DISERTASI
PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,
KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
ALEXANDRA HUKOM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DISERTASI
PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,
KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
ALEXANDRA HUKOM NIM 1190671012
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
DISERTASI
PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH,
KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI, DAN
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana, Universitas Udayana Untuk dipertahankan dihadapan Rapat Terbuka
Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana
ALEXANDRA HUKOM NIM 1190671012
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Disertasi ini Telah Diuji dan Dinilai
Oleh Tim Penilai Ujian Tertutup Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal :11 Desember 2015
Tim Penilai Ujian Tertutup Program Doktor Ilmu Ekonomi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 3967/UN 14.4/HK/2015 Tanggal : 8 November 2015
Ketua : Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS.
Anggota :
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas kasih-NYA disertasi dengan judul “Pengaruh Kinerja Keuangan
Daerah, Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi
terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah” boleh dapat
diselesaikan. Disertasi ini juga boleh dapat terselesaikan berkat bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada.
Kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD.KEMD beserta para pembantu rektor, penulis ucapkan terimakasih atas
kesempatan yang diberikan dan fasilitas yang disediakan untuk dapat
menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., dan para asisten
direktur, Asdir I : Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Asdir II : Prof. Made Sudiana
Mahendra, Ph.D. dan seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana,
penulis sampaikan ucapan terimakasih atas kesempatan dan berbagai fasilitas
yang diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Ucapan terimkasih kepada Prof. Dr. Drs. Made Kembar Sri Budhi, MP.,
selaku Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana dan juga
sebagai Kopromotor I atas arahan dan bimbingannya dengan kesabaran
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis. Kepada Sekretaris Program
Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana Dr. Drs. I Ketut Djayastra, SU.,
penulis ucapkan terimakasih.
Ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS., selaku
Promotor yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan
disertasi ini agar penulisan ini lebih bermakna untuk dipergunakan bagi penulis
sendiri maupun kepada peneliti lain dan terlebih kepada Pemerintah Provinsi
Ucapan terimakasih kepada Kopromotor II, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa,
SE., MSi., yang sangat teliti memeriksa dan memberikan arahan dan bimbingan
serta ide-ide yang mendukung penulisan disertasi.
Para dosen pengajar Program Doktor Ilmu Ekonomi Pascasarjana
Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan teori kajian ilmu ekonomi yang selanjutnya dapat penulis gunakan
dalam tugas dan pekerjaan penulis.
Civitas akademika Universitas Palangka Raya, Rektor Universitas Palangka
Raya Prof. Dr. Drs. Ferdinand, dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Palangka Raya Dr. Drs. Gundik Gohong, MS., yang telah memberikan ijin tugas
belajar kepada penulis.
Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah, Ir. Herson B. Aden, MSi.
yang telah meluangkan waktu sejenak untuk dapat berdiskusi. Kepada Kepala
Biro Administrasi dan Sumber Daya Alam, Drs. Lubis Rada Inin yang bersedia
mewakili Kepala Biro Keuangan Setda Provinsi Kalimantan Tengah untuk dapat
berdiskusi dansharingpengalaman.
Terimakasih kepada suami tercinta Johni Sonder, SSTP., MSi. yang selalu
memberikan doa, cinta, kesetiaan, tanggungjawab dan semangat selama masa
studi. Anak-anak kami yang pintar dan maharati Ephanya Anyuani Sonder dan Mihaela Raina Sonder yang selalu merelakan kasih sayang dan waktu untuk
berkumpul bersama mama “kalian adalah anak-anak HEBAT mama”.
Ibunda tercinta Deliana Tamaela yang selalu mendoakan penulis, setia dan
sabar menemani kedua putri penulis. Juga kepada almarhum Papi Miel Hukom
yang telah mengamanatkan penulis untuk bisa menempuh pendidikan doktoral.
Kepada ayah dan ibu mertua, Bapak Siterpon Sonder dan Ibu Liani Kekes
terimakasih untuk topangan doa, semangat dan kesabaran menemani kedua
putriku selama penulis di Denpasar. Terimakasih kepada kakak-kakak penulis
Bung Kirs, Usi Tedty, Usi Nane, Usi Ade, Bung Mem, Kak Tati, Kak Rolie, dan
Kak Eva. Terimakasih juga untuk ponakan terkasih Miel dan Sinta yang setia dan
Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi, Univesitas Udayana, Ni
Komang Sri Mariatini, SE., dan Eka Putrawan, SE. Terimakasih atas bantuan dan
fasilitasinya kepada penulis selama masa perkuliahan dan penyelesaian disertasi
ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Ikatan Alumni
Doktor Ekonomi Udayana (IDEYANA), terutama Dr. Ir. Paulus Kurniawan,
MBA., dan Dr. Ni Putu Nina Eka Lestari, SE., MM., beserta staf Ni Komang
Arsini, atas dukungan dan bantuannya yang tulus.
Teman-teman Angkatan 3 (2011/2012) yang selalu memberi semangat dan
saling berlomba yang positif untuk dapat cepat menyelesaikan studi ini dan
kembali berbakti dalam tugas dan pekerjaan masing-masing. Terimakasih juga
untuk Para Guru, Dosen, Teman/Sahabat alumni Smantig Ambon, Delayota
Yogyakarta, Kamajaya UAJY, dan Kagama UGM dimanapun berada yang selalu
memberikan semangat kepada penulis.
Akhirnya ucapan terimakasih penulis kepada semua pihak yang sudah
berkontribusi bagi penyelesaian disertasi ini, sekaligus juga menyampaikan
permohonan maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan penulis. Semoga
Tuhan Maha Kuasa memberikan karunia dan berkat terindah bagi kita semua.
Tuhan Memberkati, Haleluya, Amin.
Denpasar, Januari 2016
ABSTRAK
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan nasional. Keberhasilan tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang prosesnya memberdayakan sumber daya yang dimiliki akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, terutama melalui pengelolaan pendapatan dan belanja daerah. Perubahan struktur ekonomi masyarakat ditunjukan dengan terjadinya pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik menuju pada kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2004-2013 dengan menggunakan model persamaan Structural Equation Model (SEM) dan pendekatan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian menunjukkan kinerja keuangan daerah secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur masyarakat, tetapi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kinerja keuangan daerah secara tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi. Kinerja pembangunan ekonomi secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi dan kesejahteraan masyarakat maupun berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Melalui penelitian ini disrankan pemerintah daerah diharapkan dapat memedomani ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan keuangan daerah, dan lebih optimal dalam melakukan perencanaan keuangan untuk kesejahteraan masyarakat.
ABSTRACT
THE EFFECT OF REGIONAL FINANCIAL PERFORMANCE AREA, PERFORMANCE OF ECONOMIC DEVELOPMENT, AND
THE STRUCTURAL CHANGE IN THE ECONOMY ON THE WELFARE OF SOCIETY
IN THE CENTRAL KALIMANTAN
Welfare of society is the main purpose of national development. The succes of excluding an increase in the welfare of society will result in gaps and inequality in the life of society. Development of the processes empower the available resources will have an effect on improving the welfare of society. The management of financial area in the form of financial management is transparent and accountable can affect the well-being of society, especially through the management of income and expenditure areas. The structural change in economic society leads to the shift changes to a better direction to go to the well being society. The purpose of this research is to know the influence of financial performance area, the performance of the economic development and changes in the structure of the economy on the welfare of society in the Province Central Kalimantan in 2004 by using models Structural Equation Model (SEM) and Partial Least Square
(PLS) approaches. The result of this research showed financial performance of the region as a direct possitive effect and significantly affect to the performance of the development and changes in the structure of the economy, but it is not directly affect to the welfare of society. Performance of the financial areas are not directly impact positive and significant impact to the welfare of society through the performance of economic development and changes in the structure of the economy. Performance of economic development directly to a positive effect and significant to the changes in economic structure and the welfare of society nor be influential directly to the welfare of society through changes in the structure of the economy. Through this research are advised local governments are expected to be guidelines the provisions applicable in financial management, and more optimaly in doing financial planning for the welfare of society.
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR……….………... i
SAMPUL DALAM... ii
PRASYARAT GELAR... iii
LEMBAR PENGESAHAN……… iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI... v
PERNYATAAN BEBASPLAGIAT………. vi
UCAPAN TERIMA KASIH……….. vii
ABSTRAK………. x
ABSTRACT………... xi
DAFTAR ISI……….. xii
DAFTAR TABEL……….. xvii
DAFTARGAMBAR………. xx
DAFTAR LAMPIRAN... xxi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...……… 1
1.2 Rumusan Masalah………...………... 16
1.3 Tujuan Penelitian……… 18
1.4 Manfaat Penelitian……….. 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Masyarakat……….. 21
2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan……… 27
2.1.3 Pengukuran Kesejahteraan………. 35
2.2 Perubahan Struktur Ekonomi………...……….. 37
2.2.1 Sumber-sumber Perubahan Struktur Ekonomi……….. 40
2.2.2 Hubungan Perubahan Struktur Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi………. 44
2.3 Konsep Pembangunan Ekonomi…………...………. 45
2.3.1 Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi...…... 48
2.3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi……… 53
2.3.3 Pengangguran………. 55
2.3.4 Kemiskinan………..….. 58
2.3.4.1 Ukuran Kemiskinan……….. 65
2.3.5 Hubungan Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat………. 69
2.3.6 Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi………... 72
2.4 OtonomiDaerah………. 74
2.4.1 Keuangan Daerah………... 78
2.4.2 Kinerja Keuangan Daerah……….. 82
2.4.3 Hubungan Kinerja Keuangan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat………. 89
2.4.4 Hubungan Kinerja Keuangan melalui Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat………. 90
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir……….. 106
3.2 Kerangka Konsep………... 109
3.3 Hipotesis………. 110
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian………. 112
4.2 Lokasi Penelitian……… 112
4.3 Objek Penelitian………. 113
4.4 Jenis dan Sumber data……… 113
4.5 Identifikasi Variabel………... 115
4.6 Definisi Operasional Variabel……… 117
4.6.1 KinerjaKeuangan Daerah……….. 117
4.6.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi……… 118
4.6.3 Perubahan Struktur Ekonomi………. 119
4.6.4 Kesejahteraan Masyarakat………. 120
4.7 Metode Analisa Data……….. 121
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian……….. 129
5.1.1 Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah………... 129
5.1.2 Kependudukan………... 133
5.2 Kondisi Ekonomi dan Sosial……….. 135
5.2.2 Pengangguran………. 137 6.1 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pembangunan Ekonomi……….. 172
6.2 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah dan Kinerja Pembangunan Ekonomi Terhadap Perubahan Struktur Ekonomi…...……….. . 175 6.3 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah, Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat... 179
6.4 Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi... 184
6.6 Pengaruh Kinerja Pembangunan Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Melalui Perubahan Struktur
Ekonomi... 187
6.7 Temuan………... 189
6.8 Keterbatasan Hasil Penelitian……… 190
BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan………. 192
7.2 Saran... 193
DAFTAR PUSTAKA... 196
LAMPIRAN... 208
Tabel 1.1 Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun Anggaran 2008-2012
(Juta Rupiah)………..… 6
Tabel 1.2 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun Anggaran 2007-2012 (Juta Rupiah)……….. 8
Tabel 1.3 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah)……….... 10
Tabel 1.4 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2006-2011 (JutaRupiah)………. 12
Tabel 1.5 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2009-2011………... 13
Tabel 1.6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007-2013………... 15
Tabel 2.1 Cara-cara yang Digunakan untuk Menunjukan Corak Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan…... 38
Tabel 2.2 Indeks HDR-UNDP danIndikatornya……….…….. 68
Tabel 2.3 Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah……….. 86
Tabel 2.4 Pedoman Penilaian Efektivitas Keuangan………. 87
Tabel 2.5 Keserasian Belanja Daerah……… 88
Tabel 4.1 KlasifikasiVariabel Penelitian……….. 115
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk danSex Ratio
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah,
Tahun 2012– 2013…...……….……….... 134
Tabel 5.2 Pedoman Penilaian Kinerja Keuangan Daerah... 139
Tabel 5.3 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..……. 141
Tabel 5.4 Rasio Efektivitas Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 142
Tabel 5.5 Rasio Keserasian Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 143
Tabel 5.6 Rasio Upaya PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………... 144
Tabel 5.7 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)……….….. 147
Tabel 5.8 Tingkat Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)……….….. 148
Tabel 5.9 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..…. 149
Tabel 5.10 Rasio Tenaga Kerja Non Pertanian Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)…... 150
Tabel 5.11 Rasio Produksi Non Pertanian Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)………..… 151
Tabel 5.12 Rasio Konsumsi Non Makanan Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Tengah, Tahun 2004-2013 (%)………..…… 152
Tabel 5.13 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi
Tengah, Tahun 2004– 2013 (%)………..….
Tabel 5.15 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Tengah, Tahun 2004– 2013 (dalam tahun)……... 157
Tabel 5.16 Pengeluaran Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2004–2013 (dalam ribu rupiah)……… 158
Tabel 5.17 Outer LoadingsIndikator terhadap Konstruknya……….. 160
Tabel 5.18 CrossloadingsIndikator terhadap Konstruknya……… 161
Tabel 5.19 NilaiAverage Variance Extracted(AVE)………. 162
Tabel 5.20 Nilai RSquareuntuk Variabel Konstruk Endogen…………... 163
Tabel 5.21 Pengaruh Langsung (Path Coefficients)...………... 164
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram Perhitungan IPM……….. 25
Gambar 2.2 Kriteria Kaldor Hicks……….. 31
Gambar 2.3 Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perubahan Struktur Ekonomi……….. 41
Gambar 2.4 Skematis Konsep Ketenagakerjaan Indonesia………. 56
Gambar 2.5 Model Pembangunan Rostow dan Musgrave……….. 93
Gambar 2.6 Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan Menurut Wagner………. 96
Gambar 3.1 Kerangka Proses Berpikir……… 106
Gambar 3.2 Kerangka Konseptual……….. 110
Gambar 4.1 Hubungan Antar Variabel Penelitian………... 122
Gambar 5.1 Peta Wilayah Administrasi Provinsi Kalimantan Tengah…... 132
Gambar 5.2 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 136
Gambar 5.3 PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 137
Gambar 5.4 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 137
Gambar 5.5 Persentase Penduduk Miskin Kota dan Desa di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nasional Tahun 2006-2013... 138
Gambar 5.6 Hubungan Indikator dan Konstruk serta Hubungan Langsung Antar Konstruk………... 165
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Penelitian per Indikator... 208
Lampiran 2 Pengukuran Kinerja Keuangan Daerah (X1)... 212
Lampiran 3 Outer Loadings... 216
Lampiran 4 Outer Loadingssetelah dikeluarkan indikator X1.2... 217
Lampiran 5 Discriminant Validity... 218
Lampiran 6 Average Variance Extracted(AVE)... 219
Lampiran 7 R Square... 220
Lampiran 8 Path Coefficients... 221
Lampiran 9 Indirect Effects... 222
Lampiran 10 The State of Arts... 223
Lampiran 11 Format Wawancara dengan Kepala Biro Keuangan... 237
Lampiran 12 Format Wawancara dengan Kepala Bappeda... 239
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70
tahun yang lalu. Pada tahun 1945 – 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan
Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah
Tangganya Sendiri. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional
Daerah (KNID), sangat jelas pro-desentralisasi dan lebih mengutamakan otonomi
daerah yang berkedaulatan rakyat. Namun, kemampuan desentralisasi finansial
yang tidak memadai menyebabkan kemampuan daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri sebagaimana yang diharapkan tidak bisa diwujudkan secara
maksimal. Permasalahan ini makin bertambah rumit saat situasi politik yang
berjalan tidak menentu (Wignjosoebroto, 2010).
Pada masa tahun 1960 – 1990an sistem pemerintahan yang dianut
kembali pada sistem pemerintahan sentralisasi, walaupun dalam masa itu ada
terbentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Otonomi daerah yang didefenisikan disini tidak hanya
sebagai hak dan wewenang, tetapi juga kewajiban daerah untuk mengatur dan
pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang lebih luas dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini
diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat.
Aritenang (2008) menegaskan bahwa krisis keuangan dan perubahan sistem
politik menjadi pemicu dimulainya era desentralisasi di Indonesia. Hal ini yang
telah mendorong Indonesia yang pada awalnya merupakan negara dengan sistem
sentralisasi menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi. Negara ini
telah memulai program desentralisasi fiskal, administrasi dan politik pada saat
yang bersamaan.
Sejak tahun 2001 seluruh kabupaten/kota di Indonesia melaksanakan
otonomi daerah atau desentralisasi. Secara umum, otonomi daerah dilaksanakan
dengan dua tujuan, yaitu tujuan politis dan tujuan administratif. Secara politis,
kebijakan otonomi daerah adalah mengakomodir kebutuhan politis suatu daerah
sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terjaga.
Selain itu, kebijakan dimaksud juga ditujukan untuk pembelajaran politik bagi
masyarakat daerah. Pembelajaran tersebut tidak hanya pada tingkat pimpinan
daerah provinsi sampai dengan tingkat pimpinan desa atau kelurahan bahkan
sampai pada masyarakat kalangan bawah. Pada akhirnya diharapkan kebijakan ini
dapat mewujudkan civil society. Secara administratif, kebijakan desentralisasi ini juga ditujukan untuk memposisikan Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama
pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat berjalan secara
baik mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi akhir pelayanan
tersebut.
Harapan dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi, pemerintah
daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena
dengan desentralisasi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya,
sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Dengan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan
datang. Sebab dengan makin dekat pemerintah dengan masyarakat, desentralisasi
diharapkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan lebih
efektif, efisien, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemberian otonomi kepada
daerah sangat perlu untuk memperbesar partisipasi masyarakat di seluruh
Indonesia dalam memberikan keputusan yang berdampak langsung kepada
daerahnya, sebab sangat tidak realistik Pemerintah Pusat membuat keputusan
mengenai pelayanan masyarakat untuk seluruh wilayah negara. Demikian juga
diyakini bahwa masyarakat lokal melalui kabupaten/kota memiliki pengetahuan
yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber
daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh masyarakat yang dekat dengan
pengambil keputusan di tingkat lokal (Simanjuntak, 2003). Yunisvita (2011)
mengatakan bahwa dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu
melalui alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan
kebijakan yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pengelolaan keuangan daerah
merupakan salah satu unsur penting. Pertanggungjawaban yang memadai harus
mempunyai sifat mudah dimengerti dan memiliki hubungan informasi yang
mencerminkan kinerja pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
tugas-tugasnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Akuntabilitas atau
pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam keuangan daerah memiliki dimensi
dan cakupan pengaruh yang sangat besar bagi daerah yang bersangkutan dalam
konteks pemerintahan, akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang
merupakan salah satu ciri dari terapan pengelolaan pemerintah yang baik (Halim,
2004). Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas tersebut,
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan
kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan.
Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi
daerahnya, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
keuangannya secara optimal.
Kabupaten/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan
pada pemerintah pusat diusahakan seminimal mungkin. Perimbangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dikatakan ideal apabila setiap
tingkat pemerintahan dapat secara independen mengatur keuangannya untuk
adalah pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan
roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai
apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis kinerja
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
Analisis kinerja keuangan pada APBD dilakukan dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya,
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat
pula dilakukan dengan cara membandingkan antara rasio keuangan yang dimiliki
suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat
ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio
keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.
Analisis kinerja keuangan daerah yang dilakukan dengan menghitung rasio-rasio
keuangan terhadap laporan perhitungan APBD merupakan bentuk dari
akuntabilitas program, yaitu terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah pemerintah daerah telah
membandingkan alternatif program yang dapat memberikan hasil yang optimal
dengan biaya yang minimal. Untuk lebih menjamin tercapainya tujuan tersebut
pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah,
Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Beberapa rasio yang dapat digunakan dalam menganalisis data keuangan
yang bersumber dari APBD antara lain: a) rasio kemandirian, untuk menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah; b) rasio efektivitas,
untuk mengukur tingkat ekonomis, efektivitas, dan efisiensi dalam merealisasikan
pendapatan daerah; c) rasio keserasian, untuk mengukur sejauh mana aktivitas
pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; dan d) rasio
pertumbuhan dan proporsi APBD untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan
perolehan pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah (Halim, 2004).
Tabel 1.1
Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota
di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2008-2012 (Juta Rupiah)
No. Kab./Kota 2008 2009 2010 2011 2012
Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia
yang memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, sejak tahun 2001 juga telah
melaksanakan otonomi daerah. Penerimaan daerah, baik yang bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan lebih banyak mengalami
peningkatan (Tabel 1.1). Peningkatan pendapatan daerah kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Tengah lebih sering diakibatkan oleh meningkatnya bantuan
pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang alokasikan untuk
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Untuk mengetahui perkembangan kemampuan keuangan daerah salah
satunya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena setiap daerah dapat
meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan dan mengelola PAD sehingga
mengurangi ketergantungan transfer dari pemerintah pusat. PAD yang bersumber
dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sejak tahun 2010 di
seluruh provinsi di Indonesia jumlahnya sudah melebihi total dana perimbangan
yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa
transfer dari pemerintah pusat di dalam APBD-nya dengan terus meningkatkan
PAD.
Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Tengah pada Tahun 2007-2011 tidak merata. Halim (2001)
mengatakan bahwa kemampuan suatu daerah untuk menggali pendapatan asli
daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah,
seperti pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB,
disamping struktur sosial politik dan kelembagaan, kemampuan atau kecakapan
administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. PAD
di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan dan Kota Palangkaraya
lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan
Tengah.
Tabel 1.2
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2007-2012 (Juta Rupiah)
No. Kab/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Kotawaringin Barat 6.578 7.108 7.546 8.389 9.534 9.989
2 Kotawaringin Timur 23.278 40.842 46.212 57.677 82.317 90.539
3 Lamandau 9.934 11.606 11.988 12.212 12.839 13.641
4 Sukamara 9.934 11.610 11.760 12.340 12.760 13.595
5 Seruyan 11.237 12.508 13.600 18.390 28.130 28.673
6 Katingan 35.820 21.819 34.750 24.900 37.500 32.890
7 Pulang Pisau 2.847 8.949 13.721 8.213 13.768 15.831
8 Kapuas 15.542 23.120 19.409 18.410 23.953 23.720
9 Barito Selatan 14.685 15.596 15.450 16.097 14.605 15.389
10 Barito Timur 12.834 14.542 18.957 12.834 17.860 17.909
11 Barito Utara 17.333 17.914 19.845 20.157 20.579 21.787
12 Murung Raya 10.092 11.654 18.783 14.270 14.980 17.673
13 Gunung Mas 4.378 4.778 6.109 7.305 7.645 8.761
Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Alokasi Umum. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan
penjumlahan dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
(Sumber Daya Alam). Pemerintah daerah akan mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi apabila Dana Bagi Hasil yang diperoleh pemerintah daerah
semakin besar. Pada Dana Bagi Hasil Pajak terdapat tiga penerimaan, yaitu Pajak
Bumi dan Bangunan, Bagi Hasil Pajak Penghasilan, dan Bagi Hasil Cukai dari
Cukai Tembakau. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang
dialokasikan kepada setiap daerah otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia
setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu
komponen belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
menjadi salah satu komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan keuangan antar-daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer
keuangan Pemerintah Pusat ke Daerah yang bertujuan antara lain untuk
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas
nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antara daerah dan
pelayanan antar bidang. Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi
wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu.
Pemerintah pusat sangat dominan dalam hal mekanisme penyaluran Dana
Perimbangan khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan seringkali
berapa besar jumlah yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Selain itu potensi
Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak belum optimal tergali di Provinsi
Kalimantan Tengah, sehingga hal ini berpengaruh terhadap besaran Dana Bagi
Hasil kepada daerah. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh bargaining position
daerah dalam menentukan berapa besar jumlah potensi yang menjadi bagian dari
pemerintah daerah.
Tabel 1.3
Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)
di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2008–2012. (Juta Rupiah)
No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012
1 Kotawaringin Barat 23.574,87 22.476,11 26.596,07 28.943,97 34.980,61 2 Kotawaringin Timur 36.554,20 34.070,93 38.758,37 43.445,81 44.151,25 3 Kapuas 19.483,85 18.472,07 30.956,67 44.541,49 70.617,16 4 Barito Selatan 8.428,45 9.523,02 14.189,09 69.084,91 27.573,72 5 Barito Utara 24.259,44 26.114,27 55.712,19 56.912,56 68.977,90 6 Sukamara 13.278,19 18.335,50 19.945,00 22.305,00 23.485,00 7 Lamandau 20.649,99 25.717,20 30.784,40 31.892,87 34.027,86 8 Seruyan 22.835,00 32.180,00 50.870,00 53.070,00 61.065,00 9 Katingan 19.216,45 42.989,34 48.276,28 55.049,31 54.550,61 10 Pulang Pisau 15.109,73 15.537,05 18.435,50 20.292,09 20.818,59 11 Gunung Mas 19.484,83 19.728,19 13.922,88 23.453,54 32.363,47 12 Barito Timur 22.445,94 22.700,87 19.997,61 19.079,66 19.533,17 13 Murung Raya 63.072,81 69.721,40 58.091,94 104.168,91 144.725,78 14 Palangka Raya 11.501,06 13.048,73 32.271,10 32.103,56 26.770,51
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013
Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di
kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah bervariasi antara satu sama lain
(Tabel 1.3). Dana Bagi Hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran
Tetap (Landrent), dan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalti) merupakan penyumbang terbesar bagi Dana Bagi Hasil di Provinsi Kalimantan Tengah.
Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terbesar dibandingkan kabupaten/kota yang
lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya sebagian besar
wilayahnya terletak pada ketinggian 100-200 m di atas permukaan laut dan
sisanya pada ketinggian 400-500 m diatas permukaan laut. Potensi terbesar
wilayah ini ada pada sektor kehutanan dan pertambangan. Sektor kehutanan sudah
cukup lama turut menyumbang pemasukan bagi negara sedangkan sektor
pertambangan, seperti tambang emas dan tambang intan juga memberikan andil
yang cukup besar. Sementara tambang batubara sudah mulai diproduksi yang
menjadi pemasukan cukup besar bagi daerah. Jenis tanah di Kabupaten Murung
Raya sesuai untuk berbagai penggunaan seperti perkebunan kelapa, kelapa sawit,
karet, tanaman pangan dan persawahan.
Kabupaten Barito Selatan dan Kota Palangka Raya merupakan penerima
Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terkecil dibandingkan
kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Berbeda dengan Kabupaten
Murung Raya, perekonomian Kabupaten Barito Selatan didominasi oleh Sektor
Pertanian (tanaman padi sawah), Sektor Jasa, dan Sektor Perdagangan, sedangkan
Kota Palangka Raya didominasi oleh Sektor Jasa kemudian disusul oleh Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Restoran dan Hotel, dan terakhir oleh
Sektor Bangunan. Sementara itu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan
Perikanan sangat sedikit sebagai penyumbang dalam perekonomian Kota
Palangka Raya. Walaupun kawasan hutan di Kota Palangka Raya terbesar namun
Kabupaten Barito Selatan yang berada di pesisir Sungai Barito memiliki dataran
rendah dan merupakan daerah rawa pasang surut.
Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah akan
sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan bagi
masyarakat dan atau tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan pengukuran kesejahteraan masyarakat, pendapatan perkapita
merupakan indikator penting, dengan meningkatnya pendapatan perkapita
menyebabkan akses masyarakat terhadap pendidikan kesehatan juga meningkat.
Dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011 PDRB per kapita kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Tengah mengalami peningkatan menurut harga konstan
tahun 2000, seperti tersaji pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4
PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000,Selama Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah)
No. Kab/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Kotawaringin Barat 9,51 9,78 10,38 10,68 11,01 11,61 2 Kotawaringin Timur 6,90 7,17 7,30 7,61 7,98 8,42
3 Lamandau 8,20 8,54 8,77 9,03 9,34 9,79
4 Sukamara 13,91 13,65 13,24 13,21 13,35 13,95
5 Seruyan 7,30 8,56 8,10 8,43 8,51 8,61
6 Katingan 7,71 7,95 8,19 8,42 8,74 9,14
7 Pulang Pisau 4,79 5,05 5,30 5,86 6,16 6,42
8 Kapuas 5,52 5,74 5,95 6,25 6,57 6,85
9 Barito Selatan 6,79 7,08 7,19 7,49 7,83 8,17 10 Barito Timur 5,49 5,69 5,97 6,60 6,83 7,13 11 Barito Utara 7,26 7,99 8,02 8,38 8,78 9,19 12 Murung Raya 8,62 8,85 9,13 9,52 9,78 10,25 13 Gunung Mas 5,22 6,24 6,64 6,80 7,01 7,34 14 Palangka Raya 4,91 5,05 5,06 5,24 5,41 6,45 Kalimantan Tengah 7,30 7,67 7,80 8,11 8,38 8,81
Selama Tahun 2006 – 2011 PDRB per kapita menurut harga konstan
tahun 2000 di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami kenaikan rata-rata
pertahun sebesar 8,01 persen, yaitu dari Rp 7.296.486,- menjadi Rp 8.809.940,-.
Berdasarkan Tabel 1.5 juga dapat diketahui bahwa selama Tahun 2006 – 2011
Kota Palangka Raya memiliki PDRB per kapita yang paling rendah, sedangkan
yang tertinggi adalah Kabupaten Sukamara.
Tabel 1.5
Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2009-2011
No. Daerah
1 Kotawaringin Barat 5.175 4,74 4.836 4,46 3.470 2,81
2 Kotawaringin Timur 6.742 4,42 7.476 4,16 3.987 2,08
3 Kapuas 11.080 5,35 7.390 4,17 6.000 3,52
4 Barito Selatan 2.524 4,00 3.166 5,51 1.609 2,52
5 Barito Utara 2.166 3,50 1.502 2,30 428 0,70
6 Sukamara 988 5,66 1.122 5,32 132 0,58
7 Lamandau 1.319 4,86 912 2,95 863 2,53
8 Seruyan 1.743 3,52 2.925 4,46 1.787 2,41
9 Katingan 3.046 4,42 1.893 3,34 1.937 2,61
10 Pulang Pisau 1.608 2,26 1.199 2,11 1.659 2,62
11 Gunung Mas 1.741 4,15 2.050 4,45 1.130 2,38
12 Barito Timur 1.622 3,22 731 1,35 1.055 2,07
13 Murung Raya 637 1,62 489 1,03 610 1,32
14 Palangka Raya 8.044 9,17 8.462 8,48 4.219 3,82
Kalimantan Tengah 48.435 4,62 44.153 4,14 28.886 2,55
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012
Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga ditentukan oleh angka
pengangguran, makin tinggi angka pengangguran mengidikasikan kinerja
pembangunan ekonomi daerah makin buruk (Noor, 2013). Berdasarkan Tabel 1.5
jumlah dan persentase penduduk Provinsi Kalimantan Tengah yang menganggur
Kalimantan Tengah adalah 48.435 orang dan turun menjadi 28.886 orang pada
tahun 2011. Jumlah pengangguran terbanyak berada di Kabupaten Kapuas yang
mencapai 6.000 orang atau sekitar 3,52 persen dari jumlah penduduk yang
menganggur di Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan jumlah Pengangguran
tersedikit adalah di Kabupaten Sukamara pada Tahun 2011.
Penurunan angka pengangguran tidak sepenuhnya mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mengingat salah satu
indikator yang sering dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat
saat ini adalah dengan melihat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu cara yang dipergunakan
untuk mengukur keberhasilan atau kinerja ekonomi daerah dalam bidang
penyiapan modal manusia (human capital). Modal manusia yang baik diukur melalui kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup, sedangkan
kualitas non fisik tercermin dari kualitas pendidikan dan mempertimbangkan
kemampuan ekonomi. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan daerah
dengan kualitas human capital yang baik, pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai
pembangunan di sektor-sektor pelayanan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan.
IPM yang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu: 1) kesehatan yang
diukur melalui angka harapan hidup; 2) pendidikan yang diukur melalui angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3) kehidupan yang layak diukur
melalui pengeluaran per kapita riil. Dengan memadukan data sosial dan ekonomi,
luas bagi kinerja pembangunan mereka, baik secara relatif maupun absolut;
disamping itu kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial mereka dapat diarahkan ke
sektor atau kawasan yang memang paling membutuhkannya (Todaro, 2000).
Tabel 1.6
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007-2013
No. Kabupaten/Kota IPM
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Kotawaringin Barat 72,14 72,86 73,30 73,79 74,19 74,69 75,11 2 Kotawaringin Timur 72,90 73,36 73,97 74,34 74,74 75,14 75,40 3 Kapuas 72,58 72,89 73,22 73,60 74,00 74,33 74,48 4 Barito Selatan 72,56 72,96 73,29 73,60 74,01 74,34 74,54 5 Barito Utara 74,12 74,57 74,85 75,15 75,50 75,97 76,13 6 Sukamara 70,65 71,00 71,62 71,98 72,42 72,88 73,24 7 Lamandau 71,54 71,98 72,08 72,32 72,74 73,13 73,29 8 Seruyan 71,62 72,00 72,28 72,55 72,93 73,24 73,36 9 Katingan 71,59 72,06 72,33 72,65 73,32 73,67 73,83 10 Pulang Pisau 70,10 70,63 71,18 71,53 72,37 72,75 73,18 11 Gunung Mas 72,40 72,85 73,13 73,43 73,73 74,08 74,26 12 Barito Timur 71,66 72,17 72,72 73,00 73,33 73,75 73,86 13 Murung Raya 71,62 72,18 72,46 72,84 73,34 73,77 73,98 14 Palangka Raya 77,47 77,90 78,02 78,30 78,78 79,30 79,52 Kalimantan Tengah 72,49 73,88 74,36 74,64 75,06 75,46 75,68
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2014
Perkembangan angka IPM dari tahun ke tahun memberikan indikasi
peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia setiap tahunnya. IPM
Provinsi Kalimantan Tengah berada pada angka 72,35 pada Tahun 2007
meningkat 3,3 poin menjadi 75,68 pada Tahun 2013. Kondisi IPM kabupaten/kota
di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.6.
Pada tabel ini, diketahui bahwa pada Kota Palangka Raya dengan nilai IPM
sebesar 79,52 berada pada peringkat teratas di Provinsi Kalimantan Tengah
Nasional tahun 2013 sebesar 73,81. IPM terendah terdapat di Kabupaten Pulang
Pisau dengan nilai IPM sebesar 73,18 pada tahun 2013.
Hampir seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah berada
dibawah nilai IPM provinsi, kecuali Kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka
Raya. Nilai IPM seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah selalu
bergerak kearah positif atau cederung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa
adanya peningkatan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan
nasional. Keberhasilan pembangunan tanpa menyertakan peningkatan
kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan
dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat
dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Provinsi Kalimantan
Tengah sudah berada di atas IPM nasional, namun jika dilihat dari IPM
kabupaten/kota hanya kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya yang nilai
IPM berada diatas IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan IPM Nasional. Secara
keseluruhan IPM kabupaten/kota nilai IPM mengalami peningkatan namun
kemajuan ini tidak terlepas dari masalah kesenjangan karena masing-masing
kabupaten/kota memiliki capaian komponen yang berbeda.
Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang
transparan dan akuntabel diduga dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,
demikian pula dengan proses pembangunan ekonomi dalam memanfaatkan
terjadi menunjukkan bahwa terjadi pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik
yang menuju pada kesejahteraan masyarakat.
Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka
daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri
yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
serta antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem
pemerintahan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah memiliki hubungan yang kuat dengan
pembangunan ekonomi daerah terutama melalui pendapatan dan belanja daerah
yang mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Keuangan daerah
dapat digunakan untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi
daerah yang selanjutnya dapat mensejahterakan masyarakat. Pengelolaan
keuangan daerah memang tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek melainkan
baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam penelitian
ingin melihat pengaruh kinerja keuangan daerah, pembangunan ekonomi dan
perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi
Kalimantan Tengah. Karena hasil dan bukti berbeda antar satu negara dengan
negara lain ataupun satu daerah dengan daerah lain menghasilkan sifat dan
Berdasarkan uraian latar belakang dirumuskan masalah untuk diteliti
sebagai berikut, yaitu.
1) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja
pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?
2) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan
ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan
Tengah?
3) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan
ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat
di Provinsi Kalimantan Tengah?
4) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur
ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah?
5) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap perubahan struktur
ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan
Tengah?
6) Apakah kinerja pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan
Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji
pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi, dan perubahan
Tengah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji
hal-hal sebagai berikut.
1) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan
ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.
2) Pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi
terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.
3) Pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan
perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi
Kalimantan Tengah.
4) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kesejahteraan masyarakat
melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di
Provinsi Kalimantan Tengah.
5) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap perubahan struktur ekonomi
melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah.
6) Pengaruh kinerja pembangunan ekonomi terhadap kesejahteraan
masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan
Tengah.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari menganalisis
berbagai indikator pembangunan untuk melihat keberhasilan pemerintah
selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan terutama penelitian
mengenai pembangunan ekonomi daerah.
2) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembentukkan kebijakan
perencanaan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dipakai untuk
mengukur keberhasilan pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesejahteraan Masyarakat
Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan
masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan
pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat
semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tanpa menyertakan
peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan
ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah
suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang
dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).
Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kesejahteraan masyarakat
menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan
yang lebih baik yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan
perlindungan; kedua, peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan
nilai-nilai kemanusiaan; dan ketiga, memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa. Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan dasar yang tercermin dari rumah yang layak,
memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas anggaran tertentu dan kondisi
dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.
Secara umum teori kesejahteraan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
classical utilitarium,neoclassical welfare theory, dan new contraction approach
(Badrudin, 2012). Classical utilitarian menekankan bahwa kepuasan atau kesenangan seseorang dapat diukur dan bertambah. Tingkat kepuasan setiap
individu dapat dibandingkan secara kuantitatif.Neoclassical welfare menekankan pada prinsip pareto optimality. Pareto optimum didefenisikan sebagai sebuah posisi dimana tidak memungkinkan suatu realokasi input atau output untuk
membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa menyebabkan sedikitnya satu orang
atau lebih buruk. New contraction approach menekankan pada konsep dimana setiap individu memiliki kebebasan maksimum dalam hidupnya. Ketiga
pandangan tersebut menekankan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang sangat
tergantung pada tingkat kepuasan kesenangan yang diraih dalam kehidupannya.
Gregory dan Stuart (1992) mengatakan bahwa pertumbuhan pendapatan
per kapita dari waktu ke waktu umumnya membawa perubahan terhadap
kesejahteraan masyarakat dengan arah yang sama. Pertimbangan menggunakan
pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data
tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, data
indikator kesejahteraan atau kemakmuran mayarakat yang lebih kompleks, seperti
presentase penduduk yang memiliki rumah, menikmati fasilitas air bersih, fasilitas
kesehatan, fasilitas pendidikan, pemilikan alat hiburan seperti televisi dan radio,
masyarakat yang hanya menggunakan pendapatan per kapita banyak ditentang
oleh berbagai pihak. Hal ini terjadi karena kesejahteraan sifatnya normatif
sehingga diperlukan pengukuran yang lebih komprehensif yang dapat
menggambarkan kemajuan kualitas hidup masyarakat. Todaro (2000) mengatakan
bahwa angka kenaikan GNP per kapita mengandung kelemahan yang sangat fatal,
yakni menyamarkan kenyataan fundamental yang sebenarnya, yaitu sama sekali
belum membaiknya kondisi kesejahteraan kelompok penduduk yang relatif paling
miskin.
United Nations Research Institute for Social Development menyusun delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan
masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara
sedang berkembang tidak terlampau besar. Delapan belas indikator tersebut,
antara lain: 1) tingkat harapan hidup; 2) konsumsi protein hewani per kapita; 3)
persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah; 4) persentase
anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan; 5) jumlah surat kabar; 6) jumlah
telepon; 7) jumlah radio; 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai
20.000 penduduk atau lebih; 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian;
10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan,
pengakutan, pergudangan, dan transportasi; 11) persentase tenaga kerja yang
memperoleh gaji; 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan; 13)
konsumsi energi per kapita; 14) konsumsi listrik per kapita; 15) konsumsi baja per
dari pekerja laki-laki di sektor pertanian; dan 18) pendapatan per kapita Produk
Nasional Bruto.
World Bank pada tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan
manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan ekonomi, khususnya
pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu
disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan,
pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit
menular, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian
lingkungan hidup, dan kerja sama global. Keberhasilan pembangunan manusia
diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut. Menurut World Bank, tingkat pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui dimensi pengurangan
kemiskinan (decrease in proverty), peningkatan kemampuan baca tulis (increase in literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant mortality), peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam ketimpangan pendapatan (decrease income inequality).
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran
standar pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup merepresentasikan
lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator
kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak.
Badan Pusat Statistik menggunakan IPM untuk mengukur capaian
pembangunan manusia dengan menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu mencakup
umur panjang dan sehat, pengetahuan serta kehidupan yang layak. Ketiga dimensi
dasar tersebut menggambarkan empat komponen dasar kualitas hidup yakni angka
harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata
lama bersekolah untuk mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan;
dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok hidup
masyarakat yang dapat dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita
sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup
yang layak (Gambar 2.1).
Gambar 2.1
Diagram Perhitungan IPM
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012
memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan
pembangunan manusia yang lebih baik, yang akan menciptakan manusia yang
lebih terdidik dan sehat, tidak mengalami kelaparan dan memiliki kemampuan
berpartisipasi dalam lingkungan sosial (Karmakar, 2006). Selanjutnya, Saharudin
(2008) mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikatornya adalah pendapatan per kapita,
angka usia harapan hidup dan angka partisipasi sekolah.
2.1.1 Pengertian Kesejahteraan
Setiap manusia memiliki keinginan untuk sejahtera, sejahtera menunjuk
ke suatu keadaan yang serba baik atau suatu kondisi manusia, dimana
orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Menurut kamus Bahasa
Indonesia, sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta
selamat, terlepas dari segala macam gangguan. Menurut Undang Undang Nomor
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera, diartikan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan,
rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi
pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik, dan tata
pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa
kina dan masa depan), baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi
ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan
data objektif dan subjektif.
Perumusan konsep kesejahteraan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa
keluarga yang dikatakan sejatera apabila memenuhi kriteria berikut.
1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan
sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama;
2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dan
jumlah anggota keluarga; dan
3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga,
kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping
terpenuhi kebutuhan pokoknya.
2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan
Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena ekonomi
kesejahteraan berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat, yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kriteria dari ekonomi
kesejahteraan berguna dalam mempertimbangkan suatu kebijaksanaan.
1) Kriteria Bentham
Jeremy Benthan menyatakan bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini
berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila terdapat perubahan positif
welfare total, berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat atau individu yang
dirugikan dan ada yang diuntungkan. Secara implisit kriteria ini
mengasumsikan adanya komparasi antaraindividual (interpersonal comparison) di antara anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan dalam
masyarakat yang bersangkutan.
2) Kriteria Cardinal
Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh
terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan
memperoleh marginal utility yang lebih kecil dibandingkan dengan anggota masyarakat yang berpendapat rendah (memiliki uang yang lebih sedikit).
Dengan demikian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus
dilakukan redistribusi pendapatan di antara anggota masyarakat. Maksimum
kesejahteraan masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata
3) Kriteria Pareto-Optimal
Pareto Optimality merupakan kriteria efisiensi (efisiensi alokatif) yang dicetuskan oleh seorang sosiolog dan ekonom Italy yang bernama
V. Pareto. Kriteria pareto ini menyatakan bahwa efisiensi alokatif akan terjadi
bila tidak mungkin lagi dilakukan re-organisasi produksi sedemikian rupa
sehingga masing-masing pihak (yang terlibat dalam kegiatan ekonomi:
produsen dan konsumen) merasa lebih sejahtera (better off). Oleh karena itu, pada keadaan efisiensi alokatif ini utility (kepuasan) seseorang dapat ditingkatkan hanya dengan menurunkan utility orang lain. Contoh keadaan tidak efisien adalah masyarakat yang tidak memanfaatkan sepenuhnya batas
kemungkinan produksinya. Dengan lebih dimanfaatkan batas kemungkinan
produksinya itu, tidak akan ada orang yang mengalami penurunan utilitas.
Cara lain untuk memahami konsep efisiensi ini adalah kaitannya dengan
perdagangan. Misalnya, orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk
ditukarkan dengan barang orang lain. Setiap kali terjadi perutukaran
(perdagangan), maka utilitas kedua pihak akan naik. Jika semua kemungkinan
pertukaran yang menguntungkan telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan
utilitas, maka dapat dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien.
Pada kenyataannya penggunaan kriteria pareto sangat terbatas untuk
diterapkan karena memiliki kelemahan yang mendasar, misalnya sebagai
berikut.
a. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang menguntungkan
keuntungan lebih besar jika dibandingkan dengan besar kerugian,
menurut pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan. Dengan
demikian kriteria pareto tidak dapat menentukan mana yang lebih baik.
b. Berkaitan dengan distribusi pendapatan, tidak menumbuhkan alokasi
yang memadai, sebagai contoh banyak individu yang menerima
pendapatan rendah.
c. Dalam kenyataannnya sistem yang kompetitif sempurna tidak pernah
ada.
Dengan demikian untuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat
menggunakan kriteria pareto optimal apabila paling sedikit satu orang
bertambah makmur (better off) dengan tidak menyebabkan orang lain bertambah miskin (worse off).
4) Kriteria Kaldor-Hicks
Kaldor Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai
suatu perubahan, yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati
perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan
satuan uang. Ini berarti utnuk mengukur peningkatan kemakmuran
masyarakat menurut Kaldor Hicks kemakmuran masyarakat meningkat
apabila orang yang memperoleh manfaat dari kebijakan publik/pembangunan
(who gain) membantu orang lain yang dirugikan (who lose) sehingga tidak ada orang lain yang bertambah miskin apabila ada orang yang bertambah
Gambar 2.2 Kriteria Kaldor Hicks
Sumber : Miller dan Meiners, 2000
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut.
a. Diperoleh sebuah kurva UPF (Utility Possibility Frontiers), yaitu kurva batas-batas kemungkinan kepuasan.
b. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap pergerakan
diharapkan menuju titik B atau D karena pergerakan itu meningkatkan
kesejahteraan salah satu konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya.
Akan tetapi bila bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung,
yang lain dirugikan. Menurut Kaldor Hicks, pergerakan ke titik E itu
sebenarnya tidak menguntungkan karena pihak yang untung akang
mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan kata lain, menurut Kaldor
Hicks bila E tercapai, akan terjadi redistribusi pendapatan atau kekayaan
yang akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C,