• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui Reses Anggota DPRD Provinsi Banten (Studi Kasus pada Masa Persidangan ke II Tahun Sidang 2017/2018) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui Reses Anggota DPRD Provinsi Banten (Studi Kasus pada Masa Persidangan ke II Tahun Sidang 2017/2018) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Penjaringan Aspirasi Masyarakat Melalui Reses Anggota DPRD

Provinsi Banten

(Studi Kasus pada Masa Persidangan ke II Tahun Sidang 2017/2018)

Shelly Agustia Maulina, Leo Agustino, Shanty Kartika Dewi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

agustiashelly@gmail.com, abdul.hamid@untirta.ac.id, shanty@fisip-untirta.ac.id

Abstract: Collecting society aspirations become a successful key for a Council as a person who has role to be a representation of a society itself. One of the DPRD's function is to articulate and create society necessities. Recess of the parliament period is a part of assembly phase and implemented at least six days work. This recess of parliament period is used by DPRD both personally or in group to visit the election region in case to absorb the society aspirations. After the collection has been done, every member of DPRD personally or in group have to make a written report or convey the result of their duty realization during that recess of parliament which is next will be conveyed to the leadership of DPRD in a plenary meeting. The goal of this research is to find out how the collecting society aspirations that has been done by the member of DPRD in Banten Province during the period of recess that implemented on the assembly period II at 2017/2018. This research will be applied by a qualitative method with a case study approach. The kind of data will be primary and secondary data. The result of the research indicate that the implementation of recess of the parliament which has been done by the member of DPRD in Banten Province is not effective yet. The collecting of society aspirations that has been done by them is used as a formality only. The collecting of aspirations through recess activity only assumed as a kind of sharing money and stuff freely.

Keywords: Collecting Society, Recess, DPRD, Banten

Abstrak: Penjaringan aspirasi masyarakat menjadi sebuah kunci keberhasilan bagi anggota dewan sebagai orang yang berperan menjadi representasi dan wakil dari pada masyarakat. Salah satu fungsi dari DPRD untuk mengartikulasikan dan mewujudkan kepentingan rakyat. Masa reses merupakan bagian dari masa persidangan dan dilaksanakan paling lama selama enam hari kerja. Masa reses ini dipergunakan oleh DPRD secara perseorangan ataupun kelompok untuk mengunjungi daerah pemilihannya untuk menyerap aspirasi masyarakat. Setelah melakukan penjaringan, setiap Anggota DPRD maupun secara kelompok wajib membuat laporan tertulis atau menyampaikan hasil dari pelaksanaan tugasnya pada masa reses tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Banten pada masa reses yang dilaksanakan pada masa persidangan II tahun 2017/2018 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Adapun jenis data berupa data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan reses yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Banten belum efektif. Penjaringan Aspirasi Masyarakat yang dilakukan oleh Anggota DPRD Provinsi Banten hanya dijadikan sebagai formalitas semata. Penjaringan aspirasi melalui kegiatn reses hanya di pahami sebagai bentuk bagi-bagi uang dan barang.

(2)

Pendahuluan

Penjaringan aspirasi dimaksudkan sebagai instrumen untuk mendapatkan input dan masukan untuk mendorong optimalisasi fungsi pengawasan, pembentukan peraturan daerah maupun pembahasan anggaran (APBD) bersama dengan pemerintah daerah. Pentingnya penjaringan aspirasi masyarakat membuat para wakil rakyat untuk mengadakan kunjungan secara rutin ke daerah pemilihannya (dapil) agar mengetahui permasalahan-permasalah-an ypermasalahan-permasalah-ang dihadapi oleh konstituen. Terdapat beberapa mekanisme, metode dan cara yang kerap dilakukan oleh DPRD dalam rangka penjaringan aspirasi masyarakat, salah satunya yaitu dengan melakukan kegiatan reses.

Kegiatan reses menurut pengertian aslinya adalah masa istirahat atau penghentian suatu sidang pengadilan atau sidang lembaga perwakilan rakyat dan badan sejenisnya. Namun, kegiatan reses lebih dimaknai sebagai kegiatan pejaringan aspirasi masyarakat oleh DPRD yang dilakukan di luar gedung, atau di masing-masing wilayah pemilihan anggota DPRD terpilih.

Masa reses mengikuti masa persidangan, yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun atau 14 kali reses dalam periode 5 tahun masa jabatan DPRD dan dilaksanakan paling lama 6 hari kerja. Pada masa reses ini anggota DPRD secara perseorangan maupun berkelompok mengunjungi daerah pemilihannya guna menyerap aspirasi masyarakat. Kemudian setelah pelaksanaan kegiatan reses, anggota DPRD wajib membuat laporan tertulis atau hasil pelaksanaan tugasnya pada

masa reses dan disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna (Marijan 2010:53). Dalam penelitian ini, peneliti meneliti kunjungan kerja secara perseorangan anggota DPRD di Provinsi Banten dan peneliti memfokuskan penelitian ini hanya pada 3 anggota DPRD Provinsi Banten dari berbagai macam partai diantaranya Demokrat, Gerindra, dan PKB. 3 partai tersebut merupakan partai-partai yang menduduki kursi jabatan di DPRD Provinsi Banten.

Kegiatan reses anggota dewan secara umum dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: Pertama, diadakannya rapat untuk membicarakan rencana persiapan reses seperti menyusun jadwal, menentukan materi kegiatan reses, serta memilih kordinator dan personal struktur tim. Kedua, menghadiri pertemuan dengan kosntituen di tempat yang telah disediakan sebelumnya oleh pemerintah kecamatan ataupun kelurahan, dalam rangka mengkomunikasikan tugas dan peran anggota DPRD, kiprah di legislatif, serta informasi reses dewan ke daerah pemilihannya. Ketiga, silaturahmi dengan masyarakat secara langsung (Rizal 2011: 8).

(3)

sebelumnya serta apa agenda strategis yang akan dilakukan ke depan. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan reses menjadi sorotan bagi masyarakat beserta pihak-pihak yang berkepenting-an baik itu para akademisi, pengamat politik, stake holders ataupun LSM. Mekanisme pelaksanaan reses yang jarang sekali dipublikasi, sehingga rawan sekali terjadi penyelewengan terutama dalam pos anggaran reses, serta pelaksanaannya kurang mengakomodir aspirasi masyarakat dan kegiatan reses tersebut hanya dijadikan sebagai formalitas.

Pada DPRD Provinsi Banten periode 2009-2014 sebelumnya, tepatnya pada kegiatan reses yang dilaksanakan akhir bulan April sampai awal bulan Mei 2010 terdapat beberapa masalah. Isu manipulasi data terkait reses dewan sangat ramai dibicarakan di berbagai media seperti koran dan berita khususnya di Banten maupun berbagai seminar yang dilakukan oleh pihak akademisi. Berawal dari pernyataan ketua fraksi PDIP Provinsi Banten yang menyatakan bahwa adanya indikasi manipulasi data reses DPRD Provinsi Banten. Menurutnya ada anggota yang memanipulasi laporan keuangan reses. Indikasinya, tanda tangan konstituen dan kwitansi bukti reses dibuat oleh mereka sendiri atau oleh staf sekertariat DPRD. Selanjutnya ia mengatakan walaupun anggota dewan itu benar-benar melakukan kegiatan reses atau tidak tetap saja laporannya palsu. (Radar Banten, Jumat 30 April 2010).

Dalam berita juga diungkapkan adanya penggunaan dana reses yang menyalahi aturan, bahkan telah menjadi fenomena umum di kalangan anggota

DPRD Banten. Adanya laporan pula bahwa pelaporan reses (SPJ) dibuatkan oleh staf dewan dengan biaya satu jutaan.

Isu manipulasi reses terus bergulir, pada tataran berita yang sama di sampaikan oleh Banten Raya Post pada tahun 2010. Bahkan pada harian tersebut diberitakan pula (secara implisit) keuntungan reses fiktif sekitar 18 juta per anggota dewan. Satelit News Tangerang pada tanggal yang sama juga menurunkan headline berita yang sama. Isu panas yang bergulir pada akhir april 2010 terus berlanjut pada awal bulan berikutnya. Tabloid Gilas, Edisi II tahun I, Senin, 3-10 Mei 2010, memuat headline laporan keuangan diakali; Dana Reses DPRD Banten Diduga Dimanipulasi.

Kembali ada yang menyatakan, bahwa ada staf dewan yang mengejar tanda tangan aparatur pemerintahan hingga ke pasar atau kantor kecamatan untuk meyakinkan bila anggota dewan yang bersangkutan telah benar-benar menjalani reses di daerah tersebut. (Tabloid Gilas, Edisi II tahun I, Senin, 3-10 Mei 2010)

(4)

Kedua, yaitu adanya ketidak-sesuaian masyarakat yang hadir dalam kegiatan reses. Dalam jadwal kegiatan reses masa persidangan II tahun 2017/2018 yang dilaksanakan pada 7 sampai 14 Maret 2018 terbukti ketika peneliti mengikuti kegiatan reses tersebut secara langsung masyarakat yang hadir tidak sesuai dengan jumlah undangan yang seharusnya yaitu 200 orang. Kegiatan reses juga seharusnya dihadiri perwakilan dari SKPD, pemerintah daerah, Walikota, Camat, Lurah, Ketua RT/RW dan yang terakhir yaitu masyarakat. Tetapi ketika peneliti ikut dalam kegiatan tersebut pada sebagian (dua) kegiatan reses tidak ada perwakilan dari SKPD, pemerintah daerah mupun Walikota.

Ketiga, menurut hasil wawancara awal peneliti dengan staf bagian fraksi dan aspirasi masyarakat (sekwan) sebelum diadakannya kegiatan reses masih minimnya sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat, hanya ada surat pemberitahuan kepada Walikota. Jadi masyarakat sendiri kurang mendapatkan informasi terkait kegiatan reses dilakukan dimana, kapan, dan apa saja yang sebenarnya dibahas dalam kegiatan reses tersebut. Selain itu, masyarakat hanya diberitahu pada hari pelaksanaan kegiatan reses tersebut oleh para kader dari partai politik masing-masing kampung setempat. Sehingga masyarakat tidak mempunyai persiapan terlebih dahulu, dan tidak mengetahui mekanisme dari kegiatan reses tersebut bukan hanya itu karena kegiatan reses juga menyangkut hajat hidup banyak orang dan kepentingan setiap orang tentunya berbeda-beda seharusnya sebelum diadakannya

kegiatan reses disosialisasikan terlebih dahulu agar masyarakat bisa ikut serta berpartisipasi serta mengerti apa tujuan dan maksud dari kegiatan reses tersebut. Tidak hanya kurangnya sosialisasi, aspirasi masyarakat nya pun bersifat elitis maksudnya aspirasi tersebut terdiri atas segelintir orang yang berkuasa seperti tokoh masyarakat, kerabat terdekat ataupun kepala desa dan pihak-pihak lain yang tentunya sudah mempunyai jabatan yang bisa memutuskan apa yang digariskan secara politis tanpa perlu mendasarkan pada aspirasi dari tataran bawah atau bisa dibilang masyarakat. Itu semua tentunya sangat menyalahi aturan. Karena reses diadakan sebenarnya untuk mendengarkan aspirasi langsung dari masyarakat.

Keempat, Kegiatan reses dijadikan sebagai agenda politik (kampanye). Setelah peneliti melakukan observasi, terbukti kegiatan reses hanya dijadikan sebagai ajang silaturahmi dengan para kader partai politik di daerah. Kalaupun ada forum terbuka dengan konstituennya, itu hanya dalam ragka konsolidasi internal untuk agenda politik tertentu seperti pilkada.

(5)

Metode

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Penelitian ini akan berfokus pada penjaringan aspirasi masyarakat melalui reses anggota DPRD Provinsi Banten pada masa persidangan ke ii tahun sidang 2017/2018.

Dalam mengumpulkan data informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data. Pengumpulan data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi, karena studi kasus melibatkan pengumpulan data yang “kaya” untuk membangun gambaran yang mendalam dari suatu kasus. Lebih lanjut Creswell mengungkapkan bahwa wawancara dan observasi merupakan alat pengumpul data yang banyak digunakan oleh berbagai penelitian. Maka dari itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Karena peneliti mempertimbangkan faktor efektifitas dan keterbatasan peneliti.

Untuk analisis dan penyajian data dalam studi kualitatif pada penelitian ini menggunakan analisis Menurut Miles dan Huberman teknik analisa data ada dua yaitu analisis sebelum di lapangan dan analisis data di lapangan (Creswell 2010: 141).

Hasil dan Diskusi

DPRD dalam Penjaringan Aspirasi Masyarakat

Penjaringan aspirasi masyarakat menjadi sebuah kunci keberhasilan bagi anggota Dewan sebagai orang yang

berperan menjadi representasi dan wakil dari pada masyarakat. Artinya, kualitas dan integritas anggota dewan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia berhasil dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat serta membela aspirasi masyarakat yang menjadi tuntutannya. Kepercayaan masyarakat pun bisa timbul oleh keberhasilan anggota dewan tersebut.

Aspirasi yang di maksud tentu tidak sebatas pada proses penjaringan aspirasi masyarakat pada masa pemilihan legislatif (pileg) semata. Tetapi secara lebih luas, kewajiban tersebut melekat setelah anggota dewan berhasil terpilih menjadi angota legislatif secara sah. Maka pada saat itu pula masyarakat menjadi tanggung jawabnya dan hubungan anggota legisatif dengan konstituennya secara resmi dilakukan dalam bentuk kunjungan kerja yang biasa disebut dengan reses. Begitupula pada penelitian ini peneliti membahas tentang penjaringan aspirasi masyarakat melalui reses.

Reses adalah kegiatan pimpinan dan anggota DPRD dalam menjaring aspirasi masyarakat diluar masa persidangan yang dilakukan di masing-masing daerah pemilihan (Dapil). Proses penjaringan aspirasi masyarakat tentu saja sudah menjadi kewajiban dan harus dilakukan oleh anggota DPRD Provinsi Banten. Kegiatan reses dilaksanakan setiap 4 bulan sekali, dengan kata lain 3 kali dalam setahun dan 14 kali pada satu periode. Tujuan reses ialah menampung dan menyerap asprasi masyarakat.

(6)

Banten menjalani kegiatan reses dengan uang sebesar Rp100 juta rupiah per anggota, sesuai dengan keterangan salah satu pendaping dewan yang enggan disebutkan namanya. Dengan uang tersebut anggota DPRD Provinsi Banten dianjurkan melakukan kegiatan reses selama 6 hari kerja. Sayangnya, Tata Tertib DPRD tidak memuat aturan mengenai sanksi terhadap anggota dewan yang tidak melakukan penyerapan aspirasi masyarakat.

Hasil reses biasanya disampaikan pada pembukaan masa sidang, dan tidak disampaikan secara verbal melainkan hasil reses hanya disampaikan dalam bentuk laporan tertulis kepada pimpinan sidang. Setelah itu, sidang ditutup, selesai. Laporan reses juga tidak pernah dibicarakan pada sidang paripurna, yang disampaikan hanya rekapan dari seluruh aspirasi yang sudah diperoleh pada saat penjaringan aspirasi berlangsung sehingga masyarakat tidak bisa memantau isi dari laporan kegiatan reses tersebut apakah sesuai dengan aspirasi masyarakat atau tidak. Tetapi masyarakat juga tidak bisa menuntut mengenai hal ini karena sudah diatur dalam Tata Tertib DPRD yang di buat sendiri oleh DPRD.

sebagaimana bunyi dari peraturan tata tertib DPRD, pimpinan DPRD menyampaikan hasil kegiatan reses kepada gubernur untuk ditindakanjuti. Pada akhirnya, DPRD sebagai institusi tidak bisa berbuat banyak dalam hal menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sebab, mereka terkooptasi dengan undang-undang dan kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, hubungan antara anggota DPRD dengan konstituennya hanya merupakan

hubungan formalistik. Dalam hal ini, seharusnya partai politik pun juga memiliki panduan bagaimana kader-kadernya yang duduk di lembaga legislatif dapat melakukan relasi secara intensif dengan para pemilihnya dalam upaya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituen. Tetapi pada kenyataannya partai politik hanya dijadikan sebagai indentitas politik saja. Artinya, pada setiap penjaringan semua anggota dewan dari berbagai partai melakukan penjaringan hanya sesuai dengan mekanisme yang dibuat oleh sekertaris dewan tanpa ada campur tangan dari partai politik. Sebelum berlangsungnya kegiatan reses, tahapan-tahapan yang dilalui yaitu: rapat pimpinan, rapat badan musyawarah untuk menjadwalkan waktu dan tempat tujuan penyelenggaraan reses, persiapan penyelenggaraan reses difasilitasi oleh sekretariat DPRD, pelaksanaan kegiatan reses dan penyampaian hasil reses di rapat paripurna. Masing-masing anggota DPRD didampingi oleh staf pendamping dari awal berjalannya kegiatan reses sampai dengan pelaporan kegiatan reses tersebut.

(7)

Proses penjaringan aspirasi masyarakat tesebut dapat dinilai menjadi efektif atau tidak tentu saja memerlukan analisa yang lebih lanjut namun sejauh yang peneliti ketahui pada periode sebelumnya yaitu periode 2009-2014 tepatnya 8 tahun yang lalu sesuai dengan hasil seminar komunikasi politik yang dilakukan di Untirta dengan tema Menilai Laporan Hasil Reses DPRD Provinsi Banten dan Signifikasinya terhadap Pembangunan Daerah ditemukan adanya permasalahan terkait isu manipulasi data reses dewan ramai dibicarakan, penggunaan dana reses yang menyalahi aturan, bahkan sudah menjadi fenomena umum di kalangan anggota DPRD Banten, selain itu ada laporan juga bahwa pelaporan reses (SPJ) dibuatkan oleh staf dewan dengan biaya satu jutaan, selanjutnya ada dugaan pula terkait dana Reses DPRD Provinsi Banten yang di manipulasi. Isu-isu tersebut ramai dibicarakan bahkan di beberapa media cetak seperti Radar Banten, Banten Raya Pos, Satelit News Tangerang dan di salah satu tabloid yaitu Tabloid Gilas, Edisi II tahun I. Tepatnya pada kegiatan reses yang dilakukan tanggal 29 April sampai 6 Mei 2010 masa persidangan ke III tahun sidang 2009/2010.

Permasalahan yang sudah terjadi juga ternyata tidak hanya pada periode tersebut, tetapi pada periode 2014-2019 juga terdapat beberapa masalah yang sejatinya hampir sama. Pada saat peneliti mempunyai kesempatan untuk melakukan praktik kerja lapangan (magang) di DPRD Provinsi Banten pada tahun 2017 ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian mengenai proses penjaringan anggota Dewan

misalnya pada reses masa persidangan ke III tahun sidang 2016/2017 yang telah dilaksanakan pada tanggal 22, 23, 27, 28, 29 dan 30 Desember 2016. Saat itu peneliti diberi kesempatan melakukan kegiatan praktik kerja lapangan peneliti diberi kesempatan untuk melakukan pengkoreksian dan melengkapi dokumen yang kurang terkait surat pertanggung jawaban (SPJ) kegiatan reses yang telah dilakukan oleh anggota dewan dan peneliti menemukan masalah yang hampir sama dengan masalah yang sudah terjadi pada periode sebelumnya. Yaitu adanya manipulasi data pada penyusunan SPJ. Manipulasi ini terkait dengan daftar hadir peserta reses dan dokumentasi foto kegiatan reses yang dilampirkan. Bukti daftar hadir peserta yang datang mengikuti reses, tidak sesuai dengan yang tertera di notulen. Tidak semua kegiatan reses anggota DPRD dihadiri tepat 200 orang. Karena banyak peserta yang hadir dibawah jumlah itu, dengan begitu untuk melengkapi daftar hadir yang mengikuti kegiatan reses terbukti adanya pemalsuan nama dan tanda tangan peserta kegiatan reses, selanjutnya dokumentasi foto yang dilampirkan pada SPJ reses selama enam hari, tidak sedikit yang semuanya sama. Maksudnya adalah ada banyak berkas SPJ yang melampirkan foto-foto kegiatan reses yang perharinya adalah sama, yang berbeda hanyalah pengambilan sudut pandang dari foto kegiatan reses tersebut dan membedakan banner dan tanggal kegiatan reses berlangsung.

(8)

yang telah di lakukan oleh Bapak X dari partai PKB komisi IV bidang Pembangunan Dapil Banten 1 Pandeglang sekaligus sebagai Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) PKB Pandeglang, kegiatan reses ini di lakukan pada tanggal 7 Maret 2018 di Kecamatan Mandalawangi yaitu di yayasan Al-Ikhlas yang bertempat di kampung pandat yang dihadiri masyarakat dari tiga kampung diantaranya Kampung Cikoneng, Pandat dan Cilambungan. Bapak Y dari partai Gerindra Komisi I bidang Pemerintahan dapil Banten 2 Kabupaten Serang, yang dilakukan pada tanggal 9 Maret 2018 di keragilan, lebih tepatnya dilakukan di pondok pesantren salafiyah Al-Munawwar Banie Amien kp. Pabuaran Jati RT/RW 01/01 Pematang Keragilan Serang. Dan yang terakhir Bapak Z dari partai Demokrat Komisi III bidang Keuangan dan Aset dapil Banten 2 kabupaten Serang sekaligus sebagai Wakil Ketua BAPPILU DPD Partai Demokrat Provinsi Banten yang bertempat di Carenang pada tanggal 12 Maret 2018, lebih tepatnya dilakukan di Musholla yang terletak di Kp. Kedung sentul RT/RW 09/03 Desa Walikukun.

Pertama, pada penjaringan aspirasi yang dilakukan oleh X, terdapat masalah yaitu, tidak adanya persiapan sebelum dilaksanakan kegiatan reses, karena setelah peneliti melakukan wawancara terhadap masyarakat yang megikuti, dan tokoh masyarakat ternyata kegiatan tersebut tidak memiliki izin, terutama kepada RT kampung setempat yang tempatnya dijadikan sebagai tempat daripda kegiatan reses tersebut berlangsung.

Menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat:

“Sebelum kegiatan reses tidak ada izin, jangankan ke RT atau RW ke saya pun (sebagai yang mempunyai tempat) tidak izin. Hanya ada surat persetujuan yang harus ditandatangani itu pun maksa ke saya, agar yayasan saya bisa di pakai untuk kegiatan reses” (wawancara dengan tokoh masyarakat sekaligus pemilik yayasan di Desa Pandat).

Dengan begitu, kegiatan reses tersebut sama sekali tidak memiliki persiapan apapun. Terlebih surat persetujuan yang telah di tandatangani oleh tokoh masyarakat tersebut datang dua hari sebelum dilaksanakannya kegiatan reses dan terkesan memaksa. Selanjutnya, masih kurangnya masyarakat yang hadir pada kegiatan reses. Bahkan masyarakat yang hadir pada kegiatan reses tersebut adalah ibu-ibu dari tiga majeis taklim (bawaan) masing-masing dari para kader yang akan mencalokan diri pada legislatif 2019 mendatang dan bapak X juga diketahui memang akan ikut mencaonkan diri pada DPR-RI 2019 daerah pemilihan Kabupaten Pandeglang dan Lebak mendatang. Menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat:

(9)

Pada dasarnya, minimnya sosialisasi terhadap masyarakat membuat ketidaktahuan akan dilaksanakannya kegiatan reses dan berdampak pada kurangnya kehadiran peserta kegiatan reses. Bahkan Ketua Majelis Taklim kampung pandat tidak tahu menahu tentang kegiatan reses tersebut. Tidak hanya itu, bahwa kegiatan reses tersebut pun sekaligus dijadikan sebagai agenda politik yaitu kampanye. Karena pada saat kegiatan reses berlangsung para kader tersebut satu persatu diperkenalkan kepada masyarakat.

Selain itu, proses kampanye yang dilakukan pada kegiatan reses berakhir dengan memberikan sejumlah uang dengan nominal 50.000 rupiah dan nasi kotak pada setiap masyarakat yang hadir di kegiatan reses tersebut.

Pada penjaringan aspirasi ini juga menghasilkan beberapa aspirasi dari masyarakat diantaranya yaitu bantuan untuk pembangunan yayasan di Kampung Cikoneng dan Pandat, masyarakat masing-masing mendapat-kan uang tunai sebesar 1.000.000 rupiah untuk membantu merenovasi yayasan tersebut yang sekaligus dipakai saat kegiatan reses berlangsung, selanjutnya masyarakat meminta tempat pemandian mayat karena pada Kampung Pandat dan Kampung Cikoneng belum mempunyai tempat pemandian mayat dan pelatihan menjahit untuk melatih masyarakat terutama ibu-ibu agar waktu luangnya bisa lebih produktif. Tetapi pada kenyatannya menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat sampai sekrang tempat pemandian mayat tersebut maupun pelatihan menjahit

belum direalisasikan, padahal sesuai dengan janjinya beliau akan langsung memberikan tempat pemandian mayat tersebut dan mengusahakan pelatihan menjahit untuk ibu-ibu:

“Sampai sekarang tempat pemandian mayat itu belum direalisasikan tidak tahu kapan akan direalisasikannya, karena di sini pun baru sekali diadakan kegiatan reses tersebut. Bukan cuma itu, pelatihan jahit-menjahit juga belum tau tindak lanjutnya bagaimana sampai sekarang” (Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat sekaligus pemilik yayasan).

Karena baru pertama kalinya kegiatan reses dilakukan di tempat tersebut, dengan belum adanya pengalaman sebelumnya terkait kegiatan reses, sehingga masyarakat tidak tahu bagaimana cara memfollow-up aspirasi yang telah mereka usulkan pada kegiatan reses. Aspirasi yang terakhir masyarakat juga mengeluhkan tentang infrastruktur baik jalan maupun jembatan yang memang rusak. X berjanji akan menyampaikan keluhan tersebut kepada lima anggota Fraksi PKB di DPRD Pandeglang. X juga menginformasikan bahwa pada tahun anggaran 2018 ini terdapat anggaran untuk rehabilitasi dan pembangunan jalan Provinsi. Khusus untuk ruas jalan Mengger, Mandalawangi, dan Caringin. Jadi masyarakat hanya dihimbau untuk menunggu sampai kegiatan tersebut terlaksana.

(10)

observasi secara langsung terbukti bahwa tidak adanya persiapan khusus menjelang penjaringan aspirasi tersebut dilaksanakan, bahkan penentuan tempat baru dilaksanakan malam sebelum kegiatan reses berlangsung. Tidak hanya itu, kegiatan reses yang berlangsung di pondok pesantren salafiyah Al-Munawwar Banie Amien tersebut juga tidak memiliki izin RT kampung setempat, mereka melakukan kegiatan reses hanya seizin tokoh masyarakat yang mempunyai pondok pesantren tersebut. Selain itu, pemilik pondok pesantren tersebut juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Y. Menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat sekaligus pemilik pondok pesantren salafiyah Al-Munawwar Banie Amien:

“Semalam diberitahu akan kedatangan silaturahmi bapak Dewan Y ke pesantren kami, dan mengundang seluruh santri untuk ikut dalam silaturahmi tersebut. Juga sekaligus memberi uang sebesar 3.000.000 untuk biaya snack dan makan siang di pesantren kami” (hasil wawancara dengan tokoh masyarakat sekaligus pemilik pesantren).

Terlihat jelas bahwa tidak adanya persiapan apapun terkait kegiatan reses, bahkan informasi terkait kegiatan reses juga baru diberitahukan semalam sebelum besoknya kegiatan reses tersebut berlangsung. Tidak ada izin kepada RT setempat juga peneliti dapatkan dari beberapa obrolan staf pedamping dewan dengan para timses di tempat kegiatan reses berlangsung. Staf pendamping dewan tersebut

menitipkan berkas untuk

ditandatangani oleh RT kampung setempat kepada salah satu timses Y. Selanjutnya masyarakat yang mengikuti kegiatan reses tersebut kurang dari 200 orang, karena yang datang pun tidak semua dari kalangan masyarakat melainkan hanya santri-santri yang berada di pesantren tersebut dan kerabat-kerabat dari pada Y. Karena pemilik pesantren sekaligus tokoh masyarkat juga masih berstatus kerabat dari Y. Dengan begitu masih minimnya sosialisasi kegiatan reses yang dilakukan oleh Y kepada masyarakat menjadikan masyarakat tidak tahu menahu tentang kegiatan reses, yang mereka tahu hanya akan ada silaturahmi atau kunjungan dari Y tersebut.

Pada saat kegiatan tersebut berlangsung juga tidak ada aspirasi yang diusulkan oleh peserta yang mengikuti kegiatan reses tersebut. melainkan hanya ada ceramah yang diberikan oleh Y kepada santri-santri yang hadir dalam kegiatan reses. Dalam ceramah tersebut disebutkan bahwa bapak Y menjanjikan akan membantu memberi bantuan dana untuk ikut merenovasi masjid yang teretak di depan pondok pesantren tersebut. Kegiatan reses yang dilakukan Y juga sekaligus dijadikan sebagai kegiatan politik yaitu kampanye karena beliau akan mencalonkan kembali sebagai anggota DPRD Provinsi Banten periode selanjutnya. Selain itu, proses kampanye yang dilakukan juga membagikan beberapa amplop kepada segelintir orang, karena tidak semua yang ikut hadir dalam kegiatan tersebut diberi ampolp. Dan dilanjutkan dengan makan siang bersama.

(11)

sama dengan tanggal yang berbeda. Padahal secara real di lapangan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat tersebut hanya dilakukan dalam satu kegiatan di satu tempat. Proses manipulasi ini bertujuan agar pada proses pelaporan seolah-olah terjadi dua proses penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh Y.

Terlihat jelas bahwa pada saat kegiatan reses tersebut berlangsung terdapat dua banner yang berbeda tanggal. Pada banner yang pertama bertanggalkan 9 Maret 2018, dan pada banner yang kedua bertanggalkan 12 Maret 2018. Selain itu, menurut hasil wawancara peneliti dengan pendamping dewan, kegiatan manipulasi tersebut sudah biasa dilakukan bahkan banyak anggota dewan yang lain sering melalukan manipulasi tersebut. Berikut wawancara peneliti dengan pendamping dewan:

“Banyak yang hanya tiga kali melakukan kegiatan reses juga tapi pada saat pelaporan SPJ mencantumkan 6 hari, jadi seakan-akan udah melakukan reses 6 hari padahal hanya foto di banner yang berbeda saja” (wawancara dengan staf pendamping dewan Y).

Dengan begitu, kegiatan manipulasi tersebut memang sudah biasa dilakukan di DPRD Provinsi Banten, mungkin memang tidak semua tetapi ada beberapa yang melaukan manipulasi seperti ini.

Ketiga, Penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh bapak Z, tidak jauh berbeda dengan penjaringan aspirasi yang telah dilakukan oleh bapak X dan bapak Y sebelumnya. Pada penjaringan yang

dilakukan oleh Z juga kurang lebih mempunyai permasalahan yang sama. Tetapi pada penjaringan yang dilakukan oleh bapak Z ini memiliki perizinan yang lengkap bahkan di hadiri oleh Kepala Desa dan petinggi-petinggi desa lainnya. RT maupun tokoh masyarakat juga ikut serta dalam penjaringan aspirasi ini. Tetapi yang lebih dominan adalah Kepala Desa, karena yang menyuarakan aspirasinya pun langsung oleh Kepala Desa Walikukun. Tetapi masyarakat yang hadir masih kurang dari 200 peserta. Masyarakat diberitahu akan diadakannya kegiatan reses siang sebelum malamnya kegiatan reses berlangsung, menurut hasil wawancara dengan masyarakat yang mengikuti kegiatan reses:

“Kegiatan ini baru diberitahu saat siang, setelah adzan zuhur langsung di umumkan di Musolla akan ada silaturahmi yang dilakukan oleh Z.”

Pada penjaringan kali ini juga terdapat konsolidasi politik atau bisa disebut kampanye, sama dengan yang dilakukan oleh bapak X dan Y. Adanya pembagian kalender pada saat kegiatan reses berlangsung dan setelah kegiatan tersebut selesai seluruh masyarakat juga diberi amplop.

(12)

mengenai bantuan untuk ikut berpartisipasi dalam membangun masjid yang dijadikan sebagai tempat kegiatan reses berlagsung berupa bantuan semen. Dan bantuan tersebut sudah di realisasikan.

Pada dasarnya aspirasi masyarakat masih sangat banyak dan belum tersalurkan secara maksimal dalam momentum proses penjaringan aspirasi yang di lakukan oleh anggota dewan. Namun karena keterbatasan waktu membuat aspirasi masyarakat tidak semuanya bisa diungkapkan oleh masyarakat dalam hal ini diwakili oleh Kepala Desa. Berikut wawancara dengan Kepala Desa Walikukun:

“Sebenarnya masih banyak yang belum saya sampaikan pada saat kegiatan reses tersebut berlangsung, tapi karena waktunya dibatasi saya juga tidak bisa memaksa, lain kali jika ingin melakukan kegiatan reses kalau bisa jangan di batasi waktunya. Kan kegiatan tersebut jarang, jadi seharusnya jika sedang ada kesempatan bisa di maksimalkan.”

Selain itu, kepala desa juga merasa bahwa kegitan reses tersebut sebenarnya tidak pantas dilakukan di dalam Musholla karena bagaimanapun kegiatan tesebut bukan untuk ibadah melainkan untuk melakukan kegiatan politik. Berikut wawancara dengan Kepala Desa Walikukun:

“Sebenarnya kurang setuju ketika tahu akan ada reses di Musholla, saya rasa tidak pantas melakukan kegiatan reses di dalam Musholla walaupun Musholla tersebut sedang di bangun.”

Dengan begitu, Kepala Desa Walikukun berharap untuk kegiatan

selanjutnya tidak diadakan lagi di Musholla-Musholla karena bagaimanapun Musholla bukan tempat untuk kegiatan berpolitik. Selain itu, kegiatan reses tersebut juga baru sekali dilakukan di Desa Walikukun. Karena sebelumnya belum pada indikator yang pertama yaitu melibatkan masyarakat setempat dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota dewan belum dijalankan secara maksimal, dimana masyarakat tidak berpartisipasi secara aktif dalam memberikan masukan atau aspirasi kepada anggota dewan. Artinya, anggota dewan lebih banyak berperan secara aktif dibanding masyarakat. Selanjutnya, sebelum dilakukan proses penjaringan juga tidak dilakukan sosialisasi secara matang sehingga masyarakat yang hadir terkesan efek mobilisasi dari anggota dewan. Hal ini pula yang kemudian menyebabkan peserta reses yang berasal dari masyarakat tidak bayak yang hadir dan tidak mengerti substansi dari proses penjaringan aspirasi itu sendiri. Proses aspirasi lebih banyak dilakukan secara rekayasa oleh anggota dewan.

(13)

bagi yang bekerja sebagai wakil rakyat. Pendekatan Bottom-Up memiliki indikator diantaranya melibatkan masyarakat setempat, menarik gagasan, membangun konsensus, dan yang terakhir mendelegasikan kekuatan pengambilan keputusan. Dilihat bahwa penarikan gagasan belum memenuhi substansi kebutuhan analisis yang berkembang di masyarakat. Bentuk penjaringan lebih banyak hanya dipahami sebagai pemberian bantuan fisik dan bantuan langsung tunai. Padahal, berbicara aspirasi seharusnya menyentuh substansi yang lebih luas menyangkut permasalahan yang ada pada masyarakat dan apa solusi yang diberikan oleh anggota dewan.

Jika dilihat secara langsung, kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh Anggota DPRD Provinsi Banten pada dasarnya belum mengasilkan program atau kebijakan apapun. Anggota DPRD juga belum berhasil menjadi fasilitator untuk masyarakat yang mengikuti penjaringan aspirasi tersebut. Peneliti menangkap ada dua hal kekelirun di sini, pertama dari pihak masyarakat yang kurang memahami makna dan substansi dari kegiatan reses yang dilakukan oleh anggota dewan sehingga ketika anggota dewan hadir turun ke lapangan hanya di pahami sekedar ajang pemberian bantuan atau bagi-bagi uang. Keuda, dari pihak anggota dewan gagal melakukan pencerdasan kepada masyarakat mengenai pentingnya masa reses dalam kaitannya melakukan penjaringan aspirasi, justru masa reses ini.

Indikator yang ketiga yaitu membangun konsensus, pada indikator

ini memperlihatkan bahwa anggota dewan kurang melakukan konsensus atau kesepakatan yang semestinya dilakukan sesuai dengan pendekatan Bottom-up theory. Dimana pada saat membangun konsensus hanya dijalankan secara formalitas saja tanpa melakukan peninjauan aspirasi yang telah dilakukan secara mendalam. Selanjutnya indikator yang terakhir mendelegasikan kekuatan pengambilan keputusan. Dengan memakai pendekatan Bottom-Up, berarti pengambilan keputusan juga didasari pada keputusan yang telah disepakati oleh masyarakat lalu dilanjutkan kepada pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah berarti anggota dewan yang melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. dalam proses penjaringan aspirasi yang dilakukan oeh anggota dewan tidak hanya melibatkan anggota dewan baik secara personal maupun seacara institusional melainkan harus melibatkan semua elemen atau unsur terkait yang relevan dengan isu atau permasalahan berdasarkan dari hasil kegiatan reses. Hal ini dikarenakan pada dasarnya anggota dewan hanya berperan sebagai penjaring aspirasi sementara yang memiliki kewenangan untuk mengeksekusi hasil reses tersebut adalah pemerintah dareah dan SKPD yang bersangkutan misalnya dalam satu kegiatan reses berdasarkan hasil kesepakatan anggota dewan dengan masyarakat dan mempertimbangkan aspek analilis dijadikan sebagai agenda politik untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas anggota dewan dan mereka merasa nyaman dengan ketidakpahaman masyarakat mengenai tujuan dari kegiatan reses tersebut.

(14)

maka angota dewan perlu megadakan audiensi dan koordinasi dengan dinas pekerjaan umum di daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, proses penjaringan aspirasi yang termasuk pada indikator ini adalah adanya kerjasama secara simultan dan berkelanjutan dengan pihak lain dalam hal ini pemerintah.

Namun dalam konteks penjaringan aspirasi yang dilakukan oleh anggota dewan Provinsi Banten cenderung melakukan simplifikasi terhadap isu dan permasalahan yang ditemukan di masyarakat tanpa dibuat design perencanaan yang lebih komprehensif dan matang. Berdasarkan observasi peneliti dalam kesempatan mengikuti rapat paripurna penyampaian hasil reses pada tanggal 29 Maret 2018 yang dihadiri oleh 43 dari 85 angota dewan, tepatnya dua minggu setelah kegiatan reses berlangsung. Nampak terlihat anggota dewan pada akhirnya hanya menyampaikan rekapan dari seluruh aspirasi yang sudah diperoleh pada saat penjaringan sesuai dengan daerah pemilihannya. Sehingga masyarakat sendiri tidak bisa memantau isi dari laporan kegiatan reses tersebut apakah sesuai dengan aspirasi masyarakat atau tidak. Hal ini bisa dilihat pada saat sidang paripurna pelaporan hasil reses sesuai dengan yang disampaikan oleh perwakilan anggota dewan tiap-tiap daerah pemilihannya. Setelah dilakukan rapat paripurna penyampaian hasil reses anggota DPRD Provinsi Banten selanjutnya diserahkan kepada eksekutif. Dalam hal ini eksekutif yaitu sekertaris dewan, sekertaris dewan melakukan rapat untuk pengelompokan aspirasi dan selanjutnya dilanjutkan ke

SKPD terkait, biasanya ke Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) untuk memilih aspirasi yang lebih prioritas untuk di realisasikan.

Pada akhirnya walaupun penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh anggota DPRD belum dipahami oleh masyarakat, dan aspirasi yang di dapatkan dari kegiatan reses juga bukan merupakan kebutuhan prioritas. Dalam rapat paripurna anggota DPRD menyimpulkan sendiri kebutuhan dari masyarakat. Dengan begitu ada atau tidak adanya kegiatan reses ini sebenarnya tidak memberikan masukan atau sumbangan aspirasi terhadap kebijakan maupun program yang direalisasikan oleh pemerintah.

Simpulan

Penjaringan aspirasi yang dilakukan anggota dewan Provinsi Banten pada masa reses yang telah peneliti ikuti pada tanggal 7 sampai 14 Maret 2018 masa persidagan ke II tahun sidang 2017/2018 jika dianalisa menggunakan pendekatan Bottom-Up belum dilaksanakan secara optimal dan pelaksanaannya terkesan hanya formalitas semata karena anggota dewan belum melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal. Hal ini didasari tidak adanya transparansi atau keterbukaan informasi yang anggota dewan berikan kepada masyarakat, masyarakat yang hadir juga tidak dari seluruh lapisasan masyarakat, selan itu kebanyakan masyarakat pada masa reses lebih cenderung menangkap kegiatan reses seperti acara amal dan bantuan yang diaspirasikan pun berbentuk fisik, bukan bantuan yang sifatnya berkelanjutan.

(15)

belum paham mengenai analisis kebutuhan mereka sendiri, masyarakat selalu menganggap anggota dewan sebagai santaclause yang bisa mengabulkan keinginan masyarakat seperti uang atau barang bukan kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Selanjutnya, yang kedua anggota dewan sendiri merasa diuntungkan karena ketika mereka mengabulkan keinginan masyarakat dana yang dikeluarkan akan lebih sedikit dibandingkan ketika mereka membuatkan suatu program yang sifatnya jangka panjang atau berkelanjutan yang pada akhirnya akan lebih bermanfaat untuk masyarakat.

Terlihat jelas bahwa ada kegagalan dalam hal analisis kebutuhan pada masyarakat padahal dalam pendekatan Bottom-Up kebutuhan seharusnya datang dari masyarakat. Tetapi masalahnya ketika masyarakat tidak cerdas dalam memilih kebutuhan yang lebih prioritas seharusnya dibantu oleh anggota dewan tetapi pada kenyatannya tidak.

Pada akhirnya, penjaringan aspirasi melalui kegiatan reses anggota dewan ini hanya di pahami sebagai bentuk bagi-bagi uang dan barang, padahal seharusnya angota Dewan memberi masyarakat program berkelanjutan yang bisa memberikan pemberdayaan atau menyelsaikan masalah yang berkembang di masyarakat. Jika memang program reses hanya dijadikan sebagai acara amal berarti kegiatan reses yang dilakukan oleh anggota dewan ini belum bisa dikatakan efektif. Tidak ada keistimewaan dalam pelaksanaan kegiatan ini, padahal kegiatan reses

adalah momen anggota dewan sebagai wakil dari pada konstituennya dalam menjaring aspirasi masyarakat.

Referensi

Agriculture Directorate General. (2018). Leader from Initiative to Method. European Commission.

Agus, Dwiyanto. (2003). Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Agus, Erawan Purwanto dan Dyah Ratih

Sulistyastuti. (2012). Implementasi Kebijakan Publik. Konsep dan Aplikasinya di Inonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Aritonang, Julfreddi. (2011). Top Down dan Bottom-Up Planning

Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cipto, Bambang. 1995. DPR dalam Era Pemerintahan Modern-Industrial. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Creswell. (1998). Qualitative Inquiry: Choosing Among Five Traditions. USA: Sage Publications Inc

Dayani, Nela. (2012). Akuntabilitas Kinerja Anggota DPRD Daerah Pemilihan Satu Kabupaten Serang Tahun 2010-2011. Skripsi. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Devikristina, Eyie. (2012). Penerapan Pendekatan Top-Down dan Bottom-Up dalam Pembangunan

Fung, Archon dan David Weil. (2010). “The Single Point of Failure”, dalam Lathrop, Daniel dan Laurel Ruma. 2010. Open Government: Collaboration, Transparency, and Participation in Practice. Sebastopol: O‟Reilly Media.

(16)

Hendriyanto, Rachmad. (2014). Analisis Akuntabilitas Politik Reses, Studi Tentang Kegiatan Reses Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: DIA FISIP Universitas Indonesia.

Ioannis A. (2014). Top-Down and Bottom-Up Urban and Religional Planning: Towards A Frramework For The Use Of Planning Standarsd. Jurnal. University of Pafos, School of Architecture, Land and Environmental Sciences.

Legislator-Konstituen. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Marbun, BN. (2006) . DPRD, Pertubuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustakam Sinar Harapan

Marwati, Lilis. (2008). Studi tentang Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua Dalam Menyikapi Aspirasi Masyarakat. Skripsi. Universitas Yapis Papua, Papua. Marijan, Kacung. (2010). Sistem Politik

Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Miles, B Matthew dan Huberman,

Michael A. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Perss

Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Padgett, D. K. (1998). Qualitative methods in social work research: Challenges and rewards. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc. Permata Sari, Desi. (2016). Pelaksanaan

Penyerapan Aspirasi Masyarakat Oleh Anggota DPRD Partai Nasdem Periode 2014-2019 Kota Semarang Pada Masa Reses Tahun 2014. Skripsi. Universitas Negri Semarang.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. edisi revisi. Jakarta: LPSP3 UI.

Putri, Qory Kumala dan M.Y. Tiyas Tinov. (2014). Efektivitas Reses Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bengkalis Periode 2009-2014 (Studi Dapil I Kecamatan Bantan, Kecamatan Bengkalis, Kecamatan Rupat, dan Kecamatn Rupat Utara)‟. Dalam Pisma. No. 4. Hal 30-58.

Rizal, Afib. (2011). Gaya Komunikasi Politik Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Tengah Pada Saat Reses Tahun 2010. Tesis. UniversitasDiponegoro, Semarang. Sandra, Luky. (2009). Kecendrungan

Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009. Journal. (ejournal.politik.lipi.go.id)

Sianturi,JosmagelHarapan. (2014). Analisis Terhadap Hubungan Anggota DPRD Dengan Konstituen Di daerah Pemilihannya (Studi Analisis: Kegiatan Masa Reses Anggota DPRD Tapanuli Utara Di Dapil I Pada Tahun 2013). Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Suharto, Edi. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Pratama.

Tata Tertib DPRD Provinsi Banten

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Wibowo, Pramono Anung. (2013). Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik Yin, Robert K. Studi Kasus Design &

Referensi

Dokumen terkait

Panitia/pengurus mengajukan surat permohonan penyelenggaraan kegiatan di luar kampus kepada Dekan melalui Wakil Dekn III berdasarkan persetujuan pengurus lembaga kemahasiswaan dan

- Bulu sekitar tanduk dibersihkan, dioles vaselin - Menggosokkan zat kimia pada daerah bakal tanduk (15 detik).. - Bila berdarah

High Contrast ratio akan mengirim warna putih yang paling putih dan warna hitam yg paling hitam.Namun jika Contrast rationya rendah , Maka Gambar yg dihasilkan akan

Dalam tahap pengembangan (develop) peneliti melakukan 3 langkah yaitu : Validasi perangkat pembelajaran, Revisi perangkat pembelajaran, dan Uji coba produk. Validasi

Er zijn twee situaties denkbaar waarin het voor de onderzoeker toch interessant zou kunnen zijn om deze groepen apart te bestuderen: (1) als blijkt dat het niet het uiteinde van

Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai t sebesar ±9,03 dengan nilai significancy p 0,000 ( p < 0,05), sehingga bermakna secara siginfikan terhadap skor

22 Saya meminta bimbingan kepala sekolah bila merasa tidak mampu mengatasi masalah siswa 23 Saya mampu memahami berbagai faktor yang berpengaruh dalam menciptakan

Knowledge of meaningful body motion is also useful when interpreting the speaker’s kinesics and other extra-linguistic elements, especially if the target language