BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan kehidupan manusia dimana ada masyarakat disitulah ada
hukum, hukum sangat diperlukan dalam mengatur kesejahteraan manusia dan
kehidupan manusia. Tanpa adanya hukum dalam kehidupan manusia maka
manusia akan liar dalam bertindak dan bertingkah laku seperti tidak adanya
aturan dalam kehidupan. Untuk menegakkan aturan-aturan hukum dalam
suatu kehidupan manusia maka diperlukannya adanya Institusi. Indonesia
merupakan salah satu negara hukum dimana prinsip-prinsip dan aturan-aturan
hukum dari suatu negara hukum harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Terciptanya suatu tata hubungan yang diharapkan, diperlukan adanya
norma atau kaidah hukum yang telah disepakati sebagai pedoman dalam
mengatur kehidupan. Peraturan hukum tersebut dapat berupa peraturan hukum
materiil maupun hukum formil. Hukum materiil (penerapannya) adalah
hukum perdata yang mengatur hak-hak dan kewajiban perseorangan.
Sedangkan hukum formil (aturannya) adalah merupakan cara bagaimana
mempertahankan, melaksanakan, dan menegakkan hukum perdata materiil
melalui proses Peradilan.
Indonesia ada suatu institusi yang dinamakan Kekuasaan Kehakiman
dimana memiliki tugas untuk menegakkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Warga Negara Indonesia harus bertindak berdasarkan hukum.
dalam pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat, disinilah letak
kepentingan adanya Hukum Acara Perdata dalam rangka penegakan hukum.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara
perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Sri Wardah, Bambang
Sutiyoso, 2007: 8).
Adapun hukum perdata materiil yang hendak ditegakkan dengan hukum
acara perdata meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk
perundang-undangan, seperti KUH Perdata, KUHD, UUPA, UU Perkawinan, dan
sebagainya, maupun peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum
perdata adat dan ketentuan perdata lainnya yang merupakan kebiasaan dalam
masyarakat (Sri Wardah, Bambang Sutiyoso, 2007: 9).
Lembaga Peradilan adalah wujud dari kekuasaan kehakiman (Kekuasaan
Yudikatif) yang dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Seterusnya Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Agung sebagai lembaga tertinggi yang memegang kekuasaan kehakiman
selain mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara-perkara perdata
diajukan dan dimintakan pemeriksaan kepadanya, juga memiliki kewenangan
untuk menjaga pelaksanaan tertib hukum pada empat lingkungan peradilan
dibawahnya, salah satu fungsinya tersebut adalah mengisi
kekosongan-kekosongan hukum dalam Undang-undang dengan memuat Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) yang menjadi aturan teknis dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya menegakan hukum secara adil dan bijaksana. Salah satu
diantaranya adalah PERMA No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan(Ainal Mardhiah, 2008: 157).
Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang
bertindak sebagai penengah untuk berkomunikasi antara pihak yang
bersengketa, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut
dapat dipahami dan dimungkinkan didamaikan. Mediasi yang melahirkan
kesepakatan perdamaian akan menyelesaikan yang tuntas karena hasil
akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose. Penyelesaian dengan proses
mediasi banyak memberikan manfaat bagi Para Pihak, waktu yang ditempuh
akan menekan biaya menjadi lebih murah, dipandang dari segi emosional
penyelesaian dengan mediasi dapat memberikan kenyamanan bagi para pihak,
karena butir-butir kesepakatan dibuat sendiri oleh Para Pihak sesuai dengan
kehendaknya. Mediasi pada dasarnya sudah ada sejak dulu, karena system
penyelesaian sengketa masyarakat pada umumnya menggunakan prinsip
(Septi Wulan Sari, 2017: 5).
Pranata perdamaian oleh hakim bukan sesuatu yang baru, tetapi
diharapkan tidak sekedar formalitas yang semata-mata diserahkan kepada
pihak-pihak. Hakim harus lebih aktif mengusahakan perdamaian sebelum
memasuki pokok perkara. Hal ini sesuai dengan ketentuan umum yang
berlaku dalam beracara. Di samping itu, aktualisasi pranata perdamaian ini
akan lebih merangsang berkembangnya cara-cara menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan. Dengan demikian Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA), yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di pengadilan. Hal ini sebagai dasar untuk menaati Pasal
130 HIR dan 154 RBg., yang dapat dijadikan pedoman tata tertib bagi para
hakim di pengadilan tingkat pertama guna memediasi Para Pihak yang
berperkara (Israr Hirdayati, Hery Diansyah, 2017: 106-107).
Dengan pertimbangan pada PERMA poin (B) yang menjelaskan, bahwa :
Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi masalah
penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)
Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutus dengan
acara biasa dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali
Undang-undang menentukan lain. Diantara hakim tersebut pada ayat (1) seorang
bertindak sebagai ketua, dan yang lainnya sebagai hakim anggota Majelis
hakim tersebut harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam PERMA Nomor
pemeriksaan perkara dimulai, hakim wajib dengan sungguh-sungguh
mengupayakan perdamaian. Upaya tersebut mengacu pada ketentuan PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Ummi Azma,
2017: 231).
Proses mediasi selalu mengedepankan pendekatan komunikasi yang
baik antara mediator dan Para Pihak yang bersengketa. Dalam hal ini peran
mediator dalam mencairkan kebekuan komunikasi antara Para Pihak sangat
berperan sekali. Untuk menjadi mediator dalam suatu berperkara diperlukan
keahlian khusus terutama dalam menyambung komunikasi yang terputus
antara Para Pihak yang memang sedang bermasalah. Komunikasi yang dapat
ditempuh dengan cara perkenalan, mediator juga harus dapat menciptakan
suasana yang tidak kaku, mencair antara Para Pihak dengan cara menciptakan
obrolan-obrolan sederhana diluar pokok perkara, dengan demikian suasana
dingin penuh ketegangan berubah menjadi hangat penuh keakraban. Dalam
situasi yang demikian mediator akan dapat menangkap celah-celah yang
mungkinkan adanya respon dan partisipasi Para Pihak untuk perdamaian
tersebut. Mediator harus mampu mengendalikan komunikasi agar tidak
memberikan ruang perseteruan yang konfrontatif. Mediator dalam proses
mediasi menyampaikan pada Para Pihak bahwa dalam proses mediasi tentang
aturan main dalam proses mediasi termasuk teknis-teknis yang akan disepakati
dan jadwal pertemuan. Mediator juga wajib menyampaikan, bahwa jika suatu
saat dianggap perlu untuk mendalami persoalan akan dilakukan khusus
terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak lawan. Unsur
terpenting dalam mediasi ini adalah kepercayaan harus tetap dipegang oleh
masing-masing pihak (Ainal Mardhiah, 2011: 165-166).
Penyelesaian melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien:
Mediasi (mediation) melalui system kompromi (compromise) diantara Para
Pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai
penolong (helper) dan fasilitator, Konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator
(conciliator), pihak ketiga bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan
perdamaian (konsiliasi) tetapi keputusan tetap di tangan Para Pihak, Expert
determination , menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang
menentukan. Oleh karena itu, keputusan yang diambilnya mengikat kepada
Para Pihak, Mini trial, Para Pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang
akan bertindak memberi opini kepada kedua belah pihak, opini diberikan
advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak,
opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak, serta memberi
pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh Para Pihak (M.
Yahya Harahap, 2007: 236).
Pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan merupakan
institusionalisasi atau melembagakan proses mediasi dalam peradilan. Maksud
pelembagaan itu, sebagai upaya mendorong peran Pasal 130 HIR, Pasal 154
RBg., agar mampu mendorong Para Pihak merundingkan penyelesaian
perkara yang lebih efektif melalui perdamaian, dengan demikian, dalam upaya
pada Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg., tetapi sekaligus berpedoman pada proses
mediasi yang bersifat memaksa (compulsory). Pengertian mediasi kaitan
pengintegrasiannya dalam system peradilan sebagaimana yang digariskan
dalam Pasal 1 ayat (6) adalah Proses penyelesaian sengketa di pengadilan
melalui perundingan antara pihak yang berperkara, Perundingan yang
dilakukan Para Pihak, dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan
berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial),
berfungsi sebagai pembantu atau penolong (helper) mencari berbagai
kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling
menguntungkan kepada Para Pihak (M. Yahya Harahap, 2007: 244).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, dapat dirumuskan
suatu permasalahan, sebagai berikut:
1. Apa saja masalah-masalah yang dimediasikan dalam sengketa ekonomi
syariah di Pengadilan Agama Purwokerto ?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui mediasi
di Pengadilan Agama Purwokerto ?
3. Apa keuntungan melalui mediasi dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah di Pengadilan Agama Purwokerto ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui masalah-masalah yang di Mediasikan dalam sengketa
2. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui
mediasi di Pengadilan Agama Purwokerto
3. Untuk mengetahui keuntungan yang didapat jika melalui mediasi dalam
penyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama
Purwokerto
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Menambah pengetahuan teori dan praktek tentang proses dari Mediasi
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada Pengadilan Agama
2. Bagi Praktisi
Memberikan informasi mengenai proses Mediasi terutama keuntungan
melakukan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pada Pengadilan
Agama
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi, pengetahuan dan wawasan kepada seluruh
lapisan masyarakat tentang proses mediasi dan keuntungan melakukan
mediasi dalam menyelesaikan sengeketa ekonomi syariah di