• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakansalah satu sistem informasi yang dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan analisis data sehingga dihasilkan gambaran yang lengkap dan komprehensif terhadap suatu masalah kesehatan yang terkait dengan keruangan / spasial. Sistem Informasi Geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan (Prahasta, 2009). Saat ini SIG merupakan komponen penting dalam banyak kegiatan di bidang kesehatan masyarakat, epidemiologi dan berguna dalam banyak analisis. Hubungan antara epidemiologi, statistik dan SIG dapat meningkatkan penelitian kesehatan (Maio et al., 2001).

Sejak tahun 1970 SIG muncul sebagai bidang multidisiplin dan telah berkembang sampai saat ini dengan adanya peluang baru untuk penelitian epidemiologi. Dengan SIG memungkinkan pengguna memilih opsi-opsi pada saat distribusi geografis merupakan bagian dari masalah kesehatan (Clarke et al., 1996). Karena kemampuannya untuk menggabungkan data dari berbagai sumber, menggunakan skala yang berbeda, proyeksi dan model data untuk identifikasi dan pemetaan faktor lingkungan yang terkait dengan vektor penyakit, SIG sangat cocok untuk penentuan tingkat risiko Demam Berdarah Dengue (DBD) (Nuckols et al., 2004).

Dengan basis datanya SIG dikaitkan dengan metode analisis spasial serta manajemen dan manipulasi data mampu menentukan bagaimana hubungan antara distribusi penyakit secara spasial dengan kondisi lingkungan di suatu wilayah. Karena faktor risiko penyakit DBD sangat berhubungan dengan lingkungan, maka DBD merupakan salah satu jenis penyakit yang faktor risikonya dapat dimodelkan

(2)

dengan analisis SIG. Widayani (2004) telah melakukan pemodelan spasial faktor-faktor risiko DBD yang meliputi penggunaan lahan, kondisi drainase, pola pemukiman, dan kepadatan penduduk. Rahmadi (2005) menentukan tingkat kerawanan wilayah terhadap DBD dengan pemodelan spasial faktor lingkungan yaitu kepadatan pemukiman, vegetasi, curah hujan, ketinggian, drainase dan kondisi tempat sampah. Oleh karenanya SIG sangat relevan untuk penelitian penyakit infeksi terutama penyakit yang ditularkan oleh vektor, termasuk DBD (Chaikoolvatana et al., 2007).

Penyakit DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia, termasuk di banyak negara Asia dan Asia Tenggara (Bohra & Andrianasolo, 2001; Ooi et al., 1997). DBD muncul secara global menjadi masalah kesehatan yang utama karena wilayah maupun jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan (Gubler, D & Clark, 1995). Daerah endemis tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia dan berulang kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) disertai kematian yang banyak (Suroso, 2005). Timbulnya KLB akan membawa konsekwensi pada pembiayaan anggaran kesehatan di suatu wilayah. Semakin besar letusan KLB yang terjadi, akan semakin besar dana yang harus dikeluarkan untuk menanggulanginya.

Di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya, tercatat 58 kasus dengan 24 kematian (CFR: 41,5%) dan sekarang telah menyebar keseluruh provinsi di Indonesia (Soegijanto, 2004). Berdasarkan hasil Rakerkesda tahun 2011, Provinsi Jawa Tengah menduduki urutan kedua di Indonesia dengan kasus DBD terbanyak yaitu tercatat 2.346 kasus dengan Insidence Rate (IR) sebesar 7,14 per 100.000 penduduk. Kabupaten Magelang merupakan salah satu dari 9 Kabupaten rawan DBD di Provinsi Jawa Tengah. Kasus DBD di Kabupaten Magelang tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tercatat berturut-turut sebanyak 222 kasus (IR 19,50), 263 kasus (IR 23,10) dan 256 kasus (IR 22,53)(Dinkes Kab. Magelang, 2011).

Kecamatan Mertoyudan merupakan daerah endemis di Kabupaten Magelang dengan IR yang tinggi yaitu jauh di atas target nasional sebesar <20/100.000 penduduk. Data kejadian DBD tercatat 67 kasus (IR 72,2) pada

(3)

tahun 2008, 119 kasus (IR 128,9) pada tahun 2009 dan 96 kasus (IR 104) pada tahun 2010. Pada tahun 2011 di Kabupaten Magelang terdapat 30 desa/kelurahan endemis, sebanyak 10 desa/kelurahan (33,3 %) merupakan desa/kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Mertoyudan. Sebagai daerah semi perkotaan (sub urban), di Kecamatan Mertoyudan telah berdiri pemukiman-pemukiman baru yang penduduknya berasal dari berbagai wilayah. Banyaknya tempat-tempat umum seperti sekolah, pertokoan, sarana kesehatan dll, merupakan faktor yang dapat mempercepat proses penularan DBD di Kecamatan Mertoyudan. Dengan demikian Kecamatan Mertoyudan merupakan daerah rawan DBD. Selain karena jumlah kasus DBD yang tinggi, daerah rawan juga disebutkan sebagai daerah yang karena keadaan lingkungannya antara lain karena penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah lain, sehingga mempunyai risiko terjadinya KLB (Ditjend P2PL, 2004a). Adanya pemukiman-pemukiman baru, tempat-tempat penampungan air tradisional yang masih dipertahankan dan perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang merupakan faktor pemicu tingginya kasus DBD. Tidak kalah penting faktor mobilisasi penduduk yang memungkinkan eksport-import penyakit yang tidak lagi mengenal batas administrasi wilayah (Hasyim, 2008).

Berikut ini data distribusi kasus DBD di Kabupaten Magelang berdasar Kecamatan Tahun 2008 s/d 2010 (Dinkes Kab. Magelang, 2011).

Gambar 1. Distribusi Kasus DBD Kabupaten Magelang Tahun 2008-2010

(4)

Penyebaran DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, mobilitas dan kepadatan penduduk, keberadaan kontainer buatan maupun alami, perilaku masyarakat maupun kegiatan pemberantasan yang sudah dilakukan (Yudhastuti & Vidiyani, 2005). Terdapatnya tempat-tempat yang berpotensi untuk terjadinya penularan DBD merupakan faktor yang menentukan kerawanan suatu daerah. Menurut Depkes RI (2005), tempat yang berpotensi untuk terjadinya penularan DBD adalah (1) wilayah yang banyak kasus (endemis), (2) tempat-tempat umum merupakan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, (3) pemukiman baru di pinggir kota.

Salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus DBD adalah meluasnya wilayah penyebaran dan tingginya kepadatan vektor. Kepadatan populasi nyamuk sangat tergantung pada pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungannya (Mardihusodo, 2006). Penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh faktor rendahnya pendidikan, respon dan perilaku yang berperan dalam menghambat pencegahan dan pemberantasan DBD (Fathi et al., 2005).

Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa betapa sangat perlu mendapat perhatian untuk daerah rawan DBD. Mengingat besar risiko daerah rawan DBD dalam penyebaran penyakit DBD, maka penetapan kerawanan DBD suatu daerah harus tepat dan akurat dengan memperhatikan aspek lingkungan baik fisik, maupun sosial budaya yang secara komprehensif mempengaruhi penetapan tersebut. Dengan diketahuinya secara dini daerah-daerah rawan DBD sangatlah penting untuk mencegah terjadinya penyebaran DBD serta mempermudah dalam menentukan strategi pengendalian yang lebih efektif.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memberikan informasi daerah-daerah rawan DBD adalah dengan melakukan pemetaan. Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu alat yang dapat dipakai untuk menyusun peta kerawanan DBD. Pemetaan kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan selama ini masih dilakukan secara manual sehingga informasi yang dihasilkan belum tentu tepat dan akurat sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Penggunaan SIG untuk menyusun peta kerawanan DBD diperlukan di Kecamatan Mertoyudan.

(5)

Dengan kemampuannya, SIG dapat digunakan untuk menyusun peta tingkat kerawanan DBD melalui pemodelan spasial faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh.

Upaya pengendalian DBD selama ini belum mengutamakan pada upaya pencegahan. Pencegahan berkembangnya vektor merupakan kunci pokok untuk mencegah terjadinya KLB. Dengan tidak tersedianya teknologi pengawasan vektor, dalam beberapa tahun terakhir telah ditekankan pencegahan dan pengendalian DBD melalui upaya masyarakat untuk mengurangi sumber pembiakan larva (Gubler, D & Clark, 1995).

Kasus DBD akan terus meningkat jika tidak dilakukan upaya pencegahan secara dini. Pencegahan dini dimaksudkan untuk mengantisipasi semakin meningkatnya penyebaran DBD di Kecamatan Mertoyudan sehingga penyebaran DBD dapat terkendali. Antisipasi penyebaran DBD dapat dilakukan dengan memberikan informasi daerah –daerah yang rawan terhadap penyebaran DBD. Informasi daerah yang rawan terhadap DBD harus menggunakan metode yang cepat, tepat dan akurat. Informasi kerawanan DBD dapat dilakukan melalui pendekatan secara spasial menggunakan SIG dengan pemetaan tingkat kerawanan DBD. Berdasarkan UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, penggunaan skala peta telah ditentukan berdasarkan cakupan wilayah tertentu. Untuk cakupan Kecamatan skala peta telah ditentukan sebesar 1 : 10.000. Tingkat kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan akan dipetakan pada skala 1 : 50.000, karena sebagian besar peta-peta input yang tersedia di daerah penelitian skalanya 1:50.000.

Pengendalian DBD dapat dilakukan berdasarkan daerah-daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi hingga rendah. Dengan mengetahui sebaran keruangan daerah-daerah yang memiliki kerawanan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lain, maka alokasi program dan anggaran lebih bisa dikonsentrasikan kepada daerah dengan tingkat kerawanan tinggi tersebut. Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dapat dilakukan pengendalian secara intensif dibandingkan dengan daerah yang tingkat kerawanannya rendah. Salah satu kebijakan dalam strategi pengendalian DBD adalah bahwa pengendalian

(6)

DBD didasari pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan DBD serta sesuai dengan kondisi masing-masing daerah (local area spesific) (Depkes RI, 2010). Untuk itu sangat penting penentuan strategi pengendalian DBD didasarkan pada kondisi lingkungan masing-masing daerah.

B. Rumusan Masalah

Ada beberapa permasalahan yang mendasar yang perlu diangkat terkait dengan pemetaan tingkat kerawanan daerah terhadap DBD sehingga belum berfungsi secara optimal yaitu:

1. Pemetaan daerah rawan DBD belum mempertimbangkan kerincian data sesuai lokasi yang dipilih. Hubungan kerincian data dan skala sangat penting dalam menggambarkan distribusi kerawanan DBD. Pemetaan juga belum mengakomodir faktor-faktor lingkungan, antara lain kepadatan penduduk, keberadaan tempat-tempat umum, kepadatan vektor dan yang lainnya yang sebenarnya besar pengaruhnya terhadap kerawanan DBD,

2. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam kajian kerawanan DBD selama ini belum ada yang mempertimbangkan faktor sosial budaya. Pada umumnya pendekatan lebih menitikberatkan pada faktor lingkungan fisik,

3. Belum ada solusi strategi pengendalian DBD yang sesuai dengan kedetilan informasi pada peta tingkat kerawanan DBD dan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya,

4. Diperlukan metode analisis spasial secara kuantitatif untuk dapat mengidentifikasi hubungan keruangan antara tingkat kerawanan dengan kejadian DBD,

Penentuan tingkat kerawanan DBD selain menggunakan faktor lingkungan fisik sebagai masukannya, juga harus mempertimbangkan faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya sangat terkait erat dengan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD (Bohra dan Adrianasolo, 2001; Saptiwi, 2004; Fathi, et.al., 2005; Bhandari, et al., 2008)

(7)

Berangkat dari permasalahan tersebut, maka perlu strategi pemecahan masalah melalui pendekatan SIG. Pemetaan daerah rawan DBD berbasis SIG merupakan salah satu upaya mencari jawaban atas permasalahan diatas dan merupakan langkah yang sistematis dalam penentuan tingkat kerawanan secara optimal. Peta tingkat kerawanan DBD dapat membantu dalam penentuan strategi pengendalian DBD dengan lebih efektif (Bhandari et al., 2008). Strategi pengendalian yang efektif merupakan hal penting apabila kita akan mengubah kecenderungan frekwensi dan skala KLB (Gubler, D.J2002).

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah :

1. Apakah SIG dapat digunakan untuk menyusun peta yang dapat memberikan informasi tingkat kerawanan DBD di Kecamatan Mertoyudan?

2. Apakah SIG dapat digunakan untuk menyusun peta strategi pengendalian DBD berdasarkan tingkat kerawanan DBD dan kondisi lingkungan di Kecamatan Mertoyudan?

3. Apakah SIG dapat digunakan untuk menganalisis hubungan spasial antara tingkat kerawanan DBD dengan kejadian DBD di Kecamatan Mertoyudan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun peta tingkat kerawanan DBD pada skala 1:50.000 dengan pemodelan spasial faktor-faktor lingkungan (fisik dan sosial budaya) dan strategi pengendaliannya di Kecamatan Mertoyudan dengan menggunakan SIG.

2. Tujuan kKusus

a. Menyusun peta tingkat kerawanan DBD melalui pemodelan spasial di Kecamatan Mertoyudan pada skala 1 : 50.000

b. Menyusun usulan strategi pengendalian DBD berdasarkan tingkat kerawanannya dan kondisi faktor-faktor lingkungan di Kecamatan Mertoyudan.

(8)

c. Mengkaji hubungan spasial antara tingkat kerawanan DBD dengan kejadian DBD di Kecamatan Mertoyudan.

D. Manfaat Penelitian

1. Tersedianya informasi yang dapat menggambarkan kondisi kerawanan DBD beserta strategi pengendaliannya di Kecamatan Mertoyudan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan program penanggulangan DBD dengan lebih efektif.

2. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program surveilans penyakit mengenai pengelolaan data dengan SIG sehingga menghasilkan informasi yang lebih cepat, tepat dan akurat.

3. Ditambahkannya faktor lingkungan sosial budaya sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam penyusunan tingkat kerawanan DBD agar dihasilkan informasi kerawanan DBD yang lebih optimal.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kerawanan DBD yang pernah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1. Dari beberapa penelitian tersebut peneliti belum mendapatkan penelitian yang mengkaji mengenai faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kerawanan DBD. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan, pada penelitian ini menggunakan faktor lingkungan sosial budaya sebagai salah satu parameter kerawanan DBD. Penelitian ini juga menyusun strategi pengendalian DBD sesuai dengan tingkat kerawanannya yang pada penelitian terdahulu belum pernah dilakukan. Data faktor sosial budaya dalam penelitian ini mencakup keberadaan kontainer, perilaku masyarakat dalam pengendalian vektor dan partisipasi dalam PSN serta perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pencegahan terhadap risiko gigitan nyamuk.

(9)

Tabel 1. Daftar Penelitian Tentang Kajian Kerawanan DBD dengan SIG

No Peneliti dan Judul Tujuan / Metode dan Hasil Penelitian 1. Widayani (2004), Pemodelan

Spasial Epidemiologi DBD Menggunakan SIG di Kelurahan Terban, Kec. Gondokusuman, Yogyakarta

Penelitian ini menggabungkan interpretasi foto udara dan survei lapangan untuk memperoleh parameter lingkungan dan penduduk. Pembuatan model spasial dengan metode skoring data atribut dan tumpang susun 6 peta tematik. Dari penelitiian ini dihasilkan faktor yang berpengaruh terhadap penyakit DBD adalah kepadatan penduduk dan frekuensi membersihkan bak penampungan air. Wilayah Terban sebagian besar merupakan daerah rawan DBD.

2. Bahtiar, 2005, Pemetaan Tingkat Kerawanan Wilayah Terhadap Demam Berdarah Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan menyusun peta tingkat kerawanan Demam Berdarah Dengue dengan perpaduan teknik penginderaan jauh dan SIG. Hasilnya peta tingkat kerawanan DBD berdasar parameter penggunaan lahan, pola pemukiman, kepadatan penduduk, jarak TPAdan jarak terhadap sungai.

3. Rahmadi (2005), Penentuan tingkat kerawanan wilayah terhadap wabah penyakit DBD dengan teknik Penginderaan Jauh dan SIG di Kota Yogyakarta

Menentukan tingkat kerawanan wilayah terhadap DBD dengan pemodelan spasial menggunakan variabel kepadatan pemukiman, tata letak / pola pemukiman vegetasi (tanaman rendah), curah hujan , kepadatan penduduk, ketinggian, drainase dan kondisi tempat sampah untuk kemudian diharkatkan. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan metode pengharkatan untuk kemudian dibandingkan dengan angka kejadian DBD di wilayah tersebut. Hasilnya adalah tingkat kerawanan yang terdiri dari 5 tingkat kerawanan (sangat rawan, rawan, agak rawan, sedikit rawan dan sangat sedikit rawan.

4. Bhandari, KP. et al., (2008). Aplication of GIS Modeling for Dengue Fever Prone area Based on Environmental Factors – A Case Study of Delhi City Zone.

Studi ini meneliti kemungkinan hubungan antara faktor sosial budaya dan faktor lingkungan di Kota Delhi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada enam variabel yang berkontribusi terhadap kejadian DBD yaitu pola perumahan, frekuensi pembersihan wadah penyimpanan air, frekuensi membersihkan drainase, ada tidaknya pot bunga, kesadaran perlindungan terhadap nyamuk dan frekuensi penyimpanan air. Pemodelan SIG di lakukan untuk

(10)

menghasilkan peta risiko kejadian DBD. 5. Ruliansyah, (2011),

Pemanfaatan Citra PJ dan SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan DBD. Studi Kasus di Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan tingkat kerawanan DBD berdasarkan variabel lingkungan dan kejadian DBD dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh dan SIG. Hasilnya zonasi tingkat kerawanan DBD terkonsentrasi pada daerah selatan Kecamatan Pangandaran. Zonasi kerawanan menjadi daerah kerawanan tinggi, sedang dan rendah.

Berdasarkan beberapa penelitian yang terdahulu tersebut dibuat tabel ringkasan penelitian sejenis sebelumnya yang mencakup : lokasi, tujuan, variabel, metode dan analisis sebagaimana tercantum pada tabel 2.

Tabel 2. Ringkasan Penelitian Sejenis Sebelumnya Penulis Prima

Widayani

Bahtiar Rahmadi Bhandari et al. Ruliansyah Tahun : 2013 2004 2005 2005 2008 2011 Lokasi : Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang Kota

Yogyakarta YogyakartaKota Yogyakarta Kota Delhi Kota Ciamis Kab.

Tujuan: 1. Pemetaan tingkat Kerawanan + + + + + 2. Peyusunan Strategi Pengendalian DBD - - - - - Variabel faktor lingkungan

1) Keberadaan TTU - - - - -2) Kepadatan pemukiman + + - + + 3) Kepadatan penduduk + + + + + 4) Kepadatan Vektor - - - + + 5) Kejadian DBD - - - - - 6) Sosial Budaya (Keberadaan kontainer, perilaku pengendalian vektor, partisipasi PSN, kebiasaan pencegahan gigitan nyamuk) - - - - - Metode: 1. Skoring dan Pembobotan + + + + + 2. Analisis hubungan tingkat kerawanan dengan kejadian DBD + + - + - Keterangan : + : dilakukan - : tidak dilakukan

Gambar

Gambar 1.  Distribusi Kasus DBD Kabupaten Magelang   Tahun 2008-2010
Tabel 1. Daftar Penelitian Tentang Kajian Kerawanan DBD dengan SIG
Tabel 2. Ringkasan Penelitian Sejenis Sebelumnya  Penulis Prima

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Menurut Mangkunegara (2005:5), faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang

This collapsed the extant labyrinth structure and produced fragmentary, 'maze-like' arrangements; these in turn coalesced into novel labyrinthine routes based

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala Dinas Perikanan dan. Kelautan Kabupaten

Dalam kaitannya dengan memaknai identitas diri solidaritas melalui interaksi didalam komunitas Paguyuban Jeep Bandung, semua narasumber merasakan adanya sesuatu yang