• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas kebangsaan anak Sekolah Dasar di Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Identitas kebangsaan anak Sekolah Dasar di Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTITAS KEBANGSAAN ANAK SEKOLAH DASAR DI YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Oleh

Yashinta Ardhiani Permatasari 059114064

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vii

ABSTRAK

Identitas Kebangsaan Anak Sekolah Dasar Di Yogyakarta Yashinta Ardhiani Permatasari

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2010

Indonesia sedang menghadapi tantangan nasionalisme yang cukup berat baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pendidikan dianggap tidak cukup memberikan dasar dalam pembentukan keindonesiaannya. Penelitian ini hendak mengkaji apa yang anak pahami tentang Indonesia, darimana anak mendapatkan pemahaman tersebut, dan bagaimana pemahaman anak tentang Indonesia. Penelitian ini penting untuk memberikan gambaran tentang identitas kebangsaan anak khususnya dalam mengidentifikasi sebagai orang Indonesia.

Identifikasi sebagai orang Indonesia adalah proses dimana individu memasukkan dan mengintegrasikan atribut dan menstransformasikannya ke dalam dirinya. Pengalaman pribadi anak merupakan sebuah dorongan yang kuat dalam pembelajaran kewarganegaraan sehingga penanaman pendidikan kewarganegaraan pada anak sejak dini dirasa penting. Paradigma yang digunakan adalah perspektif representasi sosial yang dapat mengungkap identitas keindonesiaan sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pengambilan data dilakukan dengan metode menggambar, globe buta dengan bola sebagai media, dan wawancara. Metode ini mencoba untuk mengungkap pemahaman anak tentang Indonesia pada 30 responden anak kelas IV-VI sekolah dasar Muhamadiyah, Madrasah, Kanisius, Bopkri, Negeri, dan Tarakanita.

Hasil penelitian ini mengungkapkan, bahwa keindonesiaan anak bersifat abstrak dan negatif pada saat ini, dan yang bersifat konkret dan positif justru berasal dari masa lalu. Akibatnya identifikasi anak sebagai orang Indonesia menjadi ”kosong” tanpa disertai konkritisasi yang positif dalam kehidupan sehari-hari yang mudah dipahami anak. Dari hasil tersebut diketahui objectivication

keindonesiaan pada anak-anak adalah Indonesia sebagai negara (meliputi batas negara, pulau, negara, kekayaan alam), dan sebagai bangsa yang meliputi citra (ciri fisik, citra negatif dan positif tentang Indonesia), dan identifikasi (“aku orang Indonesia” dan ekspresi perasaan). Sedangkan anchoring tampak dalam pernyataan-pernyataan seperti ”Indonesia itu kaya sumber daya alam, tapi kurang maju sedikit dan bodoh”. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diharapkan pelajaran tentang keindonesiaan diberikan secara lebih konkret sehingga anak lebih mudah untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

(8)

viii

ABSTRACT

The National Identity of Children Elementary School in Yogyakarta Yashinta Ardhiani Permatasari

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University Yogyakarta 2010

Indonesia nowadays is facing serious challenges both from inside and outside due to the changes which took place in International countries as well as inside the nation. Education is considered does not give enough basic principle to form someone into Indonesian. This research tries to review what the children understood about Indonesia, where they got their knowledge from, and how their concept about Indonesia is. This research is important to give a basic concept about nationality to the children, especially to identify themself as Indonesian.

Identification as Indonesian citizen is a process where every individual accepts and integrates attributes and transforms it into themselves. The children's personal experience is a great stimulus on the study of citizenship, therefore the study of citizenship to the young learner is considered as as an important thing. The paradigm which is used is a perspective of social representation which able to reveal the identity of Indonesian citizenship as a concept which always grows and develops in society. The data collection is done by some methods, such as drawing method, blind globe with a media of ball, and interview. These methods tries to reveal the children's concept about Indonesia and the subjects are 30 respondents of 4th – 6th grade of elementary school from Muhammadiyah, Madrasah, Kanisius, BOPKRI, State School, and Tarakanita.

The research results reveals that the concept of indonesian citizenship on the children is still an abstract and negative concept, meanwhile a concrete and positive concept goes to the past. Therefore the children’s identification as Indonesian is an “empty concept” with no positive realization on daily life which can be understood by children. From these results can be concluded that the children’s national identity objectivication is Indonesia as a country (including country boundaries, islands, nation, and natural resources), and as a nation which includes images (physical appearance, negative and positive image of Indonesia), and identification (“I’m Indonesian” and the expression of the feelings). Meanwhile, anchoring is shown on the statements such as “Indonesia is rich of natural resources, but it is a little underdeveloped and morron”. Based on this research results, we hope the education of Indonesian citizenship is given as a more concrete lesson, so the children are easier to apply it on dailly life.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang teramat penting dalam hidupku, terima kasih pada

Tuhan Yesus Kristus yang telah membimbing, memberi berkat, dan berkarya

dalam hidupku sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Edi Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

yang secara tidak langsung telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini

2. Ibu M. L Anantasari, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu memberikan semangat dan masukan bagi

penulis

3. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar telah menyediakan waktu dan memberikan

masukan-masukan yang berharga

4. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi, yang telah membimbing,

mendidik, dan mengarahkan penulis selama kuliah

5. Pak Giek, Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni, dan Mas Muji,

terimakasih atas segala bantuan dan kebersamaan selama di Fakultas

Psikologi

6. Papah dan Ibuku tercinta, Yakobus Sunaryo dan Maria Sri Hartini,

terimakasih atas doa dan dukungannya, trimakasih juga sudah

menemaniku mencari responden dari satu sekolah ke sekolah lain,

semoga karya ini bisa membanggakan. I Love U..

7. Kakak-kakakku tersayang, mas Dhian, mbak Devi, mas Wawan, dan

mbak Christin, terimakasih untuk motivasi, inspirasi dan

(11)

xi

8. Keponakanku Gagas Ilalang Bumi, terimakasih ya buat senyum

termanismu yang membuat tante menjadi lebih bersemangat untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Tante Nana, terima kasih atas dukungannya, trimakasih juga untuk

laptopnya sehingga aku bisa mengerjakan skripsiku.

10. Sahabat-sahabat terbaikku, F. Christinna K.D, Anastasia Reni,

Setiasih Dwi Indrati, Agatha Sagitaria.. Terimakasih untuk

kebersamaan kita selama ini, semoga kita tetap bisa menjaga

persahabatan ini. Luv u pull...

11. Keluarga Cemara, mbak Eka Isabella Tjok, Nyoman Trisna

Aryanata, Maria Lourdes Wiranti, Widayanti Arioka, Cicilia Pratiwi,

Irene Kusuma Palmarani, Lucky Merilidiantoro, Githa Mediana

Simanjuntak, Mahadsih Worowiranti, Ratna Kusmartini, Indayani

Sitanggang. Hai guys, walaupun melalui proses yang berdarah-darah,

ternyata kita bisa kawan!! Aku bangga menjadi bagian dalam proses

ini.. Luv u all

12. Partner terbaikku Awan Dimas Prakoso, yang selalu setia mengisi

hari-hariku dengan keceriaan. Trimakasih buat cinta, semangat,

kesabaran, dan motivasinya sehingga aku yakin akan kemampuanku.

Maaf kalo sering ngeyel -.

13. Temen-temenku semua yang selalu menjadi pemicu semangatku. Iin

my best of the best friend, maz odik, anggit makasih ya dah

ditranslate’in, pak Cahyo makasih atas kesediaannya menjadi teman

diskusi, Chigie si tukang rusuh, Sp Troy makasih yang selalu sedia

ditanya tentang laptopku, Pak Wawan dan Pak Catur teman baru

yang menyenangkan, team kempo mBantul yang kompak abiz, dan

semua teman yang selalu care untuk menanyakan kapan skripsiku

selesai dan tak bisa kusebut satu persatu, terima kasih banyak -.

14. Si merah, motor kesayanganku, makasih dah nganter kemanapun

(12)

xii

15. Laptopku... makasih udah nggak bandel-bandel amat selama aku

ngerjain skripsi

16. Teman-teman Psikologi angkatan 2005, terimakasih atas

kebersamaannya, semoga kalian meraih sukses yang diimpikan.

Skripsi ini masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya, hal ini

tidak terlepas dari kekurangan yang ada dalam diri penulis. Semoga skripsi ini

dapat berguna bagi yang membaca dan memberikan wawasan, serta memberi

inspirasi dalam hidup.

Yogyakarta, 25 September 2009

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah untuk kepentingan akademis ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiii

Daftar Skema ... xv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Lampiran... ... ...xviii

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah...11

C. Tujuan Penelitian...11

D. Manfaat Penelitian...12

BAB II Landasan Teori...13

A. Terbentuknya Identitas Indonesia...13

A.1. Teori Identitas...13

A.2. Teori Kewarganegaraan...21

A.3. Identitas Kebangsaan Sebagai Hasil Representasi... 25

A.4. Evaluasi terhadap Pendidikan di Indonesia dalam Membentuk Identitas Kebangsaan... 29

A. Indonesia...35

(14)

xiv

C. Konteks Penelitian: Anak- anak kelas IV-VI SD

di Yogyakarta...42

BAB III Metode Penelitian...48

A. Pendekatan Penelitian...48

B. Responden Penelitian... 49

C. Batasan Istilah...50

D. Metode Pengumpulan Data...51

E. Analisis Data...54

F. Keabsahan Data...58

BAB IV Hasil Penelitian...60

A. Pelaksanaan Penelitian...60

B. Data Responden...61

B.1. Data Demografi Responden...61

C. Hasil Analisis Data Penelitian...64

C.1. Hasil Analisis Gambar...65

C.2. Hasil Data Globe Buta...72

C.3. Hasil Analisis Data Wawancara...73

C.3.a. Pengetahuan Tentang Indonesia...74

C.3.b. Perasaan Tentang Indonesia……….…77

C.4. Hasil Analisis Sumber Pengetahuan Responden Tentang Indonesia...79

D. Variasi Makna Tentang Indonesia Berdasarkan Variasi Demografi Responden...80

E. Analisis Makna Indonesia Bagi Anak...88

F. Pembahasan...101

BAB V Kesimpulan dan Saran...110

A. Kesimpulan...110

B. Saran...112

Daftar Pustaka...114

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Renan (1882), mengatakan bahwa suatu bangsa merupakan suatu jiwa

atau suatu tingkah laku atas kesepahaman secara sukarela. Pandangan ini

kemudian diadopsi oleh Anderson (2001) yang menggambarkan bahwa

sebuah bangsa hanyalah sebatas sesuatu yang terbayang, dimana di benak

setiap orang, hidup suatu kesepakatan bersama tentang kebersamaan mereka.

Demikian pula keindonesiaan muncul berdasar atas kesadaran akan kesetaraan

dan hasrat untuk maju bersama sebagai sebuah negara. Artinya Indonesia ada

itu bukan karena kesamaan nasib semata tetapi karena komitmen para pendiri

untuk maju bersama sebagai sebuah negara. Oleh karenanya konsep

keindonesiaan merupakan konsep yang harus selalu diperjuangkan dan

dimaknai secara terus-menerus.

Akhir-akhir ini banyak pihak (akademisi, politisi, pendidik, dan lain

sebagainya) menilai bahwa identitas keindonesiaan bangsa Indonesia dirasa

semakin rendah. Sejak memasuki masa reformasi yang ditandai dengan

tumbangnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia tenggelam

dalam berbagai persoalan seperti angka pengangguran yang meningkat,

pergolakan di beberapa kota besar, peningkatan militansi kaum Islam, dan

peningkatan intensitas konflik berdarah antar kelompok di beberapa daerah.

(16)

Aceh, dan daerah-daerah lain yang cenderung menonjolkan kekuatan militer

justru menimbulkan tragedi yang sulit dilupakan (lihat Zurbuchen, 2005).

Sejak munculnya reformasi beberapa daerah ingin mendirikan negara

terpisah dari RI. Timor-timur merupakan salah satu daerah yang sudah

terpisah dari Indonesia dan secara resmi merdeka menjadi negara Timor Leste

pada 20 Mei 2002. Peristiwa yang relatif baru yang menjadi pukulan telak

kepada pemerintah dalam menjaga citra keutuhan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah insiden penyusupan aktivis gerakan separatis RMS

dalam peringatan Hari Keluarga XIV di Ambon dan Maluku pada tahun 2007.

Semangat primordialisme juga dapat terlihat pada berbagai konflik antaretnis

yang merebak mulai dari kasus Ambon pada tahun 1999, kasus Poso pada

tahun 1998, kasus antaretnis Kalimantan Barat pada tahun 1999 yang

melibatkan enis Melayu, Dayak, dan Madura, sampai pertikaian antarkampung

menjadi soal yang datang beruntun. Hal ini menjadi indikasi adanya

perpecahan dalam masyarakat yang dapat mengancam integrasi nasional

(Kompas, 20 Juli 2007).

Salah satu survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan

Masyarakat, UIN pada tahun 2004 yang melibatkan 1200 responden di

Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 41,3% responden memilih agama

sebagai faktor terpenting untuk merumuskan identitas bangsa dan 24,6%

responden memilih kebangsaan Indonesia. Dari hasil survei ditemukan bahwa

identitas agama jauh lebih kuat dibandingkan identitas bangsa sebagai orang

(17)

17-60 tahun, 50% laki-laki dan 50% perempuan, 42% dari kota dan 58% dari

desa. Metode pengambilan data dilakukan dengan metode multistage random

sampling menggunakan pertanyaan tertutup. Selain itu, hasil survei yang

dilakukan di Indonesia Timur oleh Center for Democracy and Human Rights

Studies pada tahun 2005, menemukan bahwa daerah seperti di Aceh, Papua,

serta sejumlah kawasan Indonesia Timur, para informan lebih suka

mengidentifikasi diri sebagai anggota komunitas suku (39%) daripada sebagai

orang Indonesia (19%).

Keadaan ini masih ditambah dengan tekanan globalisme yang semakin

mendorong lunturnya nasionalisme bangsa ini. Secara konkret tekanan

globalisme dapat terlihat setidaknya pada hasil jajak pendapat Kompas yang

mengatakan bahwa sedikitnya 38 persen responden menyatakan, mereka lebih

memilih menonton film produksi sineas luar negeri (Kompas, 16 Agustus

2008). Pengaruh globalisme juga dapat terlihat dari sikap masyarakat saat ini

yang lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing daripada penggunaan

bahasa Indonesia, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap

mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan

pariwisata dan bisnis. Terbitnya majalah-majalah remaja seperti Hai, Gadis,

dan Mode, misalnya, memberikan satu gambaran tentang makin kuatnya

pengaruh apa yang dalam masyarakat Barat biasa disebut sebagai youth

culture, yakni salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam wacana budaya

massa atau budaya populer. Informasi yang disajikan dalam majalah-majalah

(18)

kehidupan dunia selebritis di luar dan dalam negeri, film, musik pop, olahraga,

dan gosip yang khas kelas menengah. Dari pengalaman menonton acara-acara

TV Indonesia selama ini juga dengan mudah kita bisa mengatakan bahwa

sinetron lokal dalam banyak hal bukan lain adalah salinan opera sabun

Hollywood atau Amerika Latin yang dibuat oleh rumah produksi di Jakarta.

Melalui itu semua anak-anak muda digiring untuk menyesuaikan sekaligus

menyeragamkan diri dengan citra tentang anak-anak muda di New York,

Hongkong, Singapura, Tokyo, atau Sidney (lihat Budiman, 2002).

Berdasarkan data survei maupun berbagai kasus diatas dapat dikatakan

bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia tersebut sedang menghadapi

tantangan yang cukup berat baik dari dalam maupun dari luar karena adanya

perubahan yang terjadi di dunia internasional maupun yang terjadi di negeri

ini sendiri. Identitas agama dan etnis lebih menguat daripada identitas

Indonesia ataupun juga semangat meng’global’ lebih besar daripada me’lokal’

(lihat pula Nordholt, 2006). Menguatnya rasa kedaerahan atau sebaliknya

menguatnya rasa mendunia mengekspresikan semangat keindonesiaan yang

semakin luntur.

Penanaman rasa nasionalisme sesungguhnya dapat diupayakan sejak

dini. Dalam tahap perkembangannya, seseorang dikatakan dapat mengetahui

identitas dirinya ketika ia berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebut

akan memberikan banyak pengalaman yang akan membentuk sense of self

(19)

Salah satu penanaman rasa nasionalisme dapat dilakukan melalui

pengajaran sejarah dan kepahlawanan nasional, juga melalui bahasa, sastra,

teater, film, musik maupun ritual kebangsaan seperti perayaan hari bersejarah.

Dalam hal ini ada beberapa pihak yang dapat mengupayakan hal tersebut,

diantaranya adalah pendidikan sekolah, keluarga, pemerintah, dan sebagainya.

Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa institusi pendidikan tidak cukup

berperan dalam menumbuhkan nasionalisme. Seperti Tilaar (2007) yang

mengatakan bahwa peran pendidikan sebagai institusi formal untuk

mengembangkan jati diri bangsa seakan-seakan tidak mau bertanggung jawab

atas pengetahuan yang mereka berikan pada anak didiknya. Ada kecurigaan

bahwa institusi pendidikan tidak cukup proporsional dalam membekali anak

untuk membentuk keindonesiaannya. Pendidikan nasional dinilai tidak lagi

berorientasi mengenalkan dan menanamkan rasa keindonesiaan kepada siswa.

Misalnya mata pelajaran seperti IPS dan PPKn yang diajarkan apa adanya

kepada siswa, tanpa mencoba memaknainya dalam bingkai keindonesiaan

(Wuryadi dalam Kompas, 1 Februari 2006). Pembelajaran di sekolah-sekolah

hingga perguruan tinggi lebih banyak dilakukan secara umum dan lebih

bersifat hafalan dan cenderung hanya menyampaikan prestasi/perjuangan

masa lalu (secara khusus sebelum kemerdekaan), tanpa berusaha memasukkan

penanaman cinta tanah air secara nyata dan menyampaikan prestasi/

perjuangan masa kini (seperti prestasi di bidang olah raga, ilmu pengetahuan,

ekonomi dan sebagainya). Penanaman cinta tanah air cenderung bersifat

(20)

apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa Indonesia baik di bidang seni

(film, novel, lukisan dan lain-lain), ilmu pengetahuan (pameran hasil

olimpiade fisika, matematika dan lain-lain) maupun budaya. Selain itu

generasi tua seringkali tidak menjadi sosok panutan dalam mencintai

Indonesia misalnya cenderung membeli dan memakai produk-produk luar

negeri, selalu berkomentar negatif tentang Indonesia dan lain sebagainya.

Akibatnya, rasa memiliki dan cinta Tanah Air menjadi semakin luntur.

Sementara itu, penanaman pendidikan kewarganegaraan pada anak

sejak dini dirasa penting dan hal ini membutuhkan partisipasi langsung dari

anak, guru, dan institusi sosial terkait seperti sekolah. Pendidikan

kewarganegaraan ini menjadi salah satu sarana pendidikan untuk pembinaan

seorang warga negara agar dia mengenal akan hak serta kewajibannya sebagai

anggota dari negara Indonesia (Tilaar, H.A.R, 2007). Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Ina Joubert (2007) di Afrika Selatan yang berjudul “The life

Experiences and Understandings of Children as Citizens in a Democratic

South Africa” mengatakan bahwa sejak kecil anak harus diberi kesempatan

untuk mengembangkan ide-ide tentang kewarganegaraan dan mendiskusikan

isu-isu tentang kewarganegaraan karena ternyata anak kecil juga mempunyai

minat untuk mempelajari hal tersebut. Pengalaman pribadi anak merupakan

sebuah dorongan yang kuat dalam pembelajaran kewarganegaraan (Brown dan

Harisson in Holden & Clough, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan Jean

Hine di London dan Wiles yang berjudul ”Children and Citizenship” (2004)

(21)

walaupun mereka tidak sepenuhnya paham akan hal tersebut. Ketrampilan

kewarganegaraan diartikan anak sebagai kewarganegaraan yang aktif seperti

menjaga masa depan yang lebih baik dengan mampu menyaring perubahan

realitas untuk kesetaraan & keadilan sosial. Sedangkan untuk konteks

penelitian di Indonesia, peneliti belum menemukan penelitian yang

mengungkap kewarganegaraan dan konsep identitas kebangsaan khususnya

pada anak. Banyak studi lebih mengulas tentang konsep identitas kebangsaan

dan kewarganegaraan anak muda termasuk mahasiswa serta masyarakat

umum.

Untuk konteks Indonesia dimana keindonesiaan dapat dikatakan lebih

merupakan hasil dari kesepakatan bersama maka apabila kesepakatan tersebut

tidak dimaknai secara terus-menerus masa depan Indonesia sebagai bangsa

bisa menjadi sebuah pertanyaan besar. Penelitian ini hendak memberikan

salah satu kontribusi solusi atas permasalahan tersebut melalui penelitian yang

mengkaji tentang apa yang anak pahami tentang Indonesia, darimana anak

mendapatkan pemahaman tersebut, dan bagaimana pemahaman anak tentang

Indonesia. Penelitian ini penting untuk memberikan gambaran tentang

identitas kebangsaan anak khususnya dalam mengidentifikasi sebagai orang

Indonesia. Masa depan keindonesiaan kita akan sangat tergantung pada

bagaimana generasi anak-anak ini memahami tentang Indonesia dan

bagaimana mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia.

Fokus penelitian ini adalah sejauh mana anak memahami tentang

(22)

apa saja yang anak ketahui tentang Indonesia, penilaian dan perasaan mereka

tentang Indonesia, serta ekspresi anak sebagai orang Indonesia. Berbagai

pengetahuan anak tentang Indonesia tersebut merupakan salah satu dasar

terbentuknya identitas kebangsaan pada anak. Identitas kebangsaan dalam

penelitian ini didefinisikan sebagai identifikasi anak sebagai orang Indonesia

dimana sebelumnya anak menyadari bahwa dirinya adalah orang Indonesia.

Selain itu identifikasi sebagai orang Indonesia juga tak lepas dari ikatan

emosional yang dimiliki seseorang, dalam hal ini terhadap Indonesia. Ikatan

emosional tersebut yang membentuk perasaan dan penilaian seseorang akan

Indonesia. Identifikasi adalah proses dimana individu memasukkan dan

mengintegrasikan atribut orang lain, dan menstransformasikannya ke dalam

diri individu. Identifikasi pada orang lain kemudian dapat menjadi bagian

dalam diri subjek melalui upaya penggabungan: pengambilan objek,

keseluruhan maupun sebagian, untuk membentuk identitas (lihat Elliot, 2003).

Dalam penelitian ini proses identifikasi sebagai orang Indonesia dapat

dilacak dari pemahaman, penilaian dan perasaan mereka tentang Indonesia,

serta ekspresi anak sebagai orang Indonesia yang secara tidak langsung

menggambarkan bagaimana anak memahami, memasukkan, mengambil dan

kemudian mengintegrasikan atribut-atribut sebagai orang Indonesia (lihat

Giddens, 1991; Breakwell, 2001; Elliot, 2003; Tilaar, 2007). Identitas

kebangsaan dibangun dan diciptakan melalui representasi yang melibatkan

unsur-unsur simbolik seperti bendera, lagu kebangsaan, bahasa, dan praktek

(23)

identitas kebangsaan Indonesia tidak terbentuk berdasarkan faktor-faktor

primordial seperti etnik, tetapi lebih berdasarkan pada adanya kesepakatan

bersama untuk maju bersama sebagai bangsa dan proses identifikasi yang

dilakukan secara terus menerus sehingga menemukan identitas bersama

sebagai bangsa (lihat Suseno, 2001; Anderson, 2001). Bangsa diartikan

sebagai komunitas terbayang, karena para anggota bangsa terkecil sekali pun

tidak akan mengenal sebagian anggota lain (Anderson, 2001). Barker (2005)

mengatakan bahwa kesatuan bangsa Indonesia bukanlah fenomena yang

terjadi secara alamiah melainkan bangunan dari kultural-historis, tidak bersifat

etnik melainkan bersifat etis yang didasarkan pada adat, kebiasaan, dan

praktek bersama sebagai bangsa.

Berdasarkan uraian diatas maka rendahnya keindonesiaan dan

lunturnya nasionalisme tersebut diasumsikan lebih disebabkan oleh adanya

ketidakberesan dalam proses pembelajaran tentang Indonesia. Dengan kata

lain diasumsikan juga bahwa anak tidak dibantu untuk melakukan proses

identifikasi sebagai orang Indonesia dengan proporsional. Penelitian ini ingin

memberi kontribusi dalam mengidentifikasi ketidakberesan proses

pembelajaran tersebut dengan cara mengungkap pemahaman, penilaian,

perasaan, dan ekspresi sebagai orang Indonesia sekaligus mengungkap

sumber-sumber informasi yang berperan dalam membentuk identitas

kebangsaan anak. Arti penting penelitian ini adalah dengan mengetahui peta

(24)

kontribusi bagaimana semestinya proses pendidikan identitas kebangsaan

dilakukan.

Salah satu paradigma yang sangat membantu mengungkap

permasalahan ini adalah paradigma representasi sosial karena dapat membantu

untuk mengungkap identitas keindonesiaan sebagai suatu konsep yang selalu

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan

perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang

membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Melalui paradigma

ini peneliti dapat memotret identitas keindonesiaan yang selalu tumbuh dalam

diri anak melalui interaksinya dengan lingkungan.

Penelitian ini akan dilakukan di Yogyakarta dengan melibatkan

responden anak-anak dari beberapa sekolah dasar di kota ini. Secara umum,

anak-anak usia sekolah dasar di Yogyakarta memiliki kemiripan kondisi

dengan anak-anak kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Surabaya,

Jakarta, Bandung, Semarang dan lain sebagainya. Kemiripan tersebut terutama

berkenaan dengan pemberlakuan kurikulum nasional untuk mereka, berbagai

aktivitas ekstrakurikuler yang mereka ikuti sepulang sekolah, jenis permainan

yang lebih banyak bersifat individualis seperti games, play station dan

sebagainya. Jenis aktivitas pun sangat ditentukan oleh orang tua dan guru yang

lebih banyak mengolah kemampuan kognitif dibandingkan kemampuan sosial

sehingga kegiatan-kegiatan anak lebih banyak berupa les mata pelajaran.

Kesempatan untuk bermain yang melibatkan kemampuan sosialisasi semakin

(25)

terhadap 300 responden di wilayah Jabodetabek, terungkap hanya sekitar 25

persen anak yang bisa bermain sesuai dengan keinginan anak-anak. Dua

aktivitas yang paling banyak dilarang oleh para orangtua adalah bermain video

games (50%) dan bermain di luar rumah (30%). Sekitar 60 persen anak-anak

di Jabodetabek sepulang sekolah lebih banyak menghabiskan waktunya

dengan mengikuti kegiatan les (www2.kompas.com).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah ‘bagaimana gambaran identitas

kebangsaan anak sebagai orang Indonesia?’ Untuk menjawab permasalahan

tersebut akan diungkap beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimana identifikasi anak sebagai orang Indonesia? Pertanyaan ini akan

diungkap melalui pertanyaan berikut ini:

a. Bagaimanakah pemahaman dan penilaian anak tentang Indonesia?

b. Bagaimana perasaan dan ekspresi anak sebagai orang Indonesia?

2. Sumber sumber informasi apa sajakah yang telah membentuk identitas

kebangsaan anak sebagai orang Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran identitas

(26)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan wacana tambahan bagi ilmu-ilmu sosial

secara umum dan ilmu psikologi secara khusus, terutama psikologi sosial

dan psikologi perkembangan mengenai gambaran identitas kebangsaan

anak sebagai orang Indonesia dan sumber-sumber informasi anak

mendapatkan identitas kebangsaan tersebut.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akan

gambaran identitas kebangsaan Indonesia pada anak, untuk kemudian

dapat memberi masukan tentang keindonesiaan yang lebih kontekstual

(27)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam bab sebelumnya peneliti menjelaskan tentang berbagai fenomena

yang terjadi di Indonesia yaitu menguatnya rasa kedaerahan dan globalisme yang

mengindikasikan semakin hilangnya rasa keindonesiaan dan mengekspresikan

rasa nasionalisme yang semakin meluntur. Sedangkan dalam bab ini, peneliti akan

menguraikan tentang pengertian identitas kebangsaan dan bagaimana identitas

kebangsaan dibangun. Selain itu, peneliti juga akan memaparkan lahirnya

Indonesia dan berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia. Pada bagian akhir bab

ini, peneliti akan menguraikan konteks penelitian ini yang terutama dilakukan

pada anak usia sekolah dasar di Yogyakarta.

A. Terbentuknya Identitas Bangsa A.1. Teori Identitas

Secara umum dapat dinyatakan bahwa identitas dan kepribadian

terbentuk oleh totalitas pengalaman seseorang di masa lampau atau riwayat

hidupnya. Kehilangan ingatan atau riwayatnya mengakibatkan orang itu

kehilangan identitas dan kepribadiannya. Hal ini juga berlaku bagi identitas

nasional. Bangsa yang tak kenal sejarahnya juga kehilangan identitas atau

kepribadiannya (Kartodirdjo, 2005).

Konsep bangsa (nation) memiliki dua pengertian yaitu bangsa dalam

arti sosiologis antropologis dan bangsa dalam arti politis (Badri Yatim,

(28)

Soegito, 2004). Bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis (cultural

unity) adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri yang

masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,

bahasa, agama dan adat istiadat. Jadi mereka menjadi satu bangsa karena

disatukan oleh kesamaan ras, budaya, keyakinan, bahasa, keturunan dan

sebagainya. Misalnya saja bangsa Kasmir, bangsa Yahudi, bangsa Kurdi,

bangsa Jawa, dan bangsa Batak. Sedangkan bangsa dalam pengertian politik

(political unity) adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan

mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan

tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dalam arti politik adalah bangsa yang

sudah bernegara, seperti bangsa Indonesia, bangsa India, bangsa Jerman, dan

lain sebagainya. Menurut Anderson (2001), bangsa diartikan sebagai

komunitas terbayang, karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak

akan mengenal sebagian anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan

mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.

Identitas kebangsaan itu merupakan kesepakatan dari banyak suku bangsa

didalamnya.

Berbicara tentang identitas perlu ditegaskan bahwa masalah identitas

adalah masalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa identitas, sukar bahkan

mustahil dilakukan komunikasi dalam masyarakat. Identitas mendefinisikan

status dan peran seseorang, mencakup ciri-ciri pokok seseorang baik yang

fisik maupun sosial-budaya (Kartodirdjo, 2005). Identitas diri mulai

(29)

emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan

orang yang memiliki arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua

(pada usia 0- 2 tahun), perkembangan kesadaran akan diri, dan mulai

timbulnya kemandirian pada bayi; proses ini mencapai tahapan akhir ketika

seseorang mereview kehidupannya dan melakukan integrasi kehidupannya

pada masa dewasa akhir (Santrock, 2007). Lebih lanjut, seseorang dikatakan

dapat mengetahui identitas dirinya ketika ia bertemu dengan dunia luar

melalui interaksi intersubjective (dengan orang lain) atau sering disebut

object relation theory. Hal ini dikarenakan interaksi dengan orang lain

tersebut akan memberikan sense of self tentang diri orang tersebut (Elliott,

2002).

Dalam bidang psikologi ada banyak pandangan yang menguraikan

tentang konsep identitas (lihat Freud dalam Elliot, 2003; Giddens, 1991).

Pandangan pertama cenderung membatasi pengertian identitas diri hanya

sebagai dunia internal individu seperti sekumpulan ciri sifat, konsep diri,

atau sekadar sistem struktur pengetahuan yang terlibat dalam pemrosesan

informasi sosial dan personal (lihat Laser & Buss, 2005). Pandangan kedua

cenderung memberi batasan identitas sebagai representasi dunia sosial

individu (Durkheim, 1982) atau konsepsi identitas cenderung dijelaskan

hanya dalam kaitannya sebagai anggota suatu kelompok – sebagai identitas

sosial (Tajfel, 1974; Turner, 1985). Kemudian, pandangan ketiga memberi

batasan identitas sebagai hasil konstruksi sosial melalui diskursus tentang

(30)

kualitas-kualitas dari identitas hanya eksis dalam dalam diskursus tentang

individualisme.

Secara khusus penelitian ini menggunakan konsep identitas

kebangsaan yang merupakan gabungan antara identitas diri dan identitas

sosial dan merupakan hasil konstruksi sosial melalui sistem representasi

Penelitian ini dengan sengaja tidak menggunakan istilah identitas diri saja

dikarenakan istilah identitas diri agak membatasi pada ranah individu.

Sedangkan penelitian ini juga tidak menggunakan istilah identitas sosial saja

karena konsep identitas sosial lebih menjelaskan identitas yang berkaitan

dengan keanggotaan individu dalam kelompok tertentu yang

mengasumsikan kelompok cenderung bersifat tertutup seperti halnya

suku-suku pedalaman. Konsep identitas sosial juga kurang mampu menjelaskan

persoalan identitas kontemporer yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan

media (lihat Tajfel dalam Breakwell, 2001).

Konsep identitas kebangsaan yang digunakan merupakan identitas

kebangsaan yang dilihat sebagai hasil konstruksi melalui ”kesepakatan

bersama” yang tersedia dalam budaya, dan individu melakukan hal tersebut

dalam berinteraksi dengan orang lain (lihat Burr, 2003; Kvale, 2006).

Artinya identitas bukan merupakan sesuatu yang terberi secara biologis

tetapi lebih merupakan hasil konstruksi sosial. Dengan demikian konsep

identitas dalam penelitian ini bukan sebagai persepsi yang dihasilkan oleh

internalisasi representasi dunia kenyataan semata (lihat, Tajfel, 1974;

(31)

representasi mengutamakan interaksi antara diri individu dan lingkungan

sosialnya. Hal ini menggambarkan bahwa identitas tidak bersifat permanen,

tetapi dinamis mengikuti perubahan sosial dan perubahan diri individu (lihat

Giddens, 1991). Demikian juga identitas keindonesiaan akan selalu berubah

dan berkembang dalam diskursus keseharian seperti wacana dalam media

dan perjumpaan antar individu. Akan tetapi, ada hal yang bersifat permanen

dan tidak berubah yaitu identitas biologis tentang ikatan emosional

seseorang bahwa ”aku orang Indonesia”. Ikatan emosional tersebut yang

membentuk penilaian dan perasaan seseorang akan sesuatu, dalam hal ini

penilaian dan perasaan akan Indonesia yang kemudian mengidentifikasi

dirinya sebagai orang Indonesia. Seseorang yang memiliki ikatan emosional

yang kuat maka penilaian dan perasaan yang dimilikipun akan cenderung

kuat.

Piaget berpendapat bahwa identitas merupakan interaksi yang

berkesinambungan dan harmonis antara tingkat perkembangan aktual dari

seorang anak dengan sifat-sifat lingkungan (dalam Tilaar, 2007). Dalam

kaitan ini Piaget menekankan kepada karakteristik yang tepat dari

lingkungan yang harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta

didik. Dengan kata lain yang penting di dalam perkembangan anak adalah

struktur realitas yang diatur begitu rupa sehingga sesuai dengan tingkat

perkembangan peserta didik. Herbert Mead juga menekankan kepada arti

komunitas sosial dalam terbentuknya identitas seseorang (dalam Tilaar,

(32)

(self-awareness) merupakan suatu produk sosial. Kesadaran diri adalah

suatu inti dari seorang pribadi. Kesadaran diri pada hakikatnya merupakan

suatu kesadaran yang dimiliki bersama (generalized other). Dengan kata lain,

kesadaran diri hanya ada karena adanya orang lain. Identitas seseorang ada

karena adanya orang lain (dalam Tilaar, 2007). Artinya, konsep identitas

kebangsaan pun dibangun dan diciptakan melalui interaksi sosial yang

melibatkan proses representasi melalui unsur-unsur simbolik seperti bendera,

lagu kebangsaan, bahasa, dan praktek bersama ketimbang terberi begitu saja

berdasarkan unsur etnis.

Identifikasi adalah proses dimana individu memasukkan dan

menggabungkan atribut orang lain, dan menstransformasikannya ke dalam

diri individu melalui imajinasi tidak sadar (lihat Elliot, 2003). Hal ini

menunjukkan bahwa identitas itu diciptakan oleh representasi melalui

kegiatan memilih dan mengambil bagian tertentu dari orang atau objek lain

daripada terberi begitu saja. Proses identifikasi dimulai dari dunia keluarga

dimana ibu merupakan sosok yang terpenting bagi anak. Kemudian anak

mulai mengembangkan kesadaran akan dirinya yang unik yang akan

membentuk rasa ke-aku-annya. Rasa ke-aku-an tersebut tidak terlepas dari

adanya orang lain di sekitarnya. ”Aku” tersebut mulai mengenal akan

hak-hak dan juga kewajibannya yang dimiliki oleh ”aku” yang lain (dalam Tilaar,

(33)

Dalam proses identifikasi ternyata peranan sesama manusia adalah

sangat penting sebagaimana F. Barth juga mengungkapkan bahwa proses

identifikasi adalah (lihat Tilaar, 2007):

(a) Suatu proses, artinya proses identifikasi merupakan suatu interaksi di

dalam hidup sehari-hari. Hal ini berarti bahwa proses identifikasi

tersebut bukan merupakan bagian dari akibat superstruktur kebudayaan.

(b) Suatu konstruksi sosial. Batas-batas dari proses tersebut ialah

individu-individu tersebut saling membagikannya dengan yang lain melalui

proses rekrutmen.

(c) Identifikasi kolektif dengan batas-batasnya merupakan suatu proses

interaksi dan oleh sebab itu sifatnya fleksibel, situasional, dan

negosiasional. Dengan kata lain, identifikasi merupakan suatu entitas

yang dinamis.

(d) Suatu hal yang askriptif artinya anggota suatu kelompok

mengidentifikasikan dirinya dan dikategorisasikan oleh anggota

kelompok yang lain.

(e) Suatu proses transaksi dan oleh sebab itu identifikasi kolektif pada

hakikatnya merupakan suatu yang politis sifatnya.

Dalam konteks penelitian ini, identitas kebangsaan terbentuk dari

pengalaman pribadi dan hasil interaksi dengan orang lain dalam kehidupan

sehari-hari, sehingga seseorang dapat pula mengembangkan identitas

kebangsaan mereka sendiri. Dalam hal ini ideologi nasional mempunyai

(34)

berjuang bagi kepentingan bangsa dan tanah air. Dengan diciptakan negara

nation, semua warga memperoleh identitas baru, yaitu identitas nasional

(Kartodirdjo, 2005).

Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap

simbol dan diskursus tentang negara-bangsa. Jadi, bangsa bukan hanya

sekadar bangunan politis melainkan sistem representasi budaya dimana

identitas nasional terus-menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif

(Barker, 2005). Identitas bangsa merupakan suatu citra yang terbentuk

melalui konsensus dan oleh sebab itu merupakan gambaran yang

menyeluruh dari suatu bangsa seperti bangsa Indonesia. Keseluruhan

nilai-nilai sosial serta ketertiban sosial yang diakui secara konsensus oleh

masyarakat Indonesia itulah yang dapat disebut identitas bangsa (Tilaar,

2007).

Merumuskan identitas bangsa Indonesia tidaklah mudah. Diakui

realitas sosial bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dengan

kebudayaannya masing-masing. Sebagai sebuah identitas bangsa, Indonesia

tidak dapat dirumuskan secara konkret, karena identitas bangsa merupakan

suatu konsep yang terus-menerus berubah, konsep yang terus-menerus

direkonstruksi dan dekonstruksi. Identitas bangsa Indonesia tidak terlepas

dari keberadaan bangsa Indonesia yang bhineka. Identitas nasional atau

identitas bangsa merupakan sesuatu yang ditransmisikan dari masa lalu dan

dirasakan sebagai pemilikan bersama sehingga tampak kelihatan di dalam

(35)

akan tampak di dalam kenyataan apabila rakyat biasa sebagai penyandang

identitas membayangkan dirinya sendiri sebagai anggota dari suatu

komunitas yang abstrak (Tilaar, 2007).

Fokus penelitian ini adalah identitas kebangsaan dan secara khusus

tentang identitas keindonesiaan. Identitas kebangsaan lebih mengarah pada

identifikasi yang dilakukan seseorang tentang dirinya sebagai bagian dari

suatu bangsa atau Indonesia pada khususnya. Secara konkret identifikasi

tersebut dapat dilihat dari representasi yang mereka ungkapkan tentang

Indonesia, seperti kondisi geografis, kekayaan alam, kebudayaan, perasaan,

citra tentang Indonesia, dan lain sebagainya. Identitas kebangsaan terbentuk

dari pemahaman, penilaian, perasaan, dan ekspresi seseorang sebagai orang

Indonesia (lihat Giddens, 1991; Breakwell, 2001; Elliot, 2003; Tilaar, 2007).

Dengan demikian, berdasarkan teori identitas sebagaimana diuraikan di atas

maka identitas kebangsaan akan terbentuk melalui proses identifikasi dalam

proses transaksi dan interaksi sosial.

A.2. Teori Kewarganegaraan

Dunia, kebangsaan, dan persoalan sosial baik pada masa lampau

maupun masa kini dirasa penting di dalam penelitian sosial, karena

ilmuwan sosial percaya bahwa “kebaikan pada masa lampau tidak dapat

dilestarikan jika warga negara tidak dapat mengidentifikasi, memahami,

dan mengontrol perubahan yang dapat mengubah hidup mereka (Barth

(36)

Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan untuk pembinaan

seorang warga negara agar supaya dia mengenal akan hak serta

kewajibannya sebagai anggota dari negara Indonesia (Tilaar, 2007). Selain

itu, pendidikan kewarganegaraan meliputi beberapa aspek seperti

partisipasi dan pemberdayaan anak, isi kurikulum nasional maupun peran

guru dan institusi sosial yang diasumsikan sebagai yang bertanggungjawab

pada pendidikan kewarganegaraan anak, seperti sekolah, keluarga,

komunitas, dan masyarakat. Pendidikan dan kewarganegaraan penting

untuk pemeliharaan dan peningkatan keterampilan, pemahaman,

pengetahuan, dan nilai-nilai yang diisyaratkan pada struktur demokratis

dalam masyarakat sipil (Pring dalam Joubert 2007). Pendidikan

Kewarganegaraan pada dasarnya sudah diajarkan sejak sekolah dasar.

Namun, pengetahuan yang diberikan tersebut lebih bersifat pengetahuan

umum tanpa contoh konkret yang dapat anak lakukan dalam kehidupan

sehari-hari sehingga kewarganegaraan yang dimiliki anak pun cenderung

lemah. Misalnya saja di kelas IV anak diajarkan tentang susunan

pemerintahan di Indonesia, kemudian di kelas V anak diajarkan tentang

peraturan perundangan, dan di kelas VI anak diajarkan tentang sistem

pemerintahan di Indonesia.

Pendidikan kewargaan (civic education) memberikan kesempatan

bagi keterlibatan aktif dalam proses-proses demokratis yang berlangsung

di sekolah dan komunitas. Basis pengetahuannya mencakup

(37)

hak-hak sipil dan tanggung jawab mereka serta untuk berpartisipasi dalam

komunitas lokal demi kebajikan bersama. Watak sipil, karakteristik warga

negara yang baik dalam sistem demokrasi diamati dan ditekankan baik

dalam pembelajaran kelas maupun dalam aktivitas ekstrakulikuler (Latief,

dalam Basis 2007).

Kewarganegaraan juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk

identitas di mana individu mendapatkan hak dan kewajiban sosial di dalam

komunitas politis (Barker, 2005). Brown dan Harisson dalam Holden &

Clough, 2000), mengatakan bahwa pengalaman pribadi anak adalah

sebuah dorongan yang kuat dalam pembelajaran kewarganegaraan. Anak

dapat membangun sebuah identitas demokratis dan pengetahuan

patriotisme nampaknya sebuah proses yang kompleks, terutama untuk

pendidik yang memainkan peran penting pada pembentukan

kewarganegaraan untuk masa depan (Hicks & Holden, 1995). Sedangkan

menurut Marshall & Bottomore (1996), hak untuk mendidik adalah sebuah

hak sosial dari kewarganegaraan, karena tujuan dari pendidikan selama

masa kanak-kanak adalah membentuk masa depannya. Melalui pendidikan

kewarganegaraan anak-anak seharusnya didorong untuk menjadi peserta

didik yang mandiri dan otonom, mampu berpikir kreatif dan kritis,

membuat keputusan dan bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam

pengalaman mereka sehari-hari (Hahn, 2005). Hal ini didukung oleh Pring

(2001) yang menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat

(38)

dan pengetahuan yang diisyaratkan dalam struktur masyarakat demokratis

(dalam Joubert, 2007).

Sebagai warga negara Indonesia hendaknya mempunyai

pemahaman yang baik tentang kewarganegaraan. Hal ini penting karena

mendorong seorang warga negara agar dapat mengenal akan hak serta

kewajibannya sebagai anggota dari negara Indonesia. Pendidikan

kewarganegaraan dapat ditanamkan pada anak sejak dini dengan berbagai

perilaku yang dapat menjadi teladan bagi anak untuk memahami

kewarganegaraan. Oleh karena itu keluarga, lingkungan, dan guru

mempunyai peran besar dalam proses pembentukan kewarganegaraan

dalam diri anak.

Partisipasi dan pemberdayaan anak dalam pendidikan

kewarganegaraan sangatlah penting. Namun, apabila kita lihat sekarang ini

pendidikan kewarganegaraan yang diberikan sekolah kepada anak lebih

bersifat hafalan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya contoh kongkret

yang dapat anak praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

identitas diri mereka sebagai warga negara menjadi sulit untuk terbentuk.

Dengan demikian menurut perspektif teori kewarganegaaran, identitas

kebangsaan terbentuk melalui partisipasi dan pemberdayaan dengan

(39)

A.3. Identitas Kebangsaan Sebagai Hasil Representasi

Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana teori identitas dan teori

kewarganegaraan diintegrasikan untuk melihat bagaimana identitas

kebangsaan sebagai hasil representasi. Perlu disampaikan kembali bahwa

teori identitas mementingkan proses identifikasi, dan teori kewarganegaraan

mementingkan adanya partisipasi dan pemberdayaan. Identitas kebangsaan

sebagai hasil representasi dapat dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya

identitas kebangsaan terbentuk melalui pengalaman individu dalam

melakukan identifikasi terhadap berbagai konsep, simbol dan praktek

tentang menjadi orang Indonesia dari masyarakat sekitarnya. Hal ini akan

tersimpan di dalam ingatan sebagai representasi mental, objek dan kejadian

tentang Indonesia. Untuk kemudian apa yang terbentuk dalam ingatan

tersebut (representasi mental) akan diproduksi ulang oleh individu untuk

ditampilkan dalam interaksi sosial. Dalam hal ini partisipasi dan

pemberdayaan akan berperan sejak proses identifikasi hingga ketika individu

mampu memproduksi ulang pemahamannya tentang sebagai orang

Indonesia.

Penelitian representasi sosial secara umum dilakukan melalui dua

proses yaitu, anchoring dan objectivication. Moscovici (dalam Walmsley,

2004) berpendapat bahwa tujuan representasi sosial adalah untuk membuat

yang tidak familiar menjadi familiar. Proses membuat yang tidak familiar

menjadi familiar disebut dengan proses objectification. Pada penelitian ini,

(40)

yang cenderung abstrak ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit.

Hasil proses objectification nantinya akan terkait dengan empat fungsi

representasi sosial yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c)

fungsi orientasi, dan (d) fungsi pembenaran (dalam Walmsley, 2004).

Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan

dijelaskan. Fungsi identitas meletakkan individu dan kelompok dalam suatu

areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan sebuah identitas sosial

selaras dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsi orientasi

mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan

sesudah fakta pembenaran posisi dan perilaku. Penelitian ini sendiri

menggunakan representasi sosial dengan lebih menitik beratkan pada fungsi

pengetahuan dan fungsi identitas. Representasi sosial yang berfungsi sebagai

pengetahuan akan mengungkap pemahaman anak tentang Indonesia,

sedangkan fungsi identitas akan mengarah pada identitas kebangsaan anak

sebagai orang Indonesia.

Setelah melakukan proses objectivication dilanjutkan dengan proses

anchoring. Proses anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau

pengaitan (to anchor) hasil objectivication dari suatu obyek tertentu dalam

pikiran individu, dalam hal ini mengenai Indonesia. Pada proses anchoring,

informasi baru diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna

yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan

penggambaran yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi

(41)

Representasi sosial menekankan tentang bagaimana seseorang

menginterpretasikan dan membuat dunianya bermakna dan fokus pada

proses komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999). Representasi sosial

merupakan kumpulan sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang

membangun sebuah pemaknaan sosial tentang menjadi orang Indonesia

(Moscovici, 2001). Dengan demikian konsep identitas kebangsaan sebagai

hasil representasi menekankan pada proses interaksi yang saling

mempengaruhi antara individu dan sosial. Dalam hal ini perspektif

representasi sosial akan banyak berbicara tentang bagaimana narasi tentang

identitas kebangsaan terbentuk melalui distribusi pengetahuan sosial tentang

identitas kebangsaan yang disebarluaskan melalui media massa (koran,

majalah, TV dan lain-lain) dan ruang sosial lainnya.

Inti dari representasi sosial adalah keyakinan bahwa identitas

kebangsaan dihasilkan dan dikonstruksi bersama yang kemudian

menentukan orang berperilaku tentang kebangsaan (lihat Billig dalam

Walmsley, 2004). Representasi tidak "secara individual dihasilkan melalui

replika dari data persepsi" tetapi dilihat sebagai ciptaan sosial. Oleh karena

itu, representasi sosial dilihat sebagai bagian dari realitas sosial. Moscovici

(dalam Walmsley, 2004) mengatakan bahwa representasi sosial dirumuskan

melalui tindakan dan komunikasi di masyarakat dan memahami serta

mengkomunikasikan apa yang sudah kita pahami dengan cara tertentu.

Tujuannya yakni untuk mempelajari hubungan yang terjadi antara

(42)

menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal

baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang

berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika

sosial (Jodelet, 2006).

Dalam rangka menghasilkan dan mengkonstruksi bersama identitas

kebangsaan, maka pendidikan kewarganegaraan menjadi penting untuk

ditanamkan sejak dini dan bukan sekedar hafalan. Pendidikan

kewarganegaraan yang baik mengasumsikan adanya partisipasi aktif dari

warga negaranya. Partisipasi aktif mengasumsikan adanya kesadaran

bersama sebagai satu bangsa. Sedangkan kesadaran bersama mensyaratkan

adanya pemahaman dan penilaian yang positif sebagai bangsa.

Dari berbagai pembahasan diatas, maka dapat kita lihat bahwa

identitas bangsa dapat terbentuk melalui beberapa hal, yaitu: (1).

Pengalaman pribadi seseorang dan hasil interaksi mereka dengan

lingkungan; (2) Pendidikan kewarganegaraan yang dapat memberikan

pemahaman akan identitas diri sebagai warga negara; (3) Pendidikan

kewarganegaraan yang ditanamkan sejak dini; dan (4) Partisipasi dan

pemberdayaan dalam hal kewarganegaraan yang diwujudkan dalam perilaku

(43)

A.4. Evaluasi terhadap Pendidikan di Indonesia dalam Membentuk Identitas Kebangsaan

Salah satu sarana menanamkan rasa keindonesiaan dalam diri anak

adalah melalui pendidikan. Pendidikan diyakini sebagai pihak yang

bertanggungjawab atas pengetahuan yang mereka berikan kepada anak

didiknya (Tilaar, 2007). Perkembangan zaman yang terjadi hingga saat ini

mengakibatkan lahirnya berbagai tuntutan baru dalam penyelenggaraan

pendidikan. Kita dituntut untuk bersaing, gesit, cepat, dan mengadakan

berbagai perbaikan (Dahlan dalam Sindhunata, 2000). Dalam

hubungannya dengan tatanan politik, tatanan pendidikan dapat

menciptakan kecenderungan sifat-sifat yang nasionalistis dan secara

habis-habisan membantu perkembangan semangat nasionalis (Murbandono,

2006).

Pendidikan formal dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia.

Driyakarya menyebut pendidikan sebagai proses ”pemanusiaan manusia

muda”. Manusia muda yang dimaksudkan adalah anak-anak usia sekolah.

Merekalah yang pertama-tama berhak mendapatkan pendidikan formal

dari negara (Sudiarja dalam Basis, 2007). Pendidikan nasional sebagai

salah satu contoh dari jalur formal mempunyai dampak yang sangat besar

di dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia. Puncak-puncak

kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan unsur-unsur budaya lokal

yang dapat memperkuat solidaritas nasional. Dalam upaya tersebut,

(44)

memiliki dan keinginan untuk mengembangkan kekayaan nasional dari

masing-masing budaya lokal (Tilaar, 2007). Namun, apabila kita lihat,

pendidikan formal yang terjadi di Indonesia cenderung tidak berjalan

dengan baik dalam pembentukan jati diri bangsa. Hal ini dikarenakan

pendidikan formal cenderung lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat

hafalan tanpa memberikan makna yang terkandung di dalamnya.

Mulder (2003) mencoba mengevaluasi pendidikan formal yang ada

saat ini. Ia menilai ada dua kelemahan besar tentang pembelajaran sejarah

Indonesia. Pertama, proyeksi terus-menerus masa sekarang ke dalam masa

lampau, hal ini diartikan sebagai keinginan masa sekarang yang

diproyeksikan dalam kejayaan masa lampau sehingga orang Indonesia

masa kini hidup dalam mimpi kejayaan di masa lampau. Kedua, ketiadaan

teori sebagai pukulan yang lebih serius terhadap pengajaran dan

pemahaman sejarah. Artinya bahwa tidak ada penelaahan lebih lanjut

dengan perspektif lebih maju dan periodisasi yang memisahkan sejarah

masa lampau dengan masa kini sehingga anak hanya diberikan rentetan

fakta dan sejarah saja tanpa ada isi atau makna yang terkandung di

dalamnya.

Mulder mencoba menjawab kemungkinan penyebab pendidikan di

Indonesia cenderung kurang berjalan dengan baik ini melalui

penelusurannya terhadap teks dan buku-buku pendidikan formal yang

muncul antara lain dalam mata pelajaran IPS. Di kelas empat sampai kelas

(45)

Misalnya saja, koordinat-koordinat geografis diberikan kepada

murid-murid kelas empat, wilayah waktu dan kedudukan astronomis di kelas

lima atau enam. Bahkan, masih menyangkut masalah kemasyarakatan,

murid-murid dipenuhi dengan pengetahuan tentang pemerintahan dan

administrasinya, partai politik, yang semua itu nantinya akan diberikan

lebih rinci lagi di jenjang lebih tinggi. Kedua, adanya ambisi untuk

menanamkan ideologi nasional dengan cara indoktrinasi (Mulder, 2005).

Pengetahuan tentang kebudayaan biasanya dimasukkan dalam mata

pelajaran PPKn, IPS, atau Sosiologi dan dijadikan pajangan kelas berupa

poster-poster rumah adat, pakaian adat, alat musik tradisional. Selain itu,

ada pula parade pakaian-pakaian adat pada perayaan Hari Kartini.

Pendekatan ini sudah cukup baik namun akan lebih optimal jika

pengetahuan tentang kebudayaan tidak terpaku pada tingkat permukaan

dan pengenalan saja, melainkan bisa diperdalam dengan penugasan kepada

anak didik untuk meneliti dan menggali lebih lanjut pemahaman terhadap

suku, etnis, adat, tradisi, dan agama lain. Tentu saja jenis dan bobot

penugasan ini bisa disesuaikan dengan jenjang usia dan kemampuan anak

didik (Lie dalam Basis, 2007).

Mochtar Buchori (2004) mengatakan bahwa ketidakjelasan kita

dalam menyusun kurikulum nasional terutama disebabkan karena

ketidakjelasan kita tentang manusia Indonesia yang diharapkan terbentuk

dalam pendidikan formal. Kita masih meraba-raba tentang gambaran

(46)

sendiri tidak jelas, maka arah pendidikan untuk membantu siswa menjadi

manusia Indonesia dewasa juga tidak akan jelas. Akibatnya yang akan

ditekankan dalam kurikulum nasional juga tidak akan jelas (Buchori,

2005).

Norman J Bull (1973), mengatakan bahwa cacat terbesar dari

pendidikan secara tradisional adalah penekanannya pada pengajaran

prinsip-prinsip secara tertutup, dengan sedikit rujukan pada situasi-situasi

yang konkret”. Oleh karena itu siswa harus diperkenalkan dengan

pengalaman konkret tentang aplikasi prinsip-prinsip yang umum itu ke

dalam situasi yang spesifik (Latief, dalam Basis 2007). Selain itu

pengetahuan yang diberikan pada anak lebih menekankan akan sejarah

kejayaan masa lalu, sehingga masa kini pun menjadi ’kosong’ tanpa ada

tindakan konkret yang dapat dilakukan..

Dalam masyarakat tradisional, pendidikan merupakan proses

memasukkan anak ke dalam kehidupan masyarakat orang dewasa, untuk

dapat ikut serta berpartisipasi di dalamnya. Proses ini ditandai dengan

upacara inisiasi dan menjadi tanda bahwa anak sudah mencapai usia akil

balig. Dalam masyarakat modern, proses inisiasi tersebut menurut

Driyakarya, digantikan oleh pendidikan formal (Sudiarja dalam Basis,

2007).

Dalam tradisi banyak suku bangsa, inisiasi ini meliputi baik fisk,

mental, maupun pengetahuan. Dalam kerangka ini pula Driyakarya

(47)

memasuki wilayah tanggung jawab orang dewasa, menjadi warga

masyarakat secara penuh. Ini berarti melalui pendidikan, anak didik

dibudayakan dan menjadi bagian dari masyarakat bangsanya. Namun

pendidikan modern de facto justru sering menjadi sekadar pengajaran dan

menguji hanya di bidang pengetahuan, menjadi reduktif dan tidak

mencerminkan inisiasi yang utuh (Sudiarja dalam Basis, 2007). Dalam

kaitannya dengan pentingnya pendidikan dalam pembentukan kepribadian

manusia baik sebagai warga suatu bangsa, maupun warga dunia, Sudiarjo

(lihat Basis, 2007) mengkritik pendidikan kita yang sebenarnya sedang

terkatung-katung, antara kepentingan pembentukan ”kepribadian nasional”

dan mengikuti persaingan global.

Dari berbagai pendapat diatas maka dapat kita katakan bahwa

pendidikan formal yang ada di Indonesia belum berhasil membentuk

identitas kebangsaan Indonesia. Sistem pendidikan yang berjalan sekarang

di Indonesia lebih menekan individualitas dan kreativitas, tidak ada

investasi dalam pembangunan sumber daya manusia; Indonesia tertinggal

bertahun-tahun dari negara-negara Asia Tenggara lainnya, dan pada tahun

yang akan datang akan lebih tertinggal dibelakang Barat (Mangunwijaya,

1999).

Demikian pula pendidikan informal melalui keluarga, media, dan

masyarakat umum juga dianggap belum berhasil (Murbandono, 2006).

Menurut Seto Mulyadi dalam Sindhunata (2000), keberhasilan suatu

(48)

dalam hal memahami anak sebagai individu yang unik, dimana setiap anak

dilihat sebagai individu-individu yang memiliki potensi-potensi yang

berbeda satu sama lain, namun saling melengkapi dan berharga.

Anak-anak dalam kelas Orde Baru belajar bahwa keluarga dan

jaringan perluasannya merupakan dasar bagi kehidupan mereka, dan

bahwa hubungan-hubungan itulah yang membentuk bangsa. Proses belajar

adalah rekonfirmasi dari apa yang diketahui dan dimiliki seseorang

(anggapan dari buku teks) bahkan jika konstruksi yang ditawarkan untuk

menggambarkan keluarga berbeda dari keluarga yang dimiliki oleh para

siswa itu sendiri (Shiraisi, 2001). Keluarga Indonesia dibangun dalam

buku pelajaran melalui proses, kata-kata yang sering digunakan dalam

keluarga atau disebut sebagai bahasa ibu sering diterjemahkan dalam

bahasa nasional. Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa bangsa

dipelajari dari perluasan keluarga karena apa yang dipelajari dalam

keluarga menjadi sumbangan penting dalam pembentukan suatu bangsa.

Dalam pendidikan informal, contoh konkret sangatlah penting agar

anak lebih mudah dalam memahami dan mengadopsi pengetahuan yang

diberikan. Selain itu, kita juga perlu lebih memahami anak sebagai subjek.

Pada dasarnya mereka hidup dalam dunia bermain, sedang berkembang,

senang meniru, dan berciri kreatif. Anak-anak pada dasarnya senang

meniru karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka adalah

dengan cara meniru (Seto dalam Sindhunata, 2000). Bandura dalam teori

(49)

dilakukan oleh orang lain. Melalui belajar mengamati (juga

disebut ”modelling” atau ”imitasi), kita, secara kognitif, menampilkan

perilaku orang lain dan kemudian barangkali mengadopsi perilaku ini

dalam diri kita sendiri (Santrock, 1995). Namun sayangnya, beberapa

pendapat mengatakan bahwa orang tua atau pun masyarakat umum belum

mampu menjadi panutan atau teladan yang baik dan konkret bagi anak

untuk dijadikan model identifikasinya sebagai orang Indonesia (lihat

Tilaar, 2007)

B. Indonesia

Indonesia adalah negara yang besar. Negara berpenduduk melampaui

170 juta jiwa dengan 13.677 pulaunya yang berderet berupa pulau karang

berbentuk cincin sampai pulau-pulau raksasa seluas 100.000 persegi mil dan

lebih, membuat Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia.

Indonesia memiliki sumber-sumber kekayaan alam dan aneka ragam manusia

serta kebudayaan yang memikat di alam tropisnya (Murbandono, 2006).

Indonesia juga diartikan sebagai nama negara kepulauan di Asia Tenggara

yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2001). Selain itu, Nasion Indonesia (bangsa Indonesia) adalah suatu

kesatuan sosial yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami wilayah

negara kesatuan Republik Indonesia dan berbahasa nasional Bahasa Indonesia

(50)

Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa

Indonesia termasuk negara yang kaya dan besar secara geografis dan budaya.

Letak geografis Indonesia juga dikatakan menguntungkan, karena dilalui garis

katulistiwa yang membuat Indonesia beriklim tropis. Kekayaan yang dimiliki

Indonesia tentunya harus tetap dijaga dan diperjuangkan karena hal ini tidak

diperoleh secara cuma-cuma. Kekayaan ini diperoleh dan dipertahankan

dengan perjuangan rakyat Indonesia pada masa lalu sebelum pada akhirnya

Indonesia dapat merebutnya dari tangan penjajah.

Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu

orang Indonesia pun belum ada. Di kepulauan yang membentang antara benua

Asia dan Australia ini, dulu terdapat banyak negara besar dan kecil yang

sebagian disatukan secara longgar oleh kekuasaan penjajahan Belanda yang

pelan-pelan menguat. Namun, sikap kedaerahan tetap menjadi motif utama

dalam identitas politik dan budaya disini. Dan pada waktu itu di kepulauan ini

tidak ada kepemimpinan pribumi yang dirumuskan secara luas, modern, dan

tegas (Elson, 2008).

Indonesia lahir sebagai sebuah kesepakatan, yaitu muncul berdasar

atas kesadaran akan kesetaraan dan demokrasi dari hasrat untuk maju bersama

sebagai sebuah negara. Artinya Indonesia ada itu bukan karena kesamaan

nasib tetapi lebih karena komitmen para pendiri untuk maju bersama sebagai

sebuah negara (Anderson, 2001).

Tonggak sejarah pertama yang diangkat oleh bangsa Indonesia dalam

(51)

adalah tahun 1908, tepatnya tanggal 20 Mei 1908, yakni kelahiran suatu

organisasi kemasyarakatan yang diberi nama Boedi Oetomo. Tahun itu disebut

oleh bangsa Indonesia sebagai tahun kebangkitan nasional bangsa Indonesia.

Kemudian adanya deklarasi Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928

juga menjadi pendorong bagi para pemuda untuk berjuang lebih keras lagi

dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka (Soeprapto, 2008).

Peristiwa bersejarah tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian

dikenal sebagai Sumpah Pemuda terjadi berkat kesepakatan yang muncul di

antara pimpinan organisasi kepemudaan dan kedaerahan. Sejak Sumpah

Pemuda, terjadilah pemerdekaan secara simbolik dan mental, karena saat itu

Gambar

Tabel 1 Data Demografi Responden Jenis Kelamin Laki-laki
Tabel 2 Data Demografi Responden Jenis Kelamin Perempuan
Tabel 3 Elemen yang Digambar Responden
Tabel 4 Deskripsi Gambar Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai jenis pisang, termasuk di dalamnya pisang lokal khas Sumatera Utara seperti pisang barangan, pisang ambon, pisang kepok, pisang awak, pisang batu, pisang raja,

Variabel yang diamati meliputi kadar air dengan metode pengeringan (AOAC, 2007), kadar abu dengan metode pengabuan langsung (AOAC, 2007), kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC,

Terdapat beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan stres yang dialami seseorang, diantaranya hipertensi atau peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan

An integrated method of producing biodiesel and sugar using subcritical water and methanol has been employed as a potential way to reduce the high cost of single biofuel

Namun pengaruh penurunan muka air banjir sangat kecil apabila hanya dilakukan pada Desa Trimulyo, untuk itu dilakukan normalisasi dari Sta 51391 (Glapan) sampai

Sebuah batu memiliki berat 0,25 N, ketika dicelupkan seluruhnya ke dalam air beratnya menjadi 0,20 N.berapa gaya apung yang bekerja pada batu dan berat zat cair jika massa benda

Tempat wisata ini belum dikelola penuh untuk tempat wisata, hanya ada sebuah temapt kamar mandi yang hanya buat berganti baju.. Belum adanya tempat parkir dan pengunjung

1) Perencanaan atau Planning, yaitu proses yang menyangkut upaya yang dilaku-kan untuk mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan strategi dan taktik