BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sediaan parenteral
Sediaan parenteral bisa didefinisikan sebagai obat steril, larutan, atau
suspensi yang dikemas dengan cara yang sesuai untuk pemberian melalui
suntikan hiperdermis, baik dalam bentuk siap pakai maupun bentuk yang
perlu ditambahkan pelarut yang sesuai atau agen pensuspensi. Klasifikasi
sediaan injeksi sebagai berikut (Ria, 2012):
1. Larutan sejati dengan pembawa air.
2. Larutan sejati dengan pembawa minyak.
3. Larutan sejati dengan pembawa campuran.
4. Suspensi steril dengan pembawa air.
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak.
6. Emulsi steril.
7. Serbuk kering dilarutkan dengan air.
pada stabilitas obat. Obat yang sudah direkonstitusi memiliki batas waktu kestabilannya sehingga perlu diperhatikan lama penyimpanannya.
Sediaan farmasi parenteral yang digunakan secara operasional di
rumah sakit terbagi dalam lima kategori umum (Lecvhuk, 1992):
1. Infus
Infus adalah produk parenteral yang digunakan untuk injeksi ke
dalam pembuluh darah vena melalui intravena. Infus dikemas dalam
wadah Large Volume Parenteral (LVP) plastik atau gelas yang cocok
untuk intravena. Sistem infus menyediakan kecepatan aliran cairan yang
terus menerus dan teratur. Infus bisa diberikan dengan atau tanpa bahan
tambahan.
2. Suntikan
Obat suntik atau Small Volume Parenteral (SVP) digunakan
untuk pemberian parenteral. Farmasis rumah sakit biasa terkait dalam
penyediaan SVP, distribusi, dan mengontrol produk komersial yang
tersedia di rumah sakit dan penggunaannya sebagai bahan tambahan
dalam pembuatan intravena admixtures.
3. Sediaan mata
Sediaan mata termasuk larutan atau suspensi steril yang ditujukan
untuk tetesan topikal pada mata atau salep untuk diaplikasikan pada area
mata.
4. Larutan dialisis dan irigasi
Produk larutan dialisis dan cairan irigasi harus memenuhi semua
syarat standar infus. Pencampuran sediaan irigasi biasanya dengan
antibiotik, kadang–kadang dilakukan di bagian farmasi.
5. Larutan untuk terapi inhalasi
Sediaan ini digunakan melalui respirator atau alat terapi
respiratori lainnya untuk terapi saluan pernafasan.
Tujuan umum pemberian obat secara parenteral sebagai berikut:
tubuh dalam kadar yang cukup, khususnya jika diantisipasi bahwa senyawa obat yang bersangkutan sulit mencapai sasaran tersebut jika diberikan melalui rute yang lain.
2. Untuk memungkinkan pengendalian langsung terhadap beberapa parameter farmakologi tertentu, seperti waktu tunda, kadar puncak dalam darah, kadar dalam jaringan, dll. Contoh: pemberian obat secara i.v untuk mendapatkan efek yang segera.
3. Untuk menjamin dosis dan kepatuhan terhadap obat, khususnya untuk penderita rawat jalan.
4. Untuk mendapatkan efek obat yang tidak mungkin dicapai melalui rute lain, mungkin karena obat tidak dapat diabsorbsi atau rusak oleh asam lambung atau enzim jika diberikan secara oral.
5. Untuk memberikan obat pada keadaan rute lain yang lebih disukai tidak memungkinkan, misalnya pada penderita yang saluran cerna bagian atasnya sudah tidak ada karena dioperasi.
6. Untuk menghasilkan efek secara lokal jika diinginkan untuk mencegah atau meminimalkan efek/reaksi toksik sistemik. Contoh: pemberian metotreksat secara injeksi intratekal pada penderita leukemia.
7. Untuk pemberian obat pada penderita yang tidak sadarkan diri atau tidak dapat bekerja sama (gila). Contoh: pemberian obat penenang pada orang gila.
8. Untuk memperbaiki dengan cepat cairan tubuh atau ketidakseimbangan elektrolit atau untuk mensuplai kebutuhan nutrisi.
9. Untuk mendapatkan efek lokal yang diinginkan, misalnya anestesi lokal pada pencabutan gigi.
Keuntungan yang didapatkan dari pencampuran sediaan parenteral
antara lain:
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat. 2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Bioavailabilitas sempurna atau hampir sempurna.
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang sedang dalam keadaan koma.
Kelemahan dari pencampuran sediaan parenteral antara lain:
1. Rasa nyeri pada saat disuntik, apalagi kalau harus diberikan berulang kali.
2. Memberikan efek psikologis pada penderita yang takut disuntik
3. Kekeliruan pemberian obat atau dosis hampir tidak mungkin diperbaiki, terutama sesudah pemberian iv admixture.
4. Obat hanya diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat praktik dokter dan perawat yang kompeten.
B. Sediaan Steril
Sediaan steril yaitu sediaan terapetis yang bebas mikroorganisme baik vegetatif atau bentuk sporanya baik patogen atau nonpatogen. Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan steril secara umum adalah sediaan farmasi yang mempunyai kekhususan sterilitas dan bebas dari mikroorganisme. Tujuan suatu obat dibuat steril
1. Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna atau gastrointestinal.
2. Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak berlaku relatif steril atau setengah steril , hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
Syarat sediaan steril injeksi
1. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berwarna, tetap terlihat jernih (tidak keruh).
2. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam sediaan itu.
3. Bebas dari partikel asing. Partikel asing yang bukan penyusun obat. Sumber partikel bisa berasal dari air, bahan kimia, personil yang bekerja, serat dari alat atau pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas, plastik).
4. Keseragaman volume atau berat.
5. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul
6. Stabil yang artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan suspensi).
Berikut dijelaskan metode pencampuran sediaan steril dibagi menjadi
3 yaitu:
1. Sterilisasi akhir
Metode sterilisasi akhir merupakan proses sterilisasi yang
dilakukan setelah sediaan selesai dikemas, untuk selanjutnya dilakukan
sterilisasi. Jenis metode sterilisasi yang sering digunakan adalah metode
sterilisasi panas lembab menggunakan autoklaf, namun sterilisasi akhir
dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya panas kering,
filterisasi, pengion dan gas.
2. Sterilisasi dengan filtrasi
Sterilisasi yang menggunakan alat khusus yang menggunakan
3. Aseptik
Kondisi aseptik adalah suatu keadaan yang dirancang untuk menghindari adanya kontaminasi oleh mikroorganisme, pirogen maupun partikel baik pada alat, kemasan, maupun bentuk sediaan selama proses pencampuran.Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan suatu kondisi aseptik:
a. Area yang digunakan
Pencampuran produk sediaan farmasi steril dilakukan di ruangan type Class 100 . Di rumah sakit, untuk mendapatkan type class 100 biasanya digunakan alat Laminar Air Flow.
b. Personal, yang meliputi pakaian dan perilaku petugas
Untuk meminimalkan kontaminasi, petugas yang akan bekerja pada area tersebut harus mengenakan baju steril khusus yang bebas dan partikel dan bebas serat. Baju petugas dilengkapi dengan penutup rambut, masker, sepatu dan sarung tangan steril dengan tujuan menurunkan kontaminasi partikel dan bakteri selama bekerja di ruang aseptik.
C. Sarana dan prasarana pencampuran sediaan steril injeksi
Sarana dan prasarana yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pencampuran sediaan parenteral menurut Pedoman Dasar Dispensing Sediaan
Steril yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
tahun 2009, yaitu:
1. Sumber Daya Manusia
Pencampuran sediaan steril memerlukan SDM yang terlatih, fasilitas dan peralatan serta prosedur penanganan secara khusus. Berikut sumber daya manusia dalam pencampuran sediaan steril (Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril, 2009):
a. Apoteker .
1) Memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang penyiapan dan pengelolaan komponen sediaan steril termasuk prinsip teknik aseptis.
2) Memiliki kemampuan membuat prosedur tetap setiap tahapan pencampuran sediaan steril.
b. Tenaga Kefarmasian (Asisten Apoteker, D3 Farmasi)
Tenaga Kefarmasian membantu Apoteker dalam melakukan pencampuran sediaan steril.
2. Ruangan Khusus
Selain peralatan yang harus dimilki untuk melakukan pencampuran sediaan steril, hal yang harus diperhatikan dalam pencampuran sediaan steril yaitu ruangan khusus dan terkontrol. Ruangan khusus terdiri dari (Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril, 2009): a. Ruang persiapan
Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan alat kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, penghitungan dosis dan volume cairan).
b. Ruang cuci tangan dan ruang ganti pakaian
Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci tangan, ganti pakaian kerja dan memakai alat pelindung diri (APD).
c. Ruang antara (Ante room)
Petugas yang akan masuk ke ruang steril melalui suatu ruang antara. d. Ruang steril (Clean room).
Ruangan steril harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Jumlah partikel berukuran 0,5 mikron tidak lebih dari 350.000partikel
2) Jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara. 3) Suhu 18 – 22°C
4) Kelembaban 35 – 50%
6) Tekanan udara di dalam ruang lebih positif dari pada tekanan udara di luar ruangan.
7) Pass box adalah tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan obat sebelum dan sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak di antara ruang persiapan dan ruang steril.
3. Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril meliputi (Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril, 2009): a. Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan dalam pencampuran sediaan steril meliputi:
1) Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable (tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup di bagian depan. 2) Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika harus
menggunakan dua lapis. 3) Kacamata pelindung
Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika. 4. Laminar Air Flow
Laminar Air flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai:
Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan steril: a. Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow).
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas tidak terlindungi dari partikel ataupun uap yang berasal dari ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat steril non sitostatika. b. Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow). Aliran udara langsung
mengalir kebawah dan jauh dari petugas sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman.Untuk penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara di ruangan.
D. Proses pencampuran sediaan steril injeksi
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntik, perlu dilakukan langkah langkah sebagai berikut (Pedoman Pencampuran Obat Suntik, 2009):
1. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5 BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian).
2. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomer batch, tgl kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan.
3. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidak lengkap.
4. Menghitung kesesuaian dosis. 5. Memilih jenis pelarut yang sesuai.
6. Menghitung volume pelarut yang digunakan.
7. Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal kadaluarsa campuran.
8. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan, jumlah paket.
10. Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.
Adapun proses pencampuran obat suntik mengikuti langkah–langkah sebagai berikut (Pedoman Pencampuran Obat Suntik. 2009):
1. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
2. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur tetap. 3. Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur tetap.
4. Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan dalam LAF.
5. Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk bekas obat. 6. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70 %.
7. Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box. 8. Melakukan pencampuran secara aseptis.
9. Memberi label yang sesuai untuk setiap spuit dan infus yang sudah berisi obat hasil pencampuran.
10. Membungkus dengan kantong hitam atau alumunium foil untuk obat-obat yang harus terlindung dari cahaya.
11. Memasukkan spuit atau infus ke dalam wadah untuk pengiriman.
12. Mengeluarkan wadah yang telah berisi spuit atau infus melalui pass box. 13. Membuang semua bekas pencampuran obat ke dalam wadah
pembuangan khusus.
E. Evaluasi hasil pencampuran sediaan steril injeksi
Menurut Kepmenkes nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, kegiatan pencampuran sediaan
parenteral mencangkup hal–hal berikut:
1. Mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus
2. Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai.
Masalah yang dapat timbul sebagai akibat pencampuran yang
dilakukan secara sembarangan terkait dengan inkompatibilitas (Elis, 2009):
1. Inkompatibilitas in vitro
Ditandai dengan adanya kekeruhan, cloudness, endapan atau
perubahan warna. Beberapa kemungkinan interaksi in vitro dapat terjadi
akibat dari:
a. Interaksi antara obat dengan obat lain yang ditambahkan. Selain
inkompatibilitas in vitro, inkompatibilitas terapetik juga dapat terjadi
apabila terdapat lebih dari satu macam obat yang ditambahkan
kedalam larutan infus.
b. Interaksi antara obat dengan bahan pembantu
c. Interaksi antara bahan pembantu dengan bahan pembantu
d. Interaksi antara obat dengan wadah
e. Interaksi antara bahan pembantu dengan wadah
f. Interaksi antara obat dengan larutan infus
Adanya interaksi–interaksi ini dikhawatirkan dapat merubah sifat
fisika dan kimia obat tersebut, sehingga akan menurunnya aktivitas obat
dan potensi larutan infusnya sendiri, obat menjadi tidak aktif, obat dapat
berubah respon terapetiknya dan meningkatkan toksisitas obat.
2. Inkompatibilitas farmakologi
Adalah jenis inkompatibilitas yang menghasilkan perubahan yang
dapat terlihat secara nyata, seperti presipitasi, kekeruhan, perubahan
warna atau viskositas. Inkompatibilitas fisika lebih terkait pada
perubahan kelarutan atau interaksi dengan wadah daripada perubahan
molekular senyawa obat itu sendiri (Trissel, 2003). Suatu senyawa obat
bisa dipertahankan dalam cairan selama konsentrasinya kurang dari
konsentrasi cairan. Obat tidak mudah mengalami presipitasi dari bentuk
larutan supersaturi secepatnya, tapi dapat terjadi sewaktu-waktu.
Inkompatibiltas farmakologi dapat terjadi akibat interaksi obat–obat,
interaksi obat dengan penyakit yang diderita pasien. Adanya interaksi
toksisitas, atau menurunkan efek obat sehingga pengobatan menjadi
subterapeutik.
3. Problem sterilitas
Pencampuran bahan obat ke dalam larutan infus yang tidak
menggunakan cara–cara aseptik dapat mengakibatkan masuknya
mikroorganisme ke dalam sediaan.
4. Adanya partikel dalam sediaan parenteral
Partikel dapat berasal dari tutup karet vial, pecahan kaca pada saat
mematahkan ampul, rambut, atau kain petugas
Masalah–masalah yang dapat muncul terkait preparasi sediaan iv
admixture adalah kesesuaian alat transfer yang digunakan untuk pemindahan
volume yang dibutuhkan dari satu atau lebih SVP ke wadah infus, seperti
suntikan dan jarumnya. Untuk mencegah infeksi karena masalah–masalah
tersebut hal-hal yang dapat dilakukan adalah:
1. Menghisap obat dari ampul dengan cepat agar tidak terjadi kontaminasi
larutan. Ampul jangan pernah dibiarkan dalam keadaan terbuka.
2. Mencegah jarum menyentuh daerah yang terkontaminasi misalnya sisi
luar ampul atau vial, permukaan luar tutup jarum, tangan perawat, bagian
atas wadah obat atau permukaan meja.
3. Mencegah spuit terkontaminasi dengan tidak menyentuh badan
penghisap atau bagian dalam karet, dan menjaga ujung spuit tertutup per
tutup atau jarum (Potter dan Pery, 2005).
F. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap
Rumah sakit umum daerah Cilacap adalah rumah sakit negeri kelas B.
Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan
suspesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung pelayanan rujukan dari
rumah sakit kabupaten. RSUD Cilacap berlokasi di jalan Gatot Subroto
nomor 28 Cilacap RT 04 RW 05 Jawa Tengah. Rumah sakit ini termasuk
besar karena tersedia 318 tempat tidur inap, lebih banyak dibandingkan
tidur inap. Jumlah dokter yang tersedia masih sedikit yaitu 29 dokter. Dari
jumlah sebanyak 29 dokter di RSUD, 15 adalah dokter umum. Dengan
jumlah tersebut apabila dibandingakan dengan rata-rata rumah sakit di
wilayah, menunjukkan 6 lebih banyak daripada rumah sakit tipikal di Jawa
Tengah dan 5 lebih banyak daripada rumah sakit tipikal di Jawa.
Penelitian dilakukan di tiga ruang perawatan yang meliputi ruang
perawatan dahlia, kenanga dan anggrek yang merupakan ruang kelas III.
Alasan dilakukannya penelitian di tiga ruang perawatan tersebut karena
berdasarkan keputusan dari manajemen rumah sakit umum daerah Cilacap
menetapkan bahwa kegiatan penelitian dilakukan di ruang perawatan kelas