• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Need Profile Pada Narapidana Tindak Kejahatan Pemerkosaan di LP "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Need Profile Pada Narapidana Tindak Kejahatan Pemerkosaan di LP "X" Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

i ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran kebutuhan atau

need profile kepada narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di LP”X”

Bandung. Sampel yang digunakan mengikuti metode purposive sampling. Sampel yang masuk kriteria penelitian berjumlah 21 orang, tetapi hanya 12 orang yang dapat digunakan sebagai penelitian. Dari 12 orang tersebut, hanya 7 orang yang bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Setelah dites, hanya 6 orang yang hasil tesnya valid.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes EPPS yang dikembangkan oleh Edward (1953) yang terdiri dari 225 item untuk mengukur 15 variabel need yang diambil dari teori Murray (1938). Sebagai data tambahan dilakukan wawancara mendalam pada subjek. Dari 6 subjek yang hasil tesnya valid, hanya 2 orang yang untuk di wawancara.

Dari hasil tes, ditemukan bahwa kebutuhan untuk menolong sesama merupakan kebutuhan yang paling menonjol pada semua narapidana yang dijadikan subjek. Selain itu, kebutuhan untuk berprestasi dan mengakui kesalahan juga cukup menonjol walau tidak secara keseluruhan.

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian terhadap narapidana

(2)

Universitas Kristen Maranatha

ii ABSTRACT

The purpose of this research is to know the description of need profile in sex offender in Prison “X” in Bandung. The metode that has been use to get the subject criteria is purposive sampling. Subject that match this criteria is 21 convict but only 12 convict is available for reasearch. From 12 convict only 7 convict that aggree to involve in this reserch.

The instrument that being use to collect the data is Edward EPPS test. Develop by Edward in 1953 based on need theory by Murray (1938). The test consist of 225 item to measure 15 variables of need. As supporting data convict has been interview regarding their test result but only 2 convict that agree being interviewed.

From the test result researcher found that the nurturance need is significant need among the convict. Besides that achievment need and abasement need also found significant althougt not every convict has it.

From the final result we can see that the factor that Charles said have always been found in sex offender cannot been seen even in one subject of this research. The other need that should not been significant has show up significantly in every subject of the test.

(3)
(4)

Universitas Kristen Maranatha

iv

2.1.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi need...30

2.2 Pemerkosaan...35

2.2.1 Definisi pemerkosaan...35

2.2.2 Sekilas narapidana tindak kejahatan pemerkosaan...35

2.2.3 Tipe – tipe pemerkosa...37

3.3.1. Tes EPPS sebagai data utama...44

3.4. Data penunjang...46

3.5. Validitas dan reliabilitas alat ukur...46

3.6. Populasi sasaran dan teknik sampling...47

(5)

Universitas Kristen Maranatha

v BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan...62

5.2. Saran...63

DAFTAR PUSTAKA DAN RUJUKAN

Daftar pustaka...64 Daftar rujukan...65

(6)

Universitas Kristen Maranatha

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Gambaran hasil tes keseluruhan subjek...49

Tabel 4.2 Gambaran identitas subjek...50

Tabel 4.3 Hasil EPPS K...52

(7)

Universitas Kristen Maranatha

vii

DAFTAR BAGAN

Bagan kerangka pikir...18

(8)

Universitas Kristen Maranatha

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel percentile EPPS

(9)
(10)
(11)
(12)

Universitas Kristen Maranatha

1 Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini, kriminalitas semakin merajalela. Setiap hari, kita melihat di tayangan program televisi mengenai tindak kriminal. Tindakan pemerkosaan sebagai salah satu

tindakan kriminal berat sekarang sudah semakin merajalela di kalangan masyarakat kita. Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh pria dan korbannya bisa wanita manapun,

mulai dari orang biasa sampai yang berstatus menengah ke atas. Wanita, terutama yang sedang bepergian sendirian berpeluang besar menjadi korban perkosaan apabila tidak berhati-hati. Dalam situs www.nationmaster.com, dari data yang diambil pada

tahun 2000, jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia berada di urutan ke-62 di dunia.

Itu berarti, setiap 1000 orang penduduk, terjadi 0,00567003 kasus,.

(http://www.nationmaster.com/graph/cri_rap_percap-crime-rapes-per-capita).

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat (Kapolda Jabar), Irjen Pol. Edi Darnadi (2005), mengakui bahwa kasus perkosaan yang terjadi di Jawa Barat belakangan ini

sudah menjurus ke tindakan brutal karena jumlah kasus yang semakin meningkat. "Kepolisian bertugas menegakkan hukum. Setiap pelaku tindak pidana, termasuk

(13)

Universitas Kristen Maranatha

2

masyarakat Jabar menjadi demikian, mengapa para pelaku melakukan perkosaan seperti itu, kita tidak tahu," ujar Kapolda. Menurut Edi Darnadi, untuk mengetahui

penyebabnya, harus dilakukan penelitian secara mendalam. Saat ini, ia hanya bisa menerka-nerka saja. "Mungkin karena pendidikan yang rendah, terbawa-bawa

lingkungan, atau sebab lain," katanya,

(http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg00742.html).

Terdapat beberapa modus pemerkosaan. Pertama, penculikan paksa, yaitu

korban diculik lalu dibawa ke tempat sepi dan diperkosa. Umumnya, pelaku lebih dari satu orang. Tindakan ini biasanya dilakukan secara sporadis dan tidak

direncanakan terlebih dahulu. Korban dipilih berdasarkan situasi, yaitu saat korban melintasi tempat sepi seorang diri. Korban perkosaan tidak dapat mengenali siapa

pelakunya karena umumnya mata korban ditutup dan mulutnya disumpal. Kedua, saat ini, perkosaan dilakukan dengan modus operandi yang lebih rapi dan terencana, contohnya mengumpankan anak kecil yang pura-pura tersesat agar si wanita calon

korban menjadi iba lalu mengantarkan anak tersebut pulang, tetapi akhirnya calon korban malah dibawa si anak ke rumah kosong tempat para pelaku telah menunggu,

(http://groups.yahoo.com/group/gigi-fans/message/10851).

Seorang aktivis Jaringan Relawan Independen (JaRI), Teti Rismiyati (2005), menyatakan bahwa tindak perkosaan sudah terjadi sejak manusia ada, dan akan terus

terjadi sepanjang manusia ada, karena seks merupakan kebutuhan mendasar. Secara psikologi, perkosaan dilakukan seseorang karena rendahnya pengendalian diri dari si

(14)

Universitas Kristen Maranatha

3

faktor penyebab terjadinya perkosaan adalah adanya stimulus dari korban. Misalnya, korban memakai pakaian seksi atau karena bentuk tubuh korban yang bagus.

Stimulus ini memunculkan gairah pada pelaku sehingga tidak bisa menahan diri. Perkosaan juga bisa dilakukan oleh seseorang karena frustasi tidak dapat memenuhi

kebutuhannya sehingga, saat melihat kesempatan, pengendalian diri menjadi

berkurang," katanya (http://www.mailarchive.com/majelismuda@yahoogroups.com/

msg00742.html).

Menurut Charles. R.Swanson Jr (1984), terdapat tiga faktor yang selalu hadir

dalam tindak pemerkosaan. Ketiga faktor tersebut adalah power (dominasi), anger (rasa marah), dan dorongan seksual. Dorongan seksual tidak pernah menjadi

satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan pemerkosaan, tapi selalu disertai hal lain yang melatarbelakanginya. Power type adalah pemerkosaan yang didasari oleh kebutuhan untuk mendapatkan pengaruh dan kontrol pada korbannya

dengan cara mengintimidasi korban menggunakan senjata, kekerasan fisik, atau ancaman akan melukai korban. Anger type adalah pemerkosaan yang didasari oleh

kebutuhan pelaku untuk mengekspresikan rasa marah, murka, penghinaan, dan kebencian pada korbannya dengan cara melukainya secara fisik, melakukan pelecehan seksual, dan memaksa si korban melakukan tindakan yang membuatnya

(15)

Universitas Kristen Maranatha

4

Menurut Murray (1938) suatu need bisa dipenuhi dengan menggunakan berbagai cara, contohnya need seksual yang pemenuhannya adalah pemuasan hasrat

seks. Need ini bisa dipenuhi dengan cara yang legal, seperti menikah, atau dengan cara yang melanggar hokum, seperti memperkosa. Selain itu, Murray juga

menjelaskan bahwa dalam satu perbuatan untuk pemuasan need, bisa memuaskan lebih dari satu need secara bersamaan, misalnya dalam tindakan memperkosa. Selain memuaskan need seksual, need dominan dan angresi juga berperan di dalamnya.

Contoh lain, seseorang yang berhasil meraih juara pertama dalam perlombaan. Selain need achievement-nya terpenuhi, ia juga memenuhi need exhibition-nya karena

menjadi pusat perhatian semua teman-temannya.

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada tujuh orang narapidana

tindak kejahatan pemerkosaan di LP “X”, 57% (4 orang) dari mereka menyatakan

kalau mereka melakukan hubungan seksual karena berada dalam pengaruh alkohol (mabuk). Menurut mereka, biasanya kondisi ini terjadi apabila sedang berkumpul

bersama teman-teman dan ada yang memulai mengajak minum minuman keras. Demi solidaritas, semua biasanya setuju untuk ikut minum. 43% (3 orang) menyatakan

kalau mereka dinyatakan sebagai pemerkosa karena pengaduan dari pihak ke 3 pada yang berwenang sedangkan menurut mereka, tindakan seksual yang mereka lakukan adalah perbuatan suka sama suka. Selain itu, 71% dari mereka mengaku tidak

mempunyai masalah bergaul dengan wanita, bahkan sudah sering berganti-ganti pacar. Sementara, 29% dari mereka, walaupun tidak sering, pernah berpacaran dan

(16)

Universitas Kristen Maranatha

5

Pada umumnya para pelaku ini adalah preman (57%) dan sisanya adalah para buruh rendahan (43%). Sebanyak 43% dari mereka adalah sosok yang dominan di

antara kelompoknya atau teman-temannya, sedangkan 57% dari mereka bukan sosok yang dominan dalam kelompok, tapi cukup didengar oleh anggota kelompoknya.

100% dari mereka membenci figur ayah dan sangat menghormati serta sayang pada ibu mereka walau pernah membuat keluarga mereka marah. 29% (2 orang) dari mereka mengaku gampang terbawa emosi dan berkelahi, sedangkan 71% (5 orang)

mengaku masih berpikir jika akan berkelahi dan lebih memilih jalan damai.

Perilaku seseorang untuk memenuhi kebutuhan atau need-nya, menurut

Murray, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri, seperti pengalaman masa kecil, pemahamannya pada saat itu, serta pengaruh dari luar yang disebut

dengan press, yaitu lingkungan atau objek yang memberi pengaruh pada need seseorang. Contohnya, jika seseorang memperkosa, mungkin saja dia sebenarnya tidak ingin melakukan hal tersebut, tetapi terpengaruh oleh dorongan teman,

minuman keras, atau si korban yang berpakaian seksi. Pengetahuan dan pemahaman yang rendah tentang norma-norma sosial serta minimnya contoh yang baik pada masa

kecilnya juga bisa membuat orang memperkosa. Ini dibuktikan dengan pendidikan akhir narapidana yang rata-rata hanya tamatan SLTP dan SD. Dari penjelasan beberapa sumber di atas, bisa dilihat ciri-ciri pemerkosa, seperti kontrol diri yang

kurang, pendidikan rendah, dan pengaruh lingkungan.

Penelitian mengenai gambaran need narapidana pemerkosaan ini dilakukan di

(17)

Universitas Kristen Maranatha

6

untuk pembinaan para napi, seperti percetakan, perpustakaan, faslitas olahraga, pesantren, dapur masak, dan lain-lain. Para narapidana tindak kejahatan pemerkosaan

rata-rata berusia antara 22 tahun sampai dengan 40 tahun. Usia ini masih dalam masa rentang usia seksual aktif dan mereka sudah bisa mencari pasangan hidup agar

kebutuhan seksual mereka bisa dipenuhi secara wajar, tapi 43% atau 3 orang dari narapidana tindak kejahatan pemerkosaan yang diwawancara mengaku belum berkeluarga. Beberapa dari mereka usianya sudah di atas 30 tahun.

Ketika ditanya tentang penghayatan mereka tentang pemerkosaan yang mereka lakukan hampir semua napi atau 87% menyatakan diri tidak bersalah atau

mereka hanya korban dari jebakan orang lain yang tidak menyukai hubungan mereka dengan korban. Dari wawancara dengan narapidana, diketahui pula bahwa para

narapidana pemerkosa dianggap rendah oleh para napi lainnya, sering diejek, dan diremehkan sehingga mereka lebih sering sendirian dan tidak punya banyak teman. Karena, menurut para napi yang lain, perbuatan memperkosa dianggap kejahatan

yang hina dan tidak jantan karena korbannya wanita.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai profil need pada narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di

(18)

Universitas Kristen Maranatha

7 1.2 Identifikasi Masalah

Apakah gambaran need para narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di

Lembaga Pemasyarakatan “X” Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran need pada

narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di Lembaga Pemasyarakatan “X” Bandung.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai gambaran need pada narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di Lembaga

Pemasyarakatan “X” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan teoritis

Memberikan informasi mengenai gambaran need pada narapidana tindak

kejahatan pemerkosaan ke dalam bidang ilmu Psikologi Klinis.

 Memberikan masukan bagi para peneliti lain yang berminat untuk melakukan

penelitian lanjutan mengenai gambaran need pada narapidana tindak kejahatan pemerkosaan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada lembaga pemasyarakatan mengenai gambaran

(19)

Universitas Kristen Maranatha

8

untuk memberikan bimbingan dan pembinaan yang lebih baik kepada narapidana.

 Memberikan informasi pada masyarakat mengenai gambaran kebutuhan pada

narapidana agar mereka juga bisa memahami dan memperhatikan lingkungan

sekitarnya.

1.5 Kerangka Pikir

Pemerkosaan tergolong ke dalam kejahatan seksual yang serius. Pemerkosaan

tidak hanya melukai korban secara fisik, tapi juga dapat menimbulkan trauma secara psikologis pada korban (Swanson Jr, 1984). Definisi tindakan pemerkosaan menurut

Pasal 285 KUHP adalah ”barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam

karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Menurut Swanson (1984), terdapat tiga hal yang selalu ditemukan dalam kasus pemerkosaan. Hal tersebut adalah power, anger, dan dorongan seksual. Tiga hal ini termasuk dalam need yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh manusia. Jika

need tersebut tidak terpenuhi, akan timbul ketidakseimbangan dalam diri manusia dan

berpengaruh dalam perilakuny. Salah satu contohnya adalah pemerkosaan yang

(20)

Universitas Kristen Maranatha

9

Need sendiri, menurut Murray, adalah suatu bentuk tekanan yang bersumber

dari suatu wilayah di otak. Tekanan ini akan mengorganisasi persepsi, apersepsi,

intelektual, dan tindakan seseorang dalam suatu tujuan dalam situasi yang menuntut untuk dipenuhi. Ada tiga puluh jenis need yang dijabarkan Murray dalam bukunya,

tapi tidak semuanya dibahas di sini. Need yang dibahas akan disesuaikan dengan tes EPPS yang dikembangkan oleh Edward (1953). EPPS adalah singkatan dari Edward Personal Preference Schedule, yaitu tes kepribadian yang dikembangkan Edward

dengan mengukur need seseorang berdasarkan manifestasi need oleh Henry A. Murray. Namun, tidak semua need. Hanya 15 need saja yang digunakan Edward.

Edward mengambil 15 need ini karena menurutnya ke-15 need ini sudah mewakili dari 30 need yang ada. Ke-15 need tersebut adalah achievement (kebutuhan

berprestasi), deference (kebutuhan untuk patuh), order (kebutuhan untuk teratur), affiliations (kebutuhan untuk bersama orang lain), exhibition (kebutuhan untuk

menonjolkan diri), dominance (kebutuhan untuk memimpin), abasement (kebutuhan

untuk mengakui kesalahan), intraception (kebutuhan untuk memahami emosi orang lain), succorance (kebutuhan untuk dibantu orang lain), nurturance (kebutuhan untuk

membantu orang lain), heteroseksual (kebutuhan untuk hubungan seksual), aggression (kebutuhan untuk menyakiti orang lain), change (kebutuhan untuk

berubah), autonomy (kebutuhan untuk mandiri), dan endurance (kebutuhan untuk

bertahan dalam suautu situasi (manual EPPS, Allen L. Edward. 1953).

Dalam EPPS, dijelaskan penilaian yang dilakukan oleh Edward, yaitu

(21)

Universitas Kristen Maranatha

10

Sebelumnya, seperti yang telah disebutkan oleh Charles (1984), tiga need utama yang melatarbelakangi tindakan pemerkosaan adalah need seksual, need dominan, dan

need agresi. Karena dalam setiap pemerkosaan need seksual adalah need utama, bisa

diasumsikan mereka memiliki need seksual yang kuat dan tidak terpenuhi. Namun,

need tersebut bisa jadi diakui atau dihindari. Jika pemerkosa memiliki need seksual

yang tinggi diikuti dengan need dominan yang tinggi dan dua-duanya diakui, menurut Murray, perilaku yang akan muncul adalah mengganggap wanita lebih rendah, suka

melecehkan wanita secara seksual, egois dalam berhubungan dengan wanita secara personal maupun seksual, dan overprotektif terhadap pasangan. Jika need seksual

yang tinggi diikuti dengan need agresi yang tinggi serta need-nya diakui, perilaku seksual yang muncul tergolong sadis, pelecehan seksual secara verbal, maupun

tindakan kepada wanita yang bertujuan menyakiti atau mempermalukan si wanita. Untuk need seksual yang penekanannya kuat tapi need dominannya tinggi dan diakui, maka perilakunya yang menonjol adalah perilaku mendominasi, seperti suka

memerintah dan mempengaruhi orang lain, terutama wanita, mengontrol orang lain, tapi perilakunya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan need seksualnya, seperti

mempengaruhi wanita dengan berbagai cara sehingga mau memenuhi kebutuhan seksualnya secara sukarela. Sementara itu, need seksual yang penekanannya kuat diikuti dengan need agresi yang tinggi dan diakui maka perilakunya adalah menyakiti

(22)

Universitas Kristen Maranatha

11

Untuk need seksual, dominan dan agresi yang tiga-tiganya tinggi dan diakui maka perilaku yang tampak adalah kekerasan fisik terhadap wanita, KDRT

(kekerasan dalam rumah tangga), menyukai wanita penghibur karena bisa diperlakukan kasar dan tidak banyak menuntut, menyerang wanita dengan kata-kata

melecehkan secara seksual dan merendahkan.

Jika need seksual, need dominan dan need agresi yang tidak terpenuhi dan penekanan kuat, maka perilaku yang muncul tidak menunjukkan perilaku ke tiga need

tersebut tetapi need ini bisa jadi menjadi dasar dari perilakunya dalam pemenuhan need yang lain. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa menjadi pelaku pemerkosaan

karena pada dasarnya kebutuhan mereka tinggi dan tidak terpenuhi.

Selain itu, ada need lain yang mungkin bukan penyebab utama, tapi menjadi pendorong terjadinya tindak perkosaan. Contohnya, need exhibition, yaitu karena

ingin diakui dan dianggap gagah oleh teman-teman satu kelompoknya, seseorang mau melakukan tindakan pemerkosaan. Selain need exhibition, terdapat pula need

affiliation, yaitu seseorang agar dianggap solider dan setia kawan mau ikut-ikutan

ketika diajak melakukan tindakan pemerkosaan.

Menurut Murray (1938), setiap manusia pasti memiliki need. Cara mereka

dalam memenuhi kebutuhan itulah yang membedakan kepribadian manusia-manusia tersebut. Cara seseorang memenuhi kebutuhannya berbeda-beda, menurut Murray.

(23)

Universitas Kristen Maranatha

12

yang dapat memberi pengaruh pada need S) yang pernah dialami individu, objek-objek spesifik yang ada ketika adanya press, objek-objek-objek-objek tertentu yang bisa

diasosiasikan dengan objek-objek dari press sebelumnya, seberapa berhasilnya cara pemenuhan need yang sebelumnya, dan pengetahuan yang dimiliki tentang beragam

situasi. Semua faktor ini bisa membuat orang memiliki habit atau kebiasaan yang berbeda dalam pemenuhan kebutuhannya

Walaupun Murray (1938) telah menjelaskan mengapa tiap individu bisa

berbeda dalam cara pemenuhan kebutuhannya, tetapi tidak menjelaskan kenapa individu memilih cara yang tidak benar untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut

David J Cooke (2008), belum ada faktor yang pasti alasan manusia berperilaku kriminal. Akan tetapi, setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi orang berbuat

tindak kriminal, yaitu pengaruh awal (keluarga dan lingkungan masa kecil), keadaan saat ini (lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan terakhir, atau krisis yang pernah dialami), dan yang terakhir adalah keadaan sesaat sebelum melakukan

kejahatan (situasi dan pikiran individu).

Dalam pengaruh awal, lingkungan yang salah dapat mengantar seseorang

menjadi pelaku kriminal. Memang benar banyak kriminal yang berasal dari keluarga yang berantakan dan lingkungan masa kecil yang tidak sehat, tapi, menurut Cooke (2008), adalah klise jika semua pelaku kriminal diasumsikan berasal dari keluarga

dan lingkungan yang bermasalah. Pada masa awal ini, hal yang paling penting, menurut Cooke (2008), adalah kualitas hubungan antara orangtua dan anak. Seorang

(24)

Universitas Kristen Maranatha

13

sudah seharusnyalah memberikan hal itu pada si anak. Sedari kecil, orangtua harusnya sudah mendidik anak cara berperilaku, menunjukkan mana hal yang benar

dan yang salah, serta konsekuensi dari melakukan hal tersebut.

Individu yang terlibat kriminal, seperti pelaku pemerkosa, biasanya hanya

sedikit mendapatkan kehangatan dan pendidikan dari orangtuanya. Mereka kurang mendapatkan pengawasan dalam berperilaku serta orangtua mereka tidak mengontrol dan mengajarkan displin. Selain itu, kebiasaan anak yang mudah meniru orangtuanya

akan memberikan pengaruh buruk jika orangtuanya, terutama ayah, sering melakukan tindakan kriminal, seperti mencuri, berkelahi, atau bersikap kasar pada wanita. Bagi

si anak, perilaku ini akan terlihat sebagai perilaku yang normal sehingga jangan heran jika nantinya dia tumbuh dengan meniru perilaku sang ayah. Sementara, untuk

perilaku seksual sendiri, pengalaman pertama saat merasakan rangsangan seksual yang nantinya akan menggiring perilaku seksual anak tersebut hingga dewasa. Perilaku seksual tidak wajar biasanya didapat si anak karena proses belajarnya

terganggu dengan perilaku seksual tidak wajar dari orangtua atau lingkungan sehingga nantinya si anak pun akan tertarik berperilaku seperti itu. Misalnya, si anak

merasakan rangsangan seksual ketika melihat adegan pemerkosaan di tv. Oleh karena itu, dia akan belajar bahwa kenikmatan seksual bisa didapat dengan memperkosa dan ini akan terbawa sampai dia dewasa.

Selain itu, lingkungan tempat tinggal sedikit banyak juga mempengaruhi orang menjadi pelaku kriminal. Misalnya, lingkungan sosial yang buruk dengan

(25)

Universitas Kristen Maranatha

14

rendah membuat peluang melakukan kejahatan semakin mudah. Tapi, menurut Cooke, (2008) tidak selalu orang yang besar di lingkungan tidak sehat akan menjadi

seorang pelaku kriminal. Hal yang penting adalah kualitas dari hubungan anak dan orangtuanya. Bisa saja anak yang tumbuh di tempat yang jarang terjadi kejahatan dan

lingkungan ekonomi menengah ke atas melakukan kejahatan jika tidak pernah mendapatkan pendidikan awal dari orangtua. Intinya adalah cara si anak tersebut dibesarkan, bukan di tempat dia dibesarkan.

Faktor berikutnya, menurut Cooke (2008), adalah keadaan si pelaku tindak kriminal dalam hal ini pelaku pemerkosaan saat ini. Lingkungan di mana si individu

berada ketika dia melakukan kejahatannya adalah salah satu penyebab terjadinya kejahatan. Seringnya pelaku bergabung dan berkumpul dengan orang-orang yang

kerap melanggar hukum akan membuat narapidana terbawa-bawa untuk ikut melanggar hukum, apalagi jika narapidana menganggur, kesulitan ekonomi, serta memiliki taraf pendidikan yang rendah. Kejahatan bukan hanya menjadi jalan pintas

untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan, tetapi juga sebagai suatu cara untuk mengusir kebosanan dan memperkosa termasuk salah satu di dalamnya. Hidup di

lingkungan yang rawan belum tentu membuat orang mudah menjadi kriminal karena ada orang-orang yang sepertinya mudah terkena pengaruh buruk. Ada orang yang sering melihat kekerasan dan kejahatan, tapi tidak terpengaruh. Namun, ada orang

yang sedikit saja dipengaruhi akan mulai berbuat kejahatan walau hidup di lingkungan yang baik. Oleh karena itu, penghidupan yang layak dan pekerjaan yang

(26)

Universitas Kristen Maranatha

15

bisa memicu orang berbuat kejahatan, yaitu krisis yang dia hadapi dalam kehidupannya. Sering ditolak oleh wanita, pernah dipermalukan oleh teman

wanitanya, atau merasa tersakiti ketika menjalin hubungan dengan seorang wanita bisa menjadi krisis pemicu seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan.

Faktor terakhir, menurut Cooke (2008), yang membuat orang melakukan tindakan kriminal adalah keadaan sesaat sebelum kejahatan dilakukan, termasuk di dalamnya adalah situasi yang ada serta motif, alasan dan pemikiran, yang ada di otak

si pelaku. Ada banyak perilaku kriminal yang memiliki motif jelas dalam melakukan tindak kejahatan, seperti pencuri yang ingin mendapatkan uang, pecandu yang

menodong karena ingin membeli narkoba, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak kejahatan yang alasannya tidak terlalu jelas, seperti pembunuh sadis yang membunuh

hanya karena menikmati jeritan serta rasa kendali penuh atas korbannya atau pemerkosaan yang menurut banyak pakar kriminal, seperti yang telah disebutkan, bukan hanya sekadar seks semata, tapi banyak motif lain, seperti dominasi terhadap

wanita, ekspresi kebenciannya terhadap wanita, atau hanya karena pengaruh minuman beralkohol. Keadaan tidak hanya mempengaruhi apakah seseorang akan

melakukan pelanggaran, tetapi juga bentuk pelanggarannya.

Selain itu, hal yang paling penting, menurut Cooke (2008), adalah apa yang dipikirkan oleh si pelaku sesaat sebelum melakukan kejahatan karena inilah yang

(biasanya) menentukan kejahatan itu terjadi atau tidak. Salah satu contoh apa yang dipikirkan pelaku sebelum bertindak dapat diperkirakan dengan analisis biaya dan

(27)

Universitas Kristen Maranatha

16

mempertimbangkan harga/risiko yang harus dibayar/ ditempuh (biaya) dan manfaat yang didapat. Contohnya, kegiatan: memperkosa wanita yang sedang sendiri. Biaya

(risiko): tertangkap, dipukuli massa. Manfaat: memuaskan fantasi, memenuhi kebutuhan seks, menyalurkan kebencian pada wanita. Jika menurut mereka risiko

tertangkap (masuk lapas) lebih besar, kecil kemungkinan kejahatan akan terjadi. Akan tetapi, apabila menurut mereka risiko yang harus mereka hadapi lebih kecil atau lebih mudah diatasi, seperti yakin tidak akan tertangkap atau punya tempat sepi yang

(28)

Universitas Kristen Maranatha

Achievment, deference, Order, exhibition, affiliation, dominance,

intraception, succorance, change, nurtrance, endurance,

heterosexual, aggresion, autonomy, abasement

Profile Need Pelaku Pemerkosa

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan

kebutuhan seseorang kearah yang salah :

 pengaruh masa kecil

 keadaan sesaat sebelum melakukan kejahatan

- situasi yang ada

- motif (alasan)

(29)

Universitas Kristen Maranatha

18 1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran di atas, peneliti merumuskan

asumsi sebagai berikut.

Setiap narapidana tindak kejahatan pemerkosaan memiliki need yang harus

dipenuhi.

 Setiap narapidana tindak kejahatan pemerkosaan bisa mendapatkan

pemenuhan need yang berbeda ketika melakukan pemerkosaan.

 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi cara pemenuhan kebutuhan dari

(30)

Universitas Kristen Maranatha

62 BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian mengenai gambaran kebutuhan atau profile need pada narapidana tindak kejahatan pemerkosaan di LP “X” Bandung, didapat

beberapa kesimpulan. Perlu diingat bahwa hasil kesimpulan ini hanya terbatas

pada sampel penelitian dan tidak bisa digeneralisasi karena jumlah data yang didapat terbatas. Berikut kesimpulannya.

1. Tidak ada satupun dari narapidana yang memilki need menonjol pada

need dominan, heteroseksual, dan agresi. Gambaran kebutuhan yang

ditunjukkan berbeda dari yang diungkapkan Charles R. Swanson (1984), yaitu setiap pelaku pemerkosaan memiliki kebutuhan yang kuat dalam tiga aspek dominan, seksual, dan agresi.

2. Satu-satunya need yang mereka miliki persamaannya adalah kebutuhan

untuk menolong orang lain (nurturance). Setiap narapidana yang hasil

tesnya valid memiliki kebutuhan yang kuat untuk aspek tersebut.

3. Faktor yang mempengaruhi alasan narapidana melakukan tindak

kejahatan pemerkosaan adalah situasi pada masa kecil dan pergaulan dari

(31)

Universitas Kristen Maranatha

63 5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan

beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

1. Lembaga terkait (LP serta Kementerian Hukum dan HAM)

Gambaran kebutuhan narapidana pemerkosa bisa menjadi masukan yang baik bagi pembinaan para napi nantinya. Mengetahui gambaran

kebutuhan narapidana lebih awal dapat membantu jenis pembinaan yang diberikan. Oleh karena itu, bagi lembaga yang terkait, menjadikan

narapidana wajib untuk mengikuti proses penelitian akan memperbanyak data yang bisa didapatkan sehingga hasil penelitian dapat digunakan untuk

pembinaan narapidana. Diutamakan pembinaan kontrol diri pada narapidana.

2. Penelitian lebih lanjut

Kurangnya subjek yang dapat diteliti adalah masalah utama pada penelitian ini sehingga kurang dapat memberikan generalisasi. Penelitian

lebih lanjut diharapkan dapat meneliti lebih banyak subjek meskipun para narapidana tidak dapat dipaksa kehadirannya karena untuk membantu penelitian mahasiswa sifatnya adalah sukarela. Pihak LP sekalipun tidak

dapat memaksa jika narapidana tidak berkenan untuk membantu. Melalui kerja sama resmi dengan lembaga terkait, diharapkan jumlah responden

(32)

Universitas Kristen Maranatha

64

diperoleh lebih valid dan berguna untuk para narapidana dan lembaga terkait.

3. Menggunakan alat tes lain yang tidak memakan waktu lama dan dapat

menangkap kebutuhan subjek lebih mendalam, seperti alat tes proyeksi

agar faktor-faktor seperti social desirebility dapat dihilangkan.

4. Masyarakat Umum

Setelah mengetahui gambaran kebutuhan dari narapidana tindak kejahatan

pemerkosaan, masyarakat dapat lebih memperhatikan lingkungan sekitar. Orangtua sendiri perlu memperhatikan perkembangan anak dari kecil agar

(33)

Universitas Kristen Maranatha

65

DAFTAR PUSTAKA

Cooke, David.J., 2008. Menyingkap Dunia Gelap Penjara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Edward, Allen L., 1953. Edward Personal Preference Schedule: the Manual. Murray, Henry A., 1938. Exploration in Personality.Oxford University Press. Inc. Nazir, M., 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Utama.

Santrock, John W. 1983. Life Span Development 5E. Wm.C. Brown Communication.Inc.

Solahuddin, SH. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana & Perdata: KUHP, KUHAP & KUHPdt. Jakarta: Visimedia Pustaka.

(34)

Gambar

Tabel Percentile EPPS

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner (angket), observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan teknik editing

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ”Aditya Karya”, yang selama ini menangani rumah sampah 3R di Perumahan Graha Indah Kelurahan Graha Indah Kota Balikpapan

Guru adalah salah satu faktor penting dalam proses belajar mengajar yaitu ikut berperan dalam upaya membentuk sumber daya manusia yang potensial. Berdasarkan pengamatan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan moneter (suku bunga dan money supply) terhadap stabilitas rupiah (inflasi dan nilai tukar) baik dalam jangka pendek

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian sebelumnya hanya melihat dan membandingkan standar panti sosial dengan pelayanan yang diberikan

Untuk mengetahui hubungan antara teknik percontohan dengan percepatan adopsi inovasi IB, dilakukan analisis dengan cara membandingkan dua variabel yaitu antara