• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumber daya organisasi menurut Wernerfelt (1984) berfokus pada aset

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumber daya organisasi menurut Wernerfelt (1984) berfokus pada aset"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sumber daya organisasi menurut Wernerfelt (1984) berfokus pada aset yang dimiliki oleh organisasi. Aset yang dimaksud adalah aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset yang tergolong dalam aset yang berwujud adalah mesin, gudang, tenaga kerja dan masih banyak lagi yang secara kasat mata dapat terlihat. Sedangkan, aset yang tergolong dalam aset yang tak berwujud adalah keterampilan yang dimiliki karyawan, informasi, proses, dan ide, yang semuanya akan menghasilkan pengetahuan bagi organisasi.

Dalam pandangan knowledge-based view of the firm (Grant, 1996), diperkenalkan sebuah konsep yang menyatakan aset terpenting organisasi adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan sumber daya yang dapat membentuk keunggulan kompetitif bagi organisasi (Grant, 1996; Lam, 2000; Nonaka & Takeuchi, 1995), sehingga pengetahuan harus dikelola dan diorganisasikan dengan manajemen pengetahuan yang baik.

Manajemen pengetahuan menurut Dalkir (2005) merupakan hubungan antara sumber daya manusia, teknologi, proses dan struktur organisasi yang sistematis dalam rangka menciptakan sesuatu yang baru bagi organisasi. Hubungan ini terjadi melalui penciptaan, transfer, pengintegrasian, dan implementasi pengetahuan untuk menunjang kegiatan organisasi di masa datang. Pandangan teori pembelajaran organisasional menjelaskan bahwa pembelajaran organisasional terjadi melalui proses memperoleh, berbagi, dan mengintegrasikan

(2)

serta pemanfaatan pengetahuan baru baik dari luar maupun dari dalam perusahaan (Crossan, Lane, & White, 1999). Namun, dalam proses pembelajaran organisasional terdapat ketegangan antara proses pemerolehan pengetahuan baru (eksplorasi) dan pemanfaatan pengetahuan yang terdapat dalam organisasi (eksploitasi) (Crossan et al., 1999; Levinthal & March, 1993).

Aktivitas eksplorasi merupakan suatu proses pencarian hal-hal baru melalui proses penemuan dan eksperimen, menciptakan atau menyerap konsep baru yang belum dimiliki saat ini, sedangkan aktivitas eksploitasi merupakan tindakan pemanfaatan dan pengembangan hal-hal yang sudah ada (Levinthal & March, 1993; March, 1991). Organisasi yang terlibat secara eksklusif dalam kegiatan eksplorasi tidak akan mendapatkan manfaat atas pengetahuan yang telah diperoleh. Di sisi lain, organisasi yang bekerja secara eksklusif dalam kegiatan eksploitasi akan memperoleh masalah mengenai keusangan pengetahuan (Levintal & March, 1993). Oleh karena itu dibutuhkan sinkronisasi antara kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, agar kedua aktivitas tersebut dapat saling mendukung dalam menciptakan keunggulan kompetitif (March, 1991). Alasan lain yang mendukung dilakukannya sikronisasi eksplorasi dan eksploitasi adalah temuan empiris yang menyatakan bahwa keseimbangan antara eksplorasi dan eksploitasi memberikan dampak positif terhadap kinerja organisasi (Danneels, 2002; Gibson & Birkinshaw, 2004; Tushman & O’Reilly, 1996) dan pengembangan produk baru (He & Wong, 2004).

Sinkronisasi dua kegiatan yang memiliki tujuan yang berbeda melalui penggabungan atau pemisahan sub-unit atau individu yang masing-masing

(3)

mengkhususkan diri dan atau melakukan keduanya secara simultan, dikenal dengan istilah ambidexterity(De Clercq, Thongpapanl, & Dimov, 2014; Gibson & Birkinshaw, 2004; Gupta, Smith, & Shalley, 2006). Penggabungan dua kegiatan dalam satu unit atau individu dikenal dengan istilah contextual ambidexterity

(Gibson & Birkinshaw, 2004), dan sinkronisasi dua kegiatan yang dilakukan pada unit atau individu yang berbeda disebut structural ambidexterity (de Visser, de Weerd-Nederhof, Faems, Song, Van Looy, & Visscher, 2010; Duncan (1976) dalam Gibson & Birkinshaw, 2004).

Contextual ambidexterity merupakan kapasitas keperilakuan untuk memadukan secara bersama antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi ke seluruh unit bisnis (Gibson & Birkinshaw, 2004). Dalam pandangan tersebut, eksplorasi dan eksploitasi dilakukan secara bersama (sekaligus). Sedangkan, structural ambidexterity terbentuk dengan memfokuskan kegitan aktivitas pada satu unit bisnis tertentu dan aktivitas eksploitasi pada unit bisnis lainnya (Gibson & Birkinshaw, 2004; Jansen, Van den Bosch, & Volberda, 2006; O’Reilly & Tushman, 2004; 2013). Dalam pengertian tersebut, sinkronisasi dua aktivitas yang dimaksudkan, seperti aktivitas eksplorasi dan eksploitasi (March, 1991)1, inovasi

1

dalam konteks manajemen pengetahuan, aktivitas eksplorasi diidentikkan dengan aktivitas akuisisi pengetahun dan aktivitas eksploitasi berkaitan dengan berbagi pengetahuan (Crossan et al., 1999; Hafkesbrink, Bachem, &Kulenovic, 2012; Levinthal &March, 1993)

(4)

inkremental dan radikal (de Visser et al., 2010), efisiensi dan fleksibilitas (Adler, Goldoftas, & Levine, 1999), keselarasan dan kemampuan beradaptasi (Gibson & Birkinshaw, 2004).

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada contextual ambidexterity. Hal tersebut dipilih karena pencapaian kemampuan contextual ambidexterity membutuhkan situasi (sistem dan proses) yang dapat mendorong individu, baik manajer dan karyawan untuk menyeimbangkan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Individu membuat pilihan sendiri, bagaimana membagi waktu dan tugas manajer atau karyawan antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi (De Clercq et al., 2014; Gibson & Birkinshaw, 2004). Pembentukan sistem maupun proses dalam mendukung perilaku ambidextrous, sangat dipengaruhi oleh pengambil kebijakan dalam organisasi (Gibson & Birkinshaw, 2004; Mom, Van den Bosch, & Volberda, 2009).

Dalam pandangan teori jalur sasaran (path-goal theory), pemimpin organisasi memiliki peran dalam membangun iklim kerja yang baik untuk mendukung aktivitas karyawannya (House, 1971). Lebih lanjut, teori ini menjelaskan bahwa tugas pemimpin adalah membantu bawahannya mencapai tujuan individu dan organisasi dengan cara meningkatkan motivasi bawahan. Pada dasarnya, teori jalur tujuan menjelaskan tentang pengekspektasian seorang pemimpin terhadap bawahan agar dapat mengubah perilakunya sesuai dengan situasi lingkungan yang dinamis, dampak perilaku pemimpin pada motivasi bawahan, serta kepuasan dan kinerja bawahan.

(5)

Penelitian yang berkaitan antara hubungan kepemimpinan dan pencapaian kemampuan ambidexterity, masih difokuskan pada penelitian konseptual (Raisch & Birkinshaw, 2008; Raisch, Birkinshaw, Probst, & Tushman, 2009) dan dianalisis pada level unit bisnis dan organisasi (Cegarra-Navarro & Dewhurst, 2007; De Clercq et al., 2014; Gibson & Birkinshaw, 2004; He & Wong, 2004, Schudy, 2010). Penelitian tersebut masih memberikan gambaran umum mengenai hubungan pemimpin dan karyawan dalam pencapaian kemampuan ambidexterity

pada level individu. Sedangkan penelitian Gibson dan Birkinshaw (2004) menekankan bahwa aspek kepemimpinan diduga berkontribusi besar dalam proses pencapaian perilaku ambidextrous pada karyawan. Sehingga sangat memungkinkan apabila penelitian ini melakukan validasi secara empiris pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kemampuan ambidexterity, khususnya contextual ambidexteritypada karyawan.

Pemoderasian kompleksitas tugas berawal dari teori jalur tujuan. Menurut House (1971), dalam model jalur tujuan, faktor lingkungan menjadi penentu kesuksesan organisasi. Faktor lingkungan dalam pandangan teori ini, meliputi struktur tugas, tingkat kekuasaan pemimpin, dan kelompok kerja yang terkait dengan pendidikan, dan kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahan. Menurut Raisch dan Birkinshaw (2008), lingkungan yang kondusif dapat memudahkan proses pencapaian kemampuan ambidexterity, baik bagi organisasi maupun bagi individu. Hal senanda diungkapkan oleh Gibson dan Birkinshaw (2004), bahwa lingkungan yang memadai, mampu memberikan stimulus kepada manajer dan karyawan untuk berperilaku ambidextrous.

(6)

Salah satu faktor lingkungan yang diduga mampu memperkuat atau memperlemah pencapaian kemampuan contextual ambidexterity pada karyawan adalah struktur tugas. Menurut Bonner (1994), struktur tugas dan kesulitan tugas merupakan penyebab terjadinya kompleksitas tugas. Struktur tugas berkaitan dengan kejelasan informasi, sedangkan kesulitan tugas berhubungan dengan jumlah informasi. Semakin banyak dan jelas informasi terkait dengan tugas yang diterima oleh karyawan, maka proses penyelesaian tugas akan semakin mudah, begitupun sebaliknya. Kompleksitas tugas yang dialami oleh karyawan diduga dapat menentukan proses pencapaian kemampuan contextual ambidexterity. Oleh karena itu, penelitian ini memosisikan kompleksitas tugas sebagai variabel pemoderasi.

Penelitian ini dilakukan pada industri jasa, khususnya rumah sakit. Menurut Cioffi dan Markham (1997), dalam rumah sakit, perlakukan perawat terhadap pasien akan disesuaikan berdasarkan masalah dan keluhan yang dialami pasien. Pasien yang berbeda, tentu saja memiliki masalah yang berbeda sehingga membutuhkan pengetahuan yang berbeda pula untuk menyelesaikan masalah pasien. Nonaka dan Takeuchi (1995) menyatakan bahwa individu itu adalah pembawa pengetahuan, begitu pula dengan perawat yang merupakan salah satu tenaga kesehatan. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan).

(7)

Perawat adalah tenaga kesehatan bidang keperawatan yang bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi pasien, pengelola pelayaanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan, dan pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu (Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Pasal 29 poin 1). Dalam konteks ambidexterity, tugas perawat tersebut tidak hanya memanfaatkan pengetahuan yang sudah ada (eksploitasi) untuk menangani masalah pasien, namun dalam kondisi tertentu, seperti melakukan proses analisis secara detail mengenai masalah dan keluhan pasien, dibutuhkan pengetahuan baru (eksplorasi) untuk menentukan prosedur medis atau tindakan medis yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut, terlebih lagi ketika perawat diberikan pelimpahan tugas dari dokter apabila dokter mengalami kendala (misal, tidak berada dirumah sakit) - untuk melakukan tindakan medis sesegera mungkin.

Oleh karena itu, perawat dituntut untuk agar selalu melakukan sinkronisasi antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi pengetahuan dalam menunjang tugas dan tanggung jawab sebagai seorang perawat. Kemampuan sinkronisasi tersebut, tidak terlepas dari peran supervisor atau pemimpin dimana para perawat ditugaskan. Pemimpin adalah pihak yang mampu mengubah sikap dan perilaku, serta meningkatkan potensi dalam diri setiap individu yang dipimpinnya (Bass, Jung, Avolio, & Berson, 2003), sehingga supervisor memiliki peran yang besar untuk mendukun perawat dalam meningkatkan pengetahuan perawat seiring dengan bertambahnya tugas dan masalah yang perawat peroleh.

(8)

Penetapan Rumah Sakit Pembina Kesejahteraan Umat Muhammadyah Yogyakarta sebagai objek penelitian disebabkan karena rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit yang memiliki kinerja yang baik dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) kategori Rumah Sakit pada tahun 2014. Penilaian tersebut mengindikasikan bahwa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tidak hanya berfokus pada layanan utama rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, namun juga berfokus pada pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah didirikan organisasi Muhammadiyah, sehingga jumlah anggota Muhammadiyah di daerah Yogyakarta sangat besar, dan hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh anggota organisasi dalam memeroleh pelayanan kesehatan di rumah sakit dibawah naungan Organisasi Muhammadiyah.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini terbagi menjadi empat hal. Pertama, pencapaian kemampuan contextual ambidexterity pada penelitian sebelumnya lebih banyak dianalisis pada level unit bisnis dan organisasi (Cegarra-Navarro & Dewhurst, 2007; De Clercq et al., 2014; Gibson & Birkinshaw, 2004; He & Wong, 2004, Schudy, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada level individu. Hal tersebut didasarkan pada temuan empiris De Clercq et al. (2014) dan Gibson dan Birkinshaw (2004), yang menyatakan bahwa faktor individu sangat besar kaitannya dalam pencapaian kemampuan contextual ambidexterity. Alasan lain adalah validasi secara empiris tentang ambidexterity

(9)

pada level individu pada penelitian sebelumnya, belum dieksplorasi lebih lanjut (Hafkesbrink et al., 2012; Rasich & Birkinshaw, 2008; Rasich et al., 2009).

Kedua, alasan menggunakan gaya kepemimpinan transformasional dalam penelitian ini karena penelitian empiris yang sudah ada masih sangat sedikit (Jansen, George, Van den Bosch, & Volberda, 2008; Nemanich & Vera 2009), dan hanya penelitian Schudy (2010) dan Hafkesbrink et al. (2012) menganalisis pada level individu, sehingga penelitian ini bermaksud untuk memberikan validasi empiris serta menguatkan hasil temuan pada penelitian sebelumnya. Ketiga, untuk memperkuat dugaan adanya pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kemampuan contextual ambidexterity, dengan berbasis pada teori jalur sasaran, penelitian ini mengusulkan kompleksitas tugas sebagai variabel pemoderasi pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kemampuan

contextual ambidexterity.Keempat, penelitian mengenai ambidexterity merupakan isu yang masih baru, lebih khusus lagi dalam konteks manajemen pengetahuan (Cegarra-Navarro, Sanchez-Vidal, & Cegarra-Leiva, 2011; Crossan et al., 1999; Filippini, Guttel, dan Nosella, 2012; Hafkesbrink et al., 2012), sehingga penelitian empiris tentang ambidexterity pada konteks manajemen pengetahuan masih sangat menarik untuk dielaborasi lebih jauh.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah pada bagian sebelumnya, maka disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(10)

1. Apakah gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kemampuan contextual ambidexterity?

2. Apakah kompleksitas tugas memoderasi pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kemampuan contextual ambidexterity?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menguji pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kemampuan contextual ambidexterity.

2. Menguji peran pemoderasian kompleksitas tugas pada pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kemampuan contextual ambidexterity.

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada dua hal yaitu aspek teoritis dan praktis :

1. Aspek Teoritis; penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya kemampuan contextual ambidexterity pada perspektif manajemen pengetahuan pada level individu yang dilihat dari faktor gaya kepemimpinan dan kompleksitas tugas. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan penelitian selanjutnya.

(11)

2. Aspek Praktis

Bagi praktisi; penelitian ini merupakan masukan kepada karyawan maupun organisasi untuk mengembangkan kemampuan contextual ambidexterity

pada perspektif manajemen pengetahuan melalui aktivitas akuisisi dan berbagi pengetahuan.

Bagi peneliti; penelitian ini dapat memperjelas dan memperdalam konsep-konsep serta pola hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional, kompleksitas tugas, dan kemampuan contextual ambidexterity, sehingga peneliti akan lebih memahami keterkaitan antara teori dan praktek.

Referensi

Dokumen terkait

“Kecuali mengenai Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, hukum Syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam,

Dalam periode 2008-2013 struktur ekonomi di Kabupaten Buleleng mengalami pergeseran dari struktur ekonomi primer menuju ke sektor tersier yang diikuti dengan

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan

Transformasional berada pada skala rata-rata 3.79 dimana pada skala ini merupakan skala yang baik pengaruhnya. Secara deskriptif variable Budaya Organisasi berada pala

peraturan pemerintah Nomor '100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2000 Nomor

Penampilan wanita tomboy memang sangat kasual, namun untuk memberikan daya tarik tersendiri tips-tips berikut ini bisa Anda coba, jika Anda wanita tomboy yang juga ingin

Sistem Penentuan Bahan Baku Kue Menggunakan Metode Material Requirement Planning digunakan untuk memudahkan pengusaha dalam menentukan jumlah bahan baku minimum,