• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI TENTANG PEDOMAN PENAMAAN JALAN DAN FASILITAS UMUM TIM PENYUSUN NASKAH AKADEMIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI TENTANG PEDOMAN PENAMAAN JALAN DAN FASILITAS UMUM TIM PENYUSUN NASKAH AKADEMIK"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI

TENTANG

PEDOMAN PENAMAAN JALAN DAN FASILITAS UMUM

TIM PENYUSUN NASKAH AKADEMIK

KOTA BUKITTINGGI

2017

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita persembahkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Bukittinggi tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum dapat diselesaikan. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan sesuai dengan pedoman penyusunan Naskah Akademik berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan melalui penelitian serta menampung masukan dari tokoh masyarakat, akademisi, instansi terkait, serta kalangan pakar dibidangnya. Hal ini dilakukan sebagai proses penyusunan kebijakan publik yang secara komprehensif perlu melibatkan masyarakat.

Pada saat ini, perkembangan pembangunan jalan di Kota Bukittinggi khususnya mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga dibutuhkan suatu pengaturan guna memberikan kepastian hukum dan kejelasan kepada masyarakat dalam penamaan jalan dan fasilitas umum di Kota Bukittinggi.

Penamaan jalan dan fasilitas umum pada dasarnya merupakan salah satu hal terpenting yang harus diatur oleh pemerintah daerah sehingga tercipta keseragaman dalam penamaan jalan di Kota Bukittinggi kedepannya.

Akhir kata, tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat aktif menyumbangkan pemikiran dan tenaganya dalam membantu penyusunan Naskah Akademik ini. Tim penyusun juga mengharapkan

(3)

ii

masukan, kritikan, saran untuk perbaikan dan penyempurnaan Naskah Akademik sehingga menjadi menghasilkan Naskah Akademik yang sempurna dan dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara pada umumnya dan Kota Bukittinggi khususnya.

Bukittinggi, Juli 2017

Tim Penyusun

(4)

iii DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan ... 11

D. Metode Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian teoritis ... 15

B. Kajian tehadap asas/prinsip yang terkait dengan Penyusunan norma ... 55

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat ... 64

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan Daerah... 101

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT ... 105

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis……….. 117

(5)

iv

B. Landasan Sosiologis... 121 C. LandasanYuridis………...…….…. 123

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN………... 127

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan……….. ... 135 B. Saran... ... ... 137 DAFTAR PUSTAKA

(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diamanatkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas umum yang layak yang harus diatur dengan Undang-undang.1 Dalam rangka mewujudkan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut, maka Negara harus menyediakan fasilitas umum sesuai yang diamanatkan, salah satu fasilitas umum yang diperuntukkan bagi masyarakat adalah jalan. Jalan merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jalan sebagai sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting dalam mendukung perkembangan diberbagai bidang seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan yang perlu dikembangkan agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan. Untuk mewujudkan peranan jalan tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan jalan sesuai dengan amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

1 Lebih lanjut lihat Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(7)

2 Didalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan telah dijelaskan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.2 Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut maka segala pengaturan mengenai jalan harus tunduk kepada aturan yang ada didalam Undang-Undang tersebut.

Keluarnya pengaturan mengenai penyelenggaraan jalan ini bertujuan untuk: 1) mewujudkan ketertiban dan kepastian dalam penyelenggaraan jalan;

2) mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan; 3) mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian pelayanan pada masyarakat; 4) mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; 5) mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan 6) mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka. Dengan adanya pengaturan mengenai penyelenggaraan jalan melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan diharapkan dapat mengakomodir perkembangan yang ada ditengah-tengah masyarakat terutama terkait dengan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan.

2 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

(8)

3 Disamping itu, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan juga telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.3 Kewenangan Pemerintah Kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota yang dapat dijabarkan dalam bentuk: 4

a. Pengaturan jalan yaitu kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang- undangan jalan. Pembinaan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan.

b. Pembangunan jalan yaitu kegiatan pemrograman dan penganggatan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.

c. Pengawasan jalan yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan.

Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan tersebut kembali dijabarkan apa yang menjadi kewenangan

3 Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444)

4 Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 10 sampai dengan angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444)

(9)

4 pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jalan. Kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jalan tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.5

Pengaturan lainnya yang ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 yang terkait dengan penyelenggaraan jalan adalah dokumen jalan yang meliputi leger jalan, dokumen asset jalan, gambar terlaksana, dan dokumen lain fungsi jalan. Leger jalan adalah Dokumen yang memuat data dan informasi mengenai perkembangan suatu ruas jalan.

Setiap penyelenggara jalan wajib mengadakan leger jalan yang meliputi pembuatan, penetapan, pemantauan, pemutakhiran, penyimpanan dan pemeliharaan, penggantian, serta penyampaian informasi.6 Leger jalan sekurang-kurangnya memuat data sebagai berikut: data identitas jalan, data jalan, peta lokasi ruas jalan, dan data ruang milik jalan. Data identitas jalan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan meliputi: nomor dan nama ruas jalan, nama pengenal jalan, titik awal dan akhir serta jurusan jalan, sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan, dan kelas jalan.

Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan penamaan jalan ini sangat penting dalam rangka mengadakan leger jalan yang akan

5 Pasal 58 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655).

6 Pasal 115 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655).

(10)

5 dipergunakan untuk penyusunan rencana dan program pembangunan jalan dan pendataan tentang sejarah perkembangan suatu ruas jalan.7

Pengaturan secara khusus mengenai penamaan jalan dan fasilitas umum memang tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengaturan mengenai penamaan jalan dan fasilitas umum dapat dilakukan sesuai dengan kewenangan kabupaten/kota sebagai daerah otonom sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas sudah terlihat bahwa pemerintah daerah pada dasarnya mempunyai kewenangan dalam rangka penyelenggaraan jalan. Pengaturan mengenai penamaan jalan merupakan bagian kecil dari penyelenggaraan jalan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Beranjak dari kewenangan yang dimiliki oleh kabupaten/kota tersebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi telah berinisiatif 8 untuk menyusun suatu

7 Pasal 116 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655)

8 Sesuai dengan Pasal 240 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) bahwa”Penyusunan rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari

(11)

6 Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

Kota Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di provinsi Sumatera Barat.

Kota Bukittinggi pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Panjang jalan di Kota Bukittinggi tahun 2015 sepanjang 198,18 KM.9 Jumlah penduduk Kota Bukittinggi pada tahun 2015 adalah 122.621 jiwa dengan laju pertumbuuhan penduduk sebesar 1,77 persen per tahun.10 Semangat membangun masyarakat Bukittinggi cukup menggembirakan, terbukti dengan meningkatnya kesejahteraan hidup yang umumnya bermata pencarian sebagai pedagang, pegawai, petani, pengusaha industri kecil dan kerajinan serta jasa-jasa lainnya.

Kota Bukittinggi memiliki visi terwujudnya Bukittinggi sebagai kota tujuan pariwisata, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa berlandaskan nilai-nilai agama dan budaya. Sedangkan misi kota Bukittinggi yaitu 1) mengembangkan dan memberdayakan partisipasi berbagai potensi pemangku kepentingan (Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat), 2) Meningkatkan kinerja pemerintah daerah secara professional, transparan, akuntabel dan mempunyai jiwa kewirausahaan, 3) Meningkatkan pembangunan, penataan, dan pengelolaan sarana dan prasarana kota secara terpadu berwawasan lingkungan, 4) mengembangkan sistem ekonomi perkotaan secara lebih

DPRD atau kepala daerah”. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

9 Ibid

10 Kota Bukittinggi Dalam Angka Tahun 2016

(12)

7 berdaya guna, 5) meningkatkan kualitas pelayanan pariwisata, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa serta kesejahteraan sosial masyarakat.

Untuk mendukung terlaksananya visi dan misi Kota Bukittinggi sebagaimana dijelaskan diatas, perlu adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk salah satunya jalan. Pada saat ini, perkembangan pembangunan jalan di Kota Bukittinggi mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga dibutuhkan suatu pengaturan sebagai pedoman guna memberikan kepastian hukum dan kejelasan kepada masyarakat dalam penamaan jalan dan fasilitas umum.

Sejalan dengan misi Kota Bukittinggi untuk meningkatkan pembangunan, penataan, dan pengelolaan sarana dan prasarana kota secara terpadu berwawasan lingkungan, penamaan jalan dan fasilitas umum merupakan suatu hal yang perlu menjadi perhatian. Hal ini dikarenakan selama ini, pada prakteknya cukup banyak permasalahan yang timbul dalam penamaan jalan dan fasilitas umum. Sehubungan dengan penamaan jalan, menurut pendapat Jimly Asshiddiqie sampai saat ini memang belum ada dan belum jelas aturan mengenai pola penamaan jalan di seluruh Indonesia sehingga kerap dilakukan dengan cara berbeda-berda.11

Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa dalam upaya penamaan jalan dan fasilitas umum selama ini masih ada kecenderungan kurangnya koordinasi dan keterlibatan masyarakat. Beberapa permasalahan yang ditemukan terkait dengan penamaan jalan dan fasilitas umum diantaranya: belum adanya kriteria

11 Jimly Asshiddiqie, sebagaimana dikutip dalam

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52255454bef2f/aturan-pemberian-nama-jalan, diakses pada tanggal 3 Oktober 2016, pukul 14:40 WIB.

(13)

8 yang jelas tentang penggunaan nama-nama tertentu pada penetapan nama sebuah jalan, banyaknya nama tokoh daerah yang tidak dijadikan nama jalan, belum adanya peran aktif masyarakat dalam penamaan jalan, masih adanya jalan-jalan yang belum diberi nama, serta permasalahan-permasalahan lainnya terkait dengan penamaan jalan dan fasilitas umum yang menuntut adanya suatu pengaturan yang jelas dan tegas mengenai penamaan jalan dan fasilitas umum ini. Oleh karena itu, nama-nama jalan dan fasilitas umum yang sudah ada saat ini perlu diatur dan ditertibkan sehingga diharapkan terciptanya kesegaraman dalam konstruksi dan/atau penyebutan nama jalan.

Sebelumnya Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi telah membuat kebijakan terkait dengan penetapan status ruas jalan sebagai jalan kota di Bukittinggi pada Tahun 2012 melalui Keputusan Walikota Bukittinggi Nomor 188.45.117.2012. Namun, Peraturan yang telah ada tersebut belum bisa mengakomodir secara lengkap mengenai bagaimana prosedur dan tata cara penamaan jalan dan fasilitas umum karena substansi dari keputusan tersebut hanya mengatur mengenai nama-nama jalan yang ada di Kota Bukittinggi.

Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan suatu penamaan jalan dan fasilitas umum yang konprehensif, sesuai dengan kondisi serta aspirasi masyarakat Kota Bukittinggi, dan memudahkan langkah prosedural serta memberikan pedoman yang jelas dalam penamaan jalan dan fasilitas umum maka perlu dibentuk suatu aturan yang jelas berupa Peraturan Daerah yang bisa dijadikan pedoman dalam penamaan jalan dan fasilitas umum di Kota Bukittinggi kedepannya.

(14)

9 Pemerintah Daerah mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penyusunan peraturan daerah. Penyusunan Peraturan Daerah tersebut sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah, didalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dinyatakan bahwa

“Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.12 Peraturan Daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara tegas telah mengamanatkan bahwa penyusunan Rancangan Peraturan Daerah didahului dengan sebuah pengkajian yang mendalam yang tertuang dalam Naskah Akademik.13 Naskah akademik merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

12 Josef Mario Montero, Pemahaman Dasar Hukum Pemerintahan Daerah “Konsepsi, Kewenangan, Organisasi, Desa, Produk Hukum Desa, dan Peraturan Daerah”, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016, hlm.77

13 Lebih lanjut lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

(15)

10 Naskah akademik pada prinsipnya sangat penting dan dibutuhkan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pentingnya Naskah Akademik dalam setiap rancangan peraturan perundang-undangan karena dalam Naskah Akademik itulah akan ditemui dasar-dasar kebenaran ilmiah baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis suatu aturan yang akan ditetapkan. Dengan adanya kajian yang mendalam melalui Naskah Akademik tentang Penamaan Jalan dan fasilitas umum diharapkan permasalahan yang ada mengenai Penamaan Jalan di Kota Bukittinggi dapat diatur sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Kota Bukittinggi dan ketentuan peraturan perundang- undangan dalam rumusan norma Peraturan Daerah.

B. Identifikasi Masalah

Didalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Bukittinggi tentang Pedoman Penamaan Jalan dan fasilitas umum perlu dibuat identifikasi masalah yang memuat rumusan permasalahan terkait dengan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum yang akan diatur dalam Peraturan Daerah.

Adapun identifikasi masalah dalam Naskah Akademik ini meliputi:

1. Permasalahan apa yang dihadapi berkaitan dengan pengaturan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum?

2. Bagaimana kedudukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum sebagai dasar pemecahan masalah berkaitan dengan pengaturan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum?

(16)

11 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum?

C. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang telah dikemukakan diatas, tujuan penyusunan Naskah Akademik ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

2. Merumuskan alasan perlunya dibentuk Rancangan Peraturan daerah tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

Sedangkan kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum ini

(17)

12 adalah sebagai acuan atau referensi dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah nantinya.

D. Metode Penelitian

Penyusunan naskah akademik merupakan suatu kegiatan penelitian yang berbasis metode penelitian hukum atau penelitian lain.14 Penelitian hukum dilakukan melalui metode yuridis normatif dan yuridis empiris atau yang dikenal dengan sosiolegal research. Pada penelitian hukum yang sosiologis, hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variable-variabel sosial yang lain. Penelitian Hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.15

Penyusunan naskah akademik Kota Bukittinggi tentang Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris atau sosiolegal research yaitu penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan dan dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang akan

14 Penjabaran mengenai teknik penyusunan naskah akademik dapat dilihat dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

15 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Ketujuh, 2013, hlm.118

(18)

13 dibentuk. Penelitian yuridis empiris sangat berguna untuk menemukan bagaimana suatu aturan hukum berlaku ditengah masyarakat atau bagaimana masyarakat memberlakukan suatu aturan hukum.16

Penelitian ini diawali dengan penelitian secara normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan tentang Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum. Penelitian ini juga didukung dengan studi dokumen terhadap data hukum yang terdiri dari data sekunder dan tersier. Data hukum sekunder berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: Undang-Undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat para pakar hukum. Sedangkan data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), ensiklopedia, dan lain-lain.17

Setelah dilakukan pengumpulan data melalui studi dokumen dan kebijakan hukum lainnya, kegiatan penelitian dilanjutkan dengan “diskusi publik” yang melibatkan beberapa pihak dari berbagai unsur masyarakat dan instansi terkait. Diskusi publik ini bertujuan untuk mendengar aspirasi dan mengumpulkan pendapat, saran serta masukan dari stakeholders sehingga diperoleh informasi yang akurat tentang kondisi dan kebutuhan masyarakat Kota Bukittinggi terkait dengan Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

Disamping itu, dilakukan juga observasi yang mendalam dan penyebarluasan kuesioner guna mendukung kelengkapan data dan informasi

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.114

(19)

14 dalam penyusunan Naskah Akademik ini. Data dan informasi yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan dituangkan dalam rumusan Naskah Akademik secara final sebagai kerangka acuan dalam pembentukan Peraturan Daerah Kota Bukittinggi tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Fasilitas Umum.

(20)

15 BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORETIS 1. Konsep Desentralisasi

Di Indonesia, desentralisasi sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diamandemen memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Namun demikian, penyelenggaraan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah berjalan sejak sebelum masa kemerdekaan, dan puncaknya ditandai dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang masing-masing diperbaharui dan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi suatu konsep yang dijalankan dengan mempertimbangkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia.

Di era kemerdekaan, Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah

(21)

16 yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi. Hal ini menjadi dasar pemikiran untuk berlakunya prinsip desentralisasi di Indonesia. Pasal 18 tersebut berbunyi:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa”.

Desentralisasi pada saat sekarang ini sudah menjadi prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Berlakunya prinsip desentralisasi ini disebabkan karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Secara formal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(22)

17 Dengan diberlakukannya konsep desentralisasi dalam sistem pemerintahan menjadikan prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan yang diserahkan pusat menjadi tanggung jawab daerah, baik politik pelaksanaan, perencanaan, maupun mengenai segi pembiayaan dengan menjadikan perangkat daerah sebagai perangkat pelaksananya.

Dengan kata lain desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari hierarki yang lebih tinggi kepada hierarki yang lebih rendah dalam hal pengambilan keputusan dan penentuan dengan cara bagaimana kegiatan pemerintahan akan dijalankan.

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi.

Dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah maka pemeirntah pusat tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang berperan dalam pembangunan dan berimplikasi pada perubahan menyangkut efektifitas dan efisiensi dalam pemerintahan karena ketika pemerintah daerah diberi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk ikut serta mengelola daerahnya maka secara normatif daerah akan lebih merespon hak-hak masyarakat yang ada di daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan dengan berdasarkan pada konsep desentralisasi dilakukan sebagai usaha pendemokrasian pemeirntah daerah untuk mengikutsertakan rakyat sehingga juga memiliki tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, desentralisasi dilakukan sebagai upaya untuk mencegah pemusatan keuangan yang hanya bertumpu

(23)

18 pada pemeirntah pusat. Hal lain yang menjadi latar belakang diadakannya konsep desentralisasi ini adalah sebagai upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk kegiatan utama, yaitu:18

1. Dekonsentrasi wewenang administratif.

Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.

2. Delegasi kepada penguasa otorita.

Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewewenangan manajerial untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu organisasi yang secara langsung berada di bawah pengawasan pusat.

3. Devolusi kepada pemerintah daerah.

Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan

18 https://novaandriatnas.wordpress.com/2013/05/31/dampak-bentuk-pemerintahan- desentralisasi/, diakses tanggal 7 Oktober 2016 Pukul 10.45 WIB

(24)

19 kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan, keuangan dan manajemen.

4. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta.

Yang disebut sebagai pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada organisasi swasta.

Menurut Sujatman, pada dasarnya otonomi daerah meliputi:19

1. Hak untuk mengurus rumah tanggannya sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak untuk mengurus rumah tangga sendiri bersumber dari wewenang pangkal urusan-urusan pemerintahan pusat yang diserahkan kepada daerah. Mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah.

2. Dalam kebebasan untuk menjalankan hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, daerah tidak diperbolehkan untuk menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.

3. Daerah yang satu tidak diperbolehkan untuk mencampuri daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.

19 http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-otonomi-daerah-dan-daerah- otonom.html diakses tanggal 13 Oktober 2016, Pukul 10.30.

(25)

20 4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri bukan merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Dalam perwujudan otonomi daerah, terdapat tiga asas utama yang menjadi pedoman pelaksanaan otonomi daerah. Asas-asas tersebut diantaranya:

a. Asas Desentralisasi

Secara etimologi desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu “de”

yang berarti lepas, dan “centrum” yang berarti pusat. Decentrum dapat diartikan dengan melepas dari pusat. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, namun tidak untuk semua hal. Ada beberapa hal yang masih terpusat yaitu mengenai keamanan, hukum dan kebijakan fiskal.

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakat.

Menurut J.H.A. Logeman dalam Tjahya Supriatna, desentralisasi ada dua macam yaitu:20

1. Desentralisasi jabatan atau dekonsentrasi (ambtelijke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan

20 Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm. 12

(26)

21 lebih tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintah.

2. Desentralisasi ketatanegaraan atau staatkundige decentralisatie yang sering disebut desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangdan dan pemerintahan (regelende en bestururende bevoerheid) kepada daerah-daerah otonom dalam lingkungannya.

Didalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta dalam pemerintahan dengan batas wilayah daerah masing-masing.

Mustari memberikan pengertian desentralisasi sebagai pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang dibidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula.21 Lebih lanjut Mustari menambahkan bahwa “desentralisasi” menurut kepustakaan dikenal dua macam yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke desentralisatie) dan Desentralisasi kenegaraan (staatskundige desentralisatie).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan

21 http://faisalahmadfani.blogspot.co.id/2012/10/pemahaman-desentralisasi-dan- otonomi.html diakses tanggal 13 oktober 2016 Pukul 13.05 WIB

(27)

22 pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemeirntahan daerah. Otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.

Adanya desentralisasi memberikan dampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara karena daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.

Dengan berlakunya desentralisasi daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan penjabaran secara lebih lanjut dari prinsip otonomi dimana daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan selain yang menjadi urusan pemerintahan pusat.

Desentralisasi dipandang dapat lebih mendekatkan dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan pemerintah sehingga penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat berjalan secara transparan sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Dalam Subarsono, menurut Rondinelli & Cheema dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai: “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari

(28)

23 pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi non pemerintah”.22

Menurut Dennis A. Rondinelli, John R, Nellis dan G. Sabbier Cheema dalam Sirajjudin, desentralisasi sangat dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan budaya seperti:23

1. Sampai seberapa jauh birokrasi politik lokal mendukung desentralisasi melalui pelimpahan organisasi dan tanggungjawabnya.

2. Seberapa jauh perilaku, sikap dan budaya yang mendukung terciptanya iklim desentralisasi pengambilan keputusan dan pemerintahan.

3. Kebijakan dan program yang dirancang memadai untuk mendorong desentralisasi pengambilan keputusan dan manajemen pembangunan.

4. Sampai seberapa jauh tersedianya sumber dana atau keuangan yang memadai bagi organisasi yang mendapat pelimpahan tanggungjawab.

Selanjutnya, Cheema dan Rondinelli membagi desentralisasi menjadi empat tipe yaitu:24

1. Desentralisasi politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara positif di masyarakat.

22 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik Konsep; Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

23 Sirajuddin, SH, MH, dkk, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, Setara Press, Malang, hlm. 64

24 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik Konsep; Teori dan Aplikasi, Op.Cit.

(29)

24 2. Desentralisasi administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien.

3. Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana.

4. Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggung jawab yang berkaitan sektor publik ke sektor privat.

b. Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi merupakan salah satu cara dari penyelenggaraan pemerintahan yang menghubungkan antara pemerintah pusat dengan daerah dimana hubungan keduanya maish dianggap sangat dipengaruhi oleh bentuk negara. Dalam pelaksanaan pemerintahan dikenal dua cara dalam menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi adalah pola hubungan pemerintah pusat dan daerah dimana segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintah sepenuhnya berada pada pemerintah pusat dan pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi adalah pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dimana semua urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada daerah.

Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:25

25 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 311- 312

(30)

25 1. Dari segi wewenang asas ini memberikan/melimpahkan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya didaerah untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah pusat yang ada didaerah, termasuk juga pelimpahan wewenang pejabat-pejabat atasan kepada tingkat dibawahnya.

2. Dari segi pembentuk pemerintahan berarti membentuk pemerintah lokal administrasi didaerah, untuk diberi tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan pusat yang ada didaerah.

3. Dari segi pembagian wilayah, asas ini membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah pemerintah lokal administratif atau akan membagi wilayah negara menjadi wilayah-wilayah administratif.

Harold F. Aldefer dalam M.R Khairul Muluk menjelaskan, pelimpahan wewenang dalam bentuk dekonsentrasi semata-mata menyusun unit administrasi baik tunggal ataupun dalam hiearki, baik itu terpisah ataupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya.26 Dalam menjalankan asas dekonsentrasi, tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat pemerintah didaerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan tersebut tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaan. Unsur pelaksana adalah instansi-

26 M.R. Khairul Muluk, Peta Konsep Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, ITS Press, Surabaya, 2009

(31)

26 instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku perangkat pemerintah pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat.

Pelaksanaan asas dekonsentrasi diserahkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota.

Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat dimaknai bahwa dekonsentrasi sampai pada level kabupaten/kota dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagai wakil pemerintah pusat. Fungsi Gubernur dan bupati/walikota bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah.

Asas dekonsentrasi diselenggarakan karena ketidak mampuan negara dalam menjalankan sentralisasi. Ada dua konsep dekonsentrasi yaitu:27

27 Sirajuddin, SH, MH, dkk, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, Op.Cit, hlm.55

(32)

27 1. Kosep Statis, suatu keadaan dalam organisasi negara proses pengambilan kebijakan berada dipuncak hierarki organisasi, tetapi proses pelaksanaan kebijakan tersebar diluar puncak hierarki organisasi atau tersebar diseluruh pelosok wilayah negara.

2. Konsep dinamis, suatu proses penyebaran kekuasaan (wewenang) untuk mengimplementasi kebijakan diluar puncak organisasi atau diseluruh pelosok wilayah negara.

Menurut Amrah Muslimin, dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah.28 Selanjutnya menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara.29 Bagir Manan menyimpulkan bahwa dekonsentrasi terletak dalam lingkungan hukum administrasi negara karena pada dasarnya dekonsentrasi ini dilaksanakan untuk memudahkan tugas-tugas pemerintahan pusat yang diselenggarakan di daerah.

Asas dekonsentrasi tidak melahirkan daerah otonom, melainkan wilayah administratif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 14, yang menyatakan bahwa:

“Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

28 Amrah Muslimin, Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 4

29 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSP) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.

(33)

28 Pemerintah Pusat di Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di Daerah”.

c. Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan dalam hukum tata negara dikenal juga dengan istilah Medebewind, istilah yang diadopsi dari Hukum Tata Negara Belanda. Baik dalam otonomi maupun tugas pembantuan, daerah sama- sama mempunyai kebebasan mengatur dan menyelenggarakan urusan tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, kesusilaan dan kepentingan umum.

Menurut Koesoemahatmadja, dalam menjalankan tugas pembantuan tersebut urusan yang dijalankan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat, tidak beralih menjadi urusan pemerintah daerah yang dimintakan bantuan.30 Akan tetapi, dalam cara pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah yang menerima tugas pembantuan.

Menurut Bagir Manan31, tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perudang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan.

30 Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1979.

31 Bagir Manan, Op.Cit

(34)

29 Selanjutnya menurut Joeniarto dalam Ni’matul Huda32, disamping pemerintahan lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, kepadanya dapat pula diberi tugas-tugas pembantuan (tugas medebewind, sertantra). Tugas pembantuan ialah tugas ikut melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat atau pemerintah lokal yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangga tingkat atasannya.

Beda tugas pembantuan dengan tugas rumah tangga sendiri, disini merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah atasannya. Kepada pemerintah lokal yang bersangkutan diminta untuk ikut membantu penyelenggaraannya saja. Oleh karena itu, dalam tugas pembantuan tersebut pemerintah lokal yang bersangkutan berwenang mengatur dan mengurus, sebatas penyelenggaraanya saja.

Menurut Ateng Syafrudin33, dasar pertimbangan pelaksanaan asas tugas pembantuan antara lain:

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah dan atau pemerintah daerah.

2. Sifat sesuatu urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan pemerintah daerah.

3. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan pemerintahan akan lebih berdaya guna dan berhasil huna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah.

Tugas pembantuan hanya bersifat “membantu” dan tidak dalam konteks hubungan “atasan bawahan”. Pada dasarnya tugas pembantuan

32 Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm. 313

33 Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1985

(35)

30 adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Daerah terikat untuk melaksanakan peraturan perundang- undangan, termasuk yang diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.

Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada daerah meliputi sebagian tugas-tugas pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah akan lebih efektif dan efisien. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidnag tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas

(36)

31 kabupaten/kota dibidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.

Desentralisasi merupakan bagian yang sangat penting dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Penyerahan kewenangan untuk mengatur tentang jalan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah menjadi salah satu cara untuk menampung berbagai aspirasi masyarakat terkait dengan Penamaan jalan dan fasilitas umum. Dengan demikian desentralisasi menjadikan masyarakat berperan aktif dalam kegiatan penamaan jalan dan fasilitas umum dimana pemerintah daerah juga dapat berperan bersama-sama dengan masyarakat. Hal ini akan mengubah sistem kearah yang lebih baik dengan melibatkan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bersama.

2. Teori Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil

(37)

32 pembangunan.34 Menurut Sundariningrum mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu:35

a. Partisipasi Langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.

b. Partisipasi Tidak Langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu mebdelegasikan hak partisipasinya.

Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D membedakan partisipasi menjadi empat jenis, yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan, partipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan, dan partisipasi dalam evaluasi36. Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan.

34 I Nyoman Sumaryadi, Efektifitas Implementasi Otonomi Daerah, Jakarta, Citra Utama, 2010

35 Sundariningrum, Partisipasi Masyarakat, Penerbit Pelajar, Yogjakarta, 2001.

36 Siti Irene Astuti D, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, Pustaka Pelajar. Yogjakarta.

(38)

33 Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program.

Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat.

Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas.

Dari segi kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase keberhasilan program. Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya.

Hal yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oelh Department for International Development (DFID) adalah:37

37 https://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/partisipasi-masyarakat/ diakses tanggal 20 oktober 2016 Pukul 14.00

(39)

34 a. Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.

b. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

c. Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.

d. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.

e. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

f. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.

(40)

35 g. Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.

Angell mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi yaitu:38

a. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

b. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur”

yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.

c. Pendidikan

38 https://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/partisipasi-masyarakat/ diakses tanggal 20 Oktober 2016 Pukul 15.10 WIB

(41)

36 Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.

Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.

d. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

e. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Vaneklasen dan Miller membagi partisipasi atas:39 a. Partisipasi Simbolis

39 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42232/3/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2016 Pukul 20.00 WIB

(42)

37 Masyarakat duduk dalam lembaga resmi tanpa melalui proses pemilihan dan tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya.

b. Partisipasi Pasif

Masyarakat diberi informasi atas apa yang sudah diputuskan dan apa yang sudah terjadi. Pengambil keputusan menyampaikan informasi tetapi tidak mendengarkan tanggapan dari masyarakat sehingga informasi hanya berjalan satu arah.

c. Partisipasi Konsultatif

Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan.

Hasil jawaban dianalisis pihak luar untuk identifikasi masalah dan cara pengatasan masalah tanpa memasukkan pandangan masyarakat.

d. Partisipasi dengan Insentif Material

Masyarakat menyumbangkan tenaganya untuk mendapatkan makanan, uang, atau imbalan lainnya. Masyarakat menyediakan sumber daya, namun tidak terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga mereka tidak memiliki keterikatan untuk meneruskan partisipasinya ketika masa pemberian insentif selesai.

e. Partisipasi Fungsional

Masyarakat berpartisipasi karena adanya permintaan dari lembaga eksternal untuk memenuhi tujuan. Mungkin ada keputusan bersama tetapi biasanya terjadi setelah keputusan besar diambil.

f. Partisipasi Interaktif

(43)

38 Masyarakat berpatisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat mencapai tujuan, prosesnya melibatkan metodologi dalam mencari perspektif yang berbeda dan serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan maka mereka akan mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan institusi lokal yang ada di masyarakat juga menjadi kuat.

g. Pengorganisasian Diri

Masyarakat berpartisipasi dengan merencanakan aksi secara mandiri.

Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga eksternal untuk sumber daya dan saran-saran teknis yang dibutuhkan, tetapi kontrol bagaimana sumber daya tersebut digunakan berada di tangan masyarakat sepenuhnya.

Partisipasi masyarakat sering dipandang sebagai keterlibatan dalam kepengurusan, pertemuan resmi dan prosedur-prosedur lainnya. Partisipasi masyarakat sebagai masukan dapat meningkatkan usaha perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan untuk berkembang secara mandiri. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan awal masyarakat untuk berkembang. Masyarakat yang mempunyai kemampuan berkembang dapat membangun dengan atau tanpa berpartisipasi vertikal dengan pihak lain.

Dalam hal penamaan jalan dan fasilitas umum, tidak dapat dilepaskan dari partisipasi masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pemeliharaan jalan,

(44)

39 perlu adanya koordinasi dengan pola tertentu antara pemerintah daerah dengan masyarakat sebagai pihak yang memanfaatkan sarana jalan. Peran masyarakat dalam hal ini perlu dilibatkan untuk menyelenggarakan penamaan jalan dan fasilitas umum baik secara langsung maupun tidak langsung. Nama jalan mempunyai implikasi yang besar terhadap hak-hak masyarakat, tujuan penamaan jalan dan fasilitas umum dapat memberi kemudahan memperoleh informasi dan transportasi, sebagai penghargaan terhadap jasa seseorang atas perjuangannya pada waktu revolusi fisik maupun pembangunan, sebagai pengawasan aset-aset yang menjadi milik pemerintah daerah, dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan, mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat, dan mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat.

3. Kajian tentang Jalan

Sejarah jalan pada hakikatnya dimulai bersama dengan sejarah manusia, pada saat mula pertama manusia ada dibumi. Usaha pertama yang dilakukan manusia adalah mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Jalan memiliki peran yang sangat penting sebagai infrastruktur pendukung dalam pembangunan. Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Sebagai salah satu fasilitas umum, jalan merupakan unsur utama yang harus dipenuhi oleh pemerintah maupun pemerintah daerah

(45)

40 untuk menjamin pelayanan terhadap masyarakat. Penyelenggaraan jalan sebagai salah satu kegiatan dalam mewujudkan prasarana transportasi yang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah.

Dalam perkembangan dunia, sejarah mencatat keberhasilan bangsa Persia dan Romawi dalan pembangunan jalan, yaitu:40

1. Semenjak abad ke-6 SM, bangsa Persia telah membuat jalan ± 1755 mil, yang melewati Asia kecil, Asia Barat Daya sampai Teluk Persia.

2. Antara abad ke 4 SM sampai dengan abad ke 4 Masehi, bangsa bangsa Romawi telah membangun jalan ± 50.000 mil yang membentang mulai dari Italia – Perancis – Inggris – hingga bagian barat Asia kecil dan bagian utara Afrika.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusi menjamin tersedianya fasiltas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas umum yang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4). Jalan merupakan salah satu dari fasilitas umum yang harus disediakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam rangka menjamin pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut secara khusus diatur dalam Undang-

40 http://khoirulabadi.staff.umm.ac.id/files/2010/09/B-1-26-Pendahuluan.pdf diakses tanggal 27 Oktober 2016 Pukul 15.10 WIB

(46)

41 Undang. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan mengatur secara rinci uraian yang berkaitan dengan jalan.

Sejak kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jalan adalah:

1. Wegverkeerordonantie (Stb. 1933 No. 86) dengan perubahan dan tambahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951.

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya yang pada dasamya hanya mengatur mengenai lalu-lintas dan angkutan jalan raya terutama jalan umum.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan yang secara khusus mengatur mengenai prasarana jalan yang kemudian ditindaklanjuti dengan 2 buah Peraturan Pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan memberikan definisi jalan yaitu prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan

(47)

42 merupakan salah satu fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah sebagai komponen penting yang mendukung sistem transportasi.

Jalan sebagai bagian sistem transportasi mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik, serta pertahanan dan keamanan. Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan unsur utama dalam menghubungkan proses produksi, pasar dan konsumen akhir. Dari aspek sosial budaya, keberadaan jalan membuka wawasan masyarakat yang dapat menjadi dasar terjadinya perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya. Dari aspek lingkungan, keberadaan jalan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dari aspek politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat antar daerah,s edangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan memberikan akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan.

Peranan-peranan tersebut diatas sangat vital bagi kehidupan bangsa karena dengan adanya jalan maka akan dicapai kemudahan-kemudahan dan keseimbangan pertumbuhan antar daerah.

Dalam penyelenggaraannya, jalan dikelompokkan menjadi jalan umum dan jalan khusus. Pengelompokkan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum sesuai dengan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah. Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan umum adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan

Referensi

Dokumen terkait

support, perusahaan harus mendapatkan informasi yang tepat tetang customer dan CRS harus ditraining dengan baik dalam melakukan dialog cross-selling agar dia dapat.

Distribusi Proporsi Penderita DM dengan Komplikasi yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RS Vita Insani Pematangsiantar Tahun 2011.. Berdasarkan tabel

Maksud penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian adalah memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman diperlukan Peraturan

Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM termasuk termasuk naskah akademik, rancangan awal s/d rancangan akhir dan telaah hukumb. Rancangan Peraturan Pemerintah termasuk naskah

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO TENTANG PENYELENGGARAAN CADANGAN PANGAN DINAS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN SITUBONDO 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan identifikasi masalah dalam rangka penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Mengingat modal BUMD merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, maka mekanisme penyertaan modal merupakan salah satu pilihan paling rasional atas perubahan status

Adanya perbedaan kuantitas antara jumlah menara yang disebutkan secara eksplisit dalam lampiran Peratruan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas