• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Publik Dalam Pembangu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kebijakan Publik Dalam Pembangu"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kebijakan Publik

Dalam Pembangunan Daerah

Said Zainal Abidin

I. Pendahuluan

Sebagai mana halnya dengan pengertian pembangunan pada umumnya, pembangunan daerah juga merupakan persoalan yang multi-dimensi. Banyak aspek yang terkait, banyak pihak yang terlibat, dan karena itu banyak kepentingan, kekuasaan dan kecenderungan dari masing-masing pihak yang berpengaruh dan mesti dipertimbangkan dalam pembahasan pembangunan daerah.

Yang perlu dicatat, bahwa yang dimaksudkan dengan daerah disini adalah wilayah dalam lingkup sebuah negara, seperti Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Jogyakarta, Daerah Otomi Khusus NAD dan sebagainya, bukan wilayah (regional) dalam lingkup internasional, seperti ASEAN, AFTA, NAFTA dan lain-lain. Catatan ini diperlukan, karena ada perbedaan yang harus diindahkan berkaitan dengan kewenangan dalam pengaturan dan pendekatan yang dipakai antara daerah dalam lingkup sebuah negara dan wilayah dalam lingkup internasional dimaksud.

Karena berada dalam yurisdiksi administrasi satu negara, batas satu daerah dengan daerah lain tidak terlihat secara nyata. Maksudnya, meskipun batas administratif antara satu daerah dengan daerah lain itu ada, namun tidak boleh ada hambatan dalam perjalanan orang dan perpindahan barang antar daerah dalam satu negara. Baik itu batasan dalam bentuk kuota ataupun pengenaan pajak bea masuk dalam perdagangan. Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari adanya kesatuan sistem administrasi dan fiscal dalam sebuah negara (kecuali ada ketentuan lain !).

(2)

pembentukan negara yang menentukan keberadaan sesuatu daerah dalam negara tersebut. Daerah-daerah itu dalam pasal 18 UUD 45 disebut sebagai daerah-daerah yang bersifat otonom, yang diatur dengan perlakuan khusus dalam bidang administrasi yang ditetapkan dengan undang-undang (UUD ’45 pasal 18).

Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah ini selanjutnya mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dari sesuatu kebijakan publik atau karena pengaruh eksternal yang tak dapat dikendalikan, sehingga menimbulkan kecenderungan perubahan-perubahan baru. Perubahan itu boleh jadi mengarah pada pemerataan, atau sebaliknya mengarah pada diskripansi yang makin melebar. Dalam kajian perencanaan pembangunan daerah (regional planning) kecenderungan diskripansi pembangunan antar daerah (regional disparities) ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Alasannya, tanpa ada sesuatu kebijakan yang bersahaja untuk mencegahnya, proses pembangunan yang berlangsung sering mengakibatkan diskripansi atau ketimpangan ini cenderung makin lebar.

Keterbukaan hubungan antar daerah dalam satu negara menyebabkan adanya interdependensi antar daerah, baik diantara sesama daerah miskin maupun antara daerah kaya dengan daerah miskin. Hubungan antara daerah kaya dengan daerah miskin ini biasanya membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi daerah-daerah miskin. Masalahnya terletak pada perbedaan kemampuan dan daya tarik yang lebih besar dari daerah kaya.

(3)

the rich and down-ward to the poor).. (Gunnar Myrdal, 1967; dan Hirschmann, 1958). Dengan demikian, trickle-down effect dari daerah kaya ke daerah miskin sebagaimana banyak diharapkan dalam hubungan ini, tidak pernah dapat terjadi. Yang terjadi justeru sebaliknya, yakni trickle-up effect. Kecuali, kalau ada intervensi pemerintah melalui kebijakan yang bersifat affirmative yang secara bersahaja diadakan untuk mencegah terjadinya trickle-up itu.

Berhubung dengan itu, berbagai strategi pembangunan daerah telah dilaksanakan banyak negara untuk mencegah kecenderungan diskripansi yang makin melebar guna mewujudkan pemerataan. Negara-negara sosialis dan beberapa negara berkembang yang mengikutinya, mulai menerapkan sistem perencanaan pembangunan itu sejak sesudah Perang dunia II. Pelaksanaan perencanaan itu dilakukan dibawah koordinasi sebuah badan perencanaan pembangunan nasional. Sementara negara-negara lain yang menganut sistem pasar, melakukannya melalui sistem pasar bebas dengan pengarahan dan intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan fiscal, moneter dan lain-lain.

II. Masalah: Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Ketimpangan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai indikator, seperti perbedaan tingkat pendapatan antar daerah (regional income disparities), indeks kualitas hidup phisik (PQLI), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), jumlah dan persentase penduduk miskin, persentase tingkat pertumbuhan ekonomi, harapan hidup rata-rata, tingkat kepadatan penduduk dan lain-lain. Dasar dari penggunaan indikator-indikator ini bermula dari pertimbangan untuk melengkapi penggunaan indikator-indikator pendapatan per kapita dalam mengukur tingkat perkembangan pembangunan daerah.

(4)

cenderung bersifat komersial. Artinya, yang dihitung adalah barang atau jasa yang mempunyai nilai pasar. Jasa atau barang-barang yang tidak mempunyai nilai pasar tidak termasuk dalam perthitungan tersebut. Jasa seorang ibu rumah tangga tidak diperhitungkan, sementara jasa pembantu rumah tanga termasuk dalam perhitungan pendapatan per kapita.

Ketimpangan-ketimpangan yang ditunjukkan oleh indikator-indikator tersebut menunjukkan derajat permasalahan pembangunan daerah dalam suatu negara. Ketimpangan antar daerah ini tidak selalu sama sepanjang waktu, tetapi berubah mengikuti suatu trend yang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pembangunan nasional dan daerah dalam suatu negara

1. Ketimpangan pendapatan internal antar golongan dalam masyarakat

(5)

tidak dipandang sebagai suatu profesi yang mesti dipergunakan dalam menjalankan pemerintahan. Administrasi modern masih dipandang sebagai commonsense yang tak perlu didalami.

Kecenderungan strategi pembangunan dari kolonial Belanda untuk memanfaatkan sumber alam dari luar pulau Jawa dengan menggunakan tenaga kerja dari Pulau Jawa untuk dieksport keluar negeri nampaknya juga tetap menjadi pegangan pemerintah Indonesia dalam bentuk yang sedikit berbeda selama masa Orde Baru. Pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan orintasi yang lebih mengutamakan pasar luar negeri, ketimbang memanfaatkan daya beli potensial yang ada di dalam negeri. Berbagai fasilitas disediakan untuk industri-industri penghasil barang eksport. Dengan harapan mendapatkan devisa yang lebih banyak. Fasilitas atau kemudahan itu antara lain meliputi bea masuk barang modal, bahan baku, pelayanan investasi dengan kemudahan dalam mendapatkan lokasi usaha, fasilitas perkreditan dan upah buruh murah.

Agar buruh yang upahnya murah itu dapat hidup, harga bahan makanan hasil pertanian dijaga pada tingkat harga yang relatif sangat murah. Ini berarti pendapatan petani dalam negeri menjadi rendah. Jika terdapat kecenderungan harga naik, karena permintaan yang meningkat lebih tinggi dari jumlah penawaran yang ada, diupayakan untuk mengganjalnya dengan mengimport barang tersebut dari luar negeri dengan harga yang tentu saja lebih tinggi untuk kemudian dijual pada tingkat harga yang rendah. Dengan cara demikian, secara tidak langsung pemerintah telah memberi subsidi kepada pembeli dalam negeri (buruh dan pegawai negeri), yang sekaligus juga kepada petani dari luar negeri dengan mengorbankan kesempatan mendapatkan keuntungan kepada petani dalam negeri. Bentuk dari kebijakan yang demikian juga dapat disebutkan sebagai subsidi silang dari petani miskin dalam negeri kepada pengusaha industri barang eksport yang kaya dan pertani luar negeri.

(6)

Tabel - 1

Rata-rata Pendapatan per kapita

Golongan Rumah Tangga di Indonesia(1985 - 1999) (ribu rupiah)

Golongan rumah tangga 1985 1990 1993 1995 1998 1999

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

(7)

Tabel - 2

Perbandingan Relatif Rata-Rata Pendapatan per kapita Golongan Rumah Tangga di Indonesia (1985 - 1999) 1)

(diolah dari Tabel 1)

Golongan rumah tangga 1985 1990 1993 1995 1998 1999

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Rumah tangga buruh tani 2. Rumah tangga petani gurem 3. Rumah tangga pengusaha

pertanian dengn lahan 0,5 – 1.0 ha

4. Rumah tangga pengusaha pertanian dengan lahan > 1 ha

5. Rumah tangga bukan

pertanian golongan rendah desa

6. Rumah tangga bukan

angkatan kerja desa

7. Rumah tangga bukan

pertanian golongan atas desa

8. Rumah tangga bukan

pertanian golongan rendah kota

9. Rumah tangga bukan

angkatan kerja kota

10. Rumah tangga bukan pertanian golongan atas kota

0.27

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2001

1). Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga bukan pertanian golongan atas

kota (10) sebagai 1.00

(8)

tangga golongan bukan pertanian rendah kota dan desa secara relatif tetap (seperti yang diperlihatkan dalam Tabel–2).

Ini menunjukkan, bahwa yang mengalami pemiskinan relatif selama masa itu adalah kalangan petani, karena hasil usaha pertanian mengalami penurunanan harga yang relatif cukup signifikan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka.

Kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan tertekannya tingkat pendapatan petani sebagai golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia, bukan saja telah mempersempit pasar dalam negeri, bahkan juga telah mematikan inisiatif kearah modernisai sektor pertanian. Artinya, para investor tak akan tertarik untuk berinvestasi dalam sektor pertanian tradisional.

2.Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah

Selain ketimpangan pendapatan internal dalam satu daerah, juga terdapat ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Ketimpangan ini timbul sebagai akibat dari kondisi alam, alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. Salah satu model yang biasa dan dianggap cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita itu adalah indeks ketimpangan daerah (index of regional inequality) yang dikemukakan Jeffrey G. Williamson (1965).

(9)

(

)

y n f y y Vw

i

r i

=

2

= penduduk dari tiap daerah masing-masing

i

f

n = jumlah penduduk negara yang bersangkutan

yi = pendapatan per kapita dari daerah-daerah yang bersangkutan

y = pendapatan per kapita nasional

Dengan menggunakan rumus atau model Williamson ini, kita mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah selama beberapa tahun di Indonesia (Lihat Tabel 3 !) Karena jumlah penduduk masing-masing daerah di Indonesia sangat variatif, model ketimpangan tertimbang menjadi lebih relevan. Dengan demikian, penjelasan tentang kecenderungan meningkat atau menurunnya ketimpangan tersebut dapat dijelaskan dengan memperhatikan pada besarnya penyebut atau pembagi dari penduduk daerah-daerah yang bersangkutan.

Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah selama masa awal dan akhir Orde Baru ditunjukkan disini (Tabel 3) dalam tiga perhitungan yang berbeda yang dilakukan dengan menggunakan model tersebut. Meskipun angka-angka indeks dari masing-masing perhitungan itu tidak sama karena mungkin berbeda dalam penggunaan data, tetapi ketiganya menunjukkan adanya trend yang serupa. Ketiga perhitunga itu adalah, pertama yang dilakukan oleh Hendra Esmara1 berlaku antara tahun 1968 sampai dengan tahun 1972. Kedua, yang dilakukan oleh Soeeroso2 antara tahun 1971 sampai tahun 1976. Ketiga adalah yang dilakukan penulis antara tahun 1977 sampai tahun 1980 3.

Ketiga koefisien yang terlihat dalam Table 3 menunjukkan bahwa selama masa awal Orde Baru sampai tahun 1980 terjadi ketimpangan pendapatan antar daerah

1

Hendra Esmara, Regional Income Disparities, B.I.E.S., Vol. XI, No.1, March 1975, p. 41 - 57 2

Soeroso, The Distribution of Economic Activity Over Space and Economic Growth in Indonesia and Empirical Efforts and policy Implication, (University of Pittsburgh, the Graduate School of Art and Sciences, dissertation, 1982)

3

(10)

yang makin melebar di Indonesia. Keadaan itu sesuai dengan apa yang dikatakan Williamson sebagai kondisi ketimpangan dalam periode awal pembangunan. Sebab itu sejak Repelita III 1979 s/d 1984, pemerintah memberi tekanan yang lebih besar pada strategi pemerataan dari Trilogi Pembangunan (Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas) yang sudah dipergunakan sejak REPELITA I. Strategi pemerataan tersebut diberi penjelasan sebagai pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.. Ini dimaksudkan untuk melengkapi

pengertian dari strategi pemerataan sebelumnya yang seolah-olah hanya dimaksudkan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan, tidak termasuk pemerataan kegiatan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan tidak dilakukan hanya dengan pemerataan kegiatan, sementara hasilnya terpusat di Jakarta, atau sebaliknya kegiatan terpusat di Jakarta, hasilnya dibagikan keseluruh wilayah tanah air, dengan keputusan yang dibuat di Jakarta. Sejauh mana tujuan dari strategi tersebut terwujud dilapangan menjadi objek yang perlu dibicarakan lebih lanjut

Table 3

H. Esmara Soeroso Said Z. Abidin Tahun Koeffisien

Ketimpangan

Tahun Koeefisien Ketimpangan

Tahun Koefisien Ketimpangan

1968 0,340

1969 0, 362

1970 0, 439

1971 0, 509

1972 0, 522

1971 0,872

1972 0, 929

1973 0, 980

1974 1, 081

1975 1, 162

1976 1, 216

1977 0,47

1978 0,70

1979 0,90

1980 1,09

(11)

3. Ketimpangan Tingkat Kesejahteraan Antar Daerah

Selain adanya ketimpangan pembangunan dalam bidang ekonomi yang diukur dengan menggunakan indeks ketimpangan pendapatan antar daerah tersebut, terdapat juga ketimpangan sosial yang dapat diukur melalui indeks ketimpangan sosial lain, seperti PQLI (Physical Quality Life Indexes) dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Perhitungan tentang ketimpangan kesejahteraan sosial secara kuantitatif ini biasanya dimaksudkan untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan sosial secara kualitatif. Ini diperlukan karena tingkat kesejahteraan sosial itu dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, secara subjektif, yakni dengan mengukur tingkat kesejahteraan itu melalui persepsi dari masing-masing pihak yang menjadi subjek atau objek dari suatu kebijakan. Apakah petani merasa lebih sejahtera dengan adanya kebijakan tertentu dalam bidang pertanian ? Kedua secara objektif, dengan mengukur tingkat kesejahteraan berdasarkan angka-angka yang dihitung dengan menggunakan sesuatu model tertentu. Berapa persen anak-anak umur sekolah yang masuk sekolah setelah diterapkannya sistem otonomi daerah di Indonesia ? Berapa persen tingkat kematian bayi berkurang selama tahun 20-an atau sejak adanya otonomi daerah dalam pengelolaan kesehatan ? Perhitungan tingkat kesejahteraan sosial ini juga dipergunakan untuk melengkapi ukuran pembangunan yang didasarkan semata-mata pada pendapatan per kapita. Dalam pandangan ini, pembangunan tidak dapat diukur hanya dengan tingkat pendapatan per kapita, karena berbagai kelemahan seperti yang telah disinggung terdahulu.

Dalam hubungan dengan pembangunan daerah, perbedaan atau ketimpangan antar daerah ini juga menggambarkan adanya perbedaan tingkat pembangunan seperti halnya dengan ukuran ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Dari sisi lain, perbedaan antar waktu dari indeks tersebut, selanjutnya juga menunjukkan adanya tingkat kemajuan atau kecepatan pembangunan yang relatif berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.

Perhitungan terhadap indeks PQLI dilakukan dengan mempergunakan model yang dikemukakan oleh Morris and Morris4. Indeks kualitas hidup phisik ini

4

(12)

merupakan nilai rata-rata dari indeks harapan hidup (L.E.I.), indeks tingkat kematian bayi per seribu kelahiran (I.M.I.) dan indeks melek huruf (L.I.).

PQLI =

(

)

3

.. . . .

.EI I M I L I

L + +

Perhitungan tentang L.E.I., I.M.I dan DRR dapat dilihat pada catatan dibelakang

i

)

Dari hasil perhitungan PQLI atau indeks kualitas hidup phisik yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa antara tahun 1971 sampai tahun 1980 telah terjadi kemajuan yang cukup signifikan pada semua daearh. Bersamaan dengan itu terdapat kemajuan lebih besar pada satu-dua daerah dibandingkan dengan apa yang terjadi pada beberapa daerah lain. Sehingga ada daerah-daerah yang pada tahun 1971 mempunyai indeks PQLI yang relatif lebih kecil, tetapi pada tahun 1980 menjadi relatif lebih besar. D.I Aceh, Sumatera Utara dan semua provinsi di pulau Jawa meningkat lebih tinggi daripada Sulawesi Utara, Riau, Jambi, NTB dan NTT. Kondisi seperti ini tentu saja tidak menjadi masalah selama semua daerah mengalami peningkatan. Yang menjadi persoalan disini, faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan yang tidak sama pada daerah-daerah tersebut ? Dengan menggunakan indeks perbedaan tingkat penurunan (Disparity Rate of Reduction = DRR) kita dapat melihat tingkat perbaikan kesejahteraan antar daerah dengan meniadakan pengaruh perbedaan angka awal (initial factors) yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain.

Yang perlu dicatat, bahwa sampai dengan bagian ini merupakan kondisi awal dari proses pembangunan dalam Era Orde Baru. Bagaimana kondisi ini selanjutnya menjadi pendorong masuk dalam agenda kebijakan dalam langkah-langkah selanjutnya.

(13)

Table 4

Indeks Kualitas Hidup Phisik(PQLI) Di semua Daerah di Indoenesia5

No. Daerah 1971 1980 Perubahan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali

Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timur Timur 7 Sumber: Said Zainal Abidin, Regionalization and Development Performance in

Indonesia, dissertation, University of Pittsburgh, 1986 (Data diolah dari BPS, Indikator Kesejahteraan, Jakarta, BPS, 1984)

5

Jumlah dan nama provinsi masih seperti pada waktu itu. 6

Masih menggunakan istilah Daerah Istimewa Aceh, belum berubah menjadi NAD 7

(14)

III. Agenda Kebijakan

Ketimpangan antar daerah sebagaimana ditunjukkan oleh angka-angka indeks diatas merupakan masalah dalam pembangunan daerah yang menarik perhatian publik. Masalahnya menjadi Agenda kebijakan publik melalui dua sebab. Pertama, berkembangnya berbagai kajian yang dilakukan para ahli diluar negeri Kajian itu masuk ke Indonesia melalui berbagai media dan referensi serta melalui mereka yang mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Kajian-kajian itu disampaikan dalam berbagai pertemuan dan diskusi, kemudian diaplikasikan di dalam negeri serta diajarkan diperguruan-perguruan tinggi. Kedua, timbulnya berbagai ketidak puasan dibanyak daerah. Bentuk ketidak puasan itu umumnya berkaitan dengan manajemen pembangunan daerah yang bersifat sentralistis yang terjadi selama Era Orde Baru. Gejolak ketidak puasan tersebut telah menimbulkan protes-protes yang cukup keras pada bagian akhir Era Orde Baru. Meskipun persoalan semula berkisar sekitar ketidak adilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam daerah dan sistem manajemen pemerintahan yang sentralistis, tetapi akibat dari penanganan awal yang kurang tepat, ketidak puasan tersebut dibeberapa daerah berlarut menjadi gerakan bersenjata yang bersifat pemberontakan dan mengancam keutuhan negara.

Dipihak lain, secara konsepsional, dalam bidang perencanaan, ketidak puasan itu telah ditenggapi dengan strategi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya seperti yang dicantumkan dalam Trilogi Pembangunan REPELITA III. Tetapi karena kelemahan dalam bidang administrasi publik di Indonesia, yang diperparah pula oleh sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis, perubahan-perubahan trilogy dan Strategi Pembangunan itu dalam banyak hal lebih berupa dokumentasi, ketimbang implementasi.

(15)

Sejak itu, issue pemerataan pembangunan antar daerah telah masuk dalam segala agenda kebijakan pembangunan. Artinya, sejak itu, dalam proses penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, pemerataan seperti yang telah disebutkan sejak REPELITA III itu harus menjadi pertimbangan utama.

IV. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah

Strategi kebijakan pembangunan daerah di Indonesia dapat diikuti melalui tiga jalur. Pertama, jalur kelembagaan. Jalur ini bermula pada tahun 1969, ketika untuk pertama kali dibentuk sebuah lembaga perencanaan pembangunan daerah di D.I.Aceh, yang diberi nama Aceh Development Board (ADB) sebagai embrio dari BAPPEDA. Lembaga ini yang diberi wewenang untuk menyusun rencana pembangunan daerah dan mengkoordinasikan proses pembangunan, merupakan perpaduan antara kalangan intelektual kampus (Universitas Syiah Kuala) dibawah pimpinan Prof. A. Madjid Ibrahim dan pemerintah daerah dibawah pimpinan Gubernur A. Muzakkir Walad. Lembaga yang hampir serupa kemudian dibentuk juga di daerah-daerah lain. Pada tahun 1974, melalui Inpres Nomor 15 1974 yang diikuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 142 /1974 dibentuk BAPPEDA di seluruh provinsi. Selanjutnya secara struktural BAPPEDA diberi kedudukan yang lebih pasti dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Sebagai kelengkapan dari itu, melalui Keputusan Menteri dalam Negeri No. 185 tahun 1980 dibentuk BAPPEDA tingkat II diseluruh Indonesia.

Kedua, jalur program yang terdiri dari dua program. Yakni, Inpres Pembangunan Daerah tingkat I yang kemudian dilengkapi dengan Inpres Pembangunan Daerah tingkat II dan program pembangunan wilayah (PADP = The Provincial Area Development Program) melalui pembangunan pilot proyek di delapan provinsi dengan melibatkan seluruh jenjang pemerintahan.

(16)

demikian, daerah-daerah yang berpenduduk banyak dan lebih maju mendapat dana Inpres yang lebih besar dibandingkan dengan dana Inpres yang diperoleh daerah-daerah yang luas, belum maju dan berpenduduk jarang.

Program pembangunan wilayah diarahkan langsung pada pembanguna pilot proyek didesa-desa tertentu dalam delapan provinci. Persiapan, perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan staf BAPPEDA tingkat I dan BAPPEDA tingkat II serta staf dari instansi yang terkait didaerah. Sebab itu program ini juga dilengkapi dengan konsultan yang diperbantukan melalui BAPPEDA dan pelatihan aparatur.

Ketiga, jalur prosedural. Bersamaan dengan penyaluran dana yang diberikan kedaerah, pada tingkat nasional setiap tahun diadakan Konsultasi Nasional antara Pemerintah Daerah termasuk BAPPEDA dengan BAPPENAS di Jakarta. Demikian juga pada tingkat daerah terdapat Konsultasi Daerah antara Dinas-Dinas tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dengan BAPPEDA tingkat I. Dengan cara demikian diharapkan terdapat suatu koordinasi terpusat dalam pembangunan daerah-daerah.

Bersamaan dengan itu, setiap rencana pembangunan disampaikan ke BAPPENAS ditingkat nasional dan ke BAPPEDA di daerah dalam bentuk DUP (daftar Usian Proyek) untuk biaya pembangunan dan DUK (Daftar Usulan Kegiatan) untuk biaya rutin. DUP dan DUK yang disahkan menjadi DIP (Daftar Isian Proyek) dan DIP (Daftar Isian Kegiatan)

V. Evaluasi Kebijakan

(17)

kabupaten dan kota. Selama Era Orde Baru, Bappenas merupakan organisasi yang paling dominan. Peranannya tidak hanya sebagai perencana, tetapi juga dalam beberapa hal melakukan kegiatan-kegiatan operaasioanl. Antara lain yang berhubungan dengan pelatihan dan penentuan proyek.

Sesuai dengan kedudukan yang demikian, Bappenas menjadi sangat menentukan jika diikuti dari jalur prosedur pembangunan. Tiap awal tahun anggaran, Bappeda dan Biro Perencanaan dari semua instansi tingkat pusat melakukan Rapat Koordinasi dengan Bappenas. Bagi instansi-instansi itu, Rapat Kordinasi ini secara prosedural lebih merupakan kesempatan untuk menerima keputusan dari Bappenas, ketimbang sebagai lembaga konsultasi. Keadaan ini terjadis ebagai akibat dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis.

Melalui Rapat Koordinasi itu semua DUK dan DUP dari semua instansi harus mendapat pengesahan dari Bappenas untuk menjadi DUP dan DIP. Dengan disahkannya proposal menjadi DUP dan DIP, instansi-instansi tersebut memperoleh jatah anggaran untuk tahun yang akan datang. Disamping itu masih perlu memperoleh pengesahan dari DPR, meskipun itu lebih bersifat proforma. Dengan kedudukan dan wewenang Bappenas serta prosedur yang demikian, daerah-daerah harus melaksanakan kegiatan dengan jumlah biaya tertentu. Dalam beberapa hal, keadaan ini baik untuk menjaga efisiensi dan membatasi kemungkinan terjadinya mark-up atau korupsi, tetapi dalam hal-hal dimana Bappenas salah perhitungan terhadap standard biaya didaerah yang bersangkutan, daerah akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.

Dalam hal ini Bappeda sebagai lembaga perencana yang ada didaerah berfungsi menampung kepentingan dan aspirasi daerah untuk kemudian memformulasikannya sesuai dengan batasan anggaran dan ketentuan-ketentuan dari pemerintah pusat. Dengan demikian berlaku bottom-up planning system, dalam pengertian, aspirasinya berasal dari bawah, tetapi keputusan berada diatas, yakni pada pemerintah pusat.

(18)

melihat Pemerintah Daerah sebagai Kantor Perwakilan Departemen Dalam Neger dengan Gubernur sebaga Kepala Kantor Perwakilannya. Karena itu,

Departeman-Departeman lain enggan melimpahkan wewenangnya kedaerah, meskipun UU No. 5 tahun 1974 memberi wewenang kepada Gubernur sebagai Kepala Daerah atau penguasa tunggal di daerah. Pelimpahan wewenang departemen kepada pemerintah daerah dipandang departemn itu sebagai pengalihan wewenangnya kepada Deprtemen Dalam Negeri. Karena itu dalam UU NO. 22 tahun 1999 Kepala Daerah mempunyai kedudukan yang otonom, disamping itu Gubernur juga merangkap sebagai wakil dari pemerintah pusat, bukan sebagai wakil dari sesuatu departemen. Tetapi karena kebiasaan yang sudah terlalu lama, kedudukan Departemen Dalam Negeri sebagai “atasan pemerintah daerah” masih sulit dihindarkan.

Masalahnya, karena pada Era Orde Baru pemerintah pusat menguasai hampir seluruh penerimaan, dan sekaligus juga menguasai post pengeluaran. Proses penyelenggaraan pemerintahan di zaman itu didasarkan pada azas “kesatuan” atau “sentralisasi” kekuasaan. Karena itu tiap pimpinan instansi berebut untuk saling dekat dengan pusat kekuasaan, yakni Presiden Soeharto. Karena daerah letaknya jauh dari pusat kekuasan, maka daerah selalu menjadi objek kekuasaan dari instansi lain.

Dalam bidang pengawasan, pemerintah daerah dihadapkan pada lembaga pengawasan internal daerah (Irwilprop.), lembaga pengawasan eksternal daerah tapi internal pemerintah (BPKP) dan lembaga pengawasan eksternal pemerintah (BAPEKA, DPRD dan DPR RI).

(19)

Tabel 5

Distribusi Pendapatan Per Kapita tanpa Migas

menurut Pulau-Pulau

Sumber: Said Zainal Abidin, University of Pitsburgh, PhD dissertation, 1986; BPS, Statisk Indonesia, 2003.

1.619,0

INDONESIA 11.521 12.642,4 13.210,2 14.871,4 2.002,3 1.727,0 1.683,4 1.806,2 1.849,0 1.896,0

8

(1977 s/d 1980 dengan harga konstan 1975;997 s/d 2002 dengan harga konstan

(20)

Tabel 6

Indek Pembangunan Manusia(1990 – 2002)

N0. Provinsi 1990 1993 1996 1999 2002

01 N.A.D. 45,6 49,0 69,4 65,3 66,0

02 Sum. Utara 46,6 49,4 70,5 66,6 68,7

03 Sum. Barat 45,4 48,4 69,2 65,8 67,5

04 Riau 46,1 49,8 70,6 67,3 69,1

05 Jambi 44,5 48,2 69,3 65,4 67,1

06 Sum.Selatan 45,1 47,4 68,0 63,9 65,9

07 Bangkulu 45,1 47,7 68,4 64,8 66,2

08 Lampung 43,4 45,8 67,6 63,0 65,8

09 Bangka Belitung _ _ _ _ 65,3

10 DKI Jakarta 53,5 56,7 76,1 72,5 75,6

11 Jawa Barat 41,8 44,5 68,2 64,6 65,8

12 Jawa Tengah 43,0 44,6 67,0 64,6 66,2

13 Yogyakarta 46,9 48,9 71,8 68,7 70,7

14 Jawa Timur 42,0 44,8 65,5 61,8 64,1

15 Banten _ _ _ _ 66,6

16 Bali 44,4 47,7 70,1 65,7 67,4

17 NTB 30,4 35,9 56,7 54,2 57,8

18 NTT 39,3 44,2 60,9 60,4 60,3

19 Timut Timor 29,9 34,5 _ _ _

20 Kal. Barat 39,7 43,1 63,6 60,6 62,8

21 Kal. Tengah 46,9 49,8 71,3 66,7 69,0

22 Kal. Selatan 42,7 45,6 66,3 62,2 64,3

23 Kal. Timur 47,2 49,7 71,4 67,8 69,9

24 Sul. Utara 47,7 50,1 71,8 67,1 71,3

25 Sul. Tengah 41,5 43,2 66,4 62,8 64,4

26 Sul. Selatan 41,1 45,2 66,0 63,6 65,3

27 Sul. Tenggara 41,0 45,3 66,2 62,9 64,0

28 Gorontalo _ _ _ _ 64,1

29 Maluku 45,0 48,1 68,2 67,2 66,4

30 Maluku Utara _ _ _ _ 65,8

31 Papua 38,4 40,9 60,2 58,8 60,1

(21)

Selama tahun 1990-an hasil pembangunan cukup memuaskan, meskipun kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan. 1. Tingkat kesejahteraan manusia seperti yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat disemua daerah, meskipun ada daerah-daerah yang meningkat lebih tinggi dari yang lain (table 6). 2. Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional income disparities) menurun (table 7).

Namun, karena sentralisasi kekuasaan kemudian makin meningkat, pusat-pusat usaha bisnis juga mengikuti pusat kekuasan dan berkantor pusat di Jakarta, karena itu pembayaran pajak dan uang beredar terpusat di Jakarta atau didaerah-daerah lain di pulau Jawa, yang dekat dengan Jakarta. Akibatnya perkembangan pembangunan daerah tidak lagi semata-mata tergantung pada kekayaan sumberdayaa lam, tetapi pada kedekatan dengan pusat kekuasaan. Sejak itu pembangunan dari provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa tumbuh lebih cepat, sementara provinsi lain mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat. Berbagai fasilitas dalam bidang kesehatan, pendidikan, hiburan dan ekonmi tumbuh memusat di Ibu kota dan kota-kota lain di Jawa. Konsekwensi dari keadaan ini, pulau Jawa memiliki daya tarik yang lebih besar dan menyedot lebih banyak modal dan sumberdaya manusi terampil dan terdidik dari pulau-pulau lain. Keadaan ini dapat dilihat pada Lampiran 1 tentang distribusi pendapatan per kapita antar pulau-pulau besar di Indonesia. Kecuali terhadap pendapatan per kapita Bali, Kalimantan dan Irian, pendapatan per kapita P. Jawa lebih tinggi dari pendapatan per kapita pulau-pulau lain.

Meningkatnya pendapatan per kapita di pulau Jawa yang berpenduduk sekitar 60 % dari total penduduk Indonesia membawa dampak pada adanya distribusi pendapatan yang makin seimbang antar daerah dilihat dari segi distribusi penduduk. Tetapi keadaan ini tidak dapat dipandang positif dilihat dari dampak yang ditimbulkan.

(22)

ketimpangan pendapatan antar daerah yang ditunjukan dalam tabel 3, setelah melampau masa pembangunan daerah selama lebih dari dua puluh tahun, timbul kecenderungan pada pemerataan atau penurunan tingkat ketimpangan yang terlihat dalam table 7.

Tabel 7

Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah (tertimbang)

Tahun Vw 1997

1998 1999 2000 2001 2002

0.015 0.009 0.008 0.007 0.006 0.006

Karena komposisi penduduk pulau Jawa yang amat besar, pemerataan pendapatan per kapita ini berarti ketimpangan distribusi PDRB antar daerah dan pada gilirannya berarti ketimpangan distribusi investasi antar daerah dalam berbagai bidang. Daya tarik yang makin besar terhadap pulau Jawa berarti penurunan minat terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dari wilayah Indoensia lain yang luasnya 93 % dari total wilayah Indonesia, dibandingkan dengan luas pulau Jawa yang hanya sekitar 7 % dari luas Indonesia

(23)

VI. Kesimpulan

1. Pembangunan daerah di Indonesia selama Era Orde Baru, sejak tahun 1969, telah membawa banyak kemajuan, antara lain terlihat dengan peningkatan pendapatan per kapita disemua daerah, peningkatan kualitas hidup (PQLI dan IPM) dan semakin menurunnya disparitas pendapatan antar daerah. Namun demikian kemajuan tersebut tidak sekaligus dapat menyelesaikan masalah yang dapat timbul sebagai akibat dari kelemahan sistem pemerintahan yang terdapat selama Era Orde Baru. Kemajuan yang dicapai merupakan hasil optimal yang dapat diperoleh pada tataran permukaan. Pemerataan pendapatan daerah lebih merupakan hasil bagi dari total penghasilan, tanpa mampu meningkatkan kemampuan daerah itu sendiri. Daerah tidak berkembang untuk mampu berdiri sendiri lepas dari ketergantungan pada pemerintah pusat. Keadaan yang demikian, jika dibiarkan terus berlangsung akan mengakibatkan semakin meningkatnya beban bagi pemerintah pusat, bersamaan dengan meningkatnya kemajuan daerah secara terus menerus.

2. Pembangunan yang berlangsung selama masa yang cukup panjang telah mampu meningkatkan pendapatan pada hampir semua golongan dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu telah berlangsung proses “pemiskinan relatif” dikalangan para petani yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia. Ini terjadi sebagai akibat dari adanya prioritas dan orintasi ekonomi yang berlebihan terhadap pasar eksport, sementara pasar dalam negeri (domestic market) menjadi semakin sempit karena daya beli petani (domestic purchasing power) yang relatif makin menurun. Keadaan ini pada gilirannya telah mematikan inisiatif kearah modernisasi sector pertanian

(24)

disebabkan karena masih terdapatnya anggapan bahwa daerah adalah bawahan dari Departeman Dala Negeri, sehingga keinginan untuk mendorong inisiatif daerah menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan daerah serta menggali potensi sumberdaya setempat tidak dapat berkembang secara wajar.

(25)

Kepustakaan

Abidin, Said Zainal, Perspektif Baru Dalam Sistem Pengelolaan Pemerintahan, Jakarta, Milliunium Pess, 2002

---, ---, Kebijakan Publik, Jakarta, Penerbit Pancur Siwah, 2004 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakrta, 2001

---, Statistik Indonesi, 2003

---, Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 1: Provinsi, Tahun 2003 Hirschman, A.O. The Strategy of Economic Development, New Haven, Yale University

Press, 1958

Morris, D. , Measuring the Condition of the World’s Poor: The Physical Quality of Life Indexes, New York: Perggamon Press, 1979

Myrdal, G., Economic Theory and Underdeveloped Regions, London, Duckworth, 1957 Williamson, Regional Inequality and the Process of National Development: a description

(26)

Lampiran 1

Perbandingan PDRB Jawa dengan

PDB Indonesia tanpa Migas

(dalam juta RP)

Tahun PDRB Jawa Total PDRB 30 Provinsi

PDRB Jawa : Total

PDRB (%)

1977 1978 1979 1980

1997 1998 1999 2000 2001 2002

6.870.000 7.579.700 8.012.900 8.955.900

248.906.566 207.352.841 202.910.950 227.579.007 236.367.378 245.281.690

11.521.000 12.642.400 13.210.200 14.871.400

392.076.918 342.799.370 337.227.920 371.801.833 386.174.192 401.910.207

59,63 60,00 60,66 60,22

(27)

i

Indeks harapan hidup diukur dengan menggunakan formula yang berikut:

(

)

L.E I =

39 , 0

38 .E

L

L. E.I = Indeks Harapan hidup

L.E. = harapan hidup per satu tahun kelahiran 38 = batas umur terendah

0,39 = adalah angka yang mennunjukkan bila 0,39 tahun terjadi peningkatan umur harapan hidup akan menghasilkan 1 poin angka indeks

Indeks kematian bayi (I.M.I) dihitung dengan formula sebagai berikut:

I.M.I =

22 . 2

1000kelahran er

atianbayip 229−tingkatkem

I.M.I. = indeks kematian bayi

229 = tingkat kematian bayi maksimum yang ada pada

yang pada saat perhitungan itu dibuat, terdapat di Gabon 2,22 pembagi yang jika terdapat tingkat kematian bayi

terendah, yaitu 7 bayi per seribu kelahiran, akan didapatkan indeks = 100

Sedangkan indeks melek huruf (L.I) sama dengan persentase tingkat kemelekan huruf. Yakni jumlah melek huruf per seratus orang dewasa.

Disparity Rate of Reduction (DRR):

DRR t+1 = t X

X n

t t

− ⎟⎟⎠ ⎞ ⎝

⎛ +1 1/

⎜⎜

DRR = Perbedaan Tingkat penurunan kemiskinan atau kenaikan kesejahteraan

X = tingkat perbedaan indeks antara tahun t dengan tahun t + 1

Gambar

Tabel  - 1 Rata-rata Pendapatan per kapita  Golongan Rumah Tangga di Indonesia(1985 - 1999)
Tabel -  2
 Table 3             H. Esmara                           Soeroso                       Said Z
Table 4  Indeks Kualitas Hidup Phisik(PQLI)
+4

Referensi

Dokumen terkait

FATIMAH Guru Kelas RA RA.. ASHFIYAH

Database adalah suatu susunan/kumpulan data operasional lengkap dari suatu organisasi/perusahaan yang diorganisir/dikelola dan disimpan secara terintegrasi dengan

Berikut kami umumkan peserta yang dinyatakan lulus seleksi tes psikoloig calon pegawai Bank BTN dengan data sebagai berikut

HARTO WIYONO SLEMAN 26-12-1953 Laki-laki Nikah Kepala

Diperoleh kesimpulan bahwa strategi pengembangan sumber daya manusia STEI Hamfara yang bersifat by system dinilai sangat efektif untuk menumbuhkan komitmen mumpuni pada dosen

Penelitian ini menunjukkan bahwa para informan yang merupakan laki – laki biasanya juga ikut melakukan performance dari hybrid masculinity yang ditampilkan dalam Produce 101

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sektor publik merupakan proses pencatatan, pengklasifikasian, penganalisisan dan

Menurut Nitisemito (1996:165), insentif adalah penghasilan tambahan yang akan diberikan kepada para karyawan yang dapat memberikan prestasi sesuai dengan yang