• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Novel secara etimologi berasal dari bahasa Latin novellus kemudian diturunkan menjadi novies yang artinya baru. Hal ini menyatakan bahwa novel merupakan jenis karya fiksi tebaru dibandingkan cerita pendek atau roman karena muncul paling akhir. Sebelum berkembang menjadi cerita fiksi seperti saat ini, dulu novel berawal dari catatan harian. Karena itu, novel akan menggambarkan suasana yang realistis dan masuk akal.

Perbedaan mendasar antara novel dan cerita pendek terletak pada intensitas cerita, tidak hanya melihat dari panjang ceritanya. Novel akan menceritakan tentang perubahan nasib tokoh, terjadi beberapa episode kehidupan tokoh tetapi tidak sampai tokoh mati (Waluyo, 2011: 36-39).

Perbedaan antara novel dan cerpen juga dikemukan oleh Stanton (2012: 90) yang menyatakan bahwa novel menghadirkan karakter yang lebih banyak dan kompleks. Ceritanya tersaji dalam beberapa kurun waktu mengikuti alur. Rangkaian peristiwa berpindah ditandai adanya perubahan latar tempat, waktu ataupun perubahan karakter-karakter. Novel ditulis dengan cerita yang lebih kompleks dan lebih panjang dibanding cerita pendek.

Novel dan cerita pendek merupakan karya fiksi yang sama-sama dibentuk oleh unsur-unsur pembangun. Dalam perkembangannya, kedua jenis karya fiksi tersebut sering disamakan. Perbedaan keduanya tidak hanya terletak pada panjang ceritanya. Dikarenkan novel yang memiliki cerita yang lebih panjang maka di dalamnya dapat menyajikan sesuatu yang melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks dan utuh (Nurgiyantoro, 2013: 11-13).

(2)

Pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa novel adalah cerita fiksi yang menceritakan rangkaian peristiwa dan rekonstruksi kehidupan tokoh. Novel menampilkan berbagai permasalahan yang kompleks yang saling berkaitan sehingga menjadi sesuatu cerita yang utuh.

b. Unsur Pembangun Novel

Prosa fiksi perlu diresepsi isinya melalui pemahaman tentang unsur- unsur pembangunnya (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 2). Novel yang menjadi bagian dari karya fiksi tidak lepas dari unsur-unsur yang saling berkaitan dan bergantung satu dengan lainnya. Unsur tersebut dibagi menjadi dua yakni unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik yaitu unsur- unsur yang terdapat di dalam novel dan secara langsung dapat dilihat ketika membacanya. Unsur tersebut membangun cerita di dalam novel itu sendiri. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berasal dari luar novel tetapi secara tidak langsung memengaruhi novel tersebut. Unsur ekstrinsik harus dipandang penting karena membantu pemahaman makna karya sastra tersebut. (Nurgiyantoro, 2013: 29-30).

Nurgiyantoro (2013: 14) menggolongkan unsur pembangun novel menjadi plot, tema, penokohan, dan latar. Berikut adalah unsur-unsur pembangun novel.

1) Tema

Tema adalah pengejawantaahan ide-ide yang dimiliki oleh pengarang ke dalam tulisan. Pengarang memformulasikan ide, gagasan, pandangan hidup yang dimilikinya untuk melatarbelakangi penciptaan sebuah karya sastra. Karena karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan di dalamnya bisa sangat beragam, sebagaimana beragamnya permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 6).

Tema dapat diartikan sebagai pokok pembahasan dalam sebuah cerita atau dapat juga berarti pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang (Adi, 2011: 44). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat

(3)

Surastina (2018: 67) bahwa tema adalah makna isi dari cerita secara keseluruhan dan menjad fondasi dalam cerita tersebut. Tema menjadi unsur pembangun sastra yang utama karena akan menompang unsur- unsur pembangun sastra yang lain.

Tema biasanya tidak disampaikan secara eksplisit di dalam cerita.

Untuk menafsirkan tema dalam novel pembaca harus memahami keseluruhan cerita. Pada dasarnya tema menjadi landasan pengembangan cerita dan unsur-unsur instrinsik lain harus mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Penggolongan tema dibedakan menjadi (a) tema tradisonal dan nontradisional; (b) tingkatan tema menurut Shippley; (c) tema utama dan tema tambahan. Tema tradisional yaitu tema yang membahas permasalahan umum dan sering digunakan.

Sedangkan tema nontradisional yaitu tema yang membahas hal-hal tidak umum atau lazim. Tema ini seringnya tidak sesuai harapan pembaca, melawan arus, mengejutkan dan berbagai reaksi afektif lainnya. Tingkatan tema menurut Shippey dibagi menjadi lima tingkatan. Pertama, tema tingkat fisik, lalu tema organik, tema sosial, tema egois, dan tema divine. Tema fisik merupakan tema yang membahas aktivitas fisiologis. Tema tingkat organik yaitu tema yang membahas masalah seksualitas. Tema sosial membahas kehidupan bermasyarakat dan permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat.

Tema tingkat egois yaitu tema yang membahas konfik-konflik manusia sebagai seorang individu. Tema tingkat divine membahas permasalahan religiusitas manusia dengan Tuhan-Nya dan permasalahan filosofis.

Penggolongan tema lainnya yang membagi tema menjadi tema utama dan tema tambahan (Nurgiyantoro, 2013: 116-133).

Pendapat ahli mengenai tema dapat disintesiskan bahwa tema adalah pokok pikiran utama pada novel yang secara tidak langsung muncul dalam cerita novel. Tema menjadi unsur yang menompang unsur-unsur instrinsik lainnya dalam mengembangkan suatu cerita.

(4)

2) Tokoh dan Penokohan

Tokoh dalam novel merujuk pada pelaku atau aktor yang menjalankan suatu cerita sedangkan penokohan merujuk pada gambaran yang jelas tentang tokoh yang muncul dalam novel (Kasnadi dan Sutejo, 2010:12). Tokoh dalam novel dapat dibedakan antara tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis yaitu tokoh utama yang tidak mengalami perubahan watak selama cerita. Sedangkan, tokoh yang mengalami perubahan watak selama cerita terjadi disebut tokoh dinamis. Penokohan merupakan unsur pembangun cerita yang penting di dalam sebuah novel, karena penokohan akan menjelaskan perilaku- perilaku yang dilakukan tokoh (Adi, 2011:46-47).

Waluyo (2011: 165-171) berpendapat bahwa penokohan merupakan metode penulis menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita, gaya penulis menggambarkan watak tokoh-tokoh itu. Ada tiga metode penulis menampilkan tokoh yaitu metode deskriptif, dramatisasi, kontekstual. Metode deskriptif yaitu penulis menggambarkan tokoh secara langsung melalui uraian.

Dramatisasi merupakan metode yang menggambarkan tokoh melalui perilaku atau dialog antartokoh. Metode kontekstual yaitu menggambarkan watak tokoh melalui wacana. Jenis-jenis tokoh berdasarkan peranan tokoh dalam cerita yaitu, tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yag mendominasi jalannya cerita sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh latar belakang cerita.

Berdasarkan pembangun konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis dan antagonis masuk ke dalam tokoh utama. Watak tokoh dapat dilihat dari dimensi fisik, psikis, dan sosiologis. Ketiga dimensi dapat muncul dalam diri tokoh secara bersamaan.

Jenis tokoh didasarkan pada pendalaman perwatakan ada tokoh bulat dan tokoh sederhana. Tokoh bulat yaitu tokoh yang memiliki watak yang bermacam-macam atau kompleks. Sebaliknya, tokoh sederhana

(5)

merupakan tokoh yang memiliki satu sifat tertentu. Jenis tokoh menurut kemungkinan pencerminan, ada tokoh tipikal dan tokoh netral.

(Nurgiyantoro, 2013: 264-277).

Pendapat para ahli di atas dapat disintesiskan bahwa tokoh adalah aktor-aktor yang memainkan cerita dalam novel dan penokohan adalah watak yang dimiliki oleh tokoh. Penokohan dapat terlihat dari fisiologis, psikologis, sosiologis para tokoh.

3) Alur/Plot

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang padu dan utuh dan menunjukkan adanya hukum sebab dan akibat. Alur bertujuan untuk mengetahui jalannya sebuah cerita dalam novel. Alur dapat dibedakan menjadi alur erat dan alur longgar berdasarkan kualitas alur.

Alur longgar yaitu alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita sedangkan alur erat tidak ada pencabangan cerita. Ada jenis alur menurut kuantitasnya yakni alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal memiliki satu alur selama cerita ditampilkan dan alur ganda memiliki lebih dari satu alur dalam cerita. (Surastina, 2018:70-71). Senada dengan pendapat Surastina, Kasnadi dan Sutejo (2010:17) menerangkan bahwa alur dapat dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa dalam cerita.

Alur cerita yang sering disebut kerangka cerita adalah struktur gerak yang terdapat dalam karya fiksi. Plot menunjukkan hubungan satu peristiwa dengan peristiwa lain dan berkaitan dengan konflik-konflik para tokoh. Pembaca akan paham arah cerita secara rinci dengan adanya plot yang dipilih penulis. Alur cerita meliputi: (a) eksposisi; (b) inciting moment (saat terjadi); (c) rising action; (d) complication; (e) klimaks; (f) falling action; (g) denouement (penyelesaian). Eksposisi merupakan pengenalan cerita yang memaparkan tempat, waktu, topik, atau tokoh. Inciting moment merupakan awal terjadinya masalah. Rising action yaitu saat terjadinya peningkatan konflik. Complication terjadi

(6)

saat permasalahan semakin rumit. Puncak konflik dalam cerita disebut tahap climax. Falling action terjadi penurunan konflik. Terakhir yaitu penyelesaian meruapakan cara pengarang menyelesaiakan cerita yang dibuatnya. (Waluyo, 2011:145-148).

Sintesis dari beberapa teori tentang plot atau alur yaitu rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Alur memiliki tahapan- tahapan yang memperlihatkan konflik yang terjadi dalam cerita.

4) Latar/Setting

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial budaya. Latar tempat menunjukkan lokasi atau letak peristiwa dalam novel terjadi. Latar waktu menunjukkan “kapan”

cerita dalam novel terjadi. Latar sosial-budaya menunjuk perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2013: 313-322).

Setting atau latar berkaitan erat dengan adegan dan latar belakang.

Montaque dan Henshaw menjelaskan bahwa latar berfungsi mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan. (Waluyo, 2011: 198).

Latar atau setting disintesiskan dari beberapa teori di atas yaitu latar menunjuk pada tempat dan waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam novel. Selain itu latar belakang kondisi kehidupan masyarakat setempat juga disebut sebagai latar sosial.

2. Hakikat Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah penelitian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Cipta, rasa, dan karya pengarang akan muncul ketika berkarya. Pengarang mengolah segala bentuk gejala jiwa ke dalam teks dan melengkapinya dengan kejiwaan. Pengalaman pribadi dan pengalaman hidup orang-orang di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra. Psikologi sastra memiliki landasan pikiran yang kuat. Kedua

(7)

subjek ilmu tersebut sama-sama mempelajari hidup manusia. Perbedaanya yakni psikologi manusia secara nyata sedangkan karya sastra mempelajari menusia secara imanjinasi. (Endaswara, 2013:96).

Minderop (2011:54) menyatakan bahwa psikologi sastra menelaah kondisi psikologis tokoh yang dikarang oleh pengarang sebagai kajian yang mempengaruhi kondisi psikologis para pembaca. Tokoh-tokoh karya sastra yang memiliki watak tersendiri meskipun dibuat secara imajinasi tetap dapat ditelaah dengan psikologi. Hal tersebut dikarenakan watak tokoh yang ditampilkan akan mencerminkan permasalahan psikologis.

Senada dengan penjelasan Minderop, Rokhmansyah (2014: 159) menyatakan bahwa psikologi sastra merupakan bidang kajian yang menggabungkan imu psikologi dan sastra. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Karya sastra lahir dari hasil pengalaman yang ada di dalam jiwa dan telah diolah secara mendalam kemudian diekspresikan melalui proses kreatif.

Psikologi dan studi sastra memiliki fokus yang sama yaitu pada fantasi, emosi dan jiwa manusia. Jadi, ada hubungan dua arah berdasarkan interaksi timbal balik sastra dan psikologi, dalam bentuk evaluasi karya sastra dengan sumber daya psikologi dan memperoleh kebenaran psikologis dari karya sastra (Emir, 2016:1).

Menurut Ratna (2009:342-344), tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, peneliti memahami teori-teori psikologi kemudian melakukan analisis terhadap suatu karya sastra.

Kedua, peneliti memilih sebuah karya sastra terlebih dahulu sebagai objek penelitian, kemudian menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.

Wellek dan Warren (1990:90) menyatakan bahwa terdapat empat kategori terkait dengan istilah “psikologi sastra”, yaitu (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) studi proses kreatif, (3) studi tipe dan

(8)

hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Pedekatan psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan; kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan; dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang penuh dengan masalah-masalah psikologis (Endaswara, 2013:12).

Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menganalisis karya sastra menggunakan psikologi sastra sebagai berikut: 1) mencari dan menentukan tokoh cerita yang akan dikaji; 2) menelusuri perkembangan karakter sang tokoh; 3) mengidentifikasi perilaku sang tokoh dan mendeskripsikan serta mengklasifikasi; 4) mengidentifikasi lingkungan yang telah membentuk perilakunya; 5) menghubungkan perilaku yang muncul dengan lingkungan yang melatarinya. Penelusuran karakter tokoh, dialog sang tokoh, dan pikiran sang tokoh (Suaka, 2014: 231).

Jadi, psikologi sastra adalah kajian sastra yang menelaah aktivitas kejiwaan tokoh ciptaan pengarang dalam karya sastra. Psikologi sastra menggabungkan dua bidang ilmu yaitu sastra dan psikologi. Pada hakikatnya sastra diciptakan hasil dari dinamika kejiwaan pengarang dan psikologi mengkaji cerminan kejiwaan pengarang tersebut.

3. Teori Kepribadian Humanistik Abraham Maslow

Abraham Maslow (1908-1970) dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Psikologi humanistik merupakan gerakan psikologi yang mengkritik adanya teori psikologi behavioristik dan psikoanalisis, dan memberikan alternatif psikologi yang memfokuskan manusia dengan ciri-ciri eksistensinya (Walgito, 2010:97).

Menurut Maslow tingkah laku manusia ditentukan oleh keinginan individu untuk mencapai tujuan kehidupan yang memuaskan dan membahagiakan bagi

(9)

diri sendiri. (Minderop, 2011:49). Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia sebagai pendorong (motivator) membentuk sebuah hierarki atau jenjang peringkat. Kebahagiaan manusia dapat dilihat ketika ia bisa mapan dalam menjalani jenjang-jenjang kehidupannya. (Budiantoro dan Mardianto, 2016:48).

Abraham Maslow memandang kebutuhan-kebutuhan dasar manusia secara umum menjadi motivasi (Wilcox, 2017:154). Teori kebutuhan bertingkat dirumuskan sesuai dengan fakta dan pengalaman klinis. Teori tersebut tersusun mulai dari kebutuhan: fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. (Maslow, 1994:43). Berikut penjelasan masing- masing teori kebutuhan bertingkat.

a. Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar dan paling kuat dari semua kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya secara fisik.

Kebutuhan tersebut berupa makanan, minuman, tempat teduh, seks, tidur, rumah, oksigen. Kebutuhan ini akan dicari pertama kali ketika manusia merasa kekurangan. Selanjutnya manusia akan memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi setelah merasa terpenuhi kebutuhan dasar ini.

(Goble, 1987:71-71).

b. Kebutuhan Rasa Aman

Setelah kebutuhan terbawah terpuaskan, muncul kebutuhan baru yang Maslow sebut sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan (safety need). Kebutuhan ini menjelaskan manusia perlu memenuhi kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas, dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan rasa aman ini dibagi atas dua bentuk, yakni:

kebutuhan keamanan fisik, dan kebutuhan keamanan harta. Kebutuhan inilah yang memotivasi manusia untuk membuat peraturan, undang- undang, mengembangkan kepercayaan, berasuransi, dan sebagainya.

Menurut Maslow, seperti halnya dengan basic need, Tidak terpenuhnya

(10)

safety need ini akan memengaruhi pandangan seseorang tentang dunianya dan cenderung akan berperilaku ke arah yang negatif (Budiantoro dan Mardianto, 2016:51).

c. Kebutuhan Rasa Memiliki, Dimiliki, dan akan Kasih Sayang

Setelah terpenuhinya kebutuhan keselamatan, maka kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang (belongingness and love need) akan menjadi dorongan paling penting pada perilaku manusia. manusia akan mencari hubungan yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar dan rasa aman pasti akan meremehkan kebutuhan ini dan merasa tidak memerlukannya. Orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di tengah kelompoknya, dan ia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu ini.

Maslow mengatakan bahwa setiap manusia membutuhkan rasa diingini dan diterima orang lain. Ada yang memuaskan kebutuhan ini melalui pertemanan, berkeluarga, atau berorganisasi. Tanpa ikatan ini, kita akan merasa kesepian. Namun, tentu saja rasa sepi ini tidak selalu memberi dampak negatif pada kepribadian. Bagi sejumlah orang, rasa sepi bisa menciptakan kreativitas. (Budiantoro dan Mardianto, 2016:53).

d. Kebutuhan akan Penghargaan

Maslow menerangkan bahwa setiap individu akan mencari kebutuhan akan penghargaan: yakni, harga diri dan penghargaan dari orang lain.

Pertama, harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, mandiri dan kebebasan. Kedua, penghargaan dari orang lain meliputi, prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. Manusia yang kurang

(11)

memilikikepercayaan diri dan harga diri, akan merasa rendah diri, berkecil hati, dan tidak berdaya menghadapi kehidupan. Usaha yang dapat dilakukan agar memiliki harga ini yaitu manusia perlu paham kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seseorang akan dapat menghargai dirinya sendiri, jika ia mengetahui siapa dan apa dirinya. (Goble, 1987:76- 77).

e. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Setiap manusia harus mengembangkan kemampuannya secara optimal.

Pemaparan tentang kebutuhan psikologis manusia untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan kompetensi yang dimiliki, oleh Maslow disebut aktualisasi diri. Maslow menggambarkan kebutuhan aktualisasi ini sebagai hasrat untuk menjadi diri sepenuhnya sesuai kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.

(Goble, 1987:77).

Teori aktualisasi diri dilandaskan asumsi bahwa setiap manusia memiliki hakikat intrinsik yang baik dan itu memungkinkan untuk mewujudkan perkembangan. Aktualisasi diri merupakan tujuan yang tidak bisa dicapai semua orang. Maslow mengatakan bahwa orang yang mencapai tahap aktualisasi diri sudah pasti mampu memenuhi kebutuhan pada tingkat bawahnya. Proses menuju tahap aktualisasi tidaklah mudah.

Hal tersebut disebabkan beberapa faktor: Pertama, aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah yang paling lemah dapat dengan mudah dikuasai oleh kebiasaan, tekanan, kebudayaan, sikap yang salah terhadap aktualisasi diri.

Kedua, orang-orang sering takut untuk mengetahui diri sendiri, konsep diri seseorang dapat berubah dan secara tak terelakan melibatkan dilepaskannya kepastian yang telah lama diketahui dan dipercayai untuk digantikan dengan konsep-konsep yang baru, hal-hal yang tidak diketahui dan tidak pasti. Ketiga, aktualisasi diri pada umumnya memerlukan lingkungan yang memberi kebebasan pada seseorang yang bebas untuk mengungkapkan dirinya, menjelajah, memilih perilakunya dan mengejar

(12)

nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, dan kejujuran. (Budiantoro dan Mardianto, 2016:55).

Kebutuhan aktualisasi setiap orang akan berbeda-beda. Aktualisasi diri tidak dipengaruhi oleh bakat khusus atau kegiatan-kegiatan yang artistik atau kreatif. Aktualisasi dapat diwujudkan oleh setiap aktivitas apa pun.

Manusia yang mampu beraktualisasi diri didorong oleh kebutuhan luar yang berorientasi pada pengembangan diri dan kompetensi. Manusia yang belum mampu mencapai tahap aktualisasi diri akan selalu merasa kurang di dirinya meskipun kebutuhan pada tingkat rendah sudah terpenuhi.

(Maslow, 1994:56-57).

4. Hakikat Pedidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah sistem pananaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan kesadaran, atau kemauan dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan semua komponen pendidikan, seperti isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko- kulikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah. (Narwanti, 2013:14).

Menurut Kemendiknas (2010), pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini meliputi keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya

Berdasarkan arti dan makna dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter, maka pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang

(13)

mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa sehingga terwujud insan kamil (Aunillah, 2011:18).

Pernyataan di atas sependapat dengan pernyataan Asmani (2013: 26), mengemukakan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan karakter.

Pendidikan merupakan salah satu unsur dalam membangun karakter. Sejak dulu hakikat pendidikan merupakan pembentukan karakter peserta didik.

Karakter merupakan aspek yang harus dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (2012: 15), menjelaskan karakter adalah objektivitas yang baik atas kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak. Samani dan Hariyanto (2012: 43), berpendapat bahwa karakter merupakan nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendapat mengenai pembentukan karakter atau pembangunan karakter terbagi menjadi dua. Satu pendapat yang menyatakan bahwa karakter merupakan sifat bawaan dari lahir yang sulit diubah ataupun dididik.

Pendapat lain menyatakan bahwa karakter dapat diubah dan dididik melalui pendidikan. Berdasar kenyataan dalam masyarakat menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang melekat pada diri seseorang.

Pendidikan memiliki peran penting dalam pembentukan karakter.

(Hidayatullah, 2010:16).

b. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan pertama pendidikan karakter yaitu memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga mewujudkan dalam perilaku anak, baik saat proses belajar maupun hasil belajar. Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan tidak hanya fokus pada hasil nilai akhir tetapi juga pada proses. Proses peserta didik memahami

(14)

nilai-nilai tersebut dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan kedua yaitu memperbaiki kesalahan peserta didik yang tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan ketiga yaitu membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat yang untuk memerankan tanggung jawab bersama (Kesuma, 2011:9-11).

Tujuan pendidikan karakter juga disampaikan oleh Adisusilo (2013:129) yaitu pendidikan karakter membantu peserta didik meningkatkan tingkat pertimbangan moral, permikiran, dan penalaran moral. Muslich (2011:81) menambahkan bahwa pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang bertujuan untuk mencapai pembentukan karakter dan akhlak mulia.

c. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan delapan belas nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada para siswa sebagai upaya membangun karakter bangsa (Suyadi, 2013:7). Delapan belas nilai-nilai pendidikan karakter dijabarkan sebagai berikut (Kemendiknas, 2010:9) 1) religius, sikap dan perilaku patuh terhadap ajaran agama yang dianutnya;

2) jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; 3) toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya;

(4) disiplin, adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (5) kerja keras, adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik- baiknya; (6) kreatif, adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; (7) mandiri, adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; (8) demokratis, adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban

(15)

dirinya dan orang lain; (9) rasa ingin tahu, adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; (10) semangat kebangsaan, adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (11) cinta tanah air, adalah cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa; (12) menghargai prestasi, adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain;

(13) bersahabat/komunikatif, adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain; (14) cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; (15) gemar membaca, adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) peduli lingkungan, adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) peduli sosial, adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; (18) tanggung jawab, adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan menyarankan untuk implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dapat dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana yang mudah dilakukan sesuai dengan kondisi sekolah masing- masing (Samani dan Hariyanto, 2013:52). Wibowo (2013:17) menambahkan bahwa upaya implementasi pendidikan karakter harus disesuaikan kondisi, sarana prasarana, dan kemampuan. Guru dan siswa

(16)

tidak menjadi terbebani. Nilai-nilai tersebut dipilih sesuai dengan prioritas yang dibutuhkan.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai aspek kejiwaan tokoh dalam novel telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hikma (2015) telah melakukan penelitian dengan judul

“Aspek Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara (Kajian Psikologi Humanistik Abraham Maslow)”. Simpulan dari penelitian tersebut yaitu tokoh Dahlan digambarkan sebagai pribadi yang inspiratif. Karakternya yang dewasa, mandiri, berwawasan terbuka, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta tidak mudah menyerah pada setiap permasalahan- permasalahan sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Proses hidupnya yang tidak jauh dari masalah membuatnya terus bergerak untuk mencapai tahap aktualisasi diri. Penelitian ini direlevansikan dengan pembelajaran yang menekan pada pendidikan karakter yang sesuai dengan tujuan. Persamaan penelitian Hikma dengan penelitian ini terletak pada pendekatan penelitian dan teori psikologi sastra yang digunakan. Kedua penelitian menggunakan teori psikologi humanistik Abraham Maslow untuk mengkaji aspek kejiwaan tokoh.

Perbedaannya terletak pada objek kajian dan relevansi kajian dengan pembelajaran.

Penelitian ini relevan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purika, Andayani, Sumarlam (2016) yang berjudul Aspek Kejiwaan Tokoh dan Nilai Pendidikan Karakter Novel The Chronicle of Kartini Karya Wiwid Prasetyo serta Relevansinya dengan Bahan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.

Persamaan penelitian Purika, Andayani, dan Sumarlam terletak pada pendekatan penelitian dan teori yang digunakan. Kedua penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dan teori yang digunakan yaitu teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow. Perbedaanya terletak pada objek kajian dan kajian tentang relevansi. Penelitian ini mengkaji novel karya Wiwid Prasetyo dan mengkaji relevansinya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.

(17)

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Andi Pratiwi, Heri Suwigyo, dan Ida Lestari pada tahun 2012.

Penelitian tersebut berjudul Nilai-nilai Akhlak Mulia dalam Kumpulan Cerpen Orang-Orang Tercinta dan Setegar Kupu-kupu Tak Bersayap dan Saran Implementasinya untuk Pendidikan Karakter Siswa SMP Kelas VIII Melalui Pembelajaran Apresiasi Sastra. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian dalam novel Mata di Tanah Melus Karya Okky Madasari, yakni membahas nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel dan relevansinya sebagai bahan ajar di sekolah.

Penelitian lain dilakukan oleh Samallo, D. J. A. (2012). Penelitian berjudul Motif Pelaku Kejahatan dalam “Moeru”, Bagian dari Karya Higashino Keigo yang Berjudul “Tantei Galileo” (Teori Psikologi Humanistik Abraham Maslow).

Hasil penelitiannya yaitu ada dua kebutuhan tokoh yang belum tercukupi yaitu kebutuhan akan rasa aman dan memberikan cinta. Belum terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadi motif tokoh menjadi pelaku kejahatan. Persamaannya dengan penelitian ini yakni teori kebutuhan bertingkat untuk mengkaji aspek kejiwaan tokoh utama. Perbedaanya yaitu objek kajiannya atau novel.

Penelitian psikologi sastra lainnya dilakukan oleh Geetha dan Maheswari (2018) dengan judul penelitian “Self-Actualization in the Protagonist of Maya Angelou’s Memoir: A Humanistic Psychological Approch”. Simpulan dari penelitian ini menyatakan pentingnya fiksi autobiografi untuk mempelajari kepribadian, pendekatan psikologi humanistik dan studi mendalam tentang karakteristik utama. Manusia membutuhkan pertumbuhan fisik dan mental dalam hidup mereka. Mereka telah dibentuk oleh pengalaman mereka sendiri.

Pandangan psikologis diperlukan saat ini untuk memahami individu, situasi, dan masyarakat. Aktivitas diri adalah yang paling penting dalam kehidupan setiap orang. Studi ini menganalisis Maya yang mana seseorang yang teraktualisasi dirinya sebagai individu yang sehat tetapi tidak sempurna. Autobiografinya memberikan motivasi kepada pembaca untuk menyadari potensi pribadi dan pemenuhan diri. Persamaannya dengan penelitian yang sedang dikaji yaitu sama- sama menggunakan teori kebutuhan Abraham Maslow untuk menganalisis

(18)

karakter tokoh dalam novel. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya dan pada penelitian tersebut lebih mengkhususkan pada teori kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri.

Penelitian juga dilakukan oleh Caffe (2013) dengan judul penelitian “Man Does Not Live by Bread Alone...Unless There is No Bread: An Analysis of Dickens Characters Using Maslow’s Hierarchy of Needs”. Hasil penelitian menyatakan bahwa menganalisis kebutuhan dari karater menggunakan hierarki dari Maslow menyajikan informasi baru tentang motivasi karakter. Misalnya, Jo, keluarga pembuat batu bara, dan pekerja dari Coketown semuanya menunjukan pentingnya memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah sebelum kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Mereka tidak dapat memperhatikan hal-hal seperti spiritualitas ketika persyaratan dasar untuk bertahan hidup tidak dipenuhi.

Selanjutnya, Ibu Havisham dan Scrooge memiliki masalah psikologis yang mencolok, dan mengingat pada hierarki Maslow, menjelaskan bahwa masalah- masalah ini adalah hasil dari kebutuhan akan cinta dan rasa aman yang gagal.

Demikian pula, Pip memiliki masalah pemenuhan kebutuhan akan penghargaan karena dia mecoba memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara yang salah.

Memahami apa yang memotivasi karakter, dan bagaimana mereka mengatasi atau tidak mengatasi masalah mereka, dapat memberi pemahaman yang lebih baik tentang psikologi serta bagaimana mengembangkan kesulitan masa lalu terhadap aktualisasi diri. Dengan kata lain, kita bisa mendapat manfaat dari kesalahan dan kondisi psikologis karakter. Oleh karena itu, selain memberikan cara baru untuk melihat literatur dan metode kritik psikologis yang belum dipetakan, pendekatan ini memungkinkan kita untuk belajar tentang diri kita sendiri dengan pemahaman yang realistis dan berkaitan dengan karakter. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dikaji penulis yaitu pada objek kajiannya. Pada penelitian ini mengkaji beberapa novel dari Charles Dickens.

Noval (2018) melakukan penelitian psikologi sastra dengan judul “Maya’s Cry for Sleep in Anita Desai’s Cry the Peacock”. Hasil penelitian menyatakan Maya bisa mengalami kedamaian batin dan alasan yang lebih baik yang mungkin membantunya beradaptasi dengan hidupnya dengan cara yang lebih baik. Teori

(19)

berbasis kebutuhan Maslow bukan hanya usaha untuk menunjukan alasan untuk kecemasan yang dihadapi oleh Maya tetapi juga berfungsi untuk alat yang layak untuk memahami manusia yang kompleks karena membenarkan alasan untuk degenerasi psikisnya.

Neto (2015) meneliti tetang teori kebutuhan Abraham Maslow dan kaitannya dengan pendidikan. Hasil penelitiannya yang berjudul “Educational Motivation Meets Maslow: Self-actualisation as Contextual Driver” menyatakan bahwa kebutuhan aktualisasi diri belaku untuk penentuan nasib baik motivasi secara umum maupun akademik. Persamaannya terletak pada bidang ilmu yaitu psikologi dengan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow. Perbedaan penelitian ini terletak pada objek kajian yang diteliti.

Penelitian juga dilakukan oleh Emir (2016) dengan judul “Literature and Psychology in the Context of the Interaction of Social Science”. Persamaan dari penelitian ini dengan mengkaji antara sastra dan psikologi. Perbedaannya terletak pada objek kajian. Penelitian ini mengkaji interaksi manusia pada umumnya sedangkan penelitian yang akan dilakukan akan mengkaji karakter tokoh dalam novel.

C. Kerangka Berpikir

Mengkaji novel Mata di Tanah Melus karya Okky Madasari dengan pendekatan psikologi sastra berdasarkah tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel. Untuk mengetahui perwatakan tokoh maka diperlukan pemaparan perwatakan yang dimiliki tokoh. Untuk itu, perlu mengkaji perwatakan secara mendalam.

Aspek kejiwaan tokoh yang ada dalam novel dikaji dengan menggunakan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow. Abraham Maslow membagi teori kebutuhan bertingkat menjadi lima tingkatan, yakni (a) kebutuhan fisiologis; (b) kebutuhan akan rasa aman; (c) kebutuhan akan kasih sayang; (d) kebutuhan akan penghargaan; (e) kebutuhan aktualisasi diri.

Berdasarkan kajian teori tentang psikologi sastra dalam novel yang digunakan untuk menjelaskan perwatakan tokoh utama, aspek kejiwaan tokoh,

(20)

dan nilai-nilai pendidikan karakter dapat dibuat suatu kerangka berpikir seperti di bawah ini.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Novel Mata di Tanah Melus karya Okky Madasari

Pendekatan Psikologi Sastra

Aspek Kejiwaan Tokoh

Nilai pendidikan karakter Struktur novel

Mata di Tanah Melus

1. religius; 2. jujur; 3.toleransi;

4. disiplin; 5. kerja keras; 6.

kreatif; 7. mandiri; 8.

demokratis; 9. rasa ingin tahu;

10. semangat kebangsaan; 11.

cinta tanah air; 12. menghargai prestasi; 13. bersahabat; 14.

cinta damai; 15. gemar membaca; 16. peduli

lingkungan; 17. peduli sosial;

18. tanggung jawab.

Relevansi kajian novel dengan pembelajaran sastra di SMP

Tema, Plot, Tokoh dan Penokohan,

Latar

a. Kebutuhan fisiologis b. Kebutuhan akan rasa aman c. Kebutuhan kasih sayang d. Kebutuhan akan

penghargaan

e. Kebutuhan aktualisasi diri

Referensi

Dokumen terkait

Mampu mengumpulkan data subyektif dan data obyektif pada yang diberikan asuhan kebidanan komprehensif pada kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas dan masa

Menurut Samsul Nizar, jenis pendidikan Kuttab kedua ini adalah lanjutan dari pendidikan Kuttab tingkat pertama, yang berarti bahwa setelah anak didik pandai

t.t.d.. Lampiran : Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Pe- nerapan Teknologi. Ketua dan Staf Team Studi Pembinaan dan

Dalam tugas akhir ini telah dilakukan simulasi 3 variasi perubahan tempertur AC terhadap kondisi udara dan perpindahan panas yang terjadi pada suatu ruangan. Dari

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah Bagaimana Perlakuan Akuntansi Aset

Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada Maksila dan mandibula, yang terjadi Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada Maksila

Metode penyadaran atau pembinaan yang dilakukan oleh PP Suryalaya melalui Pondok Inabah terhadap korban penyalahgunaan napza melalui seperangkat kurikulum yang

Dalam penelitian ini peneliti langsung memfokuskan permasalahan penelitian pada model pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan oleh Organisasi Massa (Ormas) Persaudaraan