• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1.Latar Belakang

Dinamika kependudukan terus berjalan. Jumlah penduduk terus bertambah, pembangunan makin kompleks dan berskala besar, tuntutan peningkatan kualitas hidup terus meningkat, urbanisasi mengalami percepatan, peningkatan kawasan industri. Dinamika kependudukan ini membuat kebutuhan akan sumberdaya makin besar padahal sumberdaya itu sifatnya terbatas, contohnya adalah ruang. Ruang adalah salah satu sumberdaya yang sifatnya terbatas. Kebutuhan penggunaan ruang yang begitu besar membuat perlunya dilakukan pengelolaan terhadap pemanfaatan ruang itu sendiri. Pengelolaan pemanfaatan ruang ini bisa disebut dengan penataan ruang yang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk efisiensi sumberdaya, keadilan pemanfaatan, dan untuk kelestarian lingkungan.

Kelestarian lingkungan adalah suatu hal yang harus diperhatikan semua pihak. Oleh karena itu berbagai program dari pemerintah mencanangkan bagaimana lingkungan ini bisa lestari seiring dengan pemanfaatan ruang yang tetap terkendali. Salah satu usaha penataan ruang adalah adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang merupakan kawasan yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. RTH dapat berfungsi untuk perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan yang berdasarkan pada beberapa pendekatan seperti RTH sebagai daya dukung ekosistem, sebagai pengendali gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sebagai pengamanan lingkungan hidrologis, sebagai pengendali suhu udara dan thermoscape di kawasan perkotaan, serta pengendali bahaya-bahaya lingkungan.

Keberadaan RTH telah diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Pasal 29 ayat (2) dalam undang-undang ini menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh persen dari luas wilayah kota serta dilanjutkan di ayat (3) paling sedikit dua puluh persen dari luas wilayah kota untuk proporsi RTH publik. Mengingat RTH yang berperan penting dalam

(2)

meningkatkan kualitas lingkungan menjadikan pemerintah memiliki peraturan pula dalam hal penataan RTH kawasan perkotaan (RTHKP) pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007. Penataan RTH merupakan usaha manajemen ruang pada suatu wilayah. Dalam manajemen ruang wilayah diperlukan geo

information dan manajemen terhadap geo information tersebut. Informasi ini dapat

diwujudkan dalam bentuk peta.

Suatu peta mampu menyiratkan berbagai macam informasi termasuk informasi mengenai persebaran RTH di suatu wilayah serta mengidentifikasi perubahan luas RTH dari satu waktu ke waktu berikutnya. Peta ini dapat dibuat dari berbagai sumber, salah satunya adalah dari data penginderaan jauh. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut. Alat yang digunakan untuk merekam obyek adalah sensor dengan wahananya berupa satelit atau pesawat udara (Lillesand dan Kiefer, 2000). Hasil perekaman menggunakan teknologi penginderaan jauh ini adalah berupa citra. Citra ini memuat informasi spasial yang bisa digunakan untuk berbagai aplikasi salah satunya adalah untuk mengidentifikasi persebaran RTH di suatu wilayah.

Pengelolaan pemanfaatan RTH memerlukan evaluasi. Penting diinformasikan tentang perubahan RTH yang tertuang dalam bentuk peta. Proyek ini membahas mengenai pemanfaatan data penginderaan jauh yang berupa citra dan foto udara untuk menganalisis perubahan RTH di Kecamatan Danurejan dan Gondomanan, Yogyakarta. Dipilihnya dua kecamatan ini adalah karena letaknya yang berada di pusat kota yang kemungkinan besar terjadi banyak pembangunan fisik. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan menganalisis citra yang telah dikoreksi dari segala distorsi geometrik dan mempunyai sistem proyeksi orthogonal, kemudian secara visual dilakukan interpretasi citra untuk mengidentifikasi jenis-jenis RTH. Digitasi dilakukan bersamaan dengan interpretasi citra sehingga dapat menghasilkan peta persebaran RTH. Sebagai perbandingan untuk mengetahui perubahan luasan RTH digunakanlah data penginderaan jauh wilayah yang sama pada epok yang berbeda. Perubahan luasan dan jenis RTH di suatu kecamatan ini kemudian divisualisasikan dalam bentuk peta perubahan RTH. Pembuatan peta ini memerlukan ilmu kartografi

(3)

untuk simbolisasi jenis RTH sehingga dapat tersaji informasi jenis RTH dua epok dalam satu peta.

I.2.Tujuan Proyek

Tujuan dari pelaksanaan proyek ini adalah menghasilkan peta perubahan RTH serta mengetahui besar perubahan luasan jenis-jenis RTH di Kecamatan Danurejan dan Gondomanan, Kota Yogyakarta yang dikaji dari data penginderaan jauh antara dua epok (ortofoto tahun 2012 dan citra satelit QuickBird tahun 2006).

I.3. Manfaat Proyek

RTH memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati serta pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara sehingga adanya RTH memberi kemanfaatan yang besar bagi wilayah perkotaan. Kemanfaatan RTH ini tidak terlepas dari tersedianya informasi mengenai perubahan RTH dari waktu ke waktu yang berguna sebagai bahan evaluasi dalam perencanaan RTH di suatu wilayah perkotaan.

Proyek ini menghasilkan informasi berupa besar perubahan luasan RTH di suatu wilayah perkotaan berdasar data penginderaan jauh. Perubahan RTH merupakan bertambahnya RTH dari satu jenis penggunaan ke penggunaan lain yang diikuti dengan berkurangnya jenis RTH lain dari satu waktu ke waktu berikutnya. Proyek ini dapat digunakan sebagai bahan arahan perencanaan dan evaluasi oleh pengambil kebijakan atau pemerintah untuk mengatur strategi dalam mengembangkan RTH di Kecamatan Danurejan dan Gondomanan, Kota Yogyakarta.

I.4.Batasan Masalah Permasalahan yang dibatasi dalam proyek ini adalah :

1. Data yang digunakan berupa data penginderaan jauh (citra satelit QuickBird 2006 dan ortofoto) satu wilayah perkotaan pada dua epok yang berbeda. 2. Perubahan RTH yang dimaksud meliputi perubahan luas suatu jenis RTH

dalam suatu luasan kecamatan (Kecamatan Danurejan dan Gondomanan, Kota Yogyakarta) berdasar klasifikasi jenis RTH menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007. Perubahan ini merupakan bertambahnya RTH dari satu jenis penggunaan ke penggunaan lain yang diikuti dengan berkurangnya jenis RTH lain dari tahun 2006 sampai tahun 2012.

(4)

I.5.Landasan Teori I.5.1. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

I.5.1.1. Pengertian RTH. Dalam pasal 1 UU RI No. 26 tahun 2007 yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Bentuk dari ruang terbuka adalah jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan, dan sebagainya.

RTH berdasar UU RI No. 26 tahun 2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut Purnomohadi (2006) dalam Tridarmayanti (2010), RTH didefinisikan sebagai (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.

Keberadaan RTH di Indonesia diatur dalam UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan menata RTH. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Undang undang ini mengamanatkan penyediaan RTH minimal sebesar tiga puluh persen dari luas wilayah kota. Sedangkan proporsi RTH publik di wilayah kota paling sedikit dua puluh persen dari luas wilayah kota (pasal 29 UU RI No. 26 Tahun 2007).

I.5.1.2. RTH perkotaan. Kawasan merupakan wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan dibagi lagi menjadi beberapa, salah satu

(5)

diantaranya adalah kawasan perkotaan yang akan diteliti RTH di dalamnya. Kawasan perkotaan itu sendiri merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Gambar I.1. RTH di wilayah perkotaan (Tridarmayanti, 2010)

Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Secara umum, ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. Penjelasan mengenai pembagian ruang terbuka ini dapat dilihat pada Gambar I.1. RTH diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat ekologis, sosial budaya dan arsitektural yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakatnya. Secara ekologis adanya RTH berperan dalam meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota. Secara sosial budaya RTH berfungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi. Bentuk-bentuk RTH meliputi hutan kota, taman botani, taman-taman kota, lapangan olahraga, kebun raya, dan TPU.

I.5.1.3. Jenis RTH Kawasan Perkotaan. Berdasar Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 jenis RTH Kawasan Perkotaan (RTHKP) terdiri dari:

1. taman kota;

2. taman wisata alam; 3. taman rekreasi;

4. taman lingkungan perumahan dan permukiman; 5. taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;

Wilayah Perkotaan

Ruang Terbangun Ruang Terbuka

(6)

6. taman hutan raya; 7. hutan kota; 8. hutan lindung;

9. bentang alam seperti gunung, bukit, lereng, dan lembah; 10.cagar alam; 11.kebun raya; 12.kebun binatang; 13.pemakaman umum; 14.lapangan olahraga; 15.lapangan upacara; 16.parkir terbuka;

17.lahan pertanian perkotaan; 18.jalur di bawah tegangan tinggi;

19.sempadan sungai, pantai, bangunan, situ, dan rawa;

20.jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; 21.kawasan dan jalur hijau;

22.daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; 23.taman atap.

Berdasarkan bobot kealamiannya RTH dapat diklasifikasikan dalam bentuk: 1. RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung),

2. RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olahraga, pemakaman).

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya RTH diklasifikasikan dalam bentuk 1. RTH kawasan (areal, non linier),

2. RTH jalur (koridor, linear).

Berdasar atas penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya RTH dibagi menjadi:

1. RTH kawasan permukiman, 2. RTH kawasan perdagangan, 3. RTH kawasan perindustrian, 4. RTH kawasan pertanian,

(7)

5. RTH kawasan-kawasan khusus seperti pemakaman, hankam, olahraga dan alamiah.

Berdasarkan status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:

1. RTH publik, yaitu RTH yang berada di ruang-ruang publik atau lahan-lahan yang dimiliki pemerintah (pusat, daerah), dan

2. RTH privat (non publik), yaitu RTH yang dimiliki atau berada di lahan-lahan milik privat.

Berdasar tata letaknya RTH bisa berwujud:

1. ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space), 2. dataran banjir sungai (river flood plain),

3. ruang terbuka pengamanan jalan bebas hambatan (greenways),

4. ruang terbuka pengamanan kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandar udara (buffer zone).

Berdasarkan skalanya RTH dapat diklasifikasikan menjadi:

1. RTH makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota, dan buffer zone runway,

2. RTH medium seperti kawasan pertamanan (city park), sarana olahraga, sarana pemakaman umum, dan

3. RTH mikro, yakni lahan terbuka yang ada di setiap kawasan permukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum, seperti taman bermain

(playground), taman lingkungan (community park), dan lapangan olahraga.

I.5.1.4. Perubahan penggunaan lahan.Terbatasnya lahan perkotaan merupakan alasan terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Lahan sebagai tempat berlangsungnya segala aktivitas penduduk selalu mengalami perubahan sejalan dengan pertambahan penduduk dan perkembangan kebutuhannya. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat akan diikuti peningkatan kegiatannya, sehingga perubahan bentuk penggunaan lahan cenderung pula meningkat (Wahyudi, 2009 dalam Tridarmayanti, 2010).

Dardak (2005) dalam Tridarmayanti (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa isu penting berkaitan dengan adanya perubahan penggunaan lahan, antara lain: (1) konversi lahan-lahan berfungsi lindung menjadi lahan budidaya yang berakibat pada menurunnya kemampuan kawasan dalam melindungi kekayaan

(8)

keanekaragaman hayati dan menurunnya keseimbangan tata air wilayah, (2) konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian secara nasional telah mencapai 35000 hektar per tahun, yang tentunya di samping mengancam ketahanan pangan nasional juga dapat mengganggu keseimbangan lingkungan, (3) konversi RTH di kawasan perkotaan menjadi lahan terbangun telah menurunkan kualitas lingkungan kawasan perkotaan.

RTH adalah salah satu bentuk penggunaan lahan yang tentu saja bisa mengalami perubahan. Menurut Muiz (2009) dalam Haryani (2011), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dari tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan.

I.5.2. Penginderaan Jauh

I.5.2.1. Pengertian penginderaan jauh. Menurut Lillesand dan Kiefer (2000), penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut. Alat yang digunakan untuk merekam obyek adalah sensor dengan wahananya berupa satelit atau pesawat udara.

Radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek merupakan sumber data untuk penginderaan jauh. Alat yang digunakan untuk merekam radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek disebut sebagai sensor, sedangkan vehicle yang membawa sensor disebut platform atau wahana yang berupa satelit atau pesawat udara (Harintaka, 2010).

Hasil perekaman obyek itu disebut dengan citra. Citra digital atau citra didefinisikan sebagai penyajian fungsi intensitas cahaya f(x,y) dalam dua dimensi,

(9)

dimana x menyatakan posisi baris dan y menyatakan posisi kolom (Schalkoff, 1989 dalam Harintaka, 2010).

Data penginderaan jauh menggambarkan obyek di permukaan bumi relatif lengkap dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman pantulan dan atau pancaran obyek oleh sensor penginderaan jauh, dapat berupa foto atau data digital (Purwadhi, 2001).

Data penginderaan jauh yang diambil pada waktu yang berbeda dapat digunakan untuk memantau kondisi lingkungan, managemen sumber daya, evaluasi akibat bencana, aplikasi deteksi perubahan, dan lain-lain.

I.5.2.2.Citra satelit QuickBird. QuickBird adalah salah satu satelit sumber daya milik kerjasama Amerika Serikat dan Hitachi Jepang yang diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 dengan kendaraan Boeing Delta II di Vandenberg Air Force Base, California, USA (Crespi dan Giannone, 2006).

Karakteristik satelit QuickBird sebagai berikut: Orbit : Sinkron putaran matahari Ketinggian : 450 km

Inklinasi : 97,2

Kecepatan : 7,1 km/s (25,560 km/jam) Pengulangan : 1-3,5 hari

Sensor : mempunyai kemampuan pada panjang gelombang pankromatik (400-900 nm), saluran multispektral (saluran biru: 450-520 nm, saluran hijau: 520-600 nm, saluran merah: 630-690 nm, dan saluran inframerah dekat: 760-900 nm) Lebar cakupan : 16,5 km x 16,5 km pada titik nadir

Resolusi spasial : 0,61 meter untuk saluran pankromatik dan 2,44 meter untuk saluran multispektral pada titik nadir.

Produk citra Quickbird terdiri dari tiga level pemrosesan yaitu citra basic yang belum dikoreksi, citra standar yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik serta memiliki proyeksi peta, dan citra yang telah di-ortorektifikasi dengan akurasi lebih

(10)

tinggi dibandingkan dengan kedua jenis citra sebelumnya. Jenis produk QuickBird berupa pankromatik (hitam dan putih), multispektral (color dan inframerah dekat),

bundle (pankromatik dan multispektral), color (tiga band dari multispektral dengan

resolusi spasial setara pankromatik), pansharpened (empat band dari multispektral dengan resolusi spasial setara pankromatik) (Harintaka, 2010).

I.5.2.3.Citra foto udara dan ortofoto. Foto udara merupakan produk penginderaan jauh yang pertama kali dibuat dengan menggunakan sensor berupa kamera yang dipasang pada pesawat terbang, balon udara, bahkan dengan pesawat tanpa awak. Foto udara dibuat dengan berbagai macam skala. Perbedaan macam skala ini dipengaruhi oleh tinggi terbang pesawat dan panjang fokus kamera yang digunakan. Makin tinggi terbang pesawat akan dihasilkan foto udara berskala kecil dan makin panjang fokus kamera akan menghasilkan foto yang berskala besar.

Berdasar tenaga elektromagnetik (sinar) yang digunakan foto udara dapat berupa foto udara pankromatik, inframerah, dan inframerah termal. Berdasar warna yang digunakan dibagi menjadi foto udara berwarna dan hitam putih.

Ortofoto merupakan salah satu citra penginderaan jauh yang telah mempunyai sistem proyeksi ortogonal seperti sistem proyeksi peta. Ortofoto diperoleh dari penggabungan beberapa foto udara yang telah dikoreksi geometriknya dan penyamaan rona. Lebih sederhananya ortofoto dihasilkan dari foto udara yang masih memiliki proyeksi perspektif, skala yang belum seragam, dan memiliki relief

displacement kemudian diubah menjadi foto berproyeksi ortogonal, memiliki skala

yang seragam, dan bebas dari relief displacement. Proses pembuatan ortofoto ini dikenal dengan ortorektifikasi. Prinsip pembentukan ortofoto dapat dilihat pada Gambar I.2.

(11)

Menurut Wolf (1993) dalam Nugroho (2004), ortofoto adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar. Oleh karena itu ortofoto secara geometrik ekivalen terhadap peta garis konvensional dan peta simbol planimetrik yang juga menyajikan posisi ortografik obyek secara benar. Ortofoto dibuat dari foto perspektif melalui proses yang disebut rektifikasi diferensial.

I.5.2.4.Koreksi geometrik. Citra satelit belum bisa disebut sebagai peta karena skalanya belum seragam sehingga perlu transformasi dari citra satelit agar memiliki skala dan sifat proyeksi seperti peta. Proses ini disebut koreksi geometrik (Djurdjani, 1999 dalam Nugroho, 2004). Inti dari koreksi geometrik adalah membetulkan kesalahan yang bersifat geometrik. Kesalahan geometrik dikelompokkan menjadi dua yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan non sistematik (Lillesand dan Kiefer, 2000).

Kesalahan-kesalahan tersebut mengakibatkan terjadinya distorsi geometrik, yaitu terjadinya pergeseran letak dan nilai kecerahan piksel dari nilai sebenarnya. Distorsi yang bersifat sistematik dapat dimodelkan sedangkan yang bersifat tidak sistematik tidak dapat dimodelkan. Distorsi yang bersifat geometrik disebabkan oleh banyak faktor dan harus dikoreksi sebelum citra digunakan yang biasanya dikoreksi oleh pengelola satelit karena hanya pemilik satelit yang mengetahui parameter-parameter koreksinya (Yuwono, 2008 dalam Suradji, 2009). Distorsi geometrik yang bersifat tidak sistematik dapat dikoreksi menggunakan Ground Control Point (GCP) yang cukup dan terdistribusi merata di seluruh citra (Jensen, 1996 dalam Suradji, 2009). Kesalahan ini dapat diatasi dengan cara rektifikasi geometrik dengan asumsi citra terletak pada bidang datar (Nugroho, 2004).

Rektifikasi geometrik adalah mengubah aspek geometri citra dengan merujuk pada proyeksi peta yang baku sehingga koordinat pada citra sama dengan koordinat pada peta yang digunakan sebagai data acuan. Proses rektifikasi geometri adalah dengan transformasi koordinat dan resampling. Metode yang digunakan adalah dengan metode GCP, yaitu membandingkan titik kontrol pada citra dan titik-titik kontrol pada peta (Lindgren, 1985).

Rektifikasi citra dapat menggunakan persamaan affine atau polinomial orde satu. Orde yang dipilih didasarkan pada jumlah titik kontrol. Semakin tinggi orde

(12)

polinomial maka semakin banyak jumlah titik kontrol yang diperlukan. Persamaan polinomial orde satu memiliki 6 buah parameter sehingga diperlukan minimal 3 buah titik kontrol. Persamaan (1) adalah rumus transformasi polinomial orde satu atau yang disebut juga persamaan transformasi affin (Soetaat, 2011).

x’ = a0 + a1x + a2y

y’ = b0+ b1x + b2y………...(1) Dalam hal ini:

x,y : posisi obyek dalam sistem koordinat peta, x’,y’ : posisi obyek dalam sistem koordinat citra, a0,a1 a2,b0, b1,b2 : parameter transformasi.

Tingkat ketelitian hasil rektifikasi diperoleh dari besar kesalahan menengah rata-rata atau Root Mean Square Error (RMSE). Makin kecil nilai RMSE, makin teliti hasil rektifikasi.

I.5.2.5. Interpretasi citra. Interpretasi citra adalah kegiatan mengenali identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra untuk analisis dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1992 dalam Harintaka, 2010).

Proses interpretasi citra menurut JARS (1996) dalam Harintaka (2010) : 1. Persiapan. Kegiatan ini mencakup pengadaan citra atau foto dan alat bantu.

2. Pre-work. Antara lain membaca anotasi data dan mengorientasikan citra

terhadap peta referensi atau peta dasar.

3. Pembacaan citra. Merupakan identifikasi obyek menggunakan unsur-unsur interpretasi.

4. Pengukuran citra. Merupakan ekstraksi informasi fisik berupa panjang, lokasi, tinggi, kerapatan menggunakan data referensi.

5. Analisis citra. Kegiatan memahami hubungan antara informasi hasil interpretasi dengan kondisi sebenarnya untuk mengevaluasi situasi.

6. Pemetaan tematik. Merupakan penyajian hasil interpretasi.

Secara umum interpretasi citra dapat dilakukan secara visual dan digital. Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenalinya identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Prinsip pengenalan

(13)

obyek pada citra mendasarkan pada penyidikan karakteristiknya. Karakter citra obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek disebut unsur interpretasi citra (Soetanto, 1992 dalam Harintaka, 2010).

Unsur interpretasi citra secara visual : 1. Rona

Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Dengan demikian rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya.

2. Bentuk

Bentuk merupakan variabel kuantitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek yang berupa bentuk, apakah memanjang, kotak, atau tidak teratur.

3. Ukuran

Ukuran merupakan atribut yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Sebagai contoh suatu bangunan dibedakan apakah itu rumah, kantor atau pabrik. Rumah biasanya ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan perkantoran atau pabrik.

4. Asosiasi

Asosiasi merupakan hubungan logika antar obyek. Berdasar asosiasi tersebut maka bila telah dikenali satu obyek tertentu dapat dijadikan petunjuk bagi obyek lain, misal perkantoran di tepi jalan utama atau jalan protokol.

5. Situs

Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Situs juga diartikan sebagai letak obyek terhadap bentang darat, seperti situs suatu obyek di rawa, di puncak bukit yang kering, dsb. Situs dapat untuk menarik kesimpulan terhadap spesies dari vegetasi di sekitarnya. Misalnya hutan bakau ditandai dengan rona yang gelap atau lokasinya yang berada di tepi pantai.

(14)

6. Bayangan

Bayangan sering menjadi kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek dengan karakteristik tertentu seperti cerobong asap, menara, tangki minyak, dan lain-lain.

7. Pola

Pola adalah ciri yang menandai banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. Contoh: perumahan real estate ditandai dengan pola yang teratur sedangkan perkampungan tersebar tidak teratur.

8. Tekstur

Tekstur adalah kumpulan pola berulang. Biasa dinyatakan dalam wujud kasar, halus atau bercak-bercak. Contoh: hutan biasanya bertekstur kasar, sedangkan belukar bertekstur sedang, semak bertekstur halus.

Gambar I.3.Tingkat kerumitan unsur-unsur interpretasi citra (Soetanto, 1986 dalam Harintaka, 2010)

Gambar I.3 merupakan gambar yang menunjukkan tingkat kerumitan unsur-unsur interpretasi citra. Rona/warna mempunyai tingkat kerumitan paling rendah yang artinya unsur ini lebih mudah digunakan dalam membedakan satu obyek dengan obyek lainnya. Lain hal nya dengan situs dan asosiasi yang memiliki tingkat kerumitan paling tinggi.

(15)

I.5.3.Proses Kartografi

Kartografi adalah seni, ilmu, dan teknik pembuatan peta. Jan Kraak dan Ormelling (2002) mendefinisikan kartografi sebagai penyampaian informasi geospasial dalam bentuk peta. Sedangkan peta dalam ilmu geodesi merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan di atas bidang datar melalui sistem proyeksi. Akan dibahas hal yang berkaitan dengan proyek ini dalam hubungannya dengan proses pembuatan peta yaitu digitasi, proses overlay

intersect, dan simbolisasi.

I.5.3.1. Digitasi. Digitasi adalah konversi dari data analog ke dalam data digital atau pemindahan elemen-elemen peta (titik, garis, luasan) ke dalam koordinat atau seri koordinat yang dihubungkan dengan suatu kode yang menunjukkan arti dari elemen tersebut.

Teknik digitasi ada dua macam yaitu digitasi manual dan digitasi otomatis. Digitasi manual adalah mengidentifikasikan setiap garis maupun titik yang akan di-digitasi kemudian mengatur gerakan cursor untuk menelusuri obyek. Cara pengukuran titik demi titik direkam hanya pada saat cursor ditekan.

Dalam digitasi terdapat sifat-sifat utama yang perlu dipertahankan untuk menjaga hubungan yang divisualisasikan dalam peta. Sifat ini yaitu kaitan yang terjadi antara titik harus dipertahankan, garis sejajar (paralel) harus tetap sejajar, posisi relatif harus tetap dijaga, lokasi absolut (yang dinyatakan dengan koordinat) harus tetap dijaga, keterdekatan (advance) dipertahankan dan garis-garis yang saling bersentuhan satu sama lain dan tidak saling memotong.

I.5.3.2. Proses overlay. Overlay merupakan salah satu operasi spasial dalam melakukan analisis spasial. Pada metode ini dilakukan penggabungan dua atau lebih data grafis untuk mendapatkan data grafis baru yang memiliki unit pemetaan gabungan dari beberapa data grafis tersebut dengan cara menumpang-susunkan. Salah satu syarat dalam melakukan overlay adalah dua data grafis yang akan ditumpang susunkan harus mempunyai sistem koordinat yang sama.

Cara yang biasa digunakan dalam overlay adalah intersection. Intersection merupakan overlay antara dua data grafis. Apabila batas luar kedua data grafis tidak sama, maka proses yang dilakukan adalah hanya pada daerah yang bertampalan

(16)

(Sugandi, 2009). Di dalam teori himpunan, intersect disebut dengan irisan yang diberi notasi ∩. Jika terdapat himpunan A dan B, maka irisan himpunan A dan B ditulis dengan A∩B. Maksud dari notasi tersebut adalah himpunan yang anggotanya berada di A juga berada di B. Dalam notasi matematika ditulis A∩B = { x | x Є A dan x Є B }, yang dibaca A irisan B sama dengan x dimana x adalah anggota A dan x anggota B. Contoh: jika A = {a,b,c,1,2} dan B = {c,d,e,f}, maka A∩B = {c}; jika P = {a,b,c,1,2} dan Q = {d,e,f}, maka A∩B = Ø (Anonim, 2012).

I.5.3.3. Simbolisasi. Dalam kartografi digunakan simbol titik (dot), garis

(dash) dan simbol bidang (patches) untuk mempresentasikan lokasi dan

atribut-atribut data titik, garis, wilayah dan volume. Simbol ada bermacam-macam yang dibagi berdasar bentuk dan sifatnya. Berdasar bentuknya simbol kartografi ada tiga kategori, yaitu:

1. Piktorial atau gambar simbol. Piktorial atau gambar sering disebut sebagai simbol yang sama dengan keadaan sesungguhnya atau yang sudah disederhanakan. Sebagai contoh simbol untuk komputer adalah , simbol untuk pesawat berupa , dan simbol untuk telepon adalah .

2. Geometrikal atau abstrak simbol. Simbol ini adalah simbol-simbol dengan bentuk yang teratur, seperti lingkaran, bujur sangkar, segitiga, dan sebagainya. Sebagai contoh abstrak simbol adalah 6, (, A, 9.

3. Huruf atau angka simbol. Simbol ini merupakan suatu simbol yang disusun oleh huruf atau angka. Seringkali simbol ini diambil dari singkatan atau huruf depan dari nama unsur yang diwakilinya, misalnya: P, H, 12.

Berdasar sifatnya, simbol kartografi terdiri dari:

1. Kualitatif. Simbol ini menginformasikan tentang perbedaan sifat dasar/ciri-ciri dari sesuatu.

2. Order. Simbol ini menginformasikan tentang tingkatan (tahapan) yang jelas, tidak ditentukan oleh jumlah.

3. Kuantitatif. Simbol ini menginformasikan tentang jumlah yang pasti. Bertin (1983) dalam Kraak (2007) membagi terhadap semua perbedaan yang bisa diimajinasikan antar simbol menjadi enam variabel grafis atau yang disebut juga dengan variabel tampak (visual variable), yaitu:

(17)

1. Perbedaan ukuran. Variabel ini digunakan untuk menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol.

2. Perbedaan kecerahan (lightness) atau nilai (warna). Nilai ini adalah variabel tampak yang menunjukkan besaran derajat keabuan (grey scale), kisarannya dari putih sampai hitam.

3. Perbedaan dalam tekstur. Tekstur baik digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value yang tetap.

4. Perbedaan dalam bayangan warna. Warna merupakan variabel tampak yang paling kuat dan sering untuk merancang simbol.

5. Perbedaan orientasi. Variabel ini maksimal terbatas hanya empat sampai enam perbedaan arah, tergantung dari macam simbol yang digunakan. Arahnya mulai dari sudut 0, 30, 60, 90, 120, 150 derajat.

6. Perbedaan bentuk. Dengan menggunakan bentuk perbedaan simbol satu dengan lain mudah digambarkan dan jumlahnya tidak terbatas.

Hal di atas adalah variabel tampak yang merupakan patokan dasar yang digunakan oleh kartografer untuk merancang simbol. Dalam merancang simbol ada beberapa tahapan yaitu (Prihandito, 2012):

1. Menentukan unsur apa yang ingin ditampilkan dalam peta. Bisa dilakukan pendekatan dengan dasar suatu simbol (titik, garis, atau area).

2. Melakukan pendekatan unsur yang diwakili dengan sifat dasar dari informasi (kuantitatif, order, kualitatif).

3. Memilih variabel tampak apa saja yang akan digunakan untuk menunjukkan informasi pemahaman (kuantitatif, order, kualitatif). Dapat dipilih variabel tampak apa saja yang akan dipakai untuk mewakili unsur yang akan ditampilkan. Misal area pemibibitan tanaman keras. Bisa dipilih antara posisi, bentuk, orientasi, warna, tekstur, value, atau ukuran, atau bahkan kombinasi dari variabel tampak tersebut.

4. Menerapkan simbol yang dirancang tersebut di peta. Jika simbol membuat peta menjadi kurang informatif dan sulit dibaca ganti dengan rancangan simbol yang lain.

Gambar

Gambar I.1. RTH di wilayah perkotaan (Tridarmayanti, 2010)
Gambar I.2. Prinsip pembentukan ortofoto (Habib, 2007)
Gambar I.3. Tingkat kerumitan unsur-unsur interpretasi citra (Soetanto, 1986 dalam  Harintaka, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SD Negeri Pulorejo 01 Pati dalam pembelajaran

Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui

Pemimpin harus memiliki kecenderungan sikap dan perilaku yang mengarah kepada suatu makna yang ingin dituju atau diinginkan oleh pemimpin organisasi.Sebagai mana penelitian

Memberikan pelayanan transaksi kas ataupun overbooking, serta memberikan pelayanan pembayaran dari dan ke nasabah untuk kepentingan bisnis BRI sesuai dengan sistem

Sebagai sebuah tahap pra-intervensi psiko- logi, asesmen psikologi perlu menghasilkan data berupa data psikologis individu atau sekelompok individu. Pengolahan data

Tujuan dari pemantauan ini untuk mengetahui kualitas udara laboratorium IEBE dan radioaktivitasnya, sehingga dapat mendukung sistem keselamatan bagi pekerja radiasi

Kritik yaitu melakukan penilaian secara intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya, untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat

Putri, Vanya Amalia. Ideology Construction on the Presidential Election News 2014 of Kompas Newspaper. Study Program of English, Department of Languages and Literatures,