• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit dan Strategi Pengendaliaannya di Bengkulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit dan Strategi Pengendaliaannya di Bengkulu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit dan Strategi Pengendaliaannya di Bengkulu

Dedi Sugandi, Andi Ishak, dan Hamdan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Jalan Irian km 6,5 Bengkulu HP: 081377736102 Email: erhr94@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pilihan komoditas yang dibudidayakan oleh petani dilakukan secara rasional dengan pertimbangan kemudahan dalam pengelolaan dan keuntungan yang tinggi. Kondisi ini berpotensi menghilangkan lahan pertanian tanaman pangan, khususnya padi sehingga dapat mengancam ketahanan pangan. Untuk itu perlu dipelajari faktor yang mendorong petani melakukan alih fungsi lahan agar diketahui sumber permasalahannya sehingga dapat membantu dalam memformulasikan kebijakan pembangunan pertanian ke depan. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 di dua kabupaten di Provinsi Bengkulu yaitu Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan dengan tujuan untuk: (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, dan (2) memformulasikan alternatif strategi kebijakan untuk mengantisipasi alih fungsi lahan sawah. Data yang dikumpulkan meliputi keragaan responden dan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan. Analisis data dilakukan dengan regresi logistik, land rent, dan SWOT. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah luas kepemilikan lahan sawah, tingkat pengetahuan petani tentang peraturan alih fungsi lahan, dan kendala ketersediaan air irigasi. Present value net return sebagai nilai land rent menunjukkan nilai yang lebih dari usahatani kelapa sawit dibandingkan lahan sawah. Rekomendasi alternatif strategi kebijakan untuk antisipasi terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah: (1) menetapkan lahan abadi pertanian tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra produksi padi, (2) perbaikan pengelolaan dan jaringan irigasi, serta mendorong partisipasi kelembagaan petani dalam pengelolaannya, (3) meningkatkan penyuluhan tentang larangan alih fungsi lahan, dan (4) meningkatkan produktivitas padi melalui inovasi teknologi spesifik lokasi.

Kata kunci: alih fungsi lahan, padi sawah, kelapa sawit, Bengkulu. PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh karena itu kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasarkan kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Dalam UU Nomor 7 tentang pangan, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan Ketahanan Pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau.

Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan (khususnya beras) yang lebih

(2)

2

cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta pelandaian pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Hal tersebut diperparah dengan terjadinya ketidakpastian iklim global yang berdampak pada ketersediaan air yang tidak menentu sepanjang tahun sehingga mengganggu produksi dan produktivitas lahan pertanian (Suryana 2005).

Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik, impor beras cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2009 impor beras sebanyak 250 ribu ton, meningkat menjadi 688 ribu ton pada tahun 2010 dan kembali meningkat menjadi 2,70 juta ton pada tahun 2011 meskipun produksi padi terus meningkat dari tahun 2001 sampai 2010.

Perkembangan produksi padi Provinsi Bengkulu justru mengalami penurunan, tahun 2011terjadi penurunan produksi padi sebanyak 7.608 ton gabah kering giling dibandingkan tahun 2010. Penurunan produksi tersebut disebabkan turunnya luas panen sebesar 5.695 hektar akibat akibat kemarau dan alih fungsi lahan (BPS 2011a). Penciutan lahan sawah selama kurun waktu 2005-2010 di Bengkulu seluas 9.729 hektar dari 115.000 menjadi 105.271 hektar. Salah satu alih fungsi lahan sawah yang nyata terlihat adalah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit (Anonimous, 2011).

Penanganan alih fungsi lahan cenderung lambat dikarenakan penilaian yang salah terhadap keberadaan lahan sawah. Sektor perkebunan dinilai mampu mengangkat perekonomian wilayah dibandingkan sektor tanaman pangan. Pemerintah telah mengantisipasi alih fungsi lahan dengan mengeluarkan UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memuat ancaman sanksi yang cukup berat. Pada Pasal 72 UU tersebut dinyatakan bahwa orang yang melakukan alih fungsi lahan pertanian pangan diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 1 milyar rupiah. Apabila pelaku alih fungsi lahan tidak mengembalikan kondisi lahan ke keadaan semula dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal 3 milyar rupiah. Hukuman pidana dan denda ditambah 1/3 dari yang diancamkan apabila pelaku alih fungsi lahan adalah pejabat pemerintah.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Isa (2006), menyatakan faktor yang mendorong konversi lahan pertanian adalah : a) pertumbuhan penduduk, b) kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian, c) nilai land rent yang lebih tinggi pada aktivitas pertanian non pangan, d) sosial budaya, e) degradasi lingkungan, e)otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang lebih menguntungkan untuk peningkatan Pendapatan Asi Daerah, dan f) lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukun dari peraturan yang ada.

Land rent atau rente lahan merupakan salah satu konsep yang digunakan untuk menentukan nilai lahan. Menurut Ricardo, land rent adalah surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas (i) surplus yang selalu tetap (rent as an unearned increment), definisi ini memberikan kesan bahwa rente lahan adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan, dan (ii) surplus sebagai hasil dari investasi (rent as return on investment), dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi.

(3)

3

Rustiadi et al. (2006) menyampaikan bahwa land rent secara sederhana didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu pendapatan bersih atau benefit yang diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut. Pendapatan bersih atau benefit ini berasal dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan. Hasil kajian empiris memberikan perbandingan nilai land rent lahan untuk sawah dan kelapa sawit sebesar 1:1,11 (Hamdan 2012), sedangkan Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi, pendapatan dan alih fungsi lahan menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi Rp 1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar. Faktor lain yang ikut berperan adalah kecenderungan perkembangan harga sawit, kecukupan air serta luas lahan yang dimiliki petani (Matondang 2011).

Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian tanaman pangan belum sepenuhnya mampu mengendalikan alih fungsi lahan. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan tersebut, sehingga diperoleh informasi yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan ke depan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan di Provinsi Bengkulu. Di Bengkulu Utara survei dilaksanakan di Kecamatan Argamakmur, Kerkap dan Padang Jaya, sedangkan di Kabupaten Bengkulu Selatan pelaksanaan survei di Kecamatan Kedurang dan Seginim. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah sentra produksi padi sawah di kedua kabupaten tersebut yang mengalami konversi cukup luas. Pengumpulan data dilakukan selama dua bulan, dari bulan Mei 2012 sampai dengan Juni 2012 yang melibatkan 76 responden. Data yang dikumpulkan adalah keragaan usahatani padi dan kelapa sawit pada lahan sawah yang dikonversi dan keragaan responden.

Analisis Data

Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan digunakan regresi logistik dengan persamaan sebagai berikut:

Zi = ln P(Xi) = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 ... 1 1 - P(Xi)

Dimana:

P(Xi) = Peluang pemilik lahan mengelola lahan sawah (1 = lahan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit; 0 = lahan tidak dialihfungsikan)

X1 = Resiko usahatani padi (1 = tinggi; 2 = rendah) X2 = Jumlah tanggungan dalam orang

X3 = Luas kepemilikan lahan sawah dalam hektar X4 = Pengalaman usahatani padi dalam tahun

X5 = Intensitas penyuluhan (1 = sering; 0 = tidak pernah)

X6 = Pengetahuan petani tentang peraturan pemerintah mengenai tata guna dan tata kelola lahan (1 = tahu; 0 = tidak tahu)

X7 = Kendala ketersediaan air irigasi (1 = tidak ada kendala; 0 = ada kendala) bo = konstanta

b1 ... b7 = parameter dugaan (koofisien)

Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan kualitatif adalah Statistik uji Likelihood

(4)

4

Ratio dan Odds Ratio. Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio adalah Uji G, dengan kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > Chi Square tabel maka hipotesis H0 ditolak (model significant). Uji Odds Ratio adalah kemungkinan hasil yang diperoleh antara individu dengan x = 1 didefinisikan π(1)/[1- π (1)].

Untuk menduga nilai manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya lahan sawah irigasi yang digunakan untuk usahatani padi dan lahan sawah yang telah dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dilakukan analisis Land Rent, dengan persamaan sebagai berikut:

RLi= [Yi.PYi] – [(PMi.XMi) + (PHi.XHi) + (PKi.XKi) + (PWi. XWi)] ……. 2 Keterangan:

RLi =

Land rent komoditas i (Rp per hektar per tahun)

Yi = Output usahatani komoditas i (ton per hektar per tahun) PYi = Harga output komoditas i (Rp)

PMi,Hi,Ki,Wi,= Harga input usahatani komoditas i (Rp)

XMi = Input sarana produksi usahatani komoditas i (Kg per hektar per tahun) XHi = Input tenaga kerja (HOK per hektar per tahun)

XKi = Input modal ekuitas (unit per hektar per tahun) XWi = Input sumberdaya air (volume per hektar per tahun)

Land rent merupakan Present Value of Net Returns (PVNR), yaitu selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskonto dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini, bentuk persamaan matematikanya adalah sebagai berikut:

Keterangan:

PVNRi = Present Value Net Return komoditas i (Rp per hektar) Ati = Pendapatan usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar) r = Interest rate

t = Jangka waktu analisis (tahun)

Nilai land rent untuk lahan sawah dihitung berdasarkan selisih penerimaan dan pengeluaran dari pengelolaan lahan sawah dalam satu tahun. Pengelolaan lahan sawah terdiri dari 2 – 3 periode tanam dengan pola tanam Padi-Padi atau Padi-Padi-Palawija. Nilai yang diperoleh selanjutnya dihitung sebagai PVNR-land rent dengan waktu analisis selama 25 tahun dan discount factor sebesar 10%.

Penyusunan arahan strategi dalam upaya pengndalian alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat dilakukan dengan analisis SWOT. Langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi alih fungsi lahan, (2) analisis faktor strategi internal dan eksternal untuk menentukan arahan strategi, serta (3) menyusun matrik SWOT sebagai strategi dalam pencegahan alih fungsi lahan (Rangkuti, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik petani

Berdasarkan karakteristik rumah tangga petani (Tabel 1) diperoleh data bahwa usahatani padi sawah merupakan pekerjaan utama bagi 90,79% responden dan 9,21% lainnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pedagang. Tingkat pendidikan

(5)

5

bervariasi dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan lama pendidikan rata-rata 9,12 tahun (tamat SMP). Tingkat pendidikan responden tergolong belum memadai dalam mengelola usahatani dan memilih jenis usaha yang mampu memberikan manfaat yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi adopsi teknologi dan kemampuan berinovasi serta manajerial petani dalam berusahatani.

Tabel 1 Keragaan karakteristik petani responden

Variabel Kisaran Rata-rata

Umur kepala keluarga (tahun) Pendidikan kepala keluarga (tahun) Tanggungan (jiwa)

Pengalaman usahatani padi (tahun) Luas kepemilikan lahan (hektar) - Sawah

- Kebun

Pekerjaan kepala keluarga (persen) - Petani

- Lainnya

Jenis sawah (persen) - Irigasi teknis - Irigasi lainnya 26 - 75 0 -17 1 - 6 1 - 50 0,25 – 4,00 0,25 – 11,50 69 7 - - 47,14 9,12 2,82 19,55 0,83 1,13 90.79 9.21 71,05 28,95 Sumber : data primer diolah.

Dilihat dari umur petani responden tergolong pada kelompok usia produktif, yaitu rata-rata sekitar 47,14 tahun dengan kisaran umur 26 – 75 tahun sehingga secara fisik cukup potensial untuk mendukung aktivitas kegiatan usahatani. Jumlah anggota keluarga rata-rata 2,82 jiwa (3 orang/KK). Anggota keluarga merupakan modal tenaga kerja dalam keluarga, namun ketersediaannya belum mencukupi sehingga pada kegiatan tertentu diperlukan tambahan tenaga kerja dari luar keluarga.

Pengalaman rata-rata usahatani padi sekitar 19,55 tahun, artinya petani sudah sangat memahami seluk beluk usahatani padi sehingga dapat mengelolanya secara efektif dan efisien. Pengalaman berusahatani padi ini tentunya juga berpengaruh pada keputusan petani untuk memilih alternatif usahatani yang lebih baik, seandainya usahatani padi dinilai kurang menguntungkan.

Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani

Kabupaten Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara merupakan sentra produksi padi Provinsi Bengkulu, awal periode tanam dimulai bulan September–Oktober untuk periode tanam musim hujan dan April-Mei untuk musim kemarau. Secara umum teknologi budidaya yang diterapkan telah mengikuti anjuran, terutama benih unggul dan pemupukan meskipun secara kuantitas belum dapat dilaksanakan seperti penggunaan benih yang masih tinggi dan pupuk yang belum sesuai rekomendasi (Tabel 2).

(6)

6

Tabel 2. Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi pada Usahatani Padi Sawah per Hektar

Input usahatani Kisaran Rata-rata

Benih (kg/ha) Pupuk - Urea (kg/ha) - NPK (kg/ha) Tenaga (HOK/ha) Pestisida - Insektisida (ml/ha) - Herbisida (liter/ha) 50-100 100-400 25-250 23-128 100-1280 1-8 50,55 250,98 122,92 62,55 335,88 3,45 Sumber : data primer diolah.

Perkembangan luas panen dan produksi padi Provinsi Bengkulu

Alih fungsi lahan sawah di Bengkulu banyak terjadi pada tahun 2005 sampai 2006, hal ini dipicu membaiknya harga karet dan kelapa sawit dunia. Dampak dari alih fungsi ini adalah penurunan luas panen padi sebesar 14.630 hektar pada tahun 2006. Bahkan pada lahan tadah hujan kecenderungan penurunan luas panen terus terjadi dari tahun 2006-2010, seperti terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Perkembangan luas panen dan produksi padi Provinsi Bengkulu.

Padi sawah Padi lading

Tahun

Luas panen (ha) Produksi (ton) Luas panen (ha) Produksi(ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 99.905 85.275 108.562 114.750 120.882 121.877 115.611 406.117 345.693 438.891 458.502 484.594 491.901 475.944 16.913 15.716 15.291 12.756 12.093 11.752 12.323 35.159 32.684 31.578 26.398 25.566 24.967 26.608 Sumber: BPS Provinsi Bengkulu (2011b).

Analisis Faktor-faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan 1. Faktor Non Ekonomi

Hasil pendugaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit diperoleh beberapa variabel yang berpengaruh secara signifikan, yaitu Resiko usahatani padi (X1, 1= tinggi, 2= rendah); intensitas penyuluhan (X5, 1= sering, 0= tidak pernah); pengetahuan tentang peraturan pemerintah mengenai tata guna dan tata kelola lahan (X6; 1= tahu, 0= tidak tahu), kendala ketersediaan air irigasi (X7; 1= tidak ada kendala, 0 = ada kendala). Pada Tabel 4 berikut disajikan hasil olah data regresi logistik terhadap variabel yang mempengaruhi keputusan petani mengkonversi lahannya.

Secara keseluruhan model pendugaan yang digunakan dapat menjelaskan faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan dengan nilai Nagelkerke R Square sebesar 56,20% dan Overall Percentage 81,60% (Tabel 4). Secara parsial variabel yang berpengaruh positif terhadap alih fungsi lahan adalah tingkat resiko usahatani padi, pengetahuan tentang paraturan alih fungsi lahan, dan kendala irigasi. Artinya semakin tinggi intensitas dari masing-masing variabel maka kecenderungan alih fungsi lahan akan semakin tinggi, sedangkan untuk intensitas penyuluhan berlaku sebaliknya. Semakin tinggi intensitas penyuluhan maka kecenderungan alih fungsi lahan akan menurun pula.

(7)

7

Tabel 4 Hasil olah data faktor yang mempengaruhi luas konversi lahan

Variabel Koefisien Sig. Exp(B)

Resiko usahatani padi Jumlah tanggungan Luas kepemilikan lahan Pengalaman usahatani padi Intensitas penyuluhan

Pengetahuan tentang peraturan alih fungsi lahan Kendala irigasi Constant Nagelkerke R Square Overall Percentage 2.720 -1.173 .767 -.337 -1.923 2.083 2.221 -.410 .009* .141 .145 .665 .020* .017* .002* .870 15.185 .310 2.154 .714 .146 8.031 9.217 .663 .562 81.60 Sumber : data primer diolah.

Resiko Usahatani Padi. Tanaman padi sangat rentan terhadap kegagalan panen atau puso hal ini dapat disebabkan oleh serangan hama dan penyakit selain juga faktor alam. Hama dan penyakit utama pada tanaman padi diantaranya keong mas, tikus, burung, babi, wereng dan penyakit tungro. Serangan hama dan penyakit ini dalam skala berat kadangkala tidak bisa dikendalikan sehingga bukan mendapat keuntungan malah kerugian yang diterima. Pengendalian hama dan penyakit juga memerlukan tambahan input usahatani dan waktu sehingga meningkatkan biaya usahatani.

Pengelolaan lahan sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal, ketersedian tenaga kerja keluarga dan prospek dari komoditas yang akan dikembangkan. Kepemilikan lahan sawah yang cukup luas (0,83 hektar), memerlukan curahan modal dan tenaga kerja yang besar. Namun ketersediaan tenaga kerja keluarga yang kurang menyebabkan usahatani padi yang dilakukan tidak optimal sehingga produksi yang diperoleh juga rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2011 produktivitas padi di Bengkulu hanya 3,87 t/ha, di bawah produktivitas nasional yang mencapai 4,99 t/ha. Kondisi ini yang terbentuk dalam waktu yang lama tentunya akan merubah pola pikir petani untuk melakukan usahatani yang lebih produktif dan pengelolaannya lebih mudah.

Perkembang sektor perkebunan di Bengkulu juga berdampak penurunan motivasi dalam usahatani padi sawah. Usahatani yang dilakukan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras rumah tangga. Hasil survei diketahui luas kepemilikan lahan padi sawah rata-rata petani responden adalah 0,83 ha dan rata-rata yang dikonversi seluas 1,13 hektar dengan tanggungan keluarga sekitar 3 jiwa. Produksi padi responden sekitar 6,4 ton GKP per tahun. Konversi padi menjadi beras diperoleh setelah dikurangi susut panen padi sebesar 10,82% (Kementerian Pertanian 2010) dan angka konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74% (Suhari, 2011) dan konsumsi beras sebesar 113,48 kg perkapita per tahun (Prihtiyani, 2011), maka beras yang dihasilkan dalam setahun sebanyak 3.596 kg, konsumsi 340 kg, dan surplus beras sebanyak 3.255 kg.

Intensitas Penyuluhan. Kontribusi penting penyuluhan pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian dan peningkatan produksi pangan telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa negara telah berhasil memajukan pertaniannya yang memungkinkan kebutuhan pangan penduduknya terpenuhi dan pendapatan petani meningkat. Pada awalnya peran penyuluh menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang baik. Dalam perkembangannya peran tersebut berubah menjadi tekanan pada alih teknologi, yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya, dan menekankan pada tercapainya target produksi padi, baik target nasional, daerah maupun lokal. Penyuluhan juga memiliki andil besar dalam

(8)

8

pengendalian alih fungsi lahan melalui sosialisasi peraturan-peraturan yang ada dan menjadi motivator bagi petani untuk meningkatkan mutu usahataninya.

Pengetahuan tentang Peraturan Konversi Lahan. Salah satu pendorong konversi lahan adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan peruntukan dan pengelolaan lahan sawah. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan.

Secara umum peraturan/perundangan tentang perlindungan lahan pertanian yang ada saat ini hanya bersifat himbauan tanpa disertai sanksi dan pengawasan dari pemerintah. Untuk memperbaiki kinerja peraturan yang ada dalam menekan laju konversi lahan sawah pemerintah kemudian mengeluarkan aturan baru melalui Undang-undang (UU) 41 tahun 2009, dimana setiap pelaku baik petani, pejabat maupun badan usaha yang melakukan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Irawan (2008) menyatakan bahwa dengan adanya kemandirian yang luas kepada daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pada era otonomi daerah, menyebabkan implementasi kebijakan alih fungsi lahan tergantung kepada kemauan politik kepala daerah. Persaingan antara sub sektor perkebunan yang secara ekonomis lebih banyak mendatangkan PAD kepada Pemerintah Daerah jika dibandingkan dengan sub sektor tanaman pangan menyebabkan Pemerintah Daerah terkesan kurang mempertimbangkan aturan tentang alih fungsi lahan tanaman pangan. Di Bengkulu sampai dengan saat ini belum ada kawasan lahan pertanian tanaman pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi dengan Peraturan Daerah yang perlu dilindungi dari ancaman alih fungsi sesuai dengan UU 41 tahun 2009.

Kurangnya Ketersediaan Air Irigasi disebabkan oleh kondisi saluran irigasi yang rusak akibat kurangnya pengawasan dan perawatan jaringan irigasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masalah irigasi ini mengalami kerancuan dalam penetapan kewenangan pengelolaannya. Dalam banyak kasus kesalahan dalam penempatan property right atas bendungan menyebabkan Pemerintah Daerah merasa tidak bertanggung jawab dalam pengelolaannya, misalnya wewenang pengelolaan bendung irigasi dengan luas hamparan diatas 3.000 hektar yang dipegang oleh dinas tingkat provinsi, karena kurang memahami secara detail tentang penggunaan air sehingga saat memasuki musim tanam debit air yang mengalir kecil, bahkan kadang kala dilakukan perbaikan jaringan irigasi yang berakibat gagal tanam.

Tanaman padi sawah merupakan tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah yang relatif lebih banyak daripada tanaman pangan lainnya, sehingga ketersediaan air irigasi menjadi faktor pembatas kegiatan usahatani padi. Kurangnya ketersediaan air irigasi disebabkan oleh kondisi saluran irigasi yang rusak akibat kurangnya perawatan saluran oleh Pemerintah maupun rendahnya partisipasi masyakat dalam menjaga saluran irigasi. Di seluruh lokasi survei, peranan Kelompok Petani Pengguna Air (KP2A) tidak lagi terasa. 2. Faktor Ekonomi

Selain faktor-faktor non ekonomi, diperkirakan keinginan petani melakukan alih fungsi lahan adalah keuntungan dari usahatani kelapa sawit yang lebih tinggi daripada usahatani padi sawah. Nilai land rent dihitung berdasarkan penerimaan dan biaya dalam pengelolaan usahatani padi sawah dalam satu tahun. Dengan asumsi bahwa petani melakukan penanaman padi selama 2 kali musim tanam dalam setahun dengan pola tanam padi-padi, diperoleh hasil perhitungan land rent padi sawah dibandingkan dengan kelapa sawit seperti pada Tabel 5.

(9)

9

Tabel 5. Perbandingan nilai Land Rent padi sawah dan kelapa sawit.

Uraian Padi sawah Kelapa sawit

Penerimaan (Rp/ha/tahun)

Biaya input selain lahan (Rp/ha/tahun) Land rent (Rp/ha/tahun)

PVNR land rent 11.165.653 3.515.063 7.650.590 69.444.701 16.352.484 5.248.408 11.104.076 74.791.984 Sumber: Data primer diolah.

Nilai PVNR land rent dihitung selama 25 tahun dengan suku bunga 10% per tahun.

Berdasarkan Tabel 5 di atas, diperoleh nilai land rent padi sawah sebesar Rp. 69.444.701 sedangkan kelapa sawit Rp. 74.791.984 yang berarti bahwa secara ekonomi petani yang melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit lebih untung 1,08 kali daripada yang tidak melakukan alih fungsi lahan. Hal ini membuktikan bahwa perubahan orientasi usahatani padi menjadi kelapa sawit oleh petani secara ekonomi dapat dimaklumi.

C. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan 1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Faktor internal terdiri atas dua komponen dasar yaitu kekuatan (S) dan kelemahan (W). Faktor kekuatan adalah kondisi petani yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah alih fungsi lahan, sedangkan kelemahan adalah faktor yang perlu diperbaiki agar tidak mendorong petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor eksternal terdiri atas peluang (O) dan ancaman (T). Faktor peluang adalah situasi atau kondisi yang berasal dari luar kondisi sosial ekonomi budaya petani padi yang dapat diraih di masa depan apabila tidak melakukan alih fungsi lahan, sedangkan ancaman merupakan kondisi di luar petani yang mengancam eksistensi keberadaan lahan sawah atau kondisi yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Deskripsi faktor internal dan eksternal diuraikan sebagai berikut.

Identifikasi faktor internal Kekuatan (S):

S1. Usahatani padi sawah merupakan sumber pendapatan utama petani. S2. Kepemilikan lahan sawah yang cukup luas.

S3. Budaya petani yang mendukung usahatani padi relatif sulit dirubah karena bertujuan untuk pemenuhan pangan keluarga.

Kelemahan (W):

W1. Rendahnya produktivitas padi karena penerapan teknologi budidaya yang masih rendah.

W2. Keuntungan usahatani padi yang masih rendah. W3. Keterbatasan modal dalam usahatani padi. W4. Kelembagaan kelompok tani yang masih lemah.

W5. Pengetahuan petani tentang aturan alih fungsi lahan yang masih lemah. Identifikasi faktor eksternal

Peluang (O):

O1. Adanya peraturan perundangan mencegah alih fungsi lahan.

O2. Harga gabah/beras yang cenderung terus meningkat atau kurang berfluktuasi dibandingkan dengan TBS kelapa sawit.

O3. Tingkat keuntungan usahatani padi tidak berbeda jauh dengan kelapa sawit. Ancaman (T):

T1. Kebijakan Pemerintah Daerah yang berorientasi pada peningkatan PAD. T2. Jaringan irigasi banyak yang rusak.

(10)

10 T3. Penegakan hukum yang masih lemah.

2. Analisis Faktor Strategis Internal dan Eksternal

Setelah faktor-faktor strategis internal dan eksternal untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan diidentifikasi, dapat disusun analisis faktor strategis internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary / IFAS) dan analisis faktor strategis eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary / EFAS) yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis faktor strategis internal dan eksternal pengendalian alih fungsi lahan.

No Uraian Bobot Rating Skor

Faktor Internal Kekuatan (S):

S1. Usahatani padi sawah merupakan sumber pendapatan utama petani

S2. Kepemilikan lahan sawah petani yang cukup luas S3. Budaya petani yang mendukung usahatani padi relatif

sulit dirubah karena bertujuan untuk pemenuhan pangan keluarga 0,35 0,25 0,40 4 3 3 1,40 0,75 1,20 Jumlah S 1,00 3,35 Kelemahan (W):

W1. Rendahnya produktivitas padi karena penerapan teknologi budidaya yang masih rendah

W2. Keuntungan usahatani padi yang masih rendah W3. Keterbatasan modal dalam usahatani padi W4. Kelembagaan kelompok tani yang masih lemah

W5. Pengetahuan petani tentang aturan alih fungsi lahan yang masih lemah 0,30 0,25 0,10 0,15 0,25 4 4 2 2 3 1,40 1,00 0,20 0,30 0,75 Jumlah W 1,00 3,20 1

Selisih skor (jumlah S – jumlah W) 0,15

Faktor Eksternal Peluang (O):

O1. Adanya peraturan perundangan yang mencegah alih fungsi lahan

O2. Harga gabah/beras yang cenderung terus meningkat atau kurang berfluktuasi dibandingkan dengan kelapa sawit O3. Tingkat keuntungan usahatani padi tidak berbeda jauh

dengan kelapa sawit

0,35 0,35 0,30 3 3 2 1,05 1,05 0,60 Jumlah O 1,00 2,70 Ancaman (T):

T1. Kebijakan Pemerintah Daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan PAD

T2. Jaringan irigasi banyak yang rusak T3. Penegakan hukum yang masih lemah

0,30 0,50 0,20 4 4 4 1,20 2,00 0,80 2 Jumlah T 1,00 4,00

Selisih skor (jumlah O – jumlah T) 1,30 Terlihat pada Tabel 6 bahwa selisih skor faktor internal (jumlah S – jumlah W) sebesar 0,15 dan selisih skor faktor eksternal (jumlah O – jumlah T) sebesar 1,30. Kombinasi faktor internal dan eksternal dapat digambarkan dalam diagram kuadran strategi pencegegahan alih fungsi lahan yang diarahkan pada kuadran II. Pada Gambar 1 terlihat bahwa antisipasi alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit yang mungkin dilakukan petani akan menghadapi ancaman dan tantangan yang kuat dari luar meskipun petani masih tetap memiliki kekuatan untuk tidak melakukan alih fungsi lahan.

(11)

11

Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi petani untuk mempertahankan lahan sawahnya melalui berbagai strategi khususnya oleh Pemerintah sehingga ancaman dapat diatasi dan dirubah menjadi peluang. Dari 3 ancaman yang dihadapi yaitu: (1) kebijakan Pemerintah Daerah yang berorientasi pada peningkatan PAD sehingga kurang mempertimbangkan terjadinya alih fungsi lahan sawah ke peruntukan lain, bukan saja ke perkebunan kelapa sawit; (2) kerusakan jaringan irigasi yang menyebabkan ketersediaan air tidak mencukupi pada hamparan persawahan produktif/potensial; (3) aturan dan penegakan hukum di lapangan yang masih lemah sehingga alih fungsi lahan sawah marak dilakukan; ketiganya memerlukan intervensi Pemerintah dalam penanganannya.

Gambar 1. Diagram kuadran strategi pencegahan alih fungsi lahan.

Dari hasil analisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan), diketahui bahwa aspek kekuatan mempunyai skor sedikit lebih tinggi dibanding kelemahan dengan selisih skor sebesar 0,15 yang berarti bahwa petani dapat berperan dalam mengantisipasi alih fungsi lahan. Kelemahan petani yang dominan harus segera diatasi diantaranya adalah rendahnya produktivitas disebabkan oleh penerapan teknologi yang masih sederhana sehingga keuntungan usahatani padi juga masih rendah. Hal ini memerlukan upaya peningkatan intensitas penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan dalam perbaikan teknologi oleh berbagai pihak terkait secara bersinergi antara dinas/instansi terkait, petugas lapangan, penyuluh, maupun petani maju.

Ditinjau dari faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman), faktor ancaman mempunyai skor lebih besar dibanding skor peluang dengan selisih skor sebesar 1,30 yang berarti bahwa kondisi eksternal dapat menyebabkan petani melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi kelapa sawit.

3. Penyusunan Matrik SWOT

Matrik SWOT menggambarkan bagaimana kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki dapat disesuaikan dengan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi. Matrik ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi antisipasi alih fungsi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

(12)

12

Tabel 7. Matrik SWOT strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah. FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL Kekuatan (Strengths): 1. Usahatani padi sawah merupakan sumber pendapatan utama petani 2. Kepemilikan lahan sawah petani yang cukup luas 3. Budaya petani

yang mendukung usahatani padi relatif sulit dirubah

Kelemahan (Weaknesses):

1. Rendahnya produktivitas padi karena penerapan teknologi budidaya yang masih rendah

b. Keuntungan

usahatani padi yang masih rendah

c. Keterbatasan

modal dalam usahatani padi

d. Kelembagaan

kelompok tani yang masih lemah

e. Pengetahuan

petani tentang aturan alih fungsi lahan yang masih lemah

Peluang (Opportunities): 1. Adanya peraturan perundangan yang mencegah alih fungsi lahan 2. Harga gabah/beras yang cenderung terus meningkat atau kurang berfluktuasi dibandingkan dengan TBS kelapa sawit 3. Tingkat keuntungan usahatani padi tidak berbeda jauh dengan kelapa sawit Strategi S-O: Memanfaatkan budaya petani untuk melakukan

penyuluhan/sosialisasi tentang aturan perundangan

mengenai pencegahan alih fungsi lahan sawah sebagai sumber pendapatan utama petani.

Strategi W-O:

a. Meningkatkan produktivitas padi melalui penerapan teknologi untuk meningkatkan keuntungan usahatani. b. Meningkatkan peran kelembagaan kelompok tani sebagai

wadah sosialisasi peraturan larangan alih fungsi lahan.

Ancaman (Threats): 1. Kebijakan Pemerintah Daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan PAD 2. Jaringan irigasi banyak yang rusak 3. Penegakan hukum yang Strategi S-T: a. Menjaga kepemilikan lahan sawah petani dengan menetapkan lahan abadi pertanian tanaman pangan. b. Memanfaatkan

budaya petani agar ikut berpartisipasi dalam pengelolaan dan perbaikan jaringan irigasi yang menjadi Strategi W-T:

a. Meningkatkan pengetahuan petani tentang aturan alih fungsi lahan melalui penyuluhan dan pendekatan persuasif. b. Meningkatkan peran kelembagaan kelompok dalam

(13)

13

masih lemah prioritas

Pemerintah.

Berdasarkan matriks SWOT pada Tabel 7, maka dapat dirumuskan alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu sebagai berikut:

1. Menetapkan lahan abadi pertanian tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra produksi padi untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi kebun kelapa sawit.

2. Melakukan perbaikan saluran irigasi dan mendorong peran kelembagaan petani dalam pengelolaan jaringan irigasi.

3. Meningkatkan penyuluhan kepada petani, kelompok tani, dan pemuka masyarakat tentang aturan perundangan mengenai larangan alih fungsi lahan.

4. Meningkatkan produktivitas padi melalui penerapan teknologi untuk peningkatan pendapatan petani.

KESIMPULAN

Alih fungsi lahan yang terjadi di Provinsi Bengkulu terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi dan ekonomi. Faktor-faktor non ekonomi yang secara signifikan mempengaruhi alih fungsi lahan sawah adalah: resiko kegagalan dari usahatani padi sawah yang cukup tinggi, kurangnya intensitas penyuluhan, kurangnya pengetahuan tentang peraturan alih fungsi lahan, dan kendala ketersediaan air irigasi.

Alih fungsi lahan sawah di Provinsi Bengkulu dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, dikarenakan nilai manfaat (land rent) yang diperoleh lebih besar. Jika lahan sawah ditanami kelapa sawit pendapatan petani lebih tinggi sekitar 8% dibandingkan jika ditanami padi sawah.

Rekomendasi alternatif arah kebijakan untuk mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian menjadi kebun kelapa sawit di Bengkulu adalah adalah: (1) menetapkan lahan abadi pertanian tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra produksi padi untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi kebun kelapa sawit, (2) melakukan perbaikan saluran irigasi dan mendorong peran kelembagaan petani dalam pengelolaan jaringan irigasi, (3) meningkatkan penyuluhan kepada petani, kelompok tani, dan pemuka masyarakat tentang aturan perundangan mengenai larangan alih fungsi lahan, dan (4) meningkatkan produktivitas padi melalui penerapan teknologi untuk peningkatan pendapatan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2011. Konversi Lahan Sawah di Bengkulu memprihatinkan. Bisnis Indonesia, Selasa, 22 Febuari 2011, halaman i6.

Asni. 2005. Analisis Produksi, Pendapatan, dan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Labuhan Batu. Tesis Pascasarjana Program Magister Ekonomi Pembangunan. Universitas Sumatera Utara. Medan

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011a. Produksi Padi dan Palawija Provinsi Bengkulu. BPS Provinsi Bengkulu.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011b. Bengkulu Dalam Angka Tahun 2010. BPS Provinsi Bengkulu.

Hamdan. 2012. Ekonomi Konversi Lahan Sawah menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma provinsi Bengkulu. Tesis pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. IPB. Bogor.

(14)

14

Ilham, N., Syaukat, Y., dan S. Friyatno. 2005. Perkembangan Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. http://ejournal.unud.ac.id/. SOCA (Socio-Economic of Agriculturre and Agribusiness). Volume 5 No. 2 July 2005. Universitas Udayana. Bali.

Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 26 No. 2. Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Prosiding Seminr Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries Japan dan ASEAN Secretariat. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Matondang, T. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani Padi Sawah Melakukan Alih Fungsi Lahan Ke Komoditi Perkebunan. [SKRIPSI] Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Prihtiyani. E. dan A. Mulyadi. 2011. Konsumsi Beras Turun 25,7 Kg Per Kapita. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/06/17185175/.

Rangkuti, F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Cetakan Kelimabelas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan D.R. Panuju. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor.

Suhari, Iswadi. 2011. Konversi Gabah Menjadi Beras 62,74 Persen, Tahukah Anda Darimana Angka Itu Berasal? http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/08. Diakses Tanggal 08 Oktober 2011.

Suryana, A. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, 22 November 2005.

Gambar

Tabel 1 Keragaan karakteristik petani responden
Tabel 2. Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi pada Usahatani Padi Sawah per Hektar
Tabel 4 Hasil olah data faktor yang mempengaruhi luas konversi lahan
Tabel 5. Perbandingan nilai Land Rent padi sawah dan kelapa sawit.
+4

Referensi

Dokumen terkait

7.2 The Majestic Mulch and Compost Company: An Example 7.3 Inflation and Capital Budgeting. 7.4 Investments of Unequal Lives: The Equivalent Annual Cost

Untuk memperoleh hasil belajar di atas, peserta melalui serangkaian pengalaman belajar, yaitu mulai dari membaca materi Diklat sesuai materi pokok, mendengar, dan

merupakan hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing- masing dalam

Artinya kamera CCTV tidak bias melihat suatu keadaan yang dimana tidak dapat terlihat oleh kameranya / tidak ada pada dalam jangkauan cctv tersebut. Ditambah system operasi

melalui bantuan program AMOSversi 20.0 yang menggambarkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel independen kepada variabel dependen yaitu sarana

Fungsi-fungsi tersebut yang akan bekerja untuk dapat menampilkan hasil penetuan dari algoritma Generate and Test dan algoritma Hill Climbing dalam menentukan hasil

7 Kemungkinan risiko yang dihadapi bank atau koperasi dalam penyaluran pembiayaan tidak dapat dihindarkan berupa risiko gagal bayar dari nasabah tertentu, sehingga

Perancangan Aplikasi Pencarian Jalur Terpendek untuk Daerah Kota Medan dengan Metode Steepest Ascent Hill Climbing. Universitas