BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Internet memberikan banyak manfaat bagi penggunanya, meskipun
demikian internet dapat menjadi suatu alat yang dapat memunculkan hal yang
dapat membahayakan. Saat ini sering terjadi suatu tindak kriminal yang
disebabkan oleh penggunaan internet dan salah satunya adalah adanya
bullying (perundungan). Kasus perundungan semakin sering terjadi seiring
dengan perkembangan dunia teknologi. Berkembangnya gadget, tentu akan
mengembangkan media-media sosial baru. Sementara perkembangan media
sosial tersebut, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar akan menghasilkan
dampak negatif, salah satunya adalah perundungan siber (cyberbullying).
Media siber tidak hanya akan memberikan kesempatan orang untuk
mengakses akun media sosialnya, tetapi juga akan memudahkan seseorang
untuk membuat akun anonim dan akun palsu untuk tujuan-tujuan tertentu
yang berhubungan dengan perundungan siber.
Cyberbullying adalah tindakan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi untuk keperluan yang disengaja serta dilakukan secara terus
menerus dengan tujuan untuk merugikan orang lain dengan cara
mengintimidasi, mengancam, menyakiti/menghina harga diri orang lain,
sehingga menimbulkan permusuhan di antara individu atau kelompok
pengguna teknologi komunikasi. Perilaku tersebut jika dilakukan secara
tetapi dapat menjadi sebuah intimidasi yang merendahkan martabat orang lain
hingga menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya. Meskipun intimidasi
tersebut dilakukan melalui dunia maya akan tetapi korban akan menganggap
hal tersebut sebagai sebuah ancaman yang nyata (Ananda Amaliya Syam,
2015: 2).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan
Informatika bekerjasama dengan UNICEF pada tahun 2011 hingga 2013 yang
dirilis Februari 2014, menyatakan sebagian besar remaja di Indonesia telah
menjadi korban cyberbullying. Studi melibatkan 400 anak dan remaja rentang
usia 10 hingga 19 tahun. Dari data tersebut juga terungkap bahwa sembilan
dari sepuluh siswa atau 89% responden berkomunikasi secara online dengan
teman-teman mereka, 56% berkomunikasi online dengan keluarga, dan 35%
berkomunikasi secara online dengan guru mereka. Sebanyak 13% responden
mengaku menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman
(Machsun Rifauddin, 2016: 39).
Estimasi jumlah remaja yang mengalami cyberbullying di Indonesia
sangat tinggi. Survei global yang dilakukan oleh IPSOS terhadap 18.687
orang tua dari 24 negara termasuk Indonesia, menemukan bahwa 12% orang
tua menyatakan bahwa anak mereka pernah mengalami cyberbullying dan
60% diantaranya menyatakan bahwa anak-anak tersebut mengalami
cyberbullying pada jejaring sosial seperti facebook. Di Indonesia, 14% orang
tua yang menjadi responden survei ini menyatakan anak mereka pernah
dikomunitasnya pernah mengalami cyberbullying (Machsun Rifauddin, 2016:
39).
Berdasarkan penelitian Flourensia Sapty Rahayu (2012: 23) di beberapa
kota di Indonesia (Magelang, Semarang, dan Yogyakarta) meskipun belum
didapat kasus yang sangat serius namun sudah cukup banyak remaja yang
mengalami cyberbullying. Dari 363 siswa SMP dan SMA yang menjadi
obyek penelitian, 28% dari mereka pernah menjadi korban cyberbullying.
Setengah dari pelaku cyberbullying merupakan teman sekolah (50%) dan
sebagian besar dari pelaku adalah laki-laki. Sarana teknologi informasi yang
banyak digunakan untuk cyberbullying adalah situs jejaring sosial (35%) dan
pesan teks/SMS (33%). Sedangkan perlakuan cyberbullying yang paling
banyak diterima oleh korban adalah diejek/diolok-olok/dimaki-maki lewat
sarana tersebut.
McAfee/Harris Interactive Survey dalam Flourensia Sapty Rahayu
(2012: 26) juga memaparkan hasil penelitiannya yaitu 29% dari remaja usia
10 sampai 17 tahun pernah mengalami cyberbullying, dan 52% mengatakan
bahwa mereka mengetahui bahwa orang lain mengalami cyberbullying
(Flourensia Sapty Rahayu, 2012: 25).
Dalam satu penelitiannya, Kowalski dan Limber (2007: 522)
mendapatkan data bahwa 47% korban cyberbullying mengatakan pelakunya
adalah teman sekolahnya sendiri. Sedangkan penelitian lain mengungkapkan
bahwa 43% korban menyatakan bahwa pelakunya adalah teman yang sudah
secara langsung. Dalam beberapa kasus, pelaku cyberbullying terhadap
remaja perempuan adalah bekas kekasih mereka. Perlakuan cyberbullying
yang diterima seringkali dalam bentuk panggilan nama yang merendahkan,
bahkan dalam beberapa kasus sampai dengan tindakan ancaman.
Perundungan siber tidak hanya terjadi di kalangan remaja, karena
perundungan siber ini merupakan fenomena yang tidak terbatas pada usia.
Begitu pula dengan korbannya, siapa saja bisa menjadi sasaran cyberbullying.
Meskipun terkadang orang-orang terkenal lebih rentan menjadi sasaran
cyberbullying, tetapi hal ini juga dapat menimpa kalangan pelajar, politikus,
bahkan institusi pemerintah.
Tahun 2016 lalu ada penghinaan terhadap institusi Tentara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh Bripda Andrianto, ia menuliskan status di
facebook-nya yang mendiskreditkan institusi TNI, terkait penanganan teroris
di Jalan Thamrin Jakarta beberapa waktu lalu, dengan menyebut TNI penakut
(https://www.merdeka.com/peristiwa/gara-gara-status-fb-menyindir-tni-anggota-polres-toraja-dihukum.html). Ada pula salah satu kasus perundungan
siber yang berakhir tragis. Kasus ini dialami oleh Bobby Yoga Cahyadi yang
merupakan ketua panitia festival musik Lockstock2 yang diadakan di
Yogyakarta pada tahun 2013. Yoga bunuh diri dengan cara menabrakan
dirinya ke kereta api setelah akun twitter-nya dibanjiri oleh hujatan akibat
kegagalan festival yang ia tangani. Sebelum bunuh diri ia menuliskan sesuatu
di akun twitter-nya “Trimakasih atas sgala caci maki @locstockfest2.. Ini
menulis status terakhir di akun facebook-nya “Slamat pagi teman2 semua.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan saya, jgn pernah
menuntut klg, anak istri dan orang tua saya, dan tdk yg harus mrk lakukan..
Berkat Tuhan slalu brsama kalian”
(http://news.detik.com/berita/2256172/yoga-diduga-depresi-karena-acara-musik-lockstock-gagal-dan-sisakan-utang).
Melalui pra-penelitian yang penulis lakukan dengan menyebar
kuesioner di SMA N 4 Purwokerto dan SMP N 6 Purwokerto, setidaknya ada
47 dari 92 siswa pernah menjadi korban cyberbullying. Dan dari angka
tersebut 70% siswa yang menjadi korban adalah anak perempuan. Dominasi
siswa yang menjadi korban cyberbullying berkisar antara umur 11-13 tahun,
dan mereka mendapat perlakuan tersebut melalui jejaring sosial sebesar 66%.
Sebanyak 68% siswa mengaku mendapat perlakuan berupa ejekan dan
pernyataan kebencian. Hampir 50% siswa yang menjadi korban mengetahui
para pelaku cyberbullying merupakan teman satu sekolah. Melalui
pra-penelitian ini pula ada 26 dari 92 siswa mengaku pernah melakukan
perundungan siber. Dari angka tersebut, 62% dari pelaku adalah perempuan.
Sebanyak 64% dari siswa yang pernah melakukan cyberbullying, mereka
mengaku melakukannya dengan berkelompok. Sebagian pelaku mengaku
melakukan tindakannya itu di jejaring sosial. Dan sebagian yang menjadi
Kasat Reskrim Polres Banyumas AKP Andi Kadesma pada tanggal 23
November 2016 mengatakan bahwa cyberbullying saat ini memang sedang
marak terjadi, hal tersebut disebabkan mudahnya akses internet yang dapat
dijangkau semua kalangan. Meskipun demikian, sedikit sekali kasus
cyberbullying yang dilaporkan ke kepolisian. Di Purwokerto sendiri
ditemukan 1 (satu) kasus cyberbullying yang dilaporkan dan berhasil diputus
di Pengadilan Negeri Purwokerto pada tahun 2013. Kasus ini bermula dari
laporan korban yang bernama Nita (19 tahun) di Polsek Ajibarang dengan
Nomor: Lp/08/V/2013/Jateng/Reskrimbms/s.Ajb bahwa tersangka yang
bernama Nasruloh bin Suwarto (30 tahun) membajak facebook korban dan
memasukkan foto porno korban. Laporan tersebut berlanjut pada pemeriksaan
di pengadilan, Nasruloh diputus bersalah melanggar Pasal 29 Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan
hukuman 12 bulan penjara berdasarkan putusan Nomor: 55/Pid.Sus/2013/PN
Pwt tanggal 10 Oktober 2013.
Kasus-kasus cyberbullying sering diibaratkan dengan istilah fenomena
gunung es (iceberg phenomenon) yang hanya terlihat puncaknya namun
menyimpan kekuatan luar biasa di bawahnya. Tidak menutup kemungkinan
hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat seperti orang tua,
remaja, dan anak-anak mengenai adanya cyberbullying beserta payung hukum
yang melindunginya, sehingga tidak ada pelaporan dari masyarakat yang
hukum yang mengatur tentang kejahatan cyberbullying ini yaitu
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
yang telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Dari uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
masalah tersebut dalam skripsi dengan judul “ANALISIS KASUS
CYBERBULLYING DI PURWOKERTO (Studi Putusan Nomor:
55/Pid.Sus/2013/PN Pwt Tanggal 10 Oktober 2013)”
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang yang telah terurai, penulis merumuskan
masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan cyberbullying yakni sebagai
berikut:
1. Bagaimana penerapan hukum terhadap putusan Nomor:
55/Pid.Sus/2013/PN Pwt Tanggal 10 Oktober 2013 dilihat dari
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Faktor apa sajakah yang menjadi kendala dalam penegakan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan hukum terhadap
putusan Nomor: 55/Pid.Sus/2013/PN Pwt Tanggal 10 Oktober 2013
dilihat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang menjadi kendala
dalam menegakkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik untuk kasus cyberbullying.
D. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, tentu saja penulis menginginkan
adanya manfaat yang didapat dari penelitian tersebut, baik untuk penulis
sendiri maupun orang lain. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan 2 (dua) manfaat yaitu manfaat dari segi praktis dan manfaat dari
segi teoritis.
1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dapat
memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan
pada khususnya mengenai tindak pidana yang dilakukan di dunia maya.
bagi masyarakat luas tentang apa dan bagaimana terjadinya
cyberbullying.
2. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis tentang penelitian ini adalah memberikan masukan
dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan
penanggulangan tindak pidana yang dilakukan di dunia maya, khususnya
cyberbullying. Penelitian ini juga dapat melengkapi khasanah kajian yang