• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

I. PENDAHULUAN

Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang Antimonopoli tersebut.1 Iklim persaingan usaha yang sehat akan berdampak positif bagi pelaku usaha yang saling bersaing atau berkompetisi karena akan memunculkan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk yang akan dihasilkan.2

Dalam Pasal 33 menetapkan bahwa sistem ekonomi yang dianut negara adalah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita pembangunan ekonomi. Untuk itu dalam menyusun kebijakan perekonomian negara harus senantiasa berusaha menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialisme, yaitu free fight liberalism yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme dimana negara beserta aparaturnya meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok yang bersifat monopoli yang merugikan masyarakat.3 Berdasarkan teori monopoli,4 jika terdapat suatu

1

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Cet. 1, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 73

2

Abdul R.Saliman, Ahmad Jalis, Hermansyah, Esensi Bisnis Indonesia: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 170

3

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Rajawali Pers,

(5)

kelompok industri bersepakat untuk bekerjasama dalam hal penetapan harga, tingkat produksi, wilayah pemasaran, dan sebagainya yang kemudian menjadi penyebab timbulnya kartel sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tentu akan mendapat keuntungan yang lebih besar bagi mereka yang mempunyai kedudukan oligopolis.

Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Dengan melihat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kartel, sangat wajar jika KPPU aktif dalam melakukan investigasi terkait dugaan-dugaan kartel yang terjadi di Indonesia. Dalam kasus kartel obat antihipertensi misalnya, KPPU memutus bersalah dua pelaku usaha yaitu kelompok usaha Pfrizer (PT. Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Corporation Panama) dan PT Dexa Medica atas telah melakukan beberapa pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam industri obat yang mana salah satunya adalah mengenai kartel. Dalam kasus ini masih banyak hal-hal yang patut dipertanyakan dari putusan yang dikeluarkan KPPU dengan menggunakan bukti tidak langsung atau circumstantial evidence. Bukti tidak langsung (circumstancial evideance) yang dijadikan bukti untuk memutus perkara kartel masih diperdebatkan eksistensinya dalam dunia hukum di Indonesia.

4

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 56

(6)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: Bagaimana kedudukan bukti tidak langsung dalam perkara kartel jika ditinjau dari Undang-Undang Antimonopoli serta Bagaimanakah mekanisme penggunaan bukti tidak langsung oleh KPPU dalam putusan Nomor 17/KPPU-I/2010. Dari permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual.

Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan melalui prosedur ilmiah serta mendapatkan pengetahuan tentang sebuah gejala sehingga dapat merumuskan masalah. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat luas serta menjadi suatu masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia hukum bisnis sehingga dapat menambah khazanah pengetahuan praktis pada dunia hukum bisnis.

(7)

II. PEMBAHASAN

Pendekatan Yang Di Gunakan KPPU Dalam Memutus Perkara Persaingan Usaha

Dalam melakukan pembuktian KPPU menggunakan pendekatan untuk menganalisis apakah terdapat indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Antimonopoli yang dilakukan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa pendekatan tersebut dibagi menjadi 3 bagian di antaranya adalah:5 1. Pendekatan Administratif, Perdata, dan Pidana; 2. Pendekatan Yuridis (Per Se dan Rule of Reason) dan Pendekatan Ekonomi; 3. Pendekatan preventif dan represif; 4. Pengecualian dan Pembebasan.

Dalam menangani perkara yang timbul dari tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Antimonopoli, KPPU menggunakan pendekatan Rule of Reason untuk menilai perilaku kartel apabila unsur-unsur penilaian kartel telah terpenuhi.6 Hal ini dapat dilihat dari frase yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pendekatan rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan digunakan oleh pengadilan untuk mengetahui serta menilai, apakah terdapat hambatan dalam perdagangan atau tidak, apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri mempengaruhi atau bahkan mengganggu proses persaingan atau tidak.

5

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Cet. 1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 57

6

Irna Nurhayati, Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori Dan Praktik, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 30-No.2-2011,hlm. 10

(8)

Prosedur Beracara Di KPPU

Proses suatu kasus di KPPU melewati beberapa tahapan, yang kurang lebih dapat diklasifikasi sebagai berikut:71. Tahap pengumpulan indikasi yang berlangsung selama 10 hari; 2. Tahap pemeriksaan pendahuluan berlangsung selama 30 hari; 3. Tahap pemeriksaan lanjutan berlangsung selama 60 hari. Jika diperlukan,jangka waktu ini dapat diperpanjang untuk paling lama 30 hari; 4. Tahap penjatuhan putusan berlangsung selama 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan putusan; 5. Tahap eksekusi putusan. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan diajukan oleh KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara keberatan itu. Namun, untuk perkara yang tidak diperiksa melalui prosedur itu, diajukan penetapan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di tempat domisili pelaku usaha.

Alat Bukti, Barang Bukti, dan Pembuktian

Sebagian masyarakat pada umumnya memahami istilah bukti sama pengertiannya dengan barang bukti. Karena sebagian besar pejabat penegak hukum dalam memberikan keterangan hanya menggunakan istilah bukti dan barang bukti. Pada hakikatnya seseorang hanya dapat divonis bersalah oleh hakim berdasarkan alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup. Sedangkan untuk barang bukti meskipun dalam jumlah yang banyak, tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi hakim untuk menyatakan bersalah dan menjatuhkan hukuman.8

7

Shidarta, Prosedur Beracara Di KPPU (Komisis Pengawas Persaingan Usaha), Jurnal, Binus University, Jakarta, 2013

8 Kuffal,

Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah, cet. I, UMM Press, Malang, 2013, hlm. 5

(9)

Didalam pasal 42 diatur mengenai alat bukti yang dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU adalah meluputi:9 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat dan/atau dokumen; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terlapor.

Terkait dengan persoalan pembuktian, pembuktian adalah suatu tahapan di dalam hukum untuk meneliti kebenaran atas suatu perkara hukum. Terdapat perbedaan-perbedaan antara penggunaan pembuktian menurut hukum acara persaingan usaha, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana. Perbedaan yang dimaksud ini terletak pada penggunaan alat bukti tidak langsung pada hukum persaingan usaha terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana. 10

Kedudukan Bukti Tidak Langsung (Circumstancial Evidence) Dalam Undang-Undang Antimonopoli

Terkait dengan bukti tidak langasung (circumstantial evidence), hukum acara perdata maupun hukum acara pidana tidak mengenal pengelompokan istilah alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung dan alat bukti langsung dikenal dalam hukum acara persaingan usaha. Bukti langsung adalah bukti yang dapat diamati dan menunjukkan adanya suatu perjanjian yang dilarang atas barang dan atau jasa oleh pelaku usaha yang bersaing.11

Menurut KPPU dalam hukum acaranya bahwa alat bukti tidak langsung (circumstancial evideance) dikelompokkan dalam alat bukti petunjuk. Dalam Undang-Undang Persaingan Usaha tidak dijelaskan mengenai alat bukti petunjuk,

9

Fajar Pambudi, Peranan Indirect Evidence Dalam Pembuktian Praktek Kartel, Academia.edu.htm, diakses pada tanggal 1 April 2016

10

Arie Siswanto,Op, cit. hlm.67

11

(10)

akan tetapi disebutkan dalam Pasal 72 Ayat 3 Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU menerangkan bahwa alat petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Petunjuk dalam perkara di KPPU dapat diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menandakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan siapa pelakunya.12 Dalam hal ini yang penting untuk diperhatikan adalah peran Majelis Komisi dalam menentukan penggunaan dan menganalisa suatu alat bukti petunjuk tersebut. Majelis Komisi berwenang penuh untuk menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti. Kewenangan menentukan tersebut juga berlaku untuk menentukan sejauh mana suatu bukti dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk yang akan digunakan dalam suatu persidangan. Majelis Komisi berhak untuk menentukan apakah suatu bukti dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk atau tidak.

Dari uraian di atas terlihat bahwa nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk bersifat bebas. Penggunaan indirect evidence atau bukti tidak langsung (circumstancial evidence) dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia dapat digunakan sebagai alat bukti. Kedudukannya dalam Undang-Undang Antimonopoli termasuk dalam kelompok bukti petunjuk sehingga menjadi alat bukti tambahan untuk membuktikan dugaan atas

12

Berpijak pada ketentuan Pasal 188 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP. Karena UU No. 5 Tahun 1999 maupun Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2006 tidak mengatur dan tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu petunjuk dan bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU.

(11)

pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli.13 KPPU perlu mendapatkan alat bukti lainnya untuk memproses permasalahan hingga didapat suatu kesimpulan akhir atas adanya dugaan pelanggaran atau. Bukti tidak langsung tidak (circumstancial evidence) dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya di dalam persidangan yang dilakukan oleh KPPU.

Mekanisme Penggunaan Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) Dalam Mengungkap Kartel Obat (Studi kasus: Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010)

Pembuktian dalam Putusana KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 terkait kasus kartel obat antihipertensi menggunakan bukti tidak langsung (circumstancial evidence). Secara formal pembuktian dengan menggunakan alat bukti tidak langsung (circumstancial evidence) nampaknya sulit diterima, hal ini disebabkan karena pembuktian tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia. Dalam kasus ini KPPU telah mengimplementasikan uji statistik yang dinamakan “uji homogeneity of varience”14

sebagai pendekatan (Bartlett dan Lavene) serta melakukan “cointegration test”.15

Seharusnya identifikasi pasar bersangkuatan menjadi hal yang paling mendasar dalam upaya pembuktian beberapa pelanggaran Undang-Undang

13

Mutia Anggraeni, Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia, http://.studentjournal.ub.ac.id/, diakses pada tanggal 1 April 2016

14

Suatu bentuk pengujian yang digunakan untuk mengetahui apakah beberapa varian populasi adalah sama atau tidak. Uji ini dilakukan senagai prasyarat dalam analisis varian (ANOVA) adalah bahwa varian dari populasi adalah sama.

15

Katrina Marcellina, Penggunaan Analisa Ekonomi Dalam Pembuktian Kasus-Kasus Kartel Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Di Indonesia, (Skripsi Universitas Indonesia). Depok, 2011, hlm.84

(12)

Antimonopoli.16 Konsep “substitutability” atau kemungkinan saling menggantikan merupakan variabel kunci dalam menetukan pasar produk yang bersangkutan. Tingkat subsitabilitas diantara kedua produk dipengaruhi oleh “seberapa penting kedua produk tersebut bagi konsumen” dan “seberapa jauh diantara keduanya saling menggantikan”.17

Terkait dengan masalah pengaturan harga, KPPU menyatakan ada pola kesamaan harga dari norvask dan tensivask dimana KPPU salah dalam melakukan pengolahan data. Data statistik dari masa sebelum habis paten dan sesudah habis paten digabung menjadi satu. Demikian halnya dengan analisis mengenai excessive pricing18 dengan metode yardstick. Perhitungan kerugian konsumen didasarkan pada data harga amlodipine di pasar internasional yang diperoleh dari international durg price indicator periode 2004-2009. Dari hasil putusan KPPU yang menghukum bersalah kedua perusahaan farmasi tersebut, kelompok usaha Pfizer dan PT. Dexa Medica merasa keberatan dan mengajukan alasan keberatannya tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis Hakim melihat dari sisi yang berbeda dan mendasarkan putusan pada keterangan ahli yang dihadirkan sebagai bagian dari pemeriksaan tambahan yang diajukan oleh kelompok usaha Pfizer dan PT. Dexa Medica. Salah satunya adalah mengenai pembuktian indikasi kartel yang digunakan KPPU dianggap salah dan tidak berdasar.19

16 Ibid 17 Ibid 18

Penerapkan harga yang terlalu tinggi oleh pelaku usaha dan karenanya dinilai merugikan konsumen.

19

Madonna Corry Evelyna, Penetapan Harga Obat Hipertensi dan Jantung Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Analisa Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010), Tesis, Universitas Indonesia, Depok, 2012, hlm. 73

(13)

III. PENUTUP

Simpulan

Kedudukan bukti tidak langsung (circumstancial evidence) dalam Undang-Undang Antimonopoli terkait dengan perkara kartel obat antihipertensi Nomor 17/KPPU-I/2010 adalah hanya sebagai bukti tambahan, tidak dapat dijadikan satu satunya alat bukti. Apalagi untuk memecahkan persoalan kartel KPPU tidak bisa hanya mengandalkan bukti tidak langsung saja. Bukti tidak langsung dalam Undang-Undang Antimonopoli merupakan bagian daripada bukti petunjuk. Sehingga yang termasuk dalam alat bukti adalah bukti petunjuk, sedangkan bukti tidak langsung berupa bukti komunikasi atau hasil analisis ekonomi hanya sebagai bukti tambahan untuk memperkuat alat bukti yang lain.

Mekanisme penggunaan bukti tidak langsung (circumstancial evidence) yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara kartel obat antihipertensi Nomor 17/KPPU-I/2010 adalah dengan menggunakana uji statistik yang disebut “ uji homogenetity of varience dan cointegration test. Uji homogenetity of varience merupakan suatu bentuk pengujian yang digunakan untuk mengetahui apakah beberapa varian atau populasi adalah sama atau tidak. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis varian dimana varian dari suatu populasi adalah sama. Dalam standar penggunaan bukti tidak langsung seharusnya KPPU terlebih dahulu melakukan identifikasi pasar bersangkutan sebagai hal yang paling mendasar dalam upaya pembuktian beberapa pelanggaran. KPPU juga seharusnya melalui prosedur uji SSNIP (Small But Significant and Non-transittory Increase in

(14)

Price Test) yaitu suatu survey untuk menguji preferensi konsumen demi menentukan karakteristik permintaan terhadapa obat. Sehingga dengan menggunakan dua prosedur tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk bukti tidak langsung berupa analisis ekonomi sebagai langkah awal yang paling mendasar untuk menunjukkan apakah pelaku usaha tersebut terindikasi melakukan kartel atau tidak.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Mutia. Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia, http://.studentjournal.ub.ac.id/, diakses pada tanggal 1 April 2016.

Corry Evelyna, Madonna. Penetapan Harga Obat Hipertensi dan Jantung Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Analisa Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010). Tesis, Universitas Indonesia, Depok, 2012.

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Cet. Ke-1. Kencana, Jakarta, 2008.

Kuffal. Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah. cet. I, UMM Press. Malang, 2013.

Marcellina, Katrina. Penggunaan Analisa Ekonomi Dalam Pembuktian Kasus-Kasus Kartel Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Di Indonesia, (Skripsi Universitas Indonesia). Depok, 2011.

Nurhayati, Irna. Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori Dan Praktik. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 30-No.2-2011.

Pambudy, Fajar, Peranan Indirect Evidence Dalam Pembuktian Praktek Kartel, Academia.edu.htm, diakses pada tanggal 1 April 2016

Saliman R, Abdul., Ahmad Jalis, Hermansyah. Esensi Bisnis Indonesia: Teori dan Contoh Kasus. Kencana, Jakarta, 2010.

Shidarta. Prosedur Beracara Di KPPU (Komisis Pengawas Persaingan Usaha). Jurnal. Binus University, Jakarta, 2013

Siswanto. Arie, Hukum Persaingan Usaha. Cet. 1, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli. Rajawali Pers, Jakarta, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hadis dijelaskan bahwa: “Kami pernah berada pada suatu majelis bersama nabi, seorang bertanya kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, apakah ada sisa kebajikan yang

85,7% tidak mencapai standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang telah dirumuskan. Masalah dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia kelas IV SDN 001 Koto Taluk

Setiap Pemegang saham public DVLA yang secara tegas memberikan suara tidak setuju atas rencana Penggabungan Usaha pada saat RUPSLB DVLA dan bermaksud untuk menjual saham

Adapun ciri-ciri esai argumentasi antara lain dikemukakan oleh Vivian (dalam Achmadi, 1988:91) adalah. a) Membantah atau menentang suatu usul atau pernyataan tanpa

Saya nona Fani Tobing dan saya punya rumah di kota Jakarta. Saya

$eangkaian kegiatan yang dilak!kan sedini m!ngkin dim!lai dai masa ema"a ses!ai dengan pekembangan mental dan isik# Jang diselenggaakan melal!i pelayanan

Perbandingan antara data percobaan dan permodelan apabila digunakan nilai D = 2.71 diperoleh hasil seperti pada Gambar 2 yaitu perbandingan antara kadar air

Proses hasil laporan berupa informasi yang telah dikandung dalam SIM TKA-TPA dapat diperoleh dengan aplikasi SIM tersbut sehingga menghasilkan runtutan data histori untuk