampilkan tema “hitam-putih” yang berkaitan dengan sikap moral “baik-buruk”. Dengan de-mikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa dengan materi prosa semacam itu diharapkan para siswa akan memperoleh amanat atau pesan moral agar mereka selalu berbuat baik.

Berikut ini contoh cerita (bab 13, hlm. 149—152) sebagaimana dimaksudkan di atas. Cerita ini diambil (dicuplik) dari cerita rakyat Jawa Ajisaka.

Kebaikan Akan Selalu Menang

(41)

pemerintah Medang jatuh ke tangan Dewatacengkar, raja aneh yang tidak berperikemanusiaan. Ia gemar menyantap daging ma-nusia. Dan yang menjadi korban kekejamannya tidak lain adalah rakyatnya sendiri.

Dewatacengkar memiliki sebuah untaian bunga putih. Rakyat yang menerima untaian bunga tersebut keesokan harinya harus menyerahkan keluarga atau dirinya untuk menjadi korban. Perdana Menteri kerajaan pun sama kejamnya. Ia bukannya membela rakyat, tapi malah mendukung kelaliman Dewata-cengkar. Dialah yang mengalungkan bunga putih pada leher rakyat yang dipilihnya sebagai korban. Banyak rakyat yang mencoba melarikan diri. Namun banyak pula yang tak mampu menghindar. Mungkin karena kebiasaannya makan daging manusia, tubuh dan wajah Dewatacengkar berubah seseram raksasa jahat, dan kekuatannya luar biasa. Oleh karenanya tak seorang pun rakyat yang berani melawannya.

Sampai pada suatu hari ada serombongan rakyat yang men-coba melarikan diri dari Medang. Diam-diam mereka pergi menu-ju pantai dan mencari kapal. Di tepi pantai mereka bertemu dengan rombongan lain yang dipimpin oleh seorang pemuda yang tampak arif dan bijaksana bernama Ajisaka. Ternyata pemuda itu berilmu tinggi dan sangat sakti. Ajisaka heran ketika mendengar cerita rombongan pengungsi tentang kekejaman raja mereka. Timbul belas kasihan di hatinya. Ajisaka bertekad untuk menolong rakyat Medang.

Selepas rombongan pengungsi meninggalkan pantai, cepat-cepat Ajisaka memasuki wilayah negeri Medang. Ia sampai di rumah seorang wanita bernama Nyi Sumbi yang tinggal bersama anak perempuannya. Dari Nyi Sumbi Ajisaka memperoleh cerita yang sama.

“Kami juga sangat ketakutan,” ucap Nyi Sumbi gemetar. “Suatu hari rombongan Perdana Menteri pasti akan datang, dan menga-lungkan untaian bunga putih! Kami akan menjadi santapan raja!” Nyi Sumbi dan anaknya menangis dan berpelukan.

(42)

melempar untaian bunga ke pangkuan Nyi Sumbi. Namun, dengan sigap Ajisaka menangkapnya.

“Tidak!” potong Ajisaka. “Biar saya yang menggantikan Nyi Sumbi menjadi korban sajian Raja ....”

Mula-mula Perdana Menteri tercengang memandang laki-laki itu. Namun tak lama kemudian senyumnya mengembang. Ia ti-dak keberatan karena tubuh Ajisaka lebih sehat dan bersih diban-dingkan Nyi Sumbi dan atau anaknya.

Keesokan harinya Ajisaka menghadap raja. Ketika melihat Aji-saka yang tampan, raja langsung tertarik dan tak sabar untuk menyantapnya. Namun sebelum Ajisaka menyerahkan diri, ia me-nyampaikan sebuah permintaan kepada raja.

“Sebelum hamba mati, bolehkah hamba meminta sebidang ta-nah pada Tuanku?” pinta Ajisaka.

Dewatacengkar tertawa terbahak-bahak. “Tanahku sangat luas! ambillah semaumu!” sahutnya pongah.

“Saya hanya menginginkan tanah sepanjang sorban yang ham-ba kenakan ini, Tuanku,” jawab Ajisaka sambil membuka ikat kepalanya. “Hamba mohon Baginda ikut menghitung luas tanah. Silakan Tuanku menarik ujung sorban untuk mengukur panjang-nya.”

Sambil terus tertawa Dewatacengkar memenuhi permintaan Ajisaka. Ia mulai menarik ujung sorban. Ujung lainnya tetap di-genggam Ajisaka. Keajaiban kemudian terjadi.

Sejak sorban dibuka menjadi hamparan kain panjang, gulungan-nya tidak kunjung habis. Ia semakin panjang dan semakin pan-jang. Dewatacengkar terus menariknya. Ia berjalan mundur sam-pai keluar istana, melewati alun-alun, perbukitan, dan akhirnya sampai di tepi jurang tepat di sisi laut. Dan apa yang terjadi setelah itu?

(43)

Rakyat Medang yang menyaksikan peristiwa itu bersorak gem-bira. Penderitaan mereka berakhir sudah. Mereka lega. Kejahatan sudah ditumpas, dan kebaikanlah yang menang.

Tampak jelas bahwa cerita di atas sederhana, kronologis, mudah dipahami, dan berakhir dengan bahagia. Sebagai cerita yang bersifat “mendidik”, cerita tersebut memang cocok sebagai sarana pembinaan moral.

Sebagai sarana pembinaan moral, secara keseluruhan materi prosa dalam buku ajar kelas 5 memang dapat dikatakan tepat. Na-mun, ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kecenderungan tersebut. Persoalan itu muncul dari sebuah pertanyaan apakah sudah pada tempatnya pengajaran sastra dicam-puradukkan dengan pengajaran moral atau etika. Sebagai suatu peng-ajaran moral barangkali memang penting, tetapi sastra bukanlah aga-ma—sebagai sumber dari segala sumber moral—meskipun kedua-nya sama-sama berbicara tentang manusia. Kalau agama secara te-gas “mengatur” manusia karena di dalamnya berisi aturan dan dogma-dogma yang tidak boleh tidak manusia harus mematuhinya, sementa-ra sastsementa-ra secasementa-ra luwes “memberi pencesementa-rahan” karena ia lebih memper-soalkan nurani kemanusiaan manusia. Karena itu, dari sudut tinjau ini, pengajaran sastra bukanlah pengajaran moral, melainkan “penga-jaran hidup”.

(44)

sebagaimana digariskan dalam GBPP kelas 5, siswa diharapkan pula membaca cerpen dan novel anak-anak (lihat cawu 2).

Hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa pertanyaan dan tugas-tugas yang disertakan dalam materi-materi prosa tidak seluruh-nya mendukung tercapaiseluruh-nya tujuan pengajaran sastra. Pertaseluruh-nyaan- Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab siswa seringkali keluar dari konteks apresiasi atau ekspresi sastra. Sebagai contoh, setelah siswa ditugasi untuk membaca cerita “Kebaikan Akan Selalu Menang”, mereka diberi pertanyaan seperti berikut.

(1) Pernahkah kamu mendengar kerajaan Medang? Jika ya, di mana letak kerajaan Medang itu?

....

(3) Sebutkanlah kalimat-kalimat yang menunjukkan kejahatan Dewatacengkar!

(4) Apa hubungan cerita ini dengan alat angkutan? Kalimat yang mana yang menyatakan hubungannya dengan alat angkut-an?

(hlm. 152)

Pertanyaan serupa terjadi juga seusai siswa diberi tugas untuk membaca ringkasan cerita dari Timor berjudul “Dayang Ipu dan Sang Putri” berikut.

....

(3) Tuliskanlah ringkasan ceritanya. Bacakan di depan kelas. ....

(5) Tuliskanlah judul dongeng yang terkenal di daerahmu yang kamu ketahui.

(hlm. 92)

(45)

se-bagian sudah berupa ringkasan dari cerita lain—tugas meringkas itu seringkali justru “membunuh” siswa dalam hal minat baca sastra siswa. Di samping hal-hal di atas, ada sedikit perbedaan antara materi prosa dan materi puisi apabila dilihat dari sisi kesesuaiannya antara tujuan pengajaran dan kegiatan pembelajaran sastra di kelas 5. Mate-ri puisi dalam buku ajar kelas 5 lebih ditekankan untuk mencapai tujuan apresiasi dan ekspresi sehingga siswa dituntut untuk lebih kreatif dan dinamis, sementara sebagian besar materi prosa agaknya hanya di-arahkan untuk mencapai tujuan apresiasi. Oleh karena itu, terhadap materi prosa siswa tidak dituntut untuk lebih aktif dan kreatif karena kegiatan yang dilakukan hanya menyimak, membaca, dan memahami, tanpa dilanjutkan dengan proses kreatif seperti menulis atau menga-rang cerita.

Telah dikatakan di atas bahwa materi prosa dalam buku ajar kelas 5 seluruhnya berupa karya-karya tradisional (cerita rakyat, fa-bel, dongeng, dan mite). Hal itu berbeda dengan materi prosa yang disajikan dalam buku ajar kelas 6. Meskipun jumlah materi prosa dalam buku ajar kelas 6 lebih sedikit jika dibandingkan dengan materi prosa dalam buku ajar kelas 5, materi prosa dalam buku ajar kelas 6 telah mencakupi genre tradisional dan modern. Materi prosa tra-disional dalam buku itu ada 2 buah, yaitu “Kaktus Bertuah”, terjemah-an dongeng Mesir yterjemah-ang dikutip dari The Magig Cactus (bab/pela-jaran 4, hlm. 31—33) dan cerita rakyat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, tanpa judul (bab/pelajaran 12, hlm. 96—101). Sementara itu, prosa modern ada 3 buah, yaitu cerpen “Salah Terka” karya Mu-dhibah Utami, dimuat majalah Bobo, Nomor 42, Tahun XXI, 3 Fe-bruari 1991 (bab/pelajaran 5, hlm. 34—36); “Dia Suka Menggang-gu” karya Ingga Liamsi, tanpa keterangan sumber (bab/pelajaran 9, hlm. 76—78); dan “Menolong Ibu” karya Ingga Liamsi, Jakarta, 1995 (bab/pelajaran 11, hlm. 90—92).

(46)

masalah moral “baik-buruk”, tetapi berkaitan pula dengan masalah lain, misalnya pertanian (“Kaktus Bertuah”), kemandirian dan kerja keras (“Salah Terka”), kenakalan anak/remaja (“Dia Suka Meng-ganggu”), dan sebagainya. Sementara itu, dilihat dari segi isi, struktur, cara penceritaan, dan gaya bahasanya, cerita-cerita itu terasa sangat cocok bagi siswa kelas 6 karena pelaku-pelaku yang ditampilkan dalam cerita-cerita itu sebagian besar adalah anak-anak seusia mere-ka. Dengan demikian, materi cerita itu lebih menarik perhatian dan minat mereka karena dunia yang ditampilkan di dalamnya adalah dunia yang sangat dekat dengan mereka. Berikut inilah salah satu contohnya.

Dia Suka Mengganggu

Hari Senin pukul 08.00. Anak-anak kelas 6 sedang ulangan bahasa Indonesia. Keadaan kelas tenang sekali. Semua perhatian anak tercurah pada ulangan itu. Ibu guru mengawasi mereka sambil membawa buku.

“Tok ... tok ... tok ....” Tiba-tiba terdengar ketukan pintu perlahan.

“Bu, ada tamu dari Kanwil,” kata seorang petugas dari tata usaha sekolah.

“Dapat tunggu? Ibu sedang mengawasi ulangan.” “Diminta sekarang. Katanya penting.”

Ibu guru itu akhirnya meninggalkan kelas. Dia berpesan agar anak-anak bekerja sendiri-sendiri dan tidak ribut.

“Wah, susah. Masa ulangan pakai mengarang?” kata Otong tiba-tiba.

“Ssst ... jangan berisik,” kata teman sebangkunya. “Biar saja. Pinjam karanganmu!”

“Belum sampai,” jawab temannya.

Akhirnya, Otong meminjam kertas ulangan Made yang duduk di depannya. Temannya itu tidak memberi. Otong memaksa meng-ambil. Terjadilah tarik-menarik. Kertas ulangan sobek. Terjadilah keributan.

(47)

berikutnya, dia tetap suka ribut. Dia suka mengganggu teman-temannya.

“Kita harus cari akal untuk menghentikan kenakalan Otong,” kata Anggi pada suatu hari.

“Ya, dia itu sudah keterlaluan. Masa waktu ulangan bahasa itu, dia mau nyontek, maksa,” kata Monang.

“Iya. Sampai kertas ulangan Made sobek,” tambah Halimah. Sekelompok anak kelas 6 itu akhirnya sepakat untuk mengajar Otong. Ketika sedang istirahat ada yang mengajak Otong ke kan-tin. Otong dengan senang hati ikut. Apalagi, dia akan ditraktir.

“Terima kasih, Yudi!” kata Otong kepada Yudi. “Yah,” jawab Yudi.

Keduanya berjalan beriring meninggalkan kantin. Otong tam-pak gembira. Dia gembira karena dibelikan minuman kesukaan-nya. Es apokat.

“Tong, main dulu yok! Belum bel,” kata Yudi.

“Sebentar. Aku ambil permen dulu di tas,” jawab Otong. Yudi turun ke halaman. Otong masuk ke kelas. Ruang kelas kosong. Anak-anak beristirahat di luar semua. Otong berjalan men-dekati mejanya. Tiba-tiba jantung Otong berdetak lebih cepat. Kemarahannya meledak.

(48)

Bagaimana kemarahan Otong tidak meledak. Dia melihat tas dan isinya berantakan. Buku-buku dan alat tulisnya berserakan di meja, di kursi, dan di lantai. Bahkan, penggaris dan pensilnya patah-patah.

Otong berlari ke luar. Dia akan mencari dan menghajar teman yang dia curigai. Pada saat itu bel berbunyi. Waktu istirahat habis. Teman-teman Otong berlari-lari masuk kelas. Otong mencegat mereka di pintu. Otong menanyai siapa yang mengacak-acak tas-nya. Temannya tidak ada yang mengaku.

Keributan di pintu itu hampir terjadi. Otong sudah bersiap me-mukul Monang. Tiba-tiba Ibu Guru datang. Ibu Guru melerai mereka. Anak-anak diminta masuk kelas.

Setelah anak-anak duduk tenang, Ibu Guru minta penjelasan. Mengapa mereka akan berkelahi. Setelah mendengar penjelasan Otong dan teman-temannya, Ibu Guru itu tersenyum. Dia me-ngerti mengapa tas Otong berantakan oleh ulah teman-temannya. “Kalian tak boleh main hakim sendiri. Yang berhak menghu-kum Otong adalah Ibu.”

“Ya, Bu,” jawab anak-anak serentak. Mereka tampak merasa bersalah. Mereka duduk tenang. Kedua tangan bertumpu di atas bangku. Kepala menunduk.

“Otong, bagaimana perasaanmu? Kamu marah ketika melihat tasmu diacak-acak temanmu?”

“Ya, Bu. Saya ingin memukul mereka!” “Kamu marah sekali?”

“Ya, Bu. Marah sekali!”

“Nah, seperti itulah perasaan temanmu ketika kamu ganggu.” Otong kaget mengapa ibu gurunya berkata begitu. Kepala Otong menunduk. Dia berpikir. Dia kurang mengerti kata-kata gurunya itu. “Kalau kamu tidak mau diganggu temanmu, jangan kamu gang-gu temanmu! Kamu mengerti, Otong?”

“Ya, Bu.”

Otong mulai mengerti apa yang dimaksudkan gurunya. Kepa-lanya masih menunduk. Dia belum berani memandang wajah guru dan wajah teman-temannya. Dia malu.

(49)

Selain tema-temanya lebih modern dan dunia yang ditampilkan di dalamnya lebih dekat dengan dunia anak sehingga menarik minat mereka, cerita-cerita yang dipergunakan sebagai bahan ajar sastra itu juga dilengkapi dengan beberapa pertanyaan yang mengarahkan akal, pikiran, dan perasaan siswa untuk lebih mendalami isi cerita. Berikut ini beberapa pertanyaan yang cukup apresiatif yang harus dijawab siswa seusai ditugasi membaca dan memahami cerita “Dia Suka Meng-ganggu”.

(1) Apakah kenakalan Otong?

(2) Otong anak yang pandai atau kurang pandai? Berikan alasanmu.

(3) Bagaimana cara menghentikan kenakalan Otong?

(4) Mengapa Yudi mengajak Otong ke kantin atau warung sekolah?

(5) Mengapa Otong marah-marah ketika kembali ke kelas? (6) Apakah arti ungkapan “tak boleh main hakim sendiri”? (7) Penjelasan apa yang diminta oleh ibu guru kepada

anak-anak?

(8) Mengapa Otong tidak berani memandang wajah gurunya? (9) Gantilah judul cerita “Dia Suka Mengganggu” dengan judul

yang kamu sukai”.

Di samping itu, cerita tersebut juga dilengkapi dengan beberapa tugas yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan imajinasi dan ekspresi kreratifnya. Tugas tersebut seperti berikut.

Dalam cerita “Dia Suka Mengganggu” dilukiskan kegemaran Otong. Otong gemar mengganggu temannya. Bolehkah kenakalan Otong ditiru?

Tentu kamu mempunyai pengalaman yang menarik. Peng-alaman yang tidak merugikan temanmu. Misalnya, menolong orang atau teman, bermain sepak bola, atau hal lain yang baik.

Ceritakanlah pengalaman itu di hadapan teman-temanmu. Berceritalah selama kira-kira lima menit.

Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat membantu kamu. a. Apa judul ceritamu?

(50)

c. Apa tindakan atau apa yang kamu lakukan?

d. Alat atau benda apa yang kamu perlukan untuk melakukan pertolongan itu?

e. Dengan siapa kamu melakukan pertolongan?

Hal serupa terjadi juga dalam sajian materi prosa lain selain ce-rita di atas. Bahkan, berdasarkan pengamatan seksama, materi sastra khususnya yang disajikan dalam pelajaran 12 (hlm. 96—103) sangat baik bagi siswa karena melalui materi yang berupa cerita rakyat dari Lombok (NTB) itu siswa diajak untuk melatih kepekaan imajinasi dan ketajaman pikiran. Di samping siswa diberi tugas untuk berdiskusi tentang isi dan struktur cerita, mereka juga diberi kesempatan untuk meneruskan cerita yang belum selesai.

Demikian antara lain keberadaan materi prosa dalam buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar kelas 5 dan 6 terbitan Balai Pustaka. Meskipun materi yang disajikan dalam bubuku itu dirasakan ku-rang, di sisi tertentu mereka (para siswa) telah diarahkan untuk men-coba mencintai sastra secara lebih suntuk. Bahkan, melalui bahan-bahan ajar itu para siswa juga dibimbing untuk melakukan kegiatan bagaimana cara yang baik untuk memahami (mengapreasi) dan ber-ekspresi sastra. Apalagi dalam buku-buku itu juga disajikan gambar-gambar visual—dalam hal ini siswa ditugasi untuk mengekspresikan gambar itu baik secara lisan maupun tulis—sehingga siswa mau tidak mau harus mencoba untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya.

3.1.3 Drama

(51)

disa-jikan dalam pelajaran 12 (hlm. 133-139)—ketika membicarakan tema pekerja sosial—yaitu menyusun (mengubah) dongeng rakyat dari Irak yang berjudul “Pesan Sang Putra Raja” menjadi naskah sandiwara dan mendramatisasikannya. Sementara itu, selama di kelas 6, para siswa hanya disuguhi sekali pelajaran drama. Materi itu disajikan da-lam pelajaran 14 (hlm. 119—122), yaitu bermain drama dengan judul “Koran, Koran” karya Ingga Liamsi.

Ada kecenderungan bahwa sebagai bahan ajar di sekolah dasar, karya sastra yang berupa drama seolah-olah hanya diberi pengertian sebagai suatu dialog atau percakapan, bukan sebagai serangkaian seni panggung yang berawal dari naskah sampai pada pemanggung-annya. Oleh karena itu, materi-materi drama yang disajikan dalam buku tersebut tidak disertai dengan materi lain yang berupa berbagai persyaratan yang berkaitan dengan konteks (setting) yang memba-ngun suasana pementasannya. Tidak dapat disangkal bahwa memang pengertian drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog. Namun, tidak hanya dialog itu saja yang penting, tetapi juga bagaimana dialog itu dikemas di atas pentas sehingga menjadi sebuah pertunjukan seni yang khas dan memikat.

Berikut ini contoh materi drama (pelajaran 7, hlm. 81—83) yang hanya berupa percakapan yang disertai dengan beberapa tugas yang harus dilakukan dan pertanyaan yang harus dijawab siswa.

G. Mari Kita Bersandiwara

1. Bacalah percakapan dari beberapa tanaman berikut ini!

Di sebuah kebun tumbuhlah berbagai jenis tanaman. Semua tum-buh dengan asri. Udara sekitar kebun sejuk dan nyaman. Pada suatu hari terdengar percakapan di kebun itu.

Pohon Sawo, sambil menggeliat berkata: “Aku heran. Untuk apa kamu ditanam, Wuluh? Buahmu amat masam. Mana ada orang yang mau memakanmu?” Pepaya : “Betul Wo, Belimbing Wuluh tak ada gunanya.

(52)

men-Belimbing Wuluh: “Siapa bilang aku tak berguna? Orang memakai buahku untuk bumbu ikan. Aku dapat dijadikan obat batuk. Hebat,... kan. Kamu Sawo, kulitmu gelap cokelat, jelek.”

Sawo : “E, e, e, buahku yang masak manis. Semua orang senang memakannya. Buahku yang muda obat desentri yang manjur. Coba parut dan duh dengan air mendidih satu cangkir. Minum hangat-hangat. Desentri segera lenyap.” Pepaya : “Tetapi engkau masih kalah denganku Wo.

Buahku manis, dapat dimakan begitu saja. Daun muda dan buahku untuk sayur. Akulah pohon yang paling berguna.”

Sawo : “Kamu hanya tanaman pangan!” (ejek Sawo). Pepaya : “Eh siapa bilang. Daunku dapat dijadikan obat

malaria.”

Meniran : “Betul tetapi harus dicampur dengan daunku, daun meniran.”

Beluntas : “Dan dengan daunku.”

Pohon Aren : “Iya. Daun-daun rebus itu harus dicampur dengan gula aren. Baru jadilah obat malaria itu.” Jeruk Nipis : “Sudahlah aku yang paling hebat. Buahku dapat

mengobati segala macam penyakit.”

Kunyit : “Salah, akulah yang paling berguna. Untuk sak bisa, untuk obat bisa.”

Jeruk Nipis : “Obat apa?”

Kunyit : “Wah banyak penyakit. Demam, panas, sakit perut, penyakit apa saja.”

Jambu Biji : “Bohong. Yang benar, daunkulah yang dapat menghentikan mencret. Tentu setelah pur dengan petai cina, jahe, dan kencur buk, lalu diseduh dengan air panas.”

(53)

Kunyit, Sawo, dan lain-lainnya: “Sssst ... Ada orang datang. Hayo, kita lihat. Siapa yang dia cari? Pasti dialah yang paling hebat.”

Anak laki-laki : “Ayah, kebun ini seperti hutan saja. Mengapa tidak kita bersihkan saja?”

Ayah : “Usulmu baik, Nak. Tetapi hati-hati ya. Rumput pun berguna untuk obat.”

Anak : “Rumput untuk obat?”

Ayah : “Oh, ya. Akar alang-alang, tumbuhan liar seperti meniran dan orangaring berguna. Tanaman pagar seperti beluntas dan kumis kucing berguna untuk obat.”

Anak : “Jadi tanaman ini semua berguna?”

Ayah : “Ya. Untuk obat tradisional biasanya diperlukan berbagai tanaman. Masak pun memerlukan bagai tanaman. Jadi tanaman di kebun ini hebat semua.”

Anak : “Kalau begitu hebat sekali kebun Ayah ini, seperti Waserba saja!”

Ayah : “Apa itu?”

Anak : “Warung serba ada.”

2. Berlatihlah dalam kelompok yang terdiri dari sebelas orang. Aturlah bersama siapa yang akan berperan sebagai “sawo, belimbing wuluh, pepaya, dan seterusnya.” (15 menit)! Jadikan drama dua babak. 3. Setelah berlatih maka dramatisasikan di depan kelas secara

bergan-tian (3 atau 4 kelompok).

4. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas! (1) Apa judul sandiwara ini yang paling tepat?

(2) Apa yang ingin disampaikan penulis pada kita semua? (3) Sifat-sifat apakah yang ada dalam bacaan di atas? Jelaskan

jawabanmu.

(4) Mengapa semua isi kebun berguna?

(5) Dari bacaan di atas, tanaman apa yang paling berguna me-nurut pendapatmu?

(54)

latih bercakap-cakap sesuai dengan peran masing-masing dalam ke-lompok. Jika hanya itu saja yang dilakukan, tentu saja pembelajaran drama akan gagal karena tidak ada petunjuk bagaimana cara meme-rankan tokoh sesuai dengan karakter masing-masing. Selain itu siswa juga tidak diberi kesempatan untuk menghayati secara lebih suntuk karena faktor-faktor pendukung seperti gambaran tentang setting, vokalisasi, dan sebagainya tidak disertakan dalam bahan ajar atau materi itu.

Hal serupa terjadi juga ketika siswa diberi tugas untuk menyusun (mengubah) cerita menjadi sebuah naskah sandiwara (lihat pelajaran 12, hlm. 133—139) dan memerankannya. Di samping hanya diberi tugas untuk mengubah, memerankan, dan menjawab satu pertanya-an—apa pesan utama cerita di atas—siswa juga tidak diberi peluang untuk mendalami, menghayati, sekaligus mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam proses transformasi atau pengalihbentukan sastra. Dengan demikian, jika diharapkan pembalajaran drama berhasil, setidaknya guru diwajibkan untuk mengisi kerumpangan-kerumpangan yang terjadi.

Materi drama yang agaknya cukup representatif terdapat dalam buku ajar kelas 6. Meskipun materi drama hanya diberikan sekali dalam setahun (pelajaran 14, hlm. 119—124), siswa kelas 6 telah diberi peluang lebih luas untuk secara sungguh-sungguh menggeluti drama. Selain naskah yang disajikan dalam buku itu cukup baik, dalam arti sebagai naskah telah memenuhi syarat, siswa juga diajak untuk membaca, memahami, menghayati isi dan struktur, mementaskan, bah-kan juga ditugasi untuk mengamati drama di televisi untuk kemudian diceritakan dan dianalisis isi dan bentuknya. Oleh karena itu, melalui materi tersebut, siswa benar-benar menjadi seorang yang kreatif dan dinamis.

Gambar

gambar dua orang anak yang tengah mengadakan percakapan me-

Referensi

Dokumen terkait

Temuan penelitian menunjukkan bahwa (a) muatan materi sastra yang disajikan dalam buku teks berupa puisi baru, puisi lama atau pantun, novel, cerita pendek, dan

Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada guru mata pelajaran bahasa Indonesia untuk dapat menggunakan puisi pada kolom sastra harian Lampung Post ini sebagai alternatif bahan

Hasil penelitian ini adalah (1) teks sastra yang terdapat pada buku siswa Bahasa Indonesia kelas XI SMA adalah teks cerpen, pantun, syair, gurindam, puisi, dan cerita ulang;

Perrkuliahan ini terdiri dari; jenis-jenis buku ajar; dasar penyusunan buku ajar; komponen-komponen buku ajar; komponen kurikulum dan silabus mata pelajaran bahasa Sunda;

Keseluruhan tampilan pada bahan ajar Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia sangat menarik, bahan ajar Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia menggunakan bahasa yang

1) Terdapat tiga puisi yang menjadi bahan ajar dalam buku teks Bahasa Indonesia untuk kelas VI. Puisi Perempuan-perempuan perkasa menggunakan gaya bahasa yang cukup

Buku ini disusun sebagai salah satu upaya menyediakan bahan ajar bahasa Sentani di sekolah yang bisa dipakai oleh pengajar sebagai panduan dalam kegiatan

Dengan demikian untuk mencari relevansinya dalam pembelajaran, maka tradisi lisan mantra dapat digunakan sebagai bahan ajar dalam mata pelajaran bahasa dan sastra