Registrasi dan Pengakuan Wilayah Adat
1 Oleh: Kasmita Widodo2Pendahuluan
Eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang secara massive dilakukan sejak rezim Orde Baru telah menimbulkan banyak konflik tenurial di berbagai wilayah. Pemerintah merampas tanah, hutan dan sumber – sumber penghidupan masyarakat adat lainya melalui konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Pemerintah mengabaikan identitas masyarakat adat yang memiliki hak, hak karena mereka memiliki sejarah, budaya yang panjang serta hak bawaan atas wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya. Pengabaian yang dilakukan pemerintah selama bertahun – tahun mendorong bangkitnya kesadaran dan perlawanan masyarakat adat agar pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat serta wilayahnya melalui pemetaan partisipatif.
Peta wilayah adat yang dihasilkan dari proses pemetaan partisipatif atau pemetaan komunitas memiliki dua dokumen penting, yaitu data spasial dan sosial. Peta ini menggambarkan relasi antara komunitas-komunitas adat dengan ruang hidupnya (wilayah) yang ditunjukkan melalui penggunaan lahan dan perairan berdasarkan tradisi
dan budaya yang dimiliki. Hal ini menjadikan peta wilayah adat sebagai counter
mapping terhadap peta-peta yang dihasilkan oleh pemerintah. Selama ini, peta-peta kehutanan, pertambangan dan sektor lainya secara nyata ditujukan untuk mengekploitasi sumber daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara dalam peta masyarakat adat bisa terlihat sistem pengelolaan “ruang” yang menunjukan keberlanjutan karena berdasar pada dimensi budaya, religi dan keberlanjutan layanan alam bagi masa depan.
Lebih dari 20 tahun keberadaan peta-peta wilayah adat tidak memiliki tempat yang berarti dalam kancah pemetaan di Indonesia. Hanya peta yang dihasilkan oleh pemerintah atau melalui konsultan pemerintah yang memproduksi peta untuk kepentingan proyek pemerintah yang dianggap sah secara metodologi. Sementara peta – peta yang dihasilkan oleh masyarakat adat maupun komunitas terus dipertanyakan secara metodologi. Bahkan Badan Informasi Geospasial (BIG) pun sekalipun tidak memiliki aturan siapa yang seharusnya menjadi wali data atas peta wilayah adat. Termasuk tidak adanya mekanisme, aturan dan lembaga khusus soal pendaftaran (registrasi) peta – peta masyarakat adat tersebut. Tidak adanya kementerian dan lembaga pemerintah yang dimandatkan mengurus pemetaan wilayah adat menjadi satu bukti pengabaian Negara terhadap hak-hak masyarakat adat atas ruang hidupnya.
Registrasi Wilayah Adat
Ketiadaan mekanisme dan lembaga yang bertanggung jawab untuk meregistrasi peta wilayah adat menyebabkan pemerintah tidak mengetahui keberadaan masyarakat adat dan situasi tenurial wilayahnya. Ini memiliki konsekuensi yang luas, tidak hanya soal
1Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Kabar JKPP 20. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.
Desember 2015
perampasan tanah dan kekayaan alam tapi juga pengabaian terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat. Perijinan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah mengsumsikan bahwa wilayah tidak “bertuan”, tidak ada pemiliknya, tidak ada kehidupan. Ketika terjadi konflik yang ditimbulkan dari pemberian ijin kepada perusahaan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah di wilayah-wilayah adat, Pemerintah dengan mudah merespon konflik tersebut dengan jawaban “belum ada pengakuan masyarakat adat”. Padahal konstitusi dan peraturan perundangan sudah cukup banyak mengatur mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Berdasar pada permasalahan tersebut, mendorong lahirnya Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang memiliki fungsi diantaranya mengumpulkan semua peta-peta wilayah adat yang ada di Indonesia, mengambil peran dalam mengkomunikasikan hasil peta kepada pemerintah, mendorong pemahaman yang sama serta menjadikan peta menjadi rujukan oleh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.
Proses pendaftaran wilayah adat sudah dimulai sejak tahun 2010. BRWA membangun sistem registrasi dan verifikasi wilayah adat sebagai upaya untuk penyiapan kelengkapan data spasial dan sosial termasuk didalamnya proses verifikasi metodologi pemetaan dan kelengkapan sejarah klaim batas-batas wilayah adat. Menyampaikan peta – peta wilayah adat secara regular yang sudah terregistrasi (minimal dua kali setahun) kepada pemerintah, dan mempublikasikannya menjadi bagian penting untuk menghadirkan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Ini menjadi awal kontestasi peta wilayah adat hadir ditengah peta-peta tematik yang diproduksi oleh pemerintah, perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya.
Indikasi luas wilayah adat di Indonesia hasil analisis AMAN, BRWA, JKPP dan SEKALA tahun 2014 mencapai lebih dari 40 juta hektar. Walaupun masih sedikit luasnya dari peta indikasi tersebut, paling tidak pada saat ini ada 608 peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang pada bulan Agustus 2015 telah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Situasi kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang terdaftar di BRWA dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan
Tumpang Tindih Wilayah Adat
dalam menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai upaya untuk pengakuan hutan adat. Ini menunjukkan mulainya denyut hidup peta wilayah adat dalam kancah kebijakan di Indonesia. Ini perlu terus dikawal oleh masyarakat adat, mengingat pertama, PIAPS ini tidak memasukkan areal yang sudah ada ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta konflik tenurial di kawasan hutan, dan ketiga, perlu diperiksa kembali peta kawasan hutan dengan peta penggunaan lahan masyarakat adat.
Advokasi pengkuan hutan adat sebuah titik masuk bagi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat secara utuh, karena masih perlu kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan wilayah. Jalan ini dipilih walau bukan hal mudah mendorong pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan daerah untuk pengakuan masyarakat adat. Sejalan dengan gerakan itu, masyarakat adat dan pendukungnya memperluas pemetaan wilayah adat dengan basis dokumentasi peta wilayah adat dengan sistem dokumentasi dan registrasi BRWA. Hal ini untuk menguatkan ketersediaan data dan informasi yang memadai dalam penyusunan naskah akademik peraturan daerah maupun keputusan bupati yang mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Pada November 2015 perwakilan masyarakat adat Dayak Loksado berdialog dengan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Provinsi Kalimantan Selatan pada November 2015. Komunitas Dayak Loksado dan pendampingnya menyampaikan usulan kepada DPRD untuk memasukkan program legislasi daerah mengenai pangkuan masyarakat adat Dayak Loksado untuk pembahasan tahun 2016. Ketua Balegda menyampaikan perlu dibuat indikasi peta wilayah adat dan 41 profil balai (satuan wilayah) yang ada di wilayah adat Loksado. BRWA bersama tim Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalsel mendokumentasikan keberadaan 41 balai dengan pendekatan registrasi wilayah adat.
Sumber: Data SLPP Kalsel, BRWA, diolah.
Gambar 1. Peta indikatif wilayah adat dan sebaran balai Dayak Loksado
Peta Kerja Pengurusan Masyarakat Adat
Pertengahan November ini, lahir kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, dan Kulawi di Kabupaten Sigi yang melampirkan peta wilayah adat hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat. Ini sebuah kemajuan yang berarti bagaikan kelip lampu ditengah gelapnya tindakan politik dan hukum pemerintah terhadap masyarakat adat. Namun, ini belum cukup! Nawacita pemerintahan Jokowi diantaranya mengawal lahirnya UU pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta membentuk komisi independen yang mengurus masyarakat adat perlu dipastikan bersama.
Pengurusan masyarakat adat tidak bisa melalui kebijakan sektoral seperti yang selama ini terjadi. Perlu ada UU Masyarakat Adat karena setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi, Arizona (2013) menyatakan bahwa pertama untuk mengatasi
masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan,
memperjuangkan dan memulihkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan maupun oleh pemerintah. Kedua, karena regulasi yang mengatur tentang masyarakat sampai saat ini belum memadai.
menjelaskan, “Presiden Jokowi berjanji segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat untuk melindungi dan menjadi jembatan rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara, serta hak-hak masyarakat adat”.
Dalam pengurusan hak-hak masyarakat adat, keberadaan peta wilayah adat sangat penting. Pelaksanakan kebijakan pengakuan hutan adat, penyusunan kebijakan daerah untuk pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, dan pembentukan Satgas Masyarakat Adat memerlukan sistem informasi wilayah adat yang memadai dan dapat diakses publik. Peta wilayah adat yang terdaftar dan sudah dilakukan verifikasi oleh BRWA dapat menjadi peta kerja bagi kementerian dan lembaga pemerintah. Selain KLHK dengan PIAPS dan beberapa pemerintah daerah yang menggunakan peta terdaftar di BRWA sebagai peta kerja, perlu diperluas integrasi peta wilayah adat ke dalam peta pengurusan masyarakat adat di kementerian dan lembaga. Satgas Masyarakat Adat yang dijanjikan Presiden Jokowi enam bulan lalu, tugas pertamanya adalah mempercepat kebijakan satu peta yang dapat mengintegrasikan peta wilayah adat sebagai rujukan seluruh pengurusan masyarakat adat.
Rujukan
Arizona, Y. “Mengapa Undang-Undang Masyarakat Adat Dibutuhkan?”. 15 November 2015.
http://www.hukumpedia.com/yancearizona/mengapa-undang-undang-masyarakat-adat-dibutuhkan
Widodo, K. et al. 2015. “Pedoman Registrasi Wilayah Adat Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)”. BRWA. Bogor.
“_______”. “Presiden Jokowi Akan Bentuk Satgas Masyarakat Adat” 15 November 2015.