Abdul Hadi WM
NYANYIAN SEORANG PETANI
Berilah kiranya yang terbaik bagiku tanah berlumpur dan kerbau pilihan bajak dan cangkul
biji padi yang manis
Berilah kiranya yang terbaik angin mengalir
hujan menyerbu tanah air bila masanya buahnya kupetik ranumnya kupetik
rahmatMu kuraih 1965
Chairil Anwar DIPONOEGORO
Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti Sudah itu mati MAJU
Bagimu Negeri Menyediakan api
Panah di atas menghamba Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai.
Maju. Serbu. Serang. Terjang.
Februari 1943
(Chairil Anwar. 2011. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia)
SAJAK BUAT NEGARAKU
di tubuh semesta tercinta buku-buku negeriku tersimpan setiap gunung-gunung dan batunya padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya tapi hujan selalu tertahan dalam topan hingga bintang-bintang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan kota-kota
di antara gebalau dan keramaian tak bertuan pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya rumput akan mencambuk dengan desaunya siang akan meledak dengan mataharinya dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud berhenti untuk keheningan pada yang bernama keheningan semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa rakyatku siap dengan tombaknya siap dengan kapaknya
bayi-bayi dengan pisau di mulut tapi aku hanya siap dengan puisi dengan puisi bulan terguncang menetes darah hitam dari luka lama Solo, 1983
Nenden Lilis A.
KITA MEMBANGUN HIDUP
kita membangun hidup untuk dihancurkan mendiami wilayah untuk dijadikan puing kita biarkan jiwa-jiwa kurus dan kumal
berjalan-jalan muram, termangu-mangu murung sementara, ada yang kita bariskan
dalam iring-iringan pengungsi, menuju waktu dan daerah-daerah tak pasti
tubuh-tubuh mengisi dusun, kota, dan negeri berganti-ganti; ketika penghuni lama pergi
pendatang mendudukinya untuk meninggalkan riwayat berulang 1996
Saini KM
SURAT BERTANGGAL 17 AGUSTUS 1946
Kami sambut fajar kami dengan cara tersendiri:
Tenggorok perunggu serak memaki-maki angkasa hitam yang gemetar atas bumi karat dan rongsokan
tempat tulang-tulang abad lampau rapuh oleh asin air mata Hari ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja Agar bisa tidur berbantal batu dan berselimut angin
Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi! Dengar! lidah-lidah api memanggil di malam sepi, berdentam, berdesing!
Kami pun ke luar, membajak tanah air dengan sangkur
telanjang Menyiramnya dengan darah, memupuknya dengan serpihan
daging, karena langit hanya menghujankan api dan besi, api dan besi. 1965
(Saini KM. 2000. Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo)
SELAMAT PAGI INDONESIA
selamat pagi, indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menakulukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu–demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah,
biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. selamat pagi, indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu..
(Sapardi Djoko Damono. 1983. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka)
PIDATO DI KUBUR ORANG
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan. Ketika gerombolan menculik istri
Dan memperkosan anak gadisnya
Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian Ketika gerombolan membakar rumahnya Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan Ia terlalu baik buat dunia ini
Sutardji Calzoum Bachri TANAH AIRMATA
Tanah aiarmata tanah tumpah dukaku Mata air airmata kami
Airmata tanah air kami Di sinilah kami berdiri Menyanyikan airamata kami Di balik gembur subur tanahmu Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedunggedungmu Kami coba sembunyikan derita kami Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan dukalara Tapi perih tak bisa sembunyi Ia merebak ke mana-mana
Bumi memang tak sebatas pandang Dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Taufik Ismail
BUKIT BIRU, BUKIT KELU
Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahaya dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba Pada ilalang dan bukit membatu Tanah airku.
1965
Wiji Thukul
NYANYIAN AKAR RUMPUT
jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel di tembok-tembok dicabut terbuang kami rumput butuh tanah dengar!
ayo gabung ke kami
biar jadi mimpi buruk presiden! Juli 88
W.S. Rendra
AKU MENDENGAR SUARA
Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka Ada orang memanah rembulan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan Agar kehidupan bisa terjaga Yogyakarta, 1974
W.S. Rendra
PEMANDANGAN SENJAKALA
Senjakala yang basah meredakan hutan yang terbakar. Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua. Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda.
Sekelompok anjing liar
memakan beratusribu tubuh manusia yang mati dan yang setengah mati.
Dan di antara kayu-kayu hutan yang hangus, genangan darah menjadi satu danau.
Luas dan tenang. Agak jingga merahnya. Duapuluh malaekat turun dari sorga mensucikan yang sedang sekarat
tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa yang lalu memperkosa mereka.
Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basa menggerakan rambut mayat-mayat
membuat lingkaran-lingkaran di permukaan danau darah dan menggairahkan syahwat para malaekat dan kelelawar. Ya, saudara-saudaraku,
aku tahu inilah pemandangan yang memuaskan hatimu Kerna begitu asyik kau telah menciptakannya.
W.S. Rendra SAGU AMBON
Ombak beralun, o, mamae. Pohon-pohon pala di bukit sakit. Burung-burung nuri menjerit. Daripada membakar masjid daripada membakar gereja lebih baik kita bakar sagu saja. Pohon-pohon kelapa berdansa. Gitar dan tifa.
Dan suaraku yang merdu. O, ikan,
O, taman karang yang bercahaya. O, saudara-saudaraku,
lihat, mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar. Tanpa kusadari
laguku jadi sedih, mamae.
Air mata kita menjadi tinta sejarah yang kejam. Laut sepi tanpa kapal layar.
Bumi meratap dan terluka.
Di mana nyanyian anak-anak sekolah? Di mana selendangmu, nonae?
Di dalam api unggun aku membakar sagu.
Aku lihat permusuhan antara saudara itu percuma. Luka saudara lukaku juga.
9 Mei 2002
Camoe-camoe, Jakarta
W.S. Rendra
SAJAK MATAHARI
Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala. Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin!
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu. Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahari adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang Khrisna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia!
Yogya, 5 Mei 1976
W.S. Rendra TENTANG MATA
Mata kejora! Mata kejora!
Mata kekasih dalam dekapan malam. Dalam kehidupan yang penuh mata bisul hatiku meronta ditawan rangkaian mata rantai. Sawah gersang tanpa mata bajak.
Mata gergaji merajalela di rimba raya. Mata badik memburu mata uang. Mata kail termangu tanpa umpan. Mata sangkur! Mata sangkur!
Mata sangkur menghunjam ke mata batin. Mata kejora! Mata kejora!
Mata kekasih dalam dekapan malam. Padang rumput termakan mata api. Tetapi, kekasihku,
di dalam kalbuku yang murung ini engkaulah mata air pengharapanku! Cipayung Jaya, 6 November 1998
W.S. Rendra
SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR
Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani-buruh yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani-buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur, namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjelma menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku. Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi, dan di sana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit.
Tersingkir ke tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit, di batu-batu gunung menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya. Yogya, 1973
W.S. Rendra PENJAJA
Gayanya, Mama, gayanya! Si bocah sendiri saja di jalan. Dan betapa terpencil nyanyinya jeladri lembaga nestapa.
Serabi! Serabi! Serabi! Betapa terpencil nyanyinya bau kesturi bagi malam yang tidur tanpa indra tiada pingsan.
Hati pengembara dahaga
mengetuki pintu-pintu, jendela-jendela. Oi! Gayanya melangkah!
Berhitungan satu-dua!
Dan betapa menyayat keriaannya o, tatapan bolakaca-bolakaca! Serabi! Serabi, Mas serabi! Malam khali
dan ia tengadah ke langit. Bulan letih oleh mabuknya dan bintang keluar semua. Ia berkata.
Bukan pada siapa. Tiada siapa. Tiada juga apa.
Gayanya, Mama, gayanya! Si bocah sendiri saja di jalan. Dan betapa terpencil nyanyinya jeladri lembaga nestapa.