• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT. Pergerakan konsumen dikenal berawal dari Amerika Serikat sejak tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT. Pergerakan konsumen dikenal berawal dari Amerika Serikat sejak tahun"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT

A. Hak dan Kewajiban Konsumen

”Pergerakan konsumen dikenal berawal dari Amerika Serikat sejak tahun 1900-an dalam kasus Upton Sinclair’s book, the Jungle.”27 Tonggak penting dalam perkembangan awal sejarah pergerakan konsumen di Amerika Serikat ditandai dengan pidato Presiden John F. Kennedy pada tahun 1962 di depan Kongres Amerika Serikat tentang Hak Konsumen. Beliau mengatakan bahwa: ”konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap konsumen ekonomi publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”28

Dalam pesannya kepada Kongres pada tanggal 15 Maret 1962 dengan Judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

a. The right to safety (hak atas keamanan); b. The right to choose (hak untuk memilih);

c. The right to be Informed (hak untuk mendapatkan informasi); dan d. The right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya).29

Pada dasarnya, sejarah awal dari pergerakan konsumen di Amerika Serikat tersebut mencakup:

a. Hak konsumen atas keamanan dan keselamatan; b. Hak informasi;

c. Hak memilih di antara berbagai produk dan jasa dengan harga bersaing;

27

Tim Penerbit Perlindungan Konsumen, Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Perlindungan Konsumen dan Yayasan GERMAINTI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,

Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, Defit Prima Karya, Jakarta, 2001, hal. 2. 28

Ibid, hal. 2. 29

(2)

d. Hak untuk didengar secara adil oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan konsumen;

e. Hak untuk memperoleh ganti rugi; f. Hak pendidikan konsumen;

g. Hak mendapatkan kepuasan atas kebutuhan dasar; dan

h. Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.30 Dalam Pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan sejak Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 pada tanggal 9 April 1985 (UN-Guidelines for Consumer Protection), merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi :

a. Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendaki dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; dan

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. 31

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia, baru mulai diperhatikan pada tahun 1970-an, ini ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. Pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri yang menghasilkan berbagai jenis barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen serta didukung dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan Informatika, yang pada akhirnya konsumen dihadapkan pada barang atau jasa yang variatif.”32

Semakin variatifnya produk barang dan jasa yang dihasilkan produsen dengan berbagai kemudahannya, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa telah terpenuhi, tetapi disisi lain dapat

30

Ibid., hal. 2-3. 31

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Cetakan II, hal. 27.

32

(3)

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang di mana konsumen berada pada posisi yang lemah, konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen.

Beranjak dari kondisi di atas beberapa elemen masyarakat mendesak untuk melakukan langkah-langkah pengawasan terhadap promosi-promosi yang dilakukan agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas produk yang dihasilkan dapat terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, dan tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dengan motto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat konsumen dan membantu pemerintahan. Kemudian suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun tulisan di media massa.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun, kelihatannya

(4)

bahwa hak-hak yang diberikan kepada konsumen lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha dan kewajiban pelaku usaha lebih banyak dari kewajiban konsumen.

Pada dasarnya, hak dari konsumen dapat dilihat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang atau jasa.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. ”Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk

(5)

didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.”33

Selain memperoleh hak konsumen juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa; c. Membayar dengan nilai yang sesuai dengan yang disepakati; dan

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut, hal ini dimaksudkan agar konsumen sendiri memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan kepastian hukum bagi dirinya.

Hak dan kewajiban konsumen ini harus menjadi perhatian dan dijelaskan dengan sebaik-baiknya oleh pelaku usaha atau produsen agar konsumen benar-benar mendapat informasi yang jelas. ”Penjelasan itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.”34

B. Hak dan Kewajiban Bank

Pada dasarnya, Bank merupakan suatu pelaku usaha dalam melaksanakan operasional penerbitan kartu kredit, di mana untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi bank sebagai pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, di mana bank sebagai pelaku usaha diberikan hak

33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani., Op. cit, hal. 29-30. 34

(6)

yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;

b. Mendapatkan perlindungan hukum dari konsumen yang tidak beritikad baik; c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

d. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan-peraturan.

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang atau jasa tertentu, serta memberikan jaminan atau garansi atas barang yang dibuat dan diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang diperdagangkan; dan,

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Semua kewajiban pelaku usaha ini disisi lain dapat dipandang sebagai hak dari konsumen, begitu juga sebaliknya seluruh hak dari pelaku usaha dapat dipandang sebagai kewajiban dari konsumen. ”Jika diperhatikan baik-baik, jelas bahwa

(7)

kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab diri para pelaku usaha.”35

C. Bentuk Perlindungan Nasabah Berdasarkan Perjanjian Kredit

Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan. ”Mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.”36

Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save deposite box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah (konsumen) mempunyai kedudukan yang berbeda pula. ”Tetapi dari semua kedudukan tersebut

35

Ibid., hal. 34. 36

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 282.

(8)

pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa disektor usaha perbankan”.37

Fokus persoalan perlindungan nasabah menurut Muhammad Djumhana :

Persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku.38

Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian kredit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa : perjanjian pokoknya yakni perjanjian kredit, dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan.39

Pelayanan jasa perbankan lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam rangka perlindungan konsumen yang sekaligus menjadi objek dalam penulisan ini yaitu pelayanan jasa perbankan seperti kartu kredit, dimana pada dasarnya perjanjian kartu kredit ini termasuk ke dalam kategori perjanjian kredit.

Secara umum telah kita ketahui bersama, bahwa perjanjian kartu kredit pada dasarnya merupakan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yang sebelumnya telah ditentukan dan disiapkan oleh pihak bank dalam bentuk formulir yang diperbanyak, dengan demikian perjanjian kartu

37 Ibid, hal. 282 38 Ibid., hal. 283. 39 Ibid., hal. 283.

(9)

kredit merupakan perjanjian yang disusun sepihak oleh bank tanpa adanya negosiasi dengan nasabah.

Menurut Setiawan, pada perjanjian kredit antara bank dengan nasabah harus diberi dua catatan yaitu, Pertama, hubungan itu tidak hanya menciptakan perikatan atas dasar perbuatan melanggar hukum, serta dalam hal tertentu juga atas dasar perjanjian pemberian kuasa, Kedua, hubungan yang dinamakan kontraktual tersebut tidak menampakkan dirinya sebagai suatu kebulatan yang utuh, melainkan tampil dalam berbagai nuansanya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur secara khusus perihal hubungan kontraktual dalam perjanjian kredit antara bank dengan debitur.40

Selain pengaturan dalam asas-asas umum perikatan, pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menerangkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan mengenai kartu kredit itu sendiri sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam memberikan dan melakukan kegiatan usaha dalam kartu kredit ini, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

40

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 221.

(10)

Secara tradisional, dalam mempertimbangkan pemberian kartu kredit, dan agar pemberian kartu kredit itu akhirnya tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, atau dengan kata lain mencegah kartu kredit itu bermasalah, bank akan memperhatikan dua hal yaitu, kemauan debitur untuk membayar kembali kredit yang diberikan oleh bank dan kemampuan debitur untuk membayar kembali kredit itu, yang lazim dikenal dengan istilah faktor willingness to pay dan ability to pay dari nasabah itu.

Untuk mengukur kemauan dan kemampuan dari nasabah debitur tersebut, secara tradisional bank melakukan analisis terhadap lima faktor dari nasabah, yakni faktor character, capital, capacity, conditions dan collateral atau lebih dikenal dengan istilah The Five C’s of Credit atau dengan kata lain perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum antara bank dan nasabah. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam hal membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa. Kemudian kepada pihak penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, denda dan sebagainya.

Selain itu, terdapat juga suatu bentuk hubungan antara bank dengan nasabah yang lebih dikenal dengan hubungan hukum kontraktual menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan; semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila kita

(11)

berpegang pada ketentuan pasal tersebut diatas, secara harfiah maka apabila nasabah telah menandatangani perjanjian kartu kredit secara hukum, nasabah telah terikat dengan isi perjanjian tersebut.

Namun apabila diperhatikan lebih mendalam, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian tersebut belum tentu suatu kesepakatan yang sebenarnya, karena hal-hal sebagai berikut:

a. Debitur berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan posisi kreditur, sehingga cenderung menerima klausul perjanjian kredit yang ditawarkan oleh kreditur; dan

b. Debitur belum tentu memahami klausula-klausula dalam perjanjian kredit yang ditandatanganinya, karena debitur mungkin belum tentu menerangkan secara jelas mengenai klausula-klausula tersebut berikut konsekuensinya.41 Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang adanya perjanjian baku, asalkan saja tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan berkontrak, dengan demikian bukannya tanpa batas seperti yang terjadi pada praktek penggunaan perjanjian-perjanjian baku seperti perjanjian kartu kredit saat ini.

Akan tetapi, didalam pelaksanaan perjanjian kredit didalam perjanjian kartu kredit itu sendiri, tidak boleh menimbulkan ketidakseimbangan pada perjanjian baku dalam perjanjian kredit penggunaan kartu kredit. Klausula baku yang menimbulkan ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian baku diatur di Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

41

Oey Hioey Tiong, Aspek Hukum Perjanjian Kredit Atas Pembatalan Pemberian Kredit,

(12)

tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini berisi larangan pencantuman klausula baku di dalam perjanjian baku. Menurut penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan pencantuman tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Menurut Innosentius Samsul, ”asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak menentukan sendiri isi dari perjanjian atau kesepakatan dalam kontrak.”42

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 menetapkan, bahwa dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila klausula baku tersebut :

1. Isinya :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (barang dan/atau jasa); b. Menyatakan bahwa pelaku usaha (barang) berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pemberian kuasa (barang dan/atau jasa) berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;

d. Menyatakan bahwa pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha (barang), baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha (jasa) untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha (jasa) dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

42

(13)

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha (barang) untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Letak atau bentuknya : a. Sulit terlihat b. Tidak dapat dibaca

3. Pengungkapannya sulit dimengerti

Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan isi, letak, bentuk atau pengungkapannya seperti diuraikan di atas dalam perjanjian baku yang dibuatnya; dapat dikenakan sanksi, sebagai berikut :

a. Sanksi Perdata

Klausula baku tersebut, jika digugat di pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim membuat keputusan declarator, bahwa klausula baku tersebut batal demi hukum.

b. Sanksi Pidana

UUPK juga mengenakan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal 18 UUPK, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00(dua milyar rupiah).

Yusuf Shofie dalam lokakarya advokasi konsumen melalui prosedur hukum berpendapat bahwa :

Pada prinsipnya Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang digunakannya perjanjian baku (standard form contract), baik untuk barang maupun jasa, asalkan larangan (verbod) dan suruhan/keharusan (gebod) yang dituangkan di dalamnya tidak dilanggar. Ada kesan di sebagian pelaku usaha bahwa larangan penggunaan perjanjian baku, sehingga sangat menghambat aktivitas ekonomi mereka, sebenarnya tidaklah demikian karena ketentuan tersebut hanya membatasi penggunaan perjanjian baku yang menimbulkan akses negatif bagi pihak lainnya (konsumen).43

Selanjutnya substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (isi klausula baku yang dilarang) dapat dibandingkan dengan ketentuan Pasal 1493 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh

43

Yusuf Shofie, Pengantar Klausula Baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

(14)

Undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak tidak akan diwajibkan menanggung dengan apapun”.

Pasal 1494 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menangggung apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari sesuatu perbuatan yang dilakukan olehnya; segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal”.

Dari kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian baku diperkenankan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1493), atau dengan kata lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang adanya perjanjian baku, asalkan tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan berkontrak, dan bukannya tanpa batas seperti yang kebanyakan terjadi pada praktek penggunaan perjanjian-perjanjian baku saat ini. Dan yang terjadi dalam perjanjian penggunaan kartu kredit adalah terjadinya suatu ketidakseimbangan pada perjanjian baku yang telah ditetapkan dan harus disetujui oleh pemegang kartu kredit.

Engels yang mengutip dari Drion menyatakan, ”tiga aspek negatif dari kontrak perjanjian baku, yaitu:

(15)

a. Penyusunan sepihak b. Tidak diketahui isi syarat

c.Kedudukan yang terjepit dari pihak yang ikut serta.”44

Selain ditentukan secara sepihak, perjanjian baku umumnya memuat klausula eksonerasi. Melalui eksonerasi, diperjanjikan pertanggungjawaban pihak bank terhadap debiturnya, dan dalam hal-hal tertentu dibatasi atau sama sekali ditiadakan, baik mengenai tanggung jawab atas dasar hubungan kontraktual ataupun atas dasar perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian, pada umumnya klausula eksonerasi tidak dapat dipakai oleh pihak bank untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab, apabila tanggung jawab itu timbul karena kesalahan atau kelalaian di pihak bank sendiri, atau apabila dengan adanya klausula eksonerasi itu kontrak tersebut demikian tidak seimbang sehingga pelaksanaannya tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan.

Engels yang mengutip dari Drion juga mengemukakan :

Aspek-aspek negatif karena adanya kontrak-kontrak baku termasuk dalam ajaran penyalahgunaan keadaan pada saat tercapainya perjanjian, oleh karena itu perlu dipikirkan untuk menjelaskan syarat-syarat untuk kerugian penyusun (contra proferetem), menafsirkan bahwa syarat-syarat dalam kontrak seperti tersebut tidak berlaku untuk hubungan kongkrit, dan menolak suatu sandaran atas syarat-syarat tersebut karena bertentangan dengan itikad baik dan kesusilaan.45

Satu eksonerasi yang sendiri tidak bertentangan dengan kesusilaan, bisa kehilangan sebab yang diperbolehkan (goorloofde oorzaak) sebagai pertimbangan, karena terdapatnya pengaruh-pengaruh khusus pada waktu diadakan perjanjian, yaitu apabila pihak yang dirugikan telah menerima beban yang tidak seimbang di bawah tekanan keadaan-keadaan yang dipergunakan oleh peserta yang menandatangani kontrak; apakah suatu eksonerasi mempunyai sebab

44

Engels., Editor : Suandy., Aspek-Aspek Hukum Kontrak, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 164. 45

(16)

yang diperbolehkan, hanya dapat dinilai oleh hakim berdasarkan keadaan-keadaan khusus dari kejadian.46

Dalam pelaksanaan perjanjian kartu kredit sering menimbulkan permasalahan bagi nasabah apabila terjadi masalah yang berkaitan dengan tindakan dari bank itu sendiri maupun tindakan pihak ketiga yang terkait. Sebagai contoh masalah yang sering timbul dan dialami oleh nasabah yaitu sewaktu adanya pemalsuan tanda tangan si pemegang kartu kredit atau kasus yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan kartu kredit diperlukan adanya suatu upaya untuk melindungi debitur atau konsumen, maka ketidakseimbangan antara bank dengan debitur dalam pembuatan klausula-klausula baku pada perjanjian kredit bank khususnya dalam kartu kredit tetap harus dihindari, tetapi tidak berarti melarang adanya praktek perjanjian baku, karena alam perkembangan transaksi perbankan yang semakin maju dan modern pada saat ini, perjanjian baku sangat diperlukan demi efisiensi. Demi kesetaraan dalam pelaksanaannya, batasan atau pedoman terhadap isi dari suatu perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank khususnya perjanjian kartu kredit yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pada perjanjian kredit tersebut, dengan tetap merujuk pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya bank wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan ketentuan yang ditentukan dalam undang-undang ini.

46

(17)

Menurut Pasal 22 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa menutup kemungkinan bagi Jaksa untuk melakukan pembuktian. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem pembuktian terbalik. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan beban tanggung jawab bagi pelanggar untuk membayar kompensasi atas akibat yang ditimbulkan atas pelanggaran ini. Selain itu usaha untuk melindungi konsumen sebenarnya tidak bergantung pada penerapan hukum pidana semata yang diuraikan di atas, akan tetapi dapat juga dilakukan secara perdata yang dapat diharapkan melalui sanksi dan mekanisme gugatan ganti rugi. Jika terjadi kelalaian dan kesalahan yang terjadi pada bank, biasanya sanksi dan mekanisme gugatannya hanya ganti rugi sesuai dengan Pasal 1365-1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

a. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, ”Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.

b. Pada pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, ”Setiap orang yang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

(18)

perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kekurang hati-hatian”.

Perlindungan nasabah yang diberikan oleh bank dapat juga dilihat di dalam Undang-undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu Pasal 29 angka 4 yaitu: di mana untuk kepentingan nasabah bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan oleh bank.

Perlindungan terhadap nasabah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga tetap berjalannya usaha bank secara khusus dan perlindungan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan pada umumnya. Upaya menjaga kelangsungan hidup usaha bank ini terlihat dengan upaya yang diberikan oleh Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank. Sebagai lembaga pengawas perbankan di Indonesia, maka Bank Indonesia mempunyai peranan yang besar sekali dalam usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan-tindakn salah dari bank-bank, dan juga dalam kewenangannya untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan oleh seluruh bank yang beroperasi di Indonesia. “Pengawasan yang efektif dan baik adalah merupakan langkah preventif dalam membendung atau setidak-tidaknya mengurangi kasus kerugian nasabah karena tindakan atau lembaga keuangan lainnya yang melawan hukum.”47

47

(19)

Selain itu, bentuk perlindungan nasabah yang diberikan oleh bank, dapat berupa tanggung jawab bank atas kerugian nasabah karena adanya perjanjian baku dalam perjanjian kerdit pada umumnya dan perjanjian kartu kredit pada khususnya. Pada dasarnya bank sesungguhnya memahami bahwa kredit yang diberikan kepada nasabah mengandung resiko, karena bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko, bank melakukan analisis kredit kepada calon nasabah untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi pinjaman bank sesuai kesepakatan dalam perjanjian. Apabila bank menyetujui permohonan kartu kredit dari calon nasabah, pemberian fasilitas kartu kredit itu dituangkan dalam perjanjian kredit.

Perjanjian kartu kredit yang disetujui serta ditandatangani oleh pihak bank dan debitur, seharusnya dibuat secara seimbang atau tidak berat sebelah, atau dengan perkataan lain perjanjian kartu kredit tersebut tidak hanya melindungi kepentingan bank saja tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan nasabah. Pada prakteknya perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian baku yang secara umum menunjukkan ketidakseimbangan, dan debitur ada pada posisi yang lebih lemah, sehingga seringkali debitur dirugikan. Sehubungan hal tersebut bank/pelaku usaha seharusnya ikut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami debitur karena adanya perjanjian baku. Beberapa hal yang penting dalam hal ini adalah sebagai berikut: a. Perjanjian baku harus memperhatikan keseimbangan dan kepatutan.

Engels yang mengutip dari Houwing, mengatakan bahwa :

Eksonerasi dengan sengaja tidak memenuhi perjanjian adalah pembatasan perjanjian itu sendiri, oleh karena itu harus dibedakan antara eksonerasi untuk

(20)

ingkar kewajiban yang sengaja terahdap perjanjian utama sendiri dan ingkar kewajiban yang sengaja terhadap pelaksanaan perjanjian utamanya. Orang dapat menambahkan atau mengurangi semuanya kewajiban-kewajiban (kebebasan berkontrak) di dalam perjanjian utamanya, tetapi dalam hubungan sebenarnya yang timbul karena pelaksanaan perjanjian utamanya, maka memberi suatu perhatian yang cukup terhadap kepentingan masing-masing pihak adalah suatu syarat kesopanan.48

Berdasarkan aspek hukum perlindungan konsumen, konsumen menyadari tidak adanya pilihan baginya kecuali menerima atau menolak sama sekali suatu perjanjian baku (take it or leave it), ini suatu pilihan yang menyudutkan konsumen, karena persyaratan yang berat jika mengikatkan diri, dan kebutuhan yang mendesak bila konsumen tidak mengikatkan diri, sehingga konsumen kehilangan kesempatan. b. Perjanjian baku harus sesuai dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Untuk melindungi konsumen, maka ketidakseimbangan antara bank dengan debitur dalam pembuatan klausula-klausula baku pada perjanjian kredit bank tetap harus dihindari, tetapi tidak berarti melarang adanya praktek perjanjian baku, karena dalam perkembangan transaksi perbankan yang semakin maju dan modern pada saat ini, perjanjian baku sangat diperlukan demi efisiensi. Demi kesetaraan dalam pelaksanaannya, batasan atau pedoman terhadap isi dari dari suatu perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pada perjanjian kredit tersebut, dengan tetap merujuk pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

48

(21)

Perlindungan Konsumen, selanjutnya bank wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan ketentuan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. c. Bank turut bertanggung jawab dalam pemberdayaan konsumen.

Hal ini diuraikan sebagai berikut: 1. Posisi Konsumen

Posisi Konsumen jauh lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, lemahnya konsumen ini karena kurangnya konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum disebabkan antara lain oleh karena perangkat hukum yang melindungi konsumen belum memiliki rasa aman, serta peraturan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen, terlebih, penegakkan hukumnya itu sendiri dirasakan kurang tegas. Kondisi konsumen seperti ini cenderung potensial untuk menjadi korban dari pelaku usaha. Di sisi lain, cara berpikir sebagian pelaku usaha semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek, tanpa memperhatikan keselamatan konsumen yang merupakan jaminan keberlangsungan usaha sang pelaku usaha dalam konteks jangka panjang. 2. Tujuan Pemberdayaan Konsumen

Kebijakan pemerintah harus memberikan kemungkinan kepada konsumen, untuk memperoleh manfaat dari setiap transaksi yang dilakukan oleh konsumen, mereka juga harus berusaha untuk mencapai sasaran, antara lain berupa perlindungan konsumen yang efektif dalam rangka menghadapi praktek yang dapat merugikan ekonomi konsumen. Setiap negara wajib

(22)

secara terus-menerus menguji ulang ketentuan perundang-undangan untuk memberi bobot dan menyiapkan pelaksanaan perundang-undangan tersebut, dan untuk menyediakan fasilitas informasi yang memadai, agar konsumen dengan kedudukan yang telah menguntungkan bagi konsumen, dan menghindari dari praktek pelaku usaha yang merugikan. Negara wajib menciptakan dan mengembangkan program pendidikan dan penyuluhan bagi konsumen secara umumm dengan memperhatikan aspek budaya, dan tradisi masyarakat. Bila perlu, pelaku usaha harus berperan serta secara nyata dalam program pendidikan dan penyuluhan konsumen tersebut.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberi pengaruh bagi hukum perdata, yaitu adanya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian (Pasal 18), serta asas pembuktian terbalik (Pasal 22). Perlindungan konsumen diberlakukan sebagai upaya untuk memberdayakan konsumen, dan pembentukan hukum perlindungan konsumen yang adil adalah bukan hanya melindungi hak-hak konsumen, tetapi juga mengamankan kepentingan pelaku usaha yang jujur, karena kegiatan usaha yang jujur yang dapat bertahan untuk jangka Panjang, dan pelaku usaha yang tidak jujur pantas khawatir terhadap diberlakukannya hukum perlindungan konsumen.

3. Peran Serta Bank dalam Pemberdayaan Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak saja ditujukan mengatur hak-hak konsumen, tetapi juga mengatur

(23)

perilaku pelaku usaha. Segala ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, akan mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan usaha yang sehat dan jujur. Dalam rangka perlindungan konsumen, pelaku usaha mempunyai kewajiban yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi pelaku usaha, baik yang bersifat umum maupun yang masuk dalam criteria liability sebagai konsekuensi penerapan hak-hak konsumen, antara lain beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, serta memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Kesadaran hukum pelaku usaha diperlukan guna menciptakan hubungan yang harmonis antara konsumen dan pelaku usaha diperlukan guna menciptakan hubungan yang harmonis antara konsumen dan pelaku usaha sehingga menguntungkan bagi masing-masing pihak. Dalam usaha pemberdayaan konsumen diharapkan pelaku usaha dapat berperan aktif, antara lain menyisihkan sebagian pendapatannya untuk diberikan kepada lembaga yang menyelenggarakan pemberdayaan konsumen.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, perlu dilakukan pemberdayaan konsumen melalui sosialisasi peraturan-peraturan, dan atau Undang-Undang Perlindungan Konsumen guna menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen yang dirugikan. Untuk mengatasi proses pembuktian dalam sengketa antara pelaku usaha/bank dengan konsumen/debitur, bila dari pihak konsumen

(24)

dirasakan adanya kesulitan dalam pembuktian, maka untuk kasus tertentu dapat diberlakukan prinsip pembuktian terbalik.

D. Lembaga Perlindungan Konsumen

”Inggris merupakan negara pelopor tumbuhnya lembaga-lembaga konsumen di dunia. Pada tahun 1872, Inggris telah memiliki undang-undang mengenai batasan cemaran dalam makanan dan obat-obatan. Kemudian pada tahun 1893, lahir undang-undang baru yaitu Sales Act yang menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam kegiatan usahanya.”49

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah memperkenalkan suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk mengurus dan memberikan perlindungan terhadap konsumen yang diberi nama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

”Amerika Serikat memiliki sebuah badan yang dikenal dengan nama The Federal Trade Commission yang dibentuk pada tahun 1914, sebagai sebuah badan yang independen yang bertanggung jawab kepada kongres. Badan ini dibagi ke dalam tiga biro, yakni biro ekonomi, biro perlindungan konsumen, dan biro persaingan usaha.”50

Menurut Pasal 33 UUPK, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya

49

Tanri D. C. Dan Sulastri., Gerakan Organisasi Konsumen, YLKI dan The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hal. 2.

50

(25)

mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Pasal 33 UUPK ini secara tersirat mengakui bahwa:

1. Tugas untuk mengembangkan perlindungan konsumen adalah tanggung jawab pemerintah; dan

2. Pemerintah dipandang tidak cukup mampu untuk melaksanakan sendiri tugas tersebut, oleh karena itu, perlu dilibatkan unsur-unsur non pemerintah.51

Agar dapat melaksanakan fungsinya, maka Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) diberikan tugas-tugas untuk dapat melindungi kepentingan konsumen, yang dengan jelas dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (1) ditentukan sebagai berikut:

1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat;

5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; dan

7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Tugas-tugas ini merupakan satu kesatuan di mana tiap-tiap bagian dari tugas tersebut saling melengkapi, yang bermuara pada satu tujuan yaitu memberi saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengembangkan perlinsdungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUPK tersebut di atas.

51

Janius Sidabalok., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 190.

(26)

Dalam melaksanakan tugas-tugas di atas ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) UUPK, bahwa BPKN dapat bekerja sama dengan pihak lain, termasuk organisasi konsumen Internasional. Kemungkinan bekerja sama dengan organisasi konsumen Internasional ini perlu mengingat bahwa batas peredaran barang dan/atau jasa sekarang ini sudah tidak ada lagi, karena sudah melampaui batas-batas negara melalui media perdagangan bebas yang disebut dnegan globalisasi perdagangan. Dengan cara ini konsumen di Indonesia dapat terlindungi dari kemungkinan negatif perilaku usaha asing, baik karena produk yang diedarkannya di Indonesia maupun melalui kerja sama (usaha patungan) dengan pengusaha Indonesa. Kemungkinan ini tidak dapat dihindari atas usaha sendiri pemerintah Indonesia ataupun oleh BPKN. Dengan demikian, kerja sama dengan badan perlindungan konsumen luar negeri pun merupakan suatu keharusan sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan tentang perlindungan konsumen yang bernuansa Internasional.

Pemerintah juga mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk berperan aktif mewujudkan perlindungan konsumen. Adapun tugas-tugas perlindungan konsumen swadaya masyarakat di nyatakan dalam UUPK Pasal 44 ayat (3) UUPK meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; dan

(27)

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

”Salah satu bentuk lembaga konsumen swadaya masyarakat ini adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI memandang bahwa pendidikan kepada konsumen terhadap kedisiplinan tidak diterapkan provider (bank penyedia jasa pelayanan) kartu kredit terhadap konsumennya, namun cenderung dibiarkan saja karena hal itu sumber pemasukannya.”52

YLKI didirikan pada tahun 1973 oleh sekelompok pemerhati masalah-masalah konsumen dan didorong oleh rasa keprihatinan atas meningkatnya pembangunan industri dan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, YLKI ini dikenal dengan YLKI Jakarta. Untuk mencapai tujuannya YLKI melaksanakan berbagai kegiatan yang diorganisasikan dalam berbagai bidang berikut:

a. Bidang penelitian. Di bidang penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi yang objektif mengenai mutu barang karena informasi yang tersedia hanya berasal dari pelaku usaha secara sepihak;

b. Bidang pendidikan. Di bidang pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan kaonsumen misalnya tentang hak dan kewajiban konsumen, bagaimana menjadi konsumen yang baik, bijak, dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan antara lain melalui ceramah, penyuluhan, membimbing mahasiswa dan pelajar, serta membuat karya tulis;

c. Bidang penerbitan. Bertujuan untuk menyebarluaskan pandangan dan hasil penelitian YLKI tentang produk dan soal-soal lain sekitar perlindungan konsumen;

d. Bidang pengadan. Bidang ini bertujuan untuk menerima pengaduan dari masyarakat dan kemudian mencoba mencari jalan penyelesaiannya, antara lain bekerja sama dengan pemerintah. Pengaduan yang ditidaklanjuti dapat berupa pengaduan langsung dari konsumen ataupun pengaduan yang disampaikan melalui media massa;

e. Bidang umum dan keuangan. Berupa bidang yang berkaitan dengan organisasi YLKI sehingga dapat berjalan sebagaimana dengan yang direncanakan.53 Selain YLKI Jakarta, masih banyak lagi lembaga-lembaga konsumen di daerah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan berkembangnya kebutuhan dan

52

http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=59, Diakses terakhir tanggal 3 September 2009. 53

(28)

kepentingan masyarakat konsumen sepeti YLKI Banda Aceh, YLKI Yogyakarta, Lingkaran konsumen Hijau Indonesia Yogyakarta, YLKPJ (Provinsi Jambi), Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang, Lembaga Konsumen Indonesia Medan, dan lain-lain.

Menurut Pasal 1 UUPK, terjadinya sengketa akibat adanya kerugian yang dialami konsumen akibat perbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. UUPK tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen, dimana bahwa, ”Penyebutan kata-kata sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Sengketa konsumen ini menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa konsumen secara konsisten. Konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, berdasarkan Pasal 45 UUPK, dapat mengajukan gugatan melalui sebuah lembaga independen untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan pelaku usaha.

Mengingat telah banyak beredar lembaga-lembaga konsumen di Indonesia secara umum bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen agar tidak dikangkangi oleh pihak yang dominan dalam perdagangan atau pelaku usaha, maka saat ini konsumen pemegang kartu kredit yang menghadapi masalah-masalah mengenai kreditnya, sudah sepantasnya untuk dilindungi karena mereka adalah pihak yang

(29)

lemah sementara bank penerbit kartu kredit merupakan pihak yang berada pada posisi kuat dalam hal menentukan klausula-klausula baku demi keuntungan yang ingin dicapai oleh bank penerbit tersebut. Segala bentuk sengketa yang mungkin terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen akibat dari kerugian yang timbul dari perjanjian kredit antara bank penerbit dengan pihak konsumen pemegang kartu kredit tersebut, dapat melakukan gugatan melalui bantuan sebuah Badan Penyelesaian Sengketa Kosumen (BPSK) di pengadilan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk memperlancar pengelolaan kas yang efektif, maka manajemen perusahaan perlu melakukan sistem pengendalian intern yang baik dengan cara memberikan unsur praktek-praktek yang

Munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara dengan

meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga atau pribadi, baik dalam arti ekonomis maupun dalam arti sosial. kedua, secara historis gerak perpindahan yang paling

Berdasarkan nilai daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Dari hasil kegiatan pemberdayaan dapat disimpulkan bahwa masyarakat berdaya mengelola waktu untuk usaha produktif menjadi terampil menggunakan alat-alat rumah tangga untuk

Jika teori tersebut dihubungkan dengan reaksi pasar di pasar modal maka investor akan merespon pengumuman informasi laba yang mengandung praktik manajemen laba income

1) Peserta didik mengamati gambar contoh bacaan do’a 2) Menyimak penjelasan guru tentang pengertian do’a 3) Mengamati dan membaca tata cara