• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP WARISAN YANG BELUM TERBAGI SEBAGAI SUBJEK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP WARISAN YANG BELUM TERBAGI SEBAGAI SUBJEK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister KenotariatanPada Program Studi Magister KenotariatanFakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIANA PUTRI TRISNA 167011106/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP WARISAN YANG BELUM TERBAGI SEBAGAI SUBJEK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

PAJAK PENGHASILAN

DIANA PUTRI TRISNA

Jl. Kenari Kel. Uteun Bayi Kec. Banda Sakti, Lhokseumawe-Aceh Email :dianaputritrisna@gmail.com

ABSTRACT

According to Article2, paragraph 1, letter b of UU PPh (Law on Income Tax), undistributed inheritance as a unit which substitutes heirs is called a substitute Tax Subject. It is intended to impose PPh which comes from inheritance by using testator’s NPWP (Taxpayer’s ID Number) deposited by the heir. The research problems are how about why undistributed inheritanceis used as the subject of PPh, how about the fulfillment of the principle of legal certainty in determining undistributed inheritance as the subject of PPh, and how about the principle of justice in regulating undistributed inheritance for substituting testator as the subject of PPh. The research used juridical normative and descriptive analytic method.

Keywords: Income Tax, Undistributed Inheritance

PENDAHULUAN

Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1 Pajak dapat dikelompokkan menggunakan kriteria tertentu, salah satunya adalah berdasarkan kewenangan pemungutannya.Dengan mendasarkan kepada kewenangan pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).2

Salah satu dari pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh).Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) diatur dalam Undang-Undang PPh. Perundang-undangan

1 Thomas Sumarsan. Perpajakan Indonesia (Pedoman Perpajakan yang Lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru).(Jakarta: PT.Indeks, 2010), h. 4.

2Y.Sri Pudyatmoko. Pengantar Hukum Pajak. Edisi Terbaru. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2009), h. 14.

(3)

perpajakan yang berkaitan dengan pajak penghasilan mulai berlaku pada tahun 1983 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang efektif berlaku mulai tahun 1984 (tax reform), undang- undang ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Undang-undang Pajak Penghasilan merupakan hukum pajak material.

Sebagai hukum pajak material undang-undang ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya mengatur : subjek pajak, objek pajak, dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.3 Pengertian pajak penghasilan menurut undang-undang tidak memperhatikan sumber atau asal-muasal penghasilan, tetapi lebih fokus terhadap adanya tambahan kemampuan ekonomis. Penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam penjelasan Pasal 4 UU PPh, penghasilan dapat dilihat dari berbagai bentuk yaitu :

1. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya;

b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;

c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan

d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

2. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

3Muhammad Rusjdi. PPh Pajak Penghasilan. (Jakarta: PT. INDEKS, 2004), h. 01-3.

(4)

Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.4

Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.Subjek pajak dalam Undang- Undang Perpajakan mempunyai kedudukan yang sangat penting disamping objek pajak.Definisi subjek pajak menurut undang-undang ini adalah pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PPh, yang menjadi subjek pajak ada 4 (empat) yaitu :

1. Orang pribadi;

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

3. Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap;

4. Bentuk usaha tetap (BUT), adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Terkait dengan warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak yaitu ahli waris, warisan tersebut ialah merupakan Subjek Pajak pengganti.Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek

4 Thomas Sumarsan. Op.cit., h. 111.

(5)

Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.5

Warisan adalah seluruh harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia baik berupa aktiva maupun passiva. Warisan tersebut dapat timbul apabila proses pewarisan dari pewaris (orang yang meninggal dunia) yang meninggalkan harta kepada orang lain, dalam hal ini ahli waris, yaitu orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya atau sebagian.

Warisan yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia atau pewaris dapat berupa harta baik harta benda berwujud maupun harta benda tidak berwujud, harta benda bergerak maupun harta benda tidak bergerak dan kewajiban utang. Di antara harta-harta yang diwariskan tersebut mungkin ada yang mempunyai potensi untuk menghasilkan penghasilan seperti saham, mini market, dan lain sebagainya. Harta inilah yang dimaksudkan sebagai warisan yang belum terbagi menurut UU PPh.

Jika semasa hidupnya pewaris memiliki sebuah usaha yang dijalankannya maka pewaris memiliki kewajiban subjektif untuk membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh dari laba usahanya tersebut selaku orang pribadi sebagai wajib pajak.Namun setelah meninggal dunia maka secara hukum kewajiban subjektif pewaris sebagai wajib pajak orang pribadi pun berakhir.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2A ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa

“Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya”.

Apabila warisan tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, maka usaha tersebut sebagai warisan tetap dikenakan pajak penghasilan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pewaris sebagai orang pribadi. Oleh karena usaha tersebut merupakan warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, sehingga warisan tersebut dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti

5Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a.

(6)

menggantikan ahli waris, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Apakah alasan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan?

2. Bagaimana pemenuhan prinsip kepastian hukum dalam ketentuan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan ?

3. Bagaimana pemenuhan prinsip keadilan dalam ketentuan warisan yang belum terbagi dalam menggantikan pewaris sebagai subjek pajak penghasilan ? METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum dalam bentuk teori terkait tentang Analisis Yuridis Terhadap Warisan yang Belum Terbagi Sebagai Subjek Pajak Penghasilan.

Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan secara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.6Sumber data dalam penelitian menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan (library research).Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis data yang berdasarkan atas peraturan perundang-undangan.7Selanjutnya data yang dianalisis ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni berfikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus dengan menggunakan perangkat normatif.

6Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif. (2003). Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, h. 13-14

7Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.225.

(7)

PEMBAHASAN

Warisan yang belum terbagi menurut perpajakan merupakan satu kesatuan menggantikan yang berhak yaitu Ahli Waris berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan.Warisan yang dimaksud adalah segala harta benda berwujud dan tidak berwujud, bergerak dan tidak bergerak yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan penghasilan.

Sebagai ilustrasi, misalnya Tuan A semasa hidupnya merupakan pemilik usaha minimarket “Jaya Swalayan” di suatu daerah.Tuan A taat melakukan kewajiban perpajakannya atas penghasilan yang diperoleh dari usahanya tersebut serta selalu melakukan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran usahanya.Pada awal Januari 2016, Tuan A meninggal dunia karena sakit dan meninggalkan istri dan 2 (dua) orang anak sebagai ahli warisnya. Pada Januari 2018, seluruh harta warisan Tuan A baru akan dibagikan kepada ahli waris. Usaha minimarket “Jaya Swalayan” tersebut tetap berjalan dengan pengawasan oleh salah ahli waris Tuan A.

Pada tahun 2016, minimarket “Jaya Swalayan” memiliki omset sebesar Rp 1.200.000.000, dengan proporsi omset masing-masing bulan adalah Rp 120.000.000,-. Selain usaha minimarket tersebut, Tuan A juga mempunyai sebuah rumah yang disewakan setiap tahun dengan penghasilan yang diterima pada tahun 2016 adalah sebesar Rp 20.000.000-. Jadi selama harta (minimarket Jaya Swalayan) tersebut belum dibagikan kepada ahli waris Tuan A, maka minimarket

“Jaya Swalayan” itu menjadi Subjek Pajak menggantikan Tuan A. Sehingga pada tahun 2016, Ahli waris harus tetap berkewajiban melaporkan dan menyetorkan PPh penghasilan yang diterima dari usaha minimarket “Jaya Swalayan” dan pengasilan yang diperoleh dari persewaan rumah dengan menggunakan NPWP milik Almarhum Tuan A.

Dengan demikian penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Oleh karena warisan yang belum terbagi tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, maka ia bertindak untuk menggantikan kedudukan ahli waris yang berhak. Jadi apabila seseorang telah

(8)

meninggal dan meninggalkan warisan yang masih memberikan atau menghasilkan penghasilan serta warisan tersebut belum dibagikan kepada yang berhak yaitu Ahli Warisnya, maka untuk kepentingan pemajakan warisan yang belum terbagi tersebut merupakan subjek pajak.8

Selain itu pembuat undang-undang berkeyakinan bahwasannya terhadap penghasilan yang diperoleh dari warisan yang belum terbagi dapat menjadi sumber penerimaan negara yang berkonstribusi dalam penerimaan pajak terutama Pajak Penghasilan (PPh), dan apabila ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan ini tidak ditentukan maka penghasilan yang berasal dari warisan yang belum terbagi akan terjadi potensi pajak yang hilang (tax loss). Pengenaan pajak terhadap penghasilan dari warisan yang belum terbagi ini juga didasari pada prinsip kegunaan dan kemanfaatan.

Pewaris sebagai orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.Termasuk juga dalam pengertian adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia yang ditimbang menurut keadaan.9Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a UU Pajak Penghasilan yang berbunyi sebagai berikut :

“Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.10

8Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono.Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 dan Aturan Pelaksanaan Terbaru. (Jakarta:

Lemabaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2007). h. 14.

9Pasal 2 ayat (3) UU PPh.

10Penjelasan Pasal 2 ayat (3) UU PPh.

(9)

Sedangkan yang dimaksud dengan Pewaris sebagai orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri di dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dan huruf b disebutkan :

“huruf a : orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”

“huruf b : orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”

Pewaris sebagai orang pribadi subjek luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada orang pribadi tersebut sebagai subjek pajak luar negeri.Sedangkan apabila penghasilan yang diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap.Namun orang pribadi tersebut tetap dalam statusnya sebagai subjek pajak luar negeri.Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.11

Sesuai dengan kebiasaan internasional, subjek pajak luar negeri dapat dikenakan pajak berdasarkan kepada asas sumber. Asas sumber adalah asas pemungutan pajak yang menentukan bahwa negara yang berwenang memungut pajak adalah negara tempat sumber penghasilan itu terletak, dan hanya dapat dikenakan terhadap orang atau badan yang memiliki sumber penghasilan yang keluar dari sumber penghasilan yang ada di negara pemungut pajak tersebut

11Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

(10)

dimanapun mereka berada.12 Dengan demikian, setiap orang pribadi yang berada atau bertempat tinggal di luar Indonesia tetapi mempunyai penghasilan yang bersumber dari Indonesia, maka orang pribadi tersebut statusnya ialah sebagai subjek pajak luar negeri dan dapat dikenakan pajak penghasilan berdasarkan asas sumber.

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap juga sebagai subjek pajak dalam negeri mengikuti status pewarisnya dalam pengertian Undang-Undang Pajak Penghasilan. Kategori warisan yang belum terbagi yang dimaksudkan sebagai subjek pajak penghasilan ialah segala bentuk warisan yang mempunyai penghasilan sebagai objek pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UU PPh, baik penghasilan yang bersifat final maupun tidak bersifat final.

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri baik yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap maupun yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap, maka dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penunjukkan ini dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.Namun apabila warisan tersebut telah dibagikan, maka kewajiban perpajakannya pun beralih kepada ahli waris.13

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, bagi subjek pajak yang menjadi wajib pajak dalam negeri berlaku suatu ketentuan berdasarkan prinsip pemungutan menurut asas domisili atau dikenal juga dengan prinsip world wide income, yang artinya bahwa wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak penghasilan tidak hanya atas penghasilan yang bersumber dari objek yang ada di dalam negeri saja, tetapi juga atas penghasilan yang bersumber dari objek yang ada atau terletak di luar negeri, seperti penghasilan berupa laba usaha dari

12Rochmat Soemitro & D K Sugiharti.Asas dan Perpajakan. (Bandung: Refika Aditama, 2004). h.

78.

13Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf c UU PPh.

(11)

perusahaan yang dilakukan di luar Indonesia, penghasilan berupa bunga deposito yang ada dalam suatu bank di luar negeri, dan sebagainya.14

Berdasarkan asas domisili, objek pajak yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri yang dimiliki oleh subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak penghasilan oleh negara tempat subjek pajak itu berdomisili. Asas domisili itu sendiri adalah asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat subjek pajak yang menjadi wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas penghasilan-penghasilan yang diperoleh subjek pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu berada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Misalnya, apabila warisan yang belum terbagi orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri berupa saldo rekening di bank luar negeri, kemudian saldo tersebut mendapat tambahan penghasilan dari bunga yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) final oleh bank, maka terhadap bunga dari saldo rekening yang merupakan warisan yang belum terbagi tersebut dapat dikenakan pajak penghasilan.

Sedangkan orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar negeri hanya dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila orang tersebut memperoleh penghasilan dari objek pajak yang ada di dalam negeri.Pengenaan pajak terhadap orang pribadi sebagai subjek pajak yang ada di luar negeri hanya dapat dilakukan apabila orang tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis ini ada jika orang tersebut mempunyai objek pajak yang ada di Indonesia, yaitu mempunyai penghasilan dari sumber penghasilan yang ada di Indonesia, atau mempunyai kekayaan berupa harta tak gerak yang ada di Indonesia, atau penghasilan- penghasilan lain yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang ada di Indonesia, sehingga pasti dapat dikenakan pajak penghasilan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.15

14Rochmat Soemitro & D K Sugiharti.Op.Cit,.h. 104.

15Ibid. h. 105.

(12)

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, maka tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi tersebut melekat pada objeknya.16

Apabila penghasilan yang diperoleh berupa laba dari perusahaan yang dilakukan di Indonesia oleh orang yang bertempat tinggal di luar negeri maka dikenakan pajak kepada Badan yang disebut Bentuk Usaha Tetap, yang dalam UU PPh dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri, walaupun wajib pajaknya yang menerima penghasilan itu bertempat tinggal di luar negeri. Jika sumber penghasilannya diperoleh dari harta tidak bergerak yang terletak di Indonesia, maka pajak penghasilannya dikenakan kepada wakilnya atau orang yang mengurus harta tidak bergerak tersebut dengan jalan Surat Ketetapan Pajak, sebab wajib pajak luar negeri itu tidak berkewajiban memasukkan SPT sehingga ia tidak dapat menentukan sendiri pajak penghasilan yang terutang.17

Jika sumber penghasilannya yang diperoleh berupa surat saham, obligasi, atau piutang, maka deviden atau bunga yang diterima oleh orang luar negeri itu dikenakan pajak pada sumbernya dengan jalan withholding (pemotong pajak) yang dilakukan oleh orang atau badan yang membayar penghasilan tersebut.

Badan atau orang yang membayar penghasilan itu diwajibkan memotong pajak penghasilan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 26 UU Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan atas pembayaran tersebut merupakan pungutan pajak penghasilan yang bersifat final berjumlah 20 % (dua puluh persen), artinya pajak penghasilan yang dipotong itu tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang oleh wajib pajak di luar negeri. Hal ini disebabkan pembayaran tersebut tidak dimasukkan dalam penghasilan wajib pajak luar negeri dan sudah dikenakan pajak penghasilan di Indonesia melalui pemotongan pada sumber penghasilannya. Dengan demikian, bagi wajib pajak luar negeri berlaku asas sumber atau source principle, yaitu asas yang menentukan bahwa hanya

16Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf c UU PPh.

17Rochmat Soemitro & D K Sugiharti.Op.Cit,.h. 105.

(13)

penghasilan yang berasal dari sumber yang ada di Indonesia yang dapat dikenakan pajak di Indonesia, di negara tempat sumber itu berada.18

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, status warisan yang belum terbagi didasarkan kepada status pewarisnya. Jika pewaris yang meninggal dunia sebagai subjek pajak dalam negeri maka status warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak dalam negeri.Dan jika pewaris yang meninggal dunia subjek pajak luar negeri maka status warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak luar negeri.

Terkait subjek pajak dalam negeri yang memiliki warisan belum terbagi terletak dalam negeri telah diatur secara jelas dalam Pasal 2 UU PPH, akan tetapi untuk subjek pajak dalam negeri yang memiliki warisan belum terbagi terletak di luar negeri belum ada aturan yang jelas dan pasti. Begitu pula terhadap subjek pajak luar negeri yang memiliki warisan belum terbagi yang terletak di dalam negeri masih belum ada ketentuan yang jelas dan pasti mengenai siapa yang bertanggung jawab atas PPh penghasilan yang diperoleh dari warisan yang belum terbagi tersebut, berapa besar tarifnya dan bagaimana prosedur pelaksanaan pemajakannya. Sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam mengenakan pajaknya.

Dengan demikian, berdasarkan pada prinsip kepastian hukum, maka Undang-Undang Pajak Penghasilan masih terdapat kelemahan-kelemahan karena Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menentukan status subjek pajak warisan yang belum terbagi dalam hal :

1. Warisan yang belum terbagi terletak di Indonesia atau di luar negeri yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri melalui BUT tapi Ahli Waris berdomisili di luar negeri.

2. Warisan yang belum terbagi terletak di Indonesia atau di luar negeri yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri melalui BUT tapi Ahli Waris berdomisili di Indonesia.

18Ibid. h. 106.

(14)

3. Warisan yang belum terbagi terletak di luar negeri yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri melalui BUT tapi Ahli Waris berdomisili di Indonesia.

4. Warisan yang belum terbagi terletak di luar negeri yang ditinggal oleh orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri melalui BUT tapi Ahli Waris berdomisili di luar negeri.

Sehubungan dengan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh, apabila ditinjau dari prinsip keadilan dalam perpajakan, warisan yang belum terbagi tersebut belum memenuhi prinsip keadilan. Karena pengenaan dan pemungutan pajak terhadap warisan yang belum terbagi dalam prosedur pelaksanaannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (disingkat NPWP)pewaris selaku orang pribadi, meskipun orang pribadi tersebut telah meninggal dunia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undnag-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (disebut juga UU KUP). Penggunaan NPWP pewaris selaku orang pribadi ini dikarenakan belum terjadinya pembagian warisan sehingga belum dapat dilakukan penghapusan terhadap NPWP pewaris selaku orang pribadi.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf a dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2015 disebutkan bahwa untuk penghapusan NPWP harus memenuhi syarat yaitu dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak telah meninggal dunia beserta surat pernyataan bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan Ahli Waris untuk orang pribadi yang meninggal dunia. Oleh karenanya Ahli Waris mempunyai kewajiban untuk melaporkan penghasilan dan Pajak Penghasilan terkait yang berasal dari warisan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Tahunan orang pribadi, dan PPh tersebut juga harus disetorkan oleh Ahli Waris.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undnag-Undang Nomor 16 Tahun 2009 telah diatur secara jelas dan pasti

(15)

bahwa Ahli Waris mempunyai kewajiban untuk melaporkan dan menyetorkan PPh atas penghasilan dari warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak menggantikan Pewaris sebagai wajib pajak orang pribadi, akan tetapi hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi Ahli Waris dikarenakan warisan tersebut belum dialihkan dan menjadi hak Ahli Waris. Sehingga terhadap ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi ini terjadi benturan terhadap suatu tujuan hukum yaitu antara kepastian hukum dengan keadilan.

Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.Jika ketiga hal tersebut dikaitkan dengan kenyataan yang ada, pada kenyataanya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, dan atau antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Idealnya diusahakan agar setiap aturan hukum, baik berupa hukum materil dan hukum formil yang dilakukan oleh pembuat hukum dan penegak hukum yaitu hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seharusnya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan terlebih dahulu kemudian barulah kemanfaatan dan kepastian hukum.

Sebagaimana ilustrasi yang telah diuraikan diatas, misalnya Pewaris Tuan A mempunyai warisan yang belum terbagi berupa minimarket “Jaya Swalayan”

yang memiliki omzet sebesar Rp 1.200.000.000,-, dengan proporsi omzet masing- masing bulan adalah Rp 120.000.000,-. Oleh karena penghasilan dari usaha minimarket Tuan A memiliki omzet tidak melebihi dari Rp 4,8 Miliar setiap tahunnya, maka Tuan A dikenakan pajak PPh Final UMKM berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (disingkat dengan PP PPh UMKM). Sehingga penyetoran atas pajak penghasilan terutang dilunasi dengan cara disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki omzet tersebut dan wajib

(16)

dilakukan pelunasan setiap bulannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) PP PPh UMKM.

Apabila Ahli Waris yang bertanggung jawab untuk menyetorkan penghasilan dari warisan yang belum terbagi Tuan A juga memiliki usaha dagang minimarket seperti Maju Swalayan, yang mana memiliki omzet sebesar Rp 1.500.000.000, dengan proporsi omzet masing-masing bulan adalah Rp 125.000.000. Maka pajak penghasilan terutang yang harus dilunasi Ahli Waris ialah sebagai berikut :

Tabel 3. Perhitungan PPh Final UMKM

Wajip Pajak Usaha Jumlah Omzet Per Tahun

Tuan A Pewaris Jaya Swalayan Rp. 1,2 Miliar Tuan B Ahli Waris Maju Swalayan Rp. 1,5 Miliar

Total Rp. 2,7 Miliar

PPh Final UMKM = Tarif x Peredaran Bruto (omzet) PPh Final UMKM= 0,5% x Rp. 2,7 Miliar

PPh Final UMKM= Rp. 13.500.000,- Sumber: Ilustrasi Perhitungan

Berdasarkan ilustrasi yang dijelaskan di atas, maka pengaturan mengenai warisan yang belum terbagi dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan belum memenuhi prinsip keadilan, baik keadilan horizontal maupun keadilan vertikal.

Ditinjau dari segi keadilan horizontal maka Tuan B selaku Ahli Waris Tuan A seharusnya hanya dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha “Maju Swalayan” saja yaitu Rp 1,5 Miliar dikalikan dengan tarif sebesar 0,5 % sama dengan Rp. 7.500.000,-. Karena menurut keadilan horizontal, pemungutan pajak adil apabila wajib pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilannya. Jadi pemungutan pajak dikatakan adil manakala jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama dikenakan pajak dengan persentase tarif pajak yang sama, tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan, meskipun kondisi atau status ekonomi wajib pajak berbeda. Sehingga dari segi keadilan horizontal hal ini tidak

(17)

mewujudkan keadilan bagi Ahli Waris yang bertanggung jawab menyetorkan penghasilan dari warisan yang belum terbagi si Tuan A selaku Pewaris.

Ditinjau dari segi keadilan vertikal, pemungutan pajak adil jika wajib pajak dalam kondisi ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama.

Begitu juga sebaliknya, dikatakan adil secara vertikal apabila orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan pajak penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya.Penekanan keadilan vertikal ini lebih kepada setiap subjek pajak penghasilan yang mempunyai penghasilan kena pajak akan dikenakan tarif pajak yang bersifat progressif. Artinya, subjek pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak berjumlah besar akan dikenakan pajak yang besar pula, demikian juga sebaliknya. Sehingga hal ini tidak adil bagi Tuan B selaku Ahli Waris, karena jumlah penghasilan yang diperoleh dari UMKM menjadi semakin tinggi maka pajak yang dikenakan juga lebih besar, disebabkan penghasilan dari warisan belum terbagi Tuan A digabungkan dengan penghasilan dari Tuan B selaku Ahli Waris yang mengurus warisan yang belum terbagi tersebut, padahal seyogyanya penghasilan tersebut bukan penghasilan Tuan B, tetapi Tuan B selaku Ahli Waris harus bertanggung jawab untuk menyetorkannya.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Warisan yang belum terbagi ditunjuk sebagai subjek pajak penghasilan karena menggantikan kedudukan Ahli Waris yang berhak dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan yang belum terbagi tersebut tetap dapat dilaksanakan. Selain itu pembuat undang-undang berkeyakinan bahwasannya terhadap penghasilan yang diperoleh dari warisan yang belum terbagi dapat menjadi sumber penerimaan negara yang berkonstribusi dalam penerimaan pajak terutama Pajak Penghasilan (PPh), dan apabila ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan ini tidak ditentukan maka penghasilan yang berasal dari

(18)

warisan yang belum terbagi akan terjadi potensi pajak yang hilang (tax loss).

Pengenaan pajak terhadap penghasilan dari warisan yang belum terbagi ini juga didasari pada prinsip kegunaan dan kemanfaatan.

2. Prinsip kepastian hukum dalam ketentuan tentang warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan telah terpenuhi berdasarkan Pasal 2A Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Pajak Penghasilan untuk status subjek pajak dalam negeri yang memiliki warisan yang belum terbagi terletak di dalam negeri. Namun, untuk status warisan yang belum terbagi terletak di Indonesia yang ditinggalkan oleh subjek pajak luar negeri, dan warisan yang belum terbagi terletak di luar negeri yang ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri belum terpenuhi. Oleh karena itu, ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi masih belum memenuhi prinsip kepastian hukum.

3. Warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak penghasilan yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, apabila ditinjau dari prinsip keadilan dalam perpajakan belum memenuhi prinsip keadilan. Karena pengenaan dan pemungutan pajak terhadap warisan yang belum terbagi dalam prosedur pelaksanaannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (disingkat NPWP) pewaris selaku orang pribadi, meskipun orang pribadi tersebut telah meninggal dunia sebagaimana yang diatur dalam UU KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2015. Ketidak-adilan ini dikaitkan dengan keadilan secara vertikal maupun horizontal baik terhadap Pewaris maupun Ahli Waris.

B. Saran

1. Hendaknya ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi dapat disosialisasikan lebih luas lagi, agar wajib pajak mengetahui bahwa warisan yang belum terbagi dan dapat memberikan penghasilan merupakan subjek pajak penghasilan menggantikan kedudukan ahli waris yang berhak sehingga ketentuan mengenai warisan yang belum terbagi dapat menjadi lebih efektif lagi pemberlakuannya.

(19)

2. Untuk memenuhi prinsip kepastian hukum tentang ketentuan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak, hendaknya pemerintah membuat revisi atau perubahan undang-undang mengenai warisan yang belum terbagi agar penentuan status warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti mengikuti status tempat warisan yang belum terbagi tersebut berada.

3. Agar lebih terpenuhinya asas keadilan vertikal dan horizontal dalam memungut pajak, hendaknya pengenaan pajak penghasilan atas warisan yang belum terbagidapat dilakukan dengan penundaan terlebih dahulu sampai warisan yang belum terbagi tersebut dibagikan kepada Ahli Waris, sehingga jelas Ahli Waris mana yang berhak dan bertanggung jawab membayarkan pajak PPh atas warisan yang belum terbagi tersebut dengan menggunakan NPWP Pewaris tersebut dengan syarat harus dilakukan pelunasan pembayaran pajak penghasilannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum melebihi batas waktu daluarsa.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Rusjdi. (2004). PPh Pajak Penghasilan. Jakarta: PT. INDEKS.

Rochmat Soemitro & D K Sugiharti. (2004). Asas dan Perpajakan. Bandung:

Refika Aditama.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif. (2003). Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto. (2006). Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Thomas Sumarsan. (2010). Perpajakan Indonesia (Pedoman Perpajakan yang Lengkap Berdasarkan Undang-Undang Terbaru). Jakarta: PT.Indeks.

Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono. (2007). Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 dan Aturan Pelaksanaan Terbaru.Jakarta: Lemabaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Y.Sri Pudyatmoko. (2009). Pengantar Hukum Pajak. Edisi Terbaru. Yogyakarta:

Penerbit Andi.

(20)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PajakPenghasilan.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Tundaan lalu lintas bundaran (DTR) tudaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :..

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik simpulan pada siklus I diketahui bahwa keberhasilan dalam kegiatan membilang anak kelas B TK Pertiwi 1 Sadang terdapat 8 anak

Temuan penelitian ini yaitu meliputi: 1) Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman

Hal ini sesuai dengan Fauzi et al (2016) intensitas cahaya tinggi maka energi yang digunakan untuk fotosintesis semakin tinggi sehingga berpengaruh terhadap

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan

BAPL dinyatakan sah dengan tandatangan oleh Pihak Terkait (CBI, Pengaju klaim dan/atau komplain dan Pemerintahan Desa). Estate Manager Dept. a) Verifikasi dilakukan untuk

PENGGUNNAN EKSTRAK BIJI PEPAYA ( Carica Papaya L) SEBAGAI LARVASIDA NABATI TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK ANOPHELES DAN AEDES AEGYPTI INSTAR III.. I. MIPA

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi dan kelimpahan jenis Fitoplankton yang terdapat di perairan pulau Menjangan Kecil,