• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA

TERHADAP PERILAKU BULLYING

DI LINGKUNGAN SEKOLAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Justinus Parlindungan Sihombing NIM : 019114155

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Aku hendak bersyukur kepadaMu dengan segenap hatiku,

dihadapan para allah aku akan bermazmur bagiMu.

Aku hendak sujud kearah baitMu yang kudus dan memuji namaMu,

oleh karena kasihMu dan oleh karena setiaMu;

sebab Kaubuat namaMu dan janjiMu melebihi segala sesuatu.

Pada hari aku berseru, Engkaupun menjawab aku,

Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku.

Semua raja di bumi akan bersyukur kepadaMu, ya TUHAN,

sebab mereka mendengar janji dari mulutMu;

mereka akan menyanyi tentang jalan-jalan TUHAN,

sebab besar kemulian TUHAN.

TUHAN itu tinggi, namun Ia mengindahkan orang yang hina,

dan mengenal orang yang sombong dari jauh.

Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku;

terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tanganMu,

dan tangan kananMu menyelamatkan aku.

TUHAN akan menyelesaikannya bagiku!

Ya TUHAN, kasih setiaMu untuk selama-lamanya; janganlah Kau

tinggalkan perbuatan tanganMu!

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku persembahkan skripsi ini kepada Allah Bapa di surga, semoga

setiap nafas dan langkah ku memuliakan namaMu …..

Kepada Bapa dan Mama, terima kasih karena telah memperlihatkan

arti cinta kasih yang sejati ……..

Kepada kakak, abang, dan adek-adek ku, terima kasih atas pengertian

dan dukungan kalian selama ini ….

Kepada Monalisa ku, senyumanmu sudah cukup untuk menerangi

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

yogyakarta, 26 Maret 2010

Penulis,

(7)

vii

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap masyarakat Yogyakarta terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah. Bullying adalah fenomena pemaparan aksi-aksi negatif berupa aksi-aksi fisik, verbal atau aksi tidak langsung yang bertujuan untuk menimbulkan cedera fisik atau rasa tidak nyaman terhadap seseorang atau suatu kelompok, berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu, dari satu atau lebih siswa (Olweus, Limber & Mihalic dalam Spade, 2007). Subjek penelitian adalah orang–orang yang tinggal dan menetap di Yogyakarta, berusia antara 14-64 tahun. Penelitian dilakukan dengan menggunakan skala sikap terhadap bullying di lingkungan sekolah. Sampel diperoleh dengan teknik purposive sampling dengan subjek keseluruhan sebanyak 101 orang dan menggunakan metode analisis data statistis deskriptif. Uji realibilitas dengan teknik Cronbach Alpha yang menghasilkan koefisien realibilitas sebesar 0,929. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umun subjek dalam penelitian ini memiliki sikap dengan arah negative terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah. Hal ini terlihat dari hasil mean empirik yang lebih kecil dibandingkan mean teoritik (70,743 > 75). Secara umum, uji t (dengan signifikansi 0,05) pada penelitian ini menunjukkan angka sebesar -3,386 yang berarti bahwa secara signifikan ada perbedaan antara mean empirik dan mean teoritik (p – 0,000 < 0,01). Hasil analisa uji t (dengan signifikansi 0,05) menunjukkan bahwa skor beda mean aspek bullying hubungan dalam skala penelitian memiliki nilai beda mean yang paling rendah dibandingkan skor beda mean

aspek bullying yang lainnya, hal ini berarti aspek bullying hubungan memiliki intensitas sikap arah negatif yang paling lemah dibandingkan aspek-aspek bullying yang lainnya (beda skor mean bullying fisik = -1,69307; beda skor meanbullying verbal = -1,49505; beda skor meanbullying

non-verbal = -0,79703; beda skor meanbullying hubungan = -0,27228).

(8)

viii

ABSTRACT

Yogyakarta People Attitude toward School Bullying

Justinus Parlindungan Sihombing Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2010

The research aimed to assess the attitude of people in Yogyakarta toward school bullying. Bullying is the repeated exposure, over time, to negative actions from one or more other students. Negative actions can include physical, verbal or indirect actions that are intended to inflict injury or discomfort upon another (Olweus, Limber & Mihalic in Spade, 2007). The subjects in this research are people, in the age 14-64 years old, and currently living in the Jogjakarta province region. The research sample is 101 people, and was selected using the purposive sampling technique. The research used the attitude toward school bullying scale. The analysis technique used to assess research data was the descriptive statistic technique. To test the reliability, this research used the Alpha Cronbach technique, and produced a reliability coefficient of 0,929. In general, the t-test yielded -3,386, this showed significant difference between the theoretical mean and the empirical mean (p – 0,000 < 0,01). T-test (0.05 significance). Relational bullying aspect yield the lowest mean difference scores compared to the rest of bullying aspects (physical bullying aspect, -1,69307; verbal bullying aspect, -1,49505; non-verbal bullying aspect, -0,79703; and relational bullying aspect -0,27228).

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Justinus Parlindungan Sihombing

Nomor Mahasiswa : 019114155

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Perilaku Bullying di Lingkungan

Sekolah”

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendestribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 26 Maret 2010 Pemberi pernyataan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa di Surga atas segala kasih sayang dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying di Lingkungan Sekolah” ini dengan baik.

Banyak hal yang telah dilalui dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini hingga akhirnya siap untuk diujikan, dan banyak pihak yang telah membantu penulis dalam perjalanan proses tersebut. Oleh sebab itu, untuk menghargai semua pihak yang telah terlibat secara langsung dan tidak langsung, perkenankan penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan dan petunjuk.

2. Ibu Silvya CMYM., M.si., selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma atas dorongan semangat, dukungan, nasehat-nasehat dan terutama kepercayaannya terhadap diri penulis. Terima kasih bu.

3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, membantu melalui tahap demi tahap, memberi petunjuk dan saran yang sangat berguna demi selesainya penelitian ini, memberikan pelajaran hidup serta mengajarkan pola berpikir yang lebih baik.

(11)

xi

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi. sebagai dosen penguji kedua, terima kasih telah memberikan masukan dan kritik untuk memperbaiki skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang sudah membimbingku selama proses perkuliahan dan di luar proses perkuliahaan.

7. Mas Gandung, Bu Nanik selaku sekretariat Fakultas Psikologi, dan khususnya Pak Gie yang selalu memberi senyum dan siap membantu.

8. Mas Muji dan Mas Doni yang membantu pelaksanaan ujian skripsiku dan membantu selama perkuliahaan dan praktikum.

9. Bapa dan Mama atas keringat dan kasih sayang yang mereka berikan. Terima kasih telah menunjukkan arti cinta kasih sejati dan nilai kerja keras. Semoga aku telah dapat membuat kalian bangga seperti aku bangga memiliki kalian sebagai orangtua ku.

10.Saudaraku Ka Siska, Ka Deta, Bang Sian, Ka Tina, Dek Mega dan Dek sudung. Terima kasih karena kalian telah menerima aku apa adanya dan segala pengorbanan, dukungan serta kasih sayang yang telah kalian curahkan.

11.Glorya Monalisa Napitu. Melalui dirimu Tuhan telah menunjukkan bahwa dia ada dan Dia mengasihiku. Aku berharap kau mau berjalan bersamaku hingga akhir.

12.Keluarga besar Sihombing dan Siringo-ringo. Keluarga Tulang Kalimantan dan Tulang guru di Sipultak serta lae-laeku dan pariban-paribanku. Terima kasih atas nasehat dan dukungan kalian selama ini.

13.“My brother and sister in arm”, Oyi, Uli, Angga, Lasro, dan Rini, perjuangan bersama kalian tidak akan ku lupakan.

(12)

xii

15.Teman-teman Patria-ku, Angga, Bro, Henry, Dhedhe, Seoul, Mula, Burung, Bendhot, Gaby, Hooh, Ditho, Kadek, Ridho, Agung, Yosie, Dadiet, Aji, Felix, dan Rio. terima kasih atas persahabatan kalian. Terima kasih telah tertawa dan menangis bersama-sama.

16.Mas Gundul, Mas Lilik dan teman-teman di Samudra dan Saleho, terima kasih atas semua pelajaran hidup dan pelajaran mancingnya.

17.Pantai Gesing, pantai Pagak, dan semua daerah pantai selatan serta laut selatan. Terima kasih telah memberikan kesegaran baru ketika kepalaku telah penuh dengan kepenatan.

18.Semua pihak yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu yang sudah mendukungku selalu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya selanjutnya.

Akhirnya penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan kontribusi untuk semua pihak yang berkepentingan. Terima kasih.

Yogyakarta, 26 Maret 2010 Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman Judul …………...…...………... i

Halaman Persetujuan Pembimbing …... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran... xviii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

(14)

xiv

BAB II : LANDASAN TEORI ... 10

A. Bullying ………... 10

1. Definisi Bullying ………... 10

2. Jenis-Jenis Bullying ... 12

B. Sikap ………... 17

1. Pengertian Sikap …... 17

2. Karakteristik Sikap …... 19

3. Komponen Sikap ………... 21

4. Ciri-ciri Sikap ….………... 21

5. Pembentukan dan Perubahan Sikap ……….. 22

6. Fungsi Sikap ... 26

7. pengukuran Sikap ………... 28

C. Masyarakat Yogyakarta ... 31

1. Daerah Yogyakarta …………... 31

2. Definisi Masyarakat Yogyakarta ... 32

3. Budaya Masyarakat Yogyakarta ... 32

D. Pelajar dan sekolah ………... 33

E. Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying di Lingkungan Sekolah ………. 34

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 36

A. Jenis Penelitian …... 36

B. Definisi Operasional ………. 36

(15)

xv

2. Sikap ……….. 38

C. Sikap terhadap Bullying ……… 39

D. Subjek Penelitian ……….. 39

E. Metode Pengambilan Data ……… 40

F. Uji Validitas dan Reliabilitas ………. 43

1. Uji Validitas ………... 43

2. Seleksi Aitem ………. 44

3. Uji Reliabilitas ………... 46

G. Metode Analisis Data………. 47

BAB IV : HASIL dan Analisa DATA ………. 50

A. Orientasi Kancah ………... 50

B. Pelaksanaan Penelitian ……….. 51

C. Hasil Penelitian ………. 51

1. Uji Normalitas ……… 51

2. Analisa Deskriptif Data Penelitian ………. 52

3. Kategorisasi Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying di Lingkungan Sekolah ………... 54

4. Analisa Data pada Setiap Aspek Bullying ………. 55

D. Pembahasan …... 56

BAB V : KESIMPULAN dan SARAN ……….. 63

A. Kesimpulan ………... 63

B. Saran ……….. 63

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Nilai/skor berdasarkan kategori jawaban ……… 41

TABEL 2. Jumlah aitem dan prosentase aitem skala (sebelum diuji kesahihannya) 42 TABEL 3. Uji coba penyebaran random nomer aitem skala (sebelum diuji kesahihannya) ……….. 42

TABEL 4. Penyebaran aitem skala (setelah diuji kesahihan aitem-aitemnya) …… 45

TABEL 5. Norma kategori jenjang skala ………... 48

TABEL 6. Komposisi subjek berdasarkan daerah asal ……….. 50

TABEL 7. Uji normalitas ……… 52

TABEL 8. Deskripsi data penelitian ………... 53

TABEL 9. Uji (t) mean empirik dan mean teoritis ………. 54

TABEL 10. Kategori skor total subjek ……….. 55

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A. Tabulasi uji coba ……….. 71

LAMPIRAN B. Tabulasi penelitian ………... 81

LAMPIRAN C. Deskripsi data penelitian ……….. 91

LAMPIRAN D. Uji normalitas & analisa statistik deskriptif ……….... 102

LAMPIRAN E. Skala uji coba …..………. 107

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi

Hak Anak yang diratifikasi melalui Kepres 36 Tahun 1996 menyatakan

bahwa hak anak untuk mendapatkan rasa aman di lingkungan sekolah dijamin

oleh negara. Namun hingga saat ini masih terdapat banyak berita di media

massa mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap anak di dalam lingkungan

sekolah. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),

yang diperoleh melalui hotline service dan pengaduan ke KPAI,

memperlihatkan bahwa pada tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan

terhadap anak. Contoh kasus terbaru adalah kasus pengeroyokan terhadap

Ade Fauzan salah satu murid kelas 1 SMA 82 oleh kakak-kakak kelasnya

(Saputra, 2009).

Kekerasan di lingkungan sekolah dikenal dengan istilah bullying.

Bullying bisa dilakukan baik oleh individu maupun kelompok, teman sebaya

bahkan oleh pihak orang dewasa misalnya para guru. Kasus bullying di

lingkungan sekolah bisa terjadi pada semua tingkatan sekolah, mulai dari TK

hingga SLTA, bentuknya bisa berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan,

intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, serta kekerasan fisik atau mental secara luas

(20)

PACER Center (organisasi bertujuan meningkatkan kualitas hidup

anak dengan keterbatasan) menyatakan bahwa di Amerika Serikat setiap

tahunnya terdapat 3,2 juta anak yang menjadi korban bullying, dan lebih dari

160.000 anak membolos setiap hari karena trauma dengan teror yang

diterimanya di sekolah. Mereka juga menemukan bahwa makin muda umur

anak, biasanya bullying lebih ke arah fisik dan semakin bertambah usia,

perilaku bullying semakin ke arah verbal dan psikologis (“Lindungi Anak”,

2008).

Mellor (“Kekerasan di Sekolah”, 2008; “Hati-hati Bullying”, 2008)

dari Antibullying Network University of Edinburgh menyatakan bullying

terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain, baik

berupa verbal, fisik, maupun mental dan orang tersebut takut bila perilaku

tersebut akan terjadi lagi, dan biasanya para pelaku mencontoh situasi serupa

di lingkungannya. Argiati (“Awas Bullying” 2008), menyatakan bahwa

korban menerima perlakuan bullying karena takut, mereka tidak mau melapor

kepada guru karena kuatir akan berakibat lebih buruk,". Argiati (“Awas

Bullying” 2008) juga menyatakan bahwa tindakan bullying dapat

mengakibatkan konsentrasi siswa berkurang, kehilangan kepercayaan diri,

stres dan sakit hati, trauma berkepanjangan, membalas bullying, merasa tidak

berguna, berbohong, berperilaku kasar, dendam, dan takut ke sekolah. Contoh

efek mematikan dari bullying terhadap anak adalah kasus Linda (15), seorang

siswa kelas II SLTPN di Jakarta yang ditemukan gantung diri di kamar

(21)

Linda menyatakan bahwa Linda mengalami depresi akibat diejek

teman-temannya karena ia pernah tidak naik kelas.

Di Bantar Gebang, Juli 2005, Fifi Kusrini (13) gantung diri di kamar

mandi (Hartiningsih, 2009). Kata sang ayah, putrinya merasa malu karena

diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Haryana (“Bullying,

Normalkah?” 2009) dari Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) menyatakan

bahwa terdapat sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di

kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun yang dilaporkan dalam

media massa pada tahun 2002-2005.

Etikawati (2008) menyatakan proses perkembangan anak menjadi

remaja pelaku agresi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu biologis,

psikologis dan sosial-kultural. Wenar & Kerig (dalam Etikawati, 2008)

menyatakan bahwa tingkat agresi tinggi pada anak-anak dapat merupakan

hasil dari abnormalitas neurologis.

Secara psikologis, anak agresif menunjukkan kontrol diri dan

ketrampilan sosial yang rendah; kemampuan pengambilan perspektif rendah,

empati terhadap orang lain kurang berkembang, dan salah dalam mengartikan

sinyal atau tanda-tanda sosial, anak tersebut memiliki keyakinan bahwa agresi

merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Anak-anak yang

mengembangkan perilaku agresif biasanya tumbuh dalam pengasuhan yang

tidak kondusif; anak mengalami kelekatan tidak aman dengan pengasuh

terdekatnya, orangtua menerapkan disiplin terlalu keras ataupun terlalu

(22)

suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada

anggota keluarganya (Etikawati, 2008).

Faktor pubertas dan krisis identitas yang normal terjadi dalam proses

perkembangan remaja juga meningkatkan dorongan perilaku kekerasan.

Selama proses mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar

membentuk geng, jika orientasi geng menyimpang, hal ini kemudian

menimbulkan banyak masalah. Remaja menjadi pelaku bullying dapat

disebabkan oleh rasa balas dendam atas perlakuan penolakan dan kekerasan

yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP). Secara

langsung maupun tidak langsung masyarakat turut berpengaruh terhadap

munculnya perilaku (Etikawati, 2008).

Etikawati (2008) menyatakan secara sosiokultural bullying dipandang

sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari

lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi

kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan

masalah. Misalnya saja tindakan premanisme yang sehari-hari dapat dilihat

di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa,

seperti perilaku kekerasan antar polisi dengan kelompok mahasiswa pada Mei

1998. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui

media visual, seperti film-film aksi dan kartun yang memperlihatkan adegan

kekerasan, misalnya “Tom and Jerry”. Walaupun tak kasat mata, budaya

(23)

menumbuhkan perilaku menindas, misalnya ritual perploncoan yang masih

marak dalam sekolah-sekolah di Indonesia (Etikawati, 2008).

Muchtar (“Hati-hati Bullying” 2008), menyatakan bahwa bullying

biasanya terjadi di dalam Masa Orientasi Siswa (MOS), perubahan pengurus

lama dengan yang baru baik OSIS maupun kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan

ekskul Paskibra, pemandu sorak atau latihan dasar kepemimpinan. Muchtar

(“Hati-hati Bullying”, 2008) menyatakan bahwa biasanya alumni menjadi

pendorongnya, bentuknya bisa berupa permintaan kakak kelas yang sering

menekan perasaan atau bahkan menyiksa fisik agar adik kelasnya

memperoleh tanda tangan serta terjadinya pelecehan atau tindakan yang

mempermalukan, menyinggung dan mengintimidasi.

Dalam kenyataannya, kasus bullying yang dilakukan oleh siswa

SMP/SMU tidak terlepas dari pengaruh “pewarisan ideologi” dari para

lulusan atau alumni sekolah tersebut. Faktor ini juga sangat berpengaruh

terhadap pewarisan tradisi siapa “kawan” dan siapa “lawan” dalam tawuran.

Media massa juga memberikan edukasi yang antisosial, khususnya dalam

sejumlah sinetron atau film remaja yang berisi “kebencian” hanya karena

alasan kelompok kaya atau miskin, kelompok cantik atau jelek, kelompok

gaul atau cupu. Meskipun sinetron atau film hanyalah fiksi, namun secara

tidak langsung memberikan model bagi usia anak untuk berperilaku.

Ironisnya, kecenderungan ini juga terjadi untuk kelompok usia anak sekolah

(24)

Dari tiga kota pelaksanaan survei mengenai gambaran bullying di

sekolah yang dilakukan oleh Juwita (“Kekerasan di Sekolah”, 2008)

menunjukkan bahwa Yogyakarta mencatat angka tertinggi dibanding Jakarta

dan Surabaya. Ditemukan kasus bullying di 70,65 persen SMP dan SMU di

Yogyakarta. Juwita (“Kekerasan di Sekolah”, 2008) mengatakan tingginya

kasus bullying di Yogyakarta belum diketahui sebabnya. Anehnya, dalam

penelitian yang sama Juwita (“Kekerasan di Sekolah”, 2008) juga

menemukan sekolah dengan tingkat bullying terendah, terutama di daerah

pinggiran Yogyakarta. Juwita (“Kekerasan di Sekolah”, 2008) menyatakan ia

merasa heran karena wilayah Jawa Tengah, dalam hal ini daerah Yogyakarta,

dikenal dengan karakter pribadi yang halus.

Yogyakarta merupakan suatu kawasan dengan lanskap masyarakat

yang plural dan juga pluralis. Plural dalam arti kenyataan masyarakat

Yogyakarta tersusun dari berbagai etnis dan golongan, dan pluralis karena

budaya saling menghormati, tenggang rasa, tepa salira, dan inklusif tetap kuat

(Fakih, 2009).

Pluralitas Yogyakarta, tak dapat dielak, amat didukung oleh potensi

besar di bidang pendidikan dan pariwisatanya. Yogyakarta telah

menunjukkan diri sebagai salah satu kota yang mengembangkan secara pesat

fasilitas dan kualitas pendidikannya. Hal ini tentu menjadi harga tawar yang

sangat menarik untuk warga lain. Buktinya, dari tahun ke tahun, distribusi

masyarakat luar ke Yogyakarta menunjukkan angka yang signifikan (Fakih, ,

(25)

Santoso (2009) menyatakan bahwa sebagai kota pendidikan

Yogyakarta banyak kedatangan penduduk dari luar daerah untuk belajar.

Kondisi ini kemudian memunculkan pemukiman baru, komunitas baru, kelas

baru dengan sifat ciri yang baru pula. Golongan masyarakat terdidik baru

yang jumlahnya tidak sedikit ini cukup mewarnai dan menjadi ikon bagi

Yogyakarta. Kota pelajar, kota pendidikan adalah predikat yang

disandangnya.

Heterogenitas masyarakat Yogyakarta serta konsekuensi dari kota

pendidikan, yakni kecepatan perkembangan teknologi terutama teknologi

informasi dan derasnya informasi yang mengalir masuk secara langsung dan

tidak langsung telah membentuk sendi-sendi kehidupan sosial budaya

masyarakat Yogyakarta dan memberikan sumbangan pengaruh terhadap

kenyataan bullying yang ditunjukkan oleh penelitian Juwita. Masalah timbul

ketika berbagai pengaruh tersebut diterima oleh generasi muda yang belum

memiliki pegangan budaya. Pada saat ini terdapat kesenjangan antara

generasi muda Yogyakarta dengan generasi sebelumnya, akibat terhentinya

pola pewarisan budaya. Pola pewarisan budaya ini terhenti karena adanya

kesenjangan penguasaan informasi dengan teknologinya. Golongan tua yang

masih memegang teguh tradisi budaya lama kurang dapat mengikuti

perkembangan teknologi informasi dan isinya. Dilain pihak generasi sekarang

demikian cepat menangkap segala sesuatu yang baru tanpa dibarengi adanya

sarana penyaring yang memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Kondisi ini

(26)

Generasi baru ini kemudian melahirkan generasi yang asing dengan

budayanya sendiri. Sebagai misal bahasa jawa halus kini semakin asing

(Santoso, 2009).

Azwar (2005) menyatakan bahwa pengalaman pribadi, pengaruh

faktor emosional, pengaruh orang lain yang dianggap penting (significant

other), pengaruh kebudayaan, media massa, dan lembaga pendidikan atau

lembaga agama merupakan faktor penting yang mempengaruhi pembentukan

dan perubahan sikap individu dan masyarakat. Situasi ini memancing rasa

ingin-tahu dan menimbulkan pertanyaan dalam pikiran penulis: pada saat ini

bagaimana sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kenyataan perilaku

bullying di lingkungan sekolah?.

Penulis berharap dengan mengetahui sikap masyarakat Yogyakarta

mengenai bullying di lingkungan sekolah, diharapkan akan dapat membantu

para peneliti ilmu sosial dan psikologi yang tertarik dengan tema bullying

dalam memahami bagaimana masyarakat umum terutama masyarakat

Yogyakarta bersikap terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah. Hasil

penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan insight dan inspirasi bagi

pihak-pihak yang ingin mengatasi kekerasan dalam lingkungan sekolah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut: bagaimana sikap masyarakat

(27)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

Memperoleh gambaran sikap masyarakat Yogyakarta mengenai perilaku

bullying di lingkungan sekolah dengan menggunakan skala sikap.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan didapat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoretis

a. Dapat digunakan sebagai bahan referensi serta dapat menambah

wawasan dan pengetahuan untuk penelitian selanjutnya, dan

diharapkan bisa mendorong peneliti lain untuk mengembangkan

penelitian lebih lanjut, terutama mengenai tema yang berhubungan

dengan bullying di lingkungan sekolah.

b. Memberikan pengetahuan mengenai sikap masyarakat dalam

memandang perilku bullying di lingkungan sekolah.

2. Manfaat Praktis

Memberikan panduan mengenai sikap masyarakat bagi petugas

lapangan program-program anti bullying di lingkungan sekolah dalam

(28)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Bullying

1. Definisi Bullying

Konsep bullying dalam penelitian ini berpusat pada hasil penelitian Dan Olweus, seorang peneliti yang berasal dari Norwegia, yang pada awal tahun 1970-an memunculkan konsep bullying sebagai salah satu subgroup dari agresi (Olweus, dalam Spade, 2007). Olweus (dalam Spade, 2007), memulainya dengan meneliti hirarki dominasi dan menemukan pola-pola hubungan sosial paralel dengan konsep perilaku pelaku bullying. Ia menemukan bahwa kecenderungan agresif pelaku bullying sering kali merupakan perilaku agresif pengganti terhadap subjek korban yang tidak bersalah, serupa dengan konsep kambing hitam.

(29)

Stephenson dan Smith (dalam Oliver & Candappa, 2003), mendefinisikan bullying sebagai sebuah interaksi dimana seorang individu atau kelompok yang lebih dominan secara sengaja menyebabkan penderitaan pada individu atau kelompok yang kurang dominan. Pearce (dalam Oliver & Candappa, 2003), mendefinisikan perilaku bullying

sebagai bagian dari kontinuum perilaku agresif dan anti-sosial.

Pengalaman kekerasan dan agresi yang sebelumnya juga memiliki peran penting terhadap reaksi seseorang dalam situasi konflik, bahkan terhadap subgrup seperti kelompok saksi. Di lingkungan sekolah, faktor lain yang mempengaruhi reaksi seseorang adalah: iklim kelompok, ukuran dan komposisi kelas, pola pengajaran guru, dan karakteristik kepribadian guru. Berdasarkan hasil penelitian mereka, Olweus, Limber, dan Mihalic (dalam Spade, 2007) menyatakan bahwa bullying adalah pemaparan terhadap aksi-aksi negatif, berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu, dari satu atau lebih siswa. Aksi-aksi negatif dapat berupa aksi-aksi fisik, verbal atau aksi tidak langsung yang bertujuan untuk menimbulkan cedera fisik atau rasa tidak nyaman terhadap pihak lain (Olweus, Limber & Mihalic dalam Spade, 2007).

(30)

“ketidak-seimbangan kekuatan” atau hubungan kekuasaan asimetris, artinya pihak korban atau siswa yang menjalani pengalaman negatif tersebut mengalami kesulitan dalam mempertahankan dirinya sendiri (Olweus, dalam Spade, 2007). Oleh karena itu bullying adalah perilaku agresi proaktif yang umumnya terjadi dan berulang tanpa alasan jelas atau tanpa diprovokasi oleh pihak korban (Olweus, dalam Spade, 2007).

Berdasarkan paparan sebelumnya definisi bullying dalam penelitian ini adalah fenomena pemaparan aksi-aksi negatif berupa aksi-aksi fisik, verbal atau aksi tidak langsung yang bertujuan untuk menimbulkan cedera fisik atau rasa tidak nyaman terhadap seseorang atau suatu kelompok, berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu, dari satu atau lebih siswa (Olweus, Limber & Mihalic dalam Spade, 2007).

2. Jenis-jenis bullying

Para partisipan dalam penelitian Espelage (dalam Spade, 2007) mendefinisikan bullying sebagai perilaku agresi baik fisik dan verbal dan berupa: ancaman, manipulasi, menyebarkan berita bohong, merusak barang milik korban, mengambil barang milik korban, balas dendam atau tindak perlawanan, mencari kekuatan. Espelage (dalam Spade, 2007), juga menemukan bahwa para partisipan dapat membedakan antara perilaku

bullying dengan perilaku bercanda.

(31)

bullying kecuali kalau permasalahannya menjadi bersifat fisik. Namun Dennis dan Satcher (dalam Spade, 2007), menemukan bahwa agresi verbal seperti nama panggilan adalah bentuk bullying yang paling umum terjadi.

Etikawati (2008) menyatakan Sebenarnya bullying tidak hanya meliputi kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, ataupun memalak, tetapi juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip, dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying, sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul, dan ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria.

(32)

dicaci (44,25 persen), dituduh (38,05 persen), disoraki (38,05 persen), dan diancam (33,62 persen).

Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mengelompokkan perilaku

bullying ke dalam 5 kategori:

a. Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit,

menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain)

b. Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan,

memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)

c. Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh

bullying fisik atau verbal).

d. Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang,

memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng). e. Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik

(33)

Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, Simmons-Morton, dan Scheidt. (dalam Spade, 2007), mendaftar lima tipe perilaku bullying, yaitu:

a. Mengejek agama atau ras

b. Mengejek penampilan atau cara berbicara c. Memukul, menampar atau mendorong d. Target gosip, rumor atau kabar bohong

e. Target komentar-komentar dan gaya tubuh dengan konteks seksual.

Totten dan Quigley (2003) mengkategorikan perilaku bullying

sebagai berikut:

a. Bullying secara langsung adalah serangan terbuka terhadap korban. Serangan ini bisa bersifat fisik, verbal, rasial, ataupun seksual:

i. Serangan fisik: gerak tubuh mengancam, memukul, menendang, mendorong, menahan, mencekik;

ii. Serangan verbal atau pelecehan terus-menerus: memberi nama panggilan, kata-kata ancaman, provokasi, kata-kata merendahkan, mengejek, pelecehan seksual, pelecehan rasial, ejekan-ejekan bersifat homofobik.

(34)

i. Isolasi sosial, pengucilan yang disengaja, penolakan, hubungan pertemanan yang manipulatif;

ii. Penyebaran rumor, penyebaran kabar bohong yang menjelek-jelekan, gerak tubuh yang melecehkan, mendiamkan dengan sengaja.

Berdasarkan beberapa kategorisasi bullying yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini memakai kategorisasi bullying sebagai berikut:

a. Bullying fisik

i. Mencuri, menyembunyikan, atau merusak benda milik orang lain

ii. Memukul, menendang, mendorong, menjambak, menampar, menjegal atau menginjak kaki, melempar dengan barang, atau meludahi

iii. Memaksa orang lain melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan seperti: memalak/mengompas, atau memberi hukuman seperti push-up atau berlari

b. Bullying verbal

i. Memberi nama panggilan ii. Mengejek, atau menghina iii. Mengancam

(35)

vi. menyoraki

c. Bullying non-verbal biasanya disertai dengan bullying fisik atau verbal

i. melihat dengan sinis, atau melotot ii. Menjulurkan lidah,

iii. Menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, d. Bullying hubungan

i. Menolak untuk berkomunikasi

ii. Menyebarkan kabar bohong atau gosip

iii. Membuat orang lain merasa ditolak atau dikucilkan iv. Mempermalukan di depan umum

B. Sikap

1. Pengertian Sikap

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai definisi sikap. Masing-masing memberikan definisi dengan batasan-batasan yang berbeda. Pada umumnya puluhan definisi tersebut secara umum masuk kedalam salah satu tiga kerangka pemikiran.

(36)

adalah afeksi senang, sedangkan afeksi negatif yang dimaksud adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Paradigma pertama memandang bahwa sikap hanya terdiri atas komponen afektif.

Paradigma kedua diwakili oleh Allport, Chave, Bogardus, LaPierre, dan Mead (Azwar, 2005). Sikap didefinisikan sebagai semacam kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu (Azwar, 2005). Allport (dalam Jahoda, Marie, & Warren, 1966; White, 1982; dalam Mar’at, 1982; dalam Sears, 1988) mengatakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamis atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. LaPierre (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Paradigma kedua ini memiliki pandangan bahwa sikap hanya mengandung komponen konatif.

(37)

Warren, 1966) mengatakan bahwa sikap adalah organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dari dunia individu.

Terdapat banyak definisi dari sikap, hal ini dikarenakan sikap merupakan masalah yang penting dan menarik banyak perhatian para ahli psikologi khususnya psikologi sosial. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa psikologi sosial menempatkan sikap sebagai problem sentralnya (Crutchfield, dalam Walgito, 1990).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kumpulan pendapat dan keyakinan (kognitif) seseorang mengenai objek yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu (afektif), dan memberikan dasar bagi kecenderungan berperilaku atau merespon objek tersebut dengan cara yang khusus (konatif).

2. Karakteristiksikap

Sax (dalam Azwar,1988) mengemukakan beberapa karakteristik sikap, yaitu:

(38)

tersebut.

b. Intensitas. Kekuatan sikap pada tiap orang belum tentu sama. Dua orang yang memiliki sikap positif terhadap suatu objek kemungkinan berbeda dalam intensitas sikap positifnya. Begitu juga sebaliknya, sikap negatif terhadap suatu objek juga memiliki derajat kekuatan sikap yang bertingkat.

c. Keluasan. Keluasan merujuk pada luas tidaknya cakupan aspek objek sikap. Seseorang dikatakan memiliki sikap mendukung terhadap suatu objek secara menyeluruh jika ia bersikap positif terhadap seluruh atau sebagian besar aspek dari objek sikap. Seseorang dikatakan memiliki sikap mendukung yang sempit jika ia hanya memiliki sikap positif terbatas pada sebagian kecil aspek objek sikap. Hal ini berlaku juga pada sikap negatif.

d. Konsistensi. Konsistensi ditunjukkan oleh derajat diskrepansi atau derajat kesesuaian antara pernyataan sikap subjek dengan respon perilakunya terhadap objek.

e. Spontanitas. Spontanitas adalah sejauh mana kesiapan subjek untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Spontanitas tinggi terjadi apabila sikap dinyatakan tanpa paksaan atau desakan terhadap subjek.

(39)

3. Komponen Sikap

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang (Azwar, 2005), yaitu:

a. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan kepercayaan, stereotipe, dan pengetahuan tentang suatu objek. b. Komponen Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan

rasa senang–tidak senang (emosional) atau penilaian subjektif terhadap suatu objek sikap. Rasa senang merupakan afek positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan afek negatif.

c. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan perilaku dan kecenderungan perilaku terhadap suatu objek sikap.

Berdasarkan uraian tersebut, sikap terdiri atas tiga komponen, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.

4. Ciri-ciri Sikap

M. Sherif dan C.W. Sherif (dalam Walgito, 1990) menyatakan bahwa sikap adalah suatu pendorong yang menimbulkan tingkah laku tertentu dengan ciri-ciri, yaitu :

(40)

pembentukan dan perubahan sikap.

b. Dapat berlangsung lama ataupun sebentar. Jika sikap sudah tertanam dan menjadi salah satu nilai kehidupan seseorang, maka memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengalami perubahan. c. Selalu ada hubungan yang positif atau negatif antara subjek

dengan objek, melalui proses pengenalan atau persepsi terhadap objek. Proses ini menimbulkan sikap tertentu pada individu. Dapat meliputi satu objek dan meliputi sekumpulan objek (kecenderungan untuk menggeneralisasikan objek sikap).

d. Mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Jadi sikap terhadap objek tertentu selalu ada perasaan yang menyertai dan mempunyai motivasi untuk bertindak tertentu terhadap objek yang dihadapi individu.

5. Pembentukan dan Perubahan Sikap

Individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya melalui interaksi sosialnya. Azwar (2005) mengatakan ada enam faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap, yaitu:

a. Pengalaman pribadi

(41)

terbentuknya sikap. Untuk memiliki tanggapan dan penghayatan terhadap suatu objek seseorang harus memiliki pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis tersebut. Pengalaman pribadi tersebut menjadi dasar pembentukan sikap apabila meninggalkan kesan yang kuat. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi tindak-tanduk dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Pada umumnya, individu cenderung memiliki sikap searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan

(42)

kelompok masyarakatnya. Hanya individu dengan kepribadian kuat yang dapat memudarkan hegemoni kebudayaan dalam pembentukan sikap individu.

d. Media massa

Sebagai sarana komunikasi orang banyak, media massa mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan kepercayaan umum. Selama menyampaikan informasi sebagai tugas pokoknya, disadari atau tidak dan disengaja maupun tidak disengaja, media massa membawa pula pesan-pesan berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Kemunculan informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif dalam informasi tersebut, apabila cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama, sebagai sebuah sistem dan institusi, berpengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. Pengaruh faktor emosional

(43)

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang s e m a t a - m a t a didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian merupakan sikap yang sifatnya sementara dan segera memudar begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula bertahan lama. Suatu contoh bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka. Misalnya prasangka rasialis dalam bentuk perusakan toko-toko milik Cina, dan penjarahan yang pernah terjadi. Hal ini terjadi karena didasari oleh faktor emosi yang berawal dari frustasi ketidakberdayaan menyamai atau melawan dominasi orang Cina di bidang ekonomi.

Faktor-faktor yang menghambat dan menunjang perubahan sikap (Mar’at, 1981), yaitu:

a. Faktor-faktor yang menghambat:

i. Stimulus bersifat ambigu atau tidak positif maupun negatif, sehingga faktor perhatian kurang berperan terhadap stimulus yang diberikan.

ii. Tidak memberikan harapan atau masa depan.

iii. Adanya penolakan terhadap stimulus tersebut, sehingga tidak ada pengertian terhadap stimulus tersebut.

b. Faktor-faktor yang menunjang:

(44)

hukuman.

ii. Stimulus mengandung harapan bagi individu.

iii. Stimulus mengandung prasangka bagi individu yang mengubah sikap semula.

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap adalah: pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting (significant other), pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan pengaruh faktor emosional.

6. Fungsi sikap

Sikap memiliki sejumlah fungsi psikologis yang berbeda (R.L. Atkinson, R.C. Atkinson, Smith, Bem, & Nolen-Hoeksema, 2004), yaitu:

a. Fungsi instrumental. Sikap yang kita pegang memiliki alasan praktis atau manfaat. Sikap ini semata-mata mengekspresikan keadaan spesifik keinginan umum kita untuk mendapatkan manfaat dan menghindari hukuman. Sebagai contohnya, sebagian besar penduduk Indonesia mendukung pelayanan pemerintah yang lebih baik tetapi menentang pajak yang lebih tinggi. Sikap dimungkinkan berubah apabila terdapat alternatif yang akan memberi manfaat yang lebih besar.

(45)

asimilasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap tersebut adalah skemata penting yang memungkinkan kita untuk mengorganisasi dan mengolah berbagai informasi secara efisien tanpa harus memberikan penekanan yang berlebihan terhadap detail. Sebagai contoh sikap negatif terhadap peristiwa G/30/SPKI telah membantu banyak penduduk Indonesia mengorganisasi dan menginterpretasikan peristiwa nasional dalam kaitannya dengan paham politik sosial-Komunis. Seperti skemata lain, sikap seringkali menyederhanakan realita dan menimbulkan bias persepsi terhadap suatu peristiwa.

c. Fungsi ekspresi nilai. Sikap mencerminkan konsep diri dan

nilai-nilai kita. Contohnya seseorang dengan sikap positif terhadap kaum homoseksual karena memegang kuat nilai-nilai keberagaman, kebebasan pribadi, dan toleransi; orang lain dengan sikap negatif terhadap kaum homo karena memegang kuat keyakinan religius yang melarang homoseksualitas. Sikap seperti ini tidak mudah berubah, sikap alternatif akan dipilih apabila seseorang mengangap sikap alternatif lebih konsisten dengan nilai-nilai atau konsep dasar yang ia miliki.

(46)

seringkali mengambil bentuk menyalahkan kelompok minoritas atas masalah pribadi atau masyarakat. Contohnya sikap negatif terhadap keturunan anggota Partai Komunis Indonesia.

e. Fungsi penyesuaian sosial. Sikap membantu kita merasa menjadi bagian dari suatu komunitas. Isi aktual dari keyakinan dan sikap kurang penting dibandingkan ikatan sosial yang diberikan bila memilihnya. Sikap dapat berubah apabila norma sosial berubah.

Berdasarkan uraian sebelumnya, sikap memiliki beberapa fungsi seperti: fungsi instrumental, fungsi pengetahuan, fungsi ekspresi nilai, fungsi pertahanan ego, dan fungsi penyesuaian sosial.

7. Pengukuran sikap

Berbagai teknik dan metode telah dikembangkan oleh para ahli untuk mengungkapkan sikap manusia dan memberikan interpretasi yang valid. Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa metode pengungkapan sikap yang telah dilakukan (Azwar, 2005):

(47)

indikator dari sikap. Tetapi, kadang-kadang ada perilaku yang ditampakkan seseorang berbeda dengan sikap sebenarnya yang dimiliki oleh individu tersebut. Ini dikarenakan ia menyembunyikan sikap yang sebenarnya mungkin dengan berbagai alasan. Misalnya, ada remaja yang tidak suka mengkonsumsi alkohol tetapi ketika berkumpul dengan teman-temannya ia ikut mengkonsumsi alkohol dikarenakan ia tidak mau dikucilkan oleh teman-temannya. Dengan demikian, perilaku yang kita amati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam konteks situasional tertentu akan tetapi interpretasi sikap harus berhati-hati apabila hanya didasarkan pengamatan perilaku yang ditampakkan seseorang.

(48)

sebenarnya secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan yaitu tanpa tekanan psikologis maupun fisik. c. Pengungkapan langsung. Pengungkapan langsung adalah versi

metode penanyaan langsung secara tertulis dengan menggunakan aitem tunggal maupun aitem ganda (Ajzen, dalam Azwar 2005). d. Skala sikap. Metode pengungkapan sikap yang sering digunakan

sampai saatini adalah skala sikap. Skala sikap sampai saat ini masih dianggap sebagai metode pengungkapan sikap yang paling dapat diandalkan dan sederhana, seperti yang diungkapkan oleh Azwar: “Metode pengukapan sikap dalam bentuk self-report yang hingga kini dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap”. Salah satu sifat skala sikap adalah isi pernyataan yang dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuannya ukurnya, akan tetapi dapat pula berupa pernyataan tidak langsung yang tujuan ukurnya kurang jelas bagi responden. Respon individu terhadap pernyataan-pernyataan sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju itulah yang menjadi indikator sikap seseorang. e. Pengukuran terselubung. Metode pengukuran terselubung

(49)

dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi di luar kendali orang yang bersangkutan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pengukuran sikap adalah dengan menggunakan skala sikap. Alasan utama menggunakan skala sikap dikarenakan asumsi bahwa skala sikap memiliki kelebihan yaitu lebih mampu menghemat waktu, tenaga, dan beaya; dan asumsi bahwa skala sikap dipandang paling dapat diandalkan dibanding metode pengumpulan data mengenai sikap lainnya.

C. Masyarakat Yogyakarta

1. Daerah Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) merupakan salah satu propinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di pulau Jawa. Secara astronomis D.I. Yogyakarta terletak antara 70° 33' LS – 8° 12' LS dan 110° 00' BT – 110° 50' BT. D.I.Y memiliki luas wilayah 314.792,91Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 3.459.432 jiwa. Batas dengan Propinsi Jawa Tengah meliputi:

(50)

Berdasarkan data yang diperoleh dari web-site resmi PEMDA Yogyakarta, Propinsi D.I.Y. terdiri atas beberapa kabupaten (“Populasi Penduduk”, 2002), yaitu:

a. Kulonprogo b. Bantul c. Gunungkidul d. Sleman e. Yogyakarta

2. Definisi Masyarakat Yogyakarta

Definisi masyarakat yogyakarta adalah semua orang yang lahir dan besar di propinsi D.I.Y., atau telah menetap dan tinggal di daerah propinsi D.I.Y. relatif lama, terdaftar dalam kartu keluarga propinsi D.I.Y., atau memiliki kartu tanda penduduk tetap serta berdomisili di propinsi D.I.Y.

3. Budaya masyarakat Yogyakarta

Secara umum budaya yang dominan ada di Yogyakarta adalah budaya Jawa. Menurut Handayani dan Novianto (2004), terdapat tiga kaidah dasar kehidupan manusia masyarakat Jawa yaitu:

1. Prinsip rukun, adalah tuntutan untuk mencegah segala kelakuan yang bisa menimbulkan konflik.

(51)

kedudukan orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam tatanan sosial. Terdapat tiga perasaan yang dikembangkan pada diri orang jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga (Geertz, dalam Handayani & Novianto, 2004), yakni: Wedi, yaitu rasa takut terhadap ancaman fisik ataupun akibat kurang enak dari suatu tindakan; isin, yaitu rasa malu; sungkan, adalah rasa hormat terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati karena kedudukan sosial yang lebih tinggi.

3. Prinsip toleransi adalah tuntutan untuk mengambil posisi liminal yaitu posisi tengah dalam memandang kehidupan dan bersikap terhadap sesama.

D. Pelajar dan sekolah

Secara umum sekolah adalah tempat untuk mendidik atau tempat dimana pendidik berinteraksi dengan yang terdidik atau pelajar. Sekolah menurut Freire (1999), adalah tempat pendidikan dimana laki-laki dan perempuan menciptakan, sekaligus menjadi hasil hubungan-hubungan sosial dan pedagogis.

(52)

E. Sikap masyarakat Yogyakarta terhadap perilaku bullying di lingkungan

sekolah

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kumpulan pendapat dan keyakinan (kognitif) seseorang mengenai objek yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu (afektif), dan memberikan dasar bagi kecenderungan berperilaku atau merespon objek tersebut dengan cara yang khusus (konatif).

Definisi bullying dalam penelitian ini adalah fenomena dimana seseorang atau kelompok mengalami aksi-aksi negatif berupa aksi-aksi fisik, verbal atau aksi tidak langsung yang bertujuan untuk menimbulkan cedera fisik atau rasa tidak nyaman terhadap pihak lain, berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu, dari satu atau lebih siswa (Olweus, Limber & Mihalic dalam Spade, 2007).

(53)

F. Skema sikap masyarakat Yogyakarta terhadap perilaku bullying di

lingkungan sekolah

(54)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif adalah penelitian yang analisis

datanya hanya sampai pada taraf deskriptif yaitu menganalisis dan

menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk

dipahami dan disimpulkan (Azwar, 2001b).

Apabila dilihat dari segi tujuan, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk

menggambarkan secara sistematik dan akurat mengenai fakta dan

karakteristik dari sebuah populasi tertentu (Azwar, 2001b). Oleh karena itu

penelitian ini berusaha untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap dari

masyarakat Yogyakarta mengenai perilaku bullying, dan data yang dikumpulkan bersifat deskriptif sehingga tidak dimaksudkan untuk mencari

penjelasan, menguji hipotesis, atau membuat prediksi.

B. Definisi Operasional 1. Bullying

Bullying adalah adalah fenomena pemaparan aksi negatif berupa aksi-aksi fisik, verbal atau aksi-aksi tidak langsung yang bertujuan untuk

(55)

suatu kelompok, berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu, dari satu

atau lebih siswa (Olweus, Limber & Mihalic dalam Spade, 2007).

Kategori bullying adalah sebagai berikut:

a. Bullying fisik

i. Mencuri, menyembunyikan, atau merusak benda milik

orang lain

ii. Memukul, menendang, mendorong, menjambak,

menampar, menjegal atau menginjak kaki, melempar

dengan barang, meludahi

iii. Memaksa orang lain melakukan hal-hal yang tidak ia

inginkan, memalak atau mengompas, memberi hukuman

seperti push-up atau berlari

b. Bullying verbal

i. Memberi nama panggilan

ii. Mengejek, atau menghina

iii. Mengancam

iv. Memaki

v. Menuduh

vi. Menyoraki

c. Bullying non-verbal biasanya disertai dengan bullying fisik atau verbal

i. melihat dengan sinis, atau melotot

(56)

iii. Menampilkan ekspresi muka yang merendahkan,

d. Bullying hubungan

i. Menolak untuk berkomunikasi

ii. Menyebarkan kabar bohong atau gosip

iii. Membuat orang lain merasa ditolak atau dikucilkan

iv. Mempermalukan di depan umum

2. Sikap

Sikap adalah suatu kumpulan pendapat dan keyakinan (kognitif)

seseorang mengenai objek yang relatif menetap, yang disertai perasaan

tertentu (afektif), dan memberikan dasar bagi kecenderungan berperilaku

atau merespon objek tersebut dengan cara yang khusus (konatif). Sikap

terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang (Azwar, 2005), yaitu:

a. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan kepercayaan, stereotipe, dan pengetahuan tentang suatu objek.

b. Komponen Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang–tidak senang (emosional) atau penilaian subjektif

terhadap suatu objek sikap. Rasa senang merupakan afek positif,

sedangkan rasa tidak senang merupakan afek negatif.

c. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan perilaku dan kecenderungan atau intensi perilaku terhadap suatu

(57)

C. Sikap terhadap bullying

Sikap masyarakat Yogyakarta terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah adalah kumpulan pendapat, keyakinan, perasaan, dan kecenderungan

perilaku masyarakat Yogyakarta, baik itu mendukung (sikap positif) ataupun

menentang (sikap negatif), terhadap perilaku bullying di lingkungan sekolah yaitu fenomena dimana seseorang atau kelompok mengalami aksi-aksi negatif

yang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan cedera fisik atau

rasa tidak nyaman, secara berulang kali dan dalam jangka waktu tertentu

dalam lingkungan sekolah, yang diukur dengan skala sikap terhadap bullying. Skala menggunakan metode Likert

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diperoleh dengan menggunakan metode purposive yaitu kelompok subjek tersebut dipilih berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat

khusus yang dipandang mempunyai sangkut-paut erat dengan ciri-ciri atau

sifat subjek penelitian yang telah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991).

Kriteria-kriteria subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah:

1) Bertempat tinggal di kota D.I. Yogyakarta,

2) Memiliki Kartu Tanda Penduduk tetap D.I.Y,

3) Terdaftar dalam kartu keluarga penduduk D.I.Y.

(58)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan alat ukur berupa skala sikap masyarakat Yogyakarta mengenai

kekerasan di sekolah atau bullying. Metode yang digunakan dalam skala sikap penelitian ini adalah metode skala Likert.

Menurut Hadi (1991) modifikasi terhadap skala Likert perlu dilakukan untuk menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala lima tingkat,

yaitu:

1) Kategori Belum Memuaskan mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat memutuskan atau memberi jawaban, bisa juga diartikan

netral, setuju tidak, tidak setuju pun tidak, atau bahkan ragu-ragu.

Kategori ganda arti ini tentu saja tidak diharapkan dalam suatu

instrumen.

2) Tersedianya pilihan tengah tersebut menimbulkan kecenderungan

untuk menjawab pilihan tersebut terutama bagi mereka yang ragu-ragu

untuk ke arah setuju atau tidak setuju. Atau yang disebut central tendering effect (Hadi, 2000).

3) Maksud kategorisasi jawaban SS – S – TS – STS adalah terutama

untuk melihat kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau

tidak setuju. Sesuai dengan teori tersebut, maka dalam penelitian ini

(59)

dan ketidaksetujuan dalam jawaban, yaitu : SS (sangat setuju), S

(setuju), TS (tidak setuju) dan STS (sangat tidak setuju).

Dalam pengukuran, setiap butir aitem pernyataan kemungkinan

mendapatkan skor/nilai skala dilakukan dengan cara menentukan kontinum

skor antara satu sampai dengan empat (1 – 4) berdasarkan kategori

pernyataan favorable dan unfavorabel (lihat tabel).

Tabel 1

Nilai / Skor Berdasarkan Kategori Jawaban

Jawaban Skor

Favorabel Unfavorabel

Sangat setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak setuju 2 3

Sangat tidak setuju 1 4

Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala

kepada responden secara langsung yaitu pada penduduk kota D.I.

Yogyakarta, yaitu yaitu semua orang yang memiliki Kartu Tanda Penduduk

tetap D.I.Y, atau minimal terdaftar dalam kartu keluarga penduduk D.I.Y. Hal

ini dimaksudkan agar skala dapat mengungkapkan data yang bersifat faktual

atau yang dianggap fakta dan kebenaran berkaitan dengan sikap masyarakat

Yogyakarta mengenai bullying di lingkungan sekolah.

Banyaknya aitem dalam penelitian ini adalah berjumlah 40 butir aitem.

(60)

aspek-aspek yang digunakan dengan pertimbangan keseimbangan jumlah

aitem pada setiap aspek pengungkapan diri, sebagai berikut :

Tabel 2

Jumlah Aitem dan Prosentase Penyebaran Aitem Skala (Sebelum diuji kesahihan aitem-itemnya)

(61)

F. Uji Validitas dan Reliabilitas

Suatu skala dikatakan representatif, fungsional dan akurat apabila skala

tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Oleh karena itu,

sebelum skala tersebut diberikan kepada subjek penelitian yang sesungguhnya,

maka sebaiknya dilakukan uji coba (try-out) untuk memperoleh validitas dan reliabilitasnya.

1. Uji Validitas

Validitas merupakan ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur

untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran

yang dilakukan dengan alat ukur tersebut (Azwar, 2002). Menurut Hadi

(1995), suatu alat ukur dianggap baik dan jitu dalam mengukur apa yang

seharusnya diukur sesuai dengan tujuan penelitian jika alat tes tersebut

memiliki validitas yang tinggi.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Validitas isi adalah pengukuran validitas yang didasarkan pada kesesuaian

isi tes, yaitu aitem-aitem skala dan tabel spesifikasi dengan tujuan

penelitian. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat

pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat profesional judgement, yaitu penilaian validitas terhadap suatu alat ukur yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap ahli dan profesional di

(62)

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem dilakukan dengan cara melihat koefisien korelasi tiap

aitem yaitu dengan mengkorelasikan skor masing-masing aitem dengan

skor total keseluruhan aitem. Besarnya koefisien korelasi aitem total

bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan tanda positif atau negatif.

Semakin mendekati angka 1 yang bertanda positif maka daya diskriminasi

itemnya semakin baik. Sebagai kriteria seleksi aitem berdasarkan korelasi

aitem total maka biasanya diberikan batasan rix > 0,30. Jadi aitem yang

memiliki korelasi aitem total minimal 0,30 dianggap layak menjadi sebuah

aitem (Azwar, 2001a). Namun jika jumlah aitem yang lolos ternyata masih

tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka kita dapat

mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi

0,25 sehingga jumlah aitem yang diinginkan dapat tercapai. Teknik

korelasi aitem yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula

koefisien korelasi produk moment Pearson. Pengolahan data akan

dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16.

Jumlah aitem pada skala sikap terhadap Bullying yang di ujicobakan berjumlah 40 aitem yang terdiri dari 20 aitem favorable dan 20

aitem unfavorable. Setelah data di peroleh maka data tersebut di analisis

menggunakan program SPSS for Windows versi 16. Dari pengolahan data tersebut terdapat 30 aitem yang digunakan dan 10 aitem yang gugur karena

(63)

memenuhi nilai korelasi aitem total. Nilai korelasi aitem total dalam skala

diturunkan batas kriterianya menjadi 0,25 karena banyaknya aitem yang

gugur pada batas kriteria 0,30, sehingga tidak mewakili aspek-aspek yang

ada di dalam skala. Korelasi aitem totalnya berkisar antara 0,306 sampai

0,726. Aitem-aitem yang gugur yaitu 1, 9, 10, 21, 31, 32, 35, 36, 37 dan

38. Aitem setelah uji coba di gunakan dalam penelitian, karena

menggunakan metode uji aitem terpakai. Jadi aitem-aitem yang sahih atau

lolos, langsung di gunakan untuk penelitian, hal ini dikarenakan batas

waktu penelitian yang sangat terbatas. Distribusi skala pengungkapan diri

setelah di lakukan uji coba menjadi sebagai berikut :

Tabel 4

(64)

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu keajegan, konsistensi atau kestabilan

suatu alat ukur, di mana alat ukur tersebut dapat digunakan dengan hasil

yang konsisten pada waktu yang berbeda untuk tujuan penelitian yang

sama. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi adalah pengukuran

yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya, maka pengukuran

tersebut disebut reliabel (Azwar, 2001a). Reliabilitas dinyatakan oleh

koefisien reliabilitas (rxx³) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai

dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00

berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, semakin rendah koefisien

reliabilitas mendekati angka 0, berarti semakin rendah reliabilitasnya.

Reliabilitas penelitian ini akan menggunakan formula koefisien

Alpha dari Cronbach, dengan alasan koefisien alpha dapat mengatasi kelemahan teknik belah dua dan mengestimasi rata-rata korelasi belah dua

dari semua pembagi tes yang mungkin dilakukan (Azwar, 2002).

Pengolahan data akan dilakukan dengan program komputer SPSS for windows versi16.

Nilai reliabilitas skala dianggap memuaskan bila koefisien alpha

lebih besar dari 0,90 karena berarti perbedaan (variasi) yang tampak pada

skor tes tersebut mampu mencerminkan 90% dari variasi yang terjadi pada

skor murni subjek, dan hanya 10% dari perbedaan skor yang tampak

(65)

Hasil reliabilitas yang didapat dari penelitian ini adalah 0,929

dengan ini dapat dilihat bahwa tingkat reliabilitas termasuk dalam kategori

tinggi.

G. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan ini, metode analisis data yang digunakan

adalah metode statistik yaitu statistik deskriptif. Yaitu meliputi penyajian data

melalui perhitungan mean, median, modus dan standar deviasi serta

perhitungan presentase (Azwar, 2001b). Penyajian hasil analisis deskriptif

biasanya berupa frekuensi dan presentase, tabulasi silang, serta berbagai bentuk

grafik dan chart pada data yang bersifat kategorial, serta berupa statistik-statistik kelompok (antara lain mean dan varians) pada data yang bukan

kategorial (Azwar, 2001b).

Statistik deskriptif juga mencakup perhitungan-perhitungan sederhana

yang biasa disebut sebagai statistik dasar, yang antara lain meliputi perhitungan

frekuensi, frekuensi kumulatif, presentase, presentase kumulatif, tingkat

persentil, skor tertinggi dan terendah, rata-rata hitung, simpangan baku,

pembuatan tabel silang dan lain-lain. Perhitungan-perhitungan tersebut pada

umumnya tergantung pada kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dilakukannya

penelitian atau dari peneliti itu sendiri (Nurgiyantoro, Gunawan & Marzuki,

2002).

Penelitian ini menggunakan metode analisis data yaitu metode statistik

Gambar

Gambar 1. Skema Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying
Gambar 1.  Skema Sikap Masyarakat Yogyakarta terhadap Perilaku Bullying di
Tabel 1 Nilai / Skor Berdasarkan Kategori Jawaban
Tabel 2 Jumlah Aitem dan Prosentase Penyebaran Aitem Skala
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah