ANALISIS TERHADAP PRAKTEK MASYARAKAT KEC.
MANGARAN KAB. SITUBONDO TENTANG JATUHNYA TALAK TANPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
ABD KARIM FAIZ NIM : 062111042
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
IAINWALISONGO S E MARANG
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Desember 2010 Deklarator
ABD KARIM FAIZ NIM : 62111042
ABSTRAKSI
Ikatan perkawinan yang sakinah mawaddah wa rahmah selalu menjadi dambaan pasangan suami istri. Harapan manusia kadang tidak sejalan dengan realita, begitu juga dalam hal perkawinan, perceraian terkadang tidak dapat dihindarkan dan menjadi pilihan mengakhiri ikatan perkawinan.
Secara ushuliyah keabsahan suatu perkara dipandang dari kelengkapan rukun dan syaratnya, jika rukun dan syaratnya sudah lengkap maka tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa perbuatan tersebut sah. Sama halnya dengan perceraian, dalam konsep fiqih jumhur, terlebih Fiqih Syafi’iyah jika rukun dan syaratnya sudah lengkap, yakni : 1. Suami (lengkap dengan persyaratannya), 2.
Istri (lengkap dengan persyaratannya) dan 3. Redaksi (sighat) talaknya (lengkap dengan persyaratannya) sudah lengkap, dalam “kacamata” fiqih perceraianya sah dan ikatan perkawinan terputus.
Perceraian dalam Hukum di Indonesia bagi Umat Islam aturannya termaktub dalam beberapa pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang perceraian. Berbeda dengan konsep fiqih, keabsahan perceraian dalam “kacamata” Hukum Islam di Indonesia tidak hanya dengan kelengkapan rukun dan syaratnya, putusan pengadilan adalah justifikasi akhir perceraiannya sah dan tidaknya, serta ikatan perkawinannya terputus atau tidak. Hal ini karena talak dalam prespektif Hukum Islam di Indonesia adalah ikrar di depan sidang pengadilan.
Faktanya, sebagaimana dalam objek penelitian penulis yakni perceraian di Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo, terdapat praktek perceraian yang menganggap bahwa keabsahan perceraian adalah dalam “kacamata” fiqih. Hal ini sebagaimana dipaparkan dalam kasus-kasus yang terjadi di seluruh desa di Kecamatan Mangaran yang berjumlah enam (6) desa. Dalam pandangan mereka (Narasumber perceraian), Hukum Islam tentang perceraian yang diatur oleh Hukum Positif dengan melibatkan pengadilan tiada lain hanya sebagai administrasi.
Praktek perceraian tanpa putusan Pengadilan Agama dengan dalih keabsahan dalam pandangan Hukum Agama (fiqih) sejatinya mencederai universalitas konsep fiqih. Karena keabsahan fiqih dipandang secara parsial dengan hanya memandang dari sisi rukun dan syaratnya.
Mengambil jalan perceraian hal yang tidak mudah, prosedur yang telah diatur untuk pra-perceraian, kemaslahatan dan konsep hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat adalah hal yang juga menentukan keabsahan hukum. Sehingga hukum tidak “kaku” dan representatif dengan keadaan mayarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
MOTTO
"
"
) (
Penetapan syari at sejatinya untuk kemaslahatan manusia, sekarang dan masa yang akan datang serta menghilangkan kemafsadatan bagi mereka (As-Syatibi)
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk :
Ibunda dan Ayahanda tercinta dan tersayang Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu.
Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid
Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta at dan berbakti.
Kakek dan Nenek yang saya ta dzimi
Nasehat dan do amu mengobarkan semangat cucumu.
Seluruh keluarga
Dukungan kalian tak akan pernah saya sia-siakan.
Dan untuk teman-teman yang selalu menemani Bersama kita raih cita-cita kita.
Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Terhadap Praktek Masyarakat Kec.
Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama dengan baik tanpa banyak menemui kendala yang berarti.
Shalawat dan Salam Allah SWT. semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya yang telah membawa dan mengembangkan Islam hingga seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada :
1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-Pembantu Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas untuk belajar dari awal hingga akhir.
2. Bapak/Ibu Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya.
3. Ibu. Dra. Hj. Siti Amanah, M.Ag. dan Bpk. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II penulis skripsi ini, dengan penuh
kesabaran telah mencurahkan perhatian yang besar dalam memberikan bimbingan.
4. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.
5. Semua pihak yang ikut serta dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan do’a semoga Allah SWT, membalas segala jasa dan budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.
Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang semaksimal pula. Namun penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya.
Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 12 Desember 2010 Penulis,
ABD. Karim Faiz Nim : 062111042
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . .. . . i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING . . . ii
HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . iii
HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . iv
HALAMAN ABSTRAKS . . . v
HALAMAN MOTTO . . . vi
HALAMAN PERSEMBAHAN . . . vii
HALAMAN KATA PENGANTAR . . . viii
HALAMAN DAFTAR ISI . . . x
BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan ……….1
B. Perumusan Masalah ………7
C. Tujuan Penelitian ………8
D. Telaah Pustaka ………8
E. Metode Penelitian ………..10
F. Sistematika Penulisan ………14
BAB II : Ketentuan Umum Tentang Perceraian A. Putusnya Ikatan Perkawinan ………..16
1. Pengertian ………...………...17
2. Macam-Macamnya ....………17
B. Talak Dalam Prespektif Fiqih Munakahat ……….24
1. Pengertian Talak……….28
2. Dasar Hukum Talak dan Macam-Macam Hukumnya…………30
3. Macam-Macam Talak……….33
4. Hikmah Disyari’atkannya Talak ………40
5. Rukun Talak………41
6. Syarat-Syarat Talak……….42
C. Talak Dalam Prespektif Hukum Positif Indonesia………..46
1. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan………46
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)……… .48
BAB III : Praktek Masyarakat Kec. Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama A. Gambaran Umum Kabupaten Situbondo dan Masyarakat Kec. Mangaran, Kab. Situbondo ………...54
1. Gambaran Umum Kec. Mangaran ………...……….56
2. Keadaan Geografis ………… ……….. ………....57
3. Penduduk ………...59
4. Keadaan Pendidikan ………..61
5. Keadaan Ekonomi ………...62
6. Keadaan Agama ………65
7. Keadaan Sosial ………..67
B. Praktek Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama ………69
1. Kasus-Kasus ……….69
2. Penyebab Praktek Talak Diluar Pengadilan Agama ………….82
BAB IV : Analisis Terhadap Praktek Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama A. Analisis Praktek Talak Diluar Pengadilan Agama ………91
B. Analisis Praktek Talak Diluar Pengadilan Agama ; Prespektif Fiqih Munakahat dan Hukum Positif ………..95
BAB V : Penutup A. Kesimpulan………..109
B. Saran-saran………..111
C. Penutup………112 DAFTAR KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk ciptaan Allah SWT, termasuk manusia. Sebagimana firman-Nya1 :
`ÏBur Èe@à2
>äóÓx«
$oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry—
÷/ä3ª=yès9 tbrã•©.x‹s?
ÇÍÒÈ
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S. Ad-Dzariyat : 49)2
Hal yang senada juga diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, dinyatakan bahwa :
z`»ysö6ß™
“Ï%©!$#
t,n=y{
ylºurø—F{$#
$yg¯=à2
$£JÏB àMÎ7/Yè?
ÞÚö‘F{$#
ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr&
$£JÏBur Ÿw tbqßJn=ôètƒ
ÇÌÏÈ Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S. Yaasin : 36)3
Pada dasarnya, tujuan dan asas utama dari disyari’atkannya pernikahan ialah menjaga eksistensi keberadaan manusia di muka bumi (hifdzun nasl), hal ini sebagaimana tersirat dalam kandungan ayat :
1 Abdul Ghofur Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 12.
2 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm.
522.
3Ibid., hlm. 442.
ª!$#ur Ÿ@yèy_
Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr&
%[`ºurø—r&
Ÿ@yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurø—r&
tûüÏZt/
Zoy‰xÿymur Nä3s%y—u‘ur
z`ÏiB
ÏM»t6Íh‹©Ü9$#
4
È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr&
tbqãZÏB÷sムÏMyJ÷èÏZÎ/ur
«!$#
öNèd tbrã•àÿõ3tƒ ÇÐËÈ
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?. (Q.S. An-Nahl : 72)4
Selanjutnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menjadi tujuan dari setiap pembentukan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurø—r&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷•t/
Zo¨Šuq¨B
ºpyJômu‘ur
4
¨bÎ)
’Îû y7Ï9ºsŒ
;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã•©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir . (Q.S. Ar-Ruum : 21)5
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang suami atau isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Dengan mempertimbangkan bahwa perceraian adalah solusi terakhir dalam bahtera rumah tangga mereka.6
4Ibid., hlm. 274.
5Ibid., hlm. 406.
6 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam ; Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004, hlm. 99.
Perceraian bukanlah suatu hal yang disukai dalam Agama Islam, bahkan perceraian merupakan hal yang dikecam oleh Islam kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan.7 Rasulullah Saw. bersabda :
) (
"Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsi ia meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al-Washofi, dari Muharib bin Ditsar dari sahabat Abdillah bin Umar, berkata : Rasulullah Saw.
bersabda : Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian. (H.R. Imam Ibnu Majaah)8
Sehingga tidak ada seorang pun yang memahami Agama Islam dapat dengan mudah menggampangkan perceraian terkecuali dalam situasi yang darurat dan tidak dapat dihindari lagi yang mana hal itu telah diatur dan disahkan menurut Islam.
Karena Islam mempertimbangkan pernikahan adalah sebuah akad/kontrak yang serius (mitsaq ghalizh)9 dan merupakan tanggung jawab dari kedua belah pihak (suami isteri) untuk menjalankan akad/kontrak tersebut
7 Konsep hukum talak pada dasarnya sama dengan hukum yang lain, yakni sesuai dengan motif dan latar belakangnya. Dalam suatu qo idah disebutkan bahwa al-ashlu fil asya i al- ibahatu hatta yadulla ad-dalilu ala tahrimihi maksudnya adalah dalam hal diluar ibadah semuanya boleh dilakukan kecuali sudah ditentukan dalam nash agama, seperti halnya talak. Talak pada hakikatnya makruh (lihat hadis) tapi ia bisa jadi haram, wajib ataupun sunnah sesuai dengan motif dipilihnya jalan talak. Lihat Lebih Lanjut Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 199.
8 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, Sunan Ibnu Majaah, Juz IV Semarang : Putra Semarang, tt, hlm. 175.
9 Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsaq ghalizh adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang tanggung jawabnya tidak hanya dibebankan di dunia akan tetapi juga di akhirat kelak, maka oleh karena itu, pemakaian mithaq ghalizh dipakai hanya untuk perjanjian yang sangat dipegang dan memiliki nilai tanggung jawab yang tinggi. Lihat penafsiran Abil Fida’ Isma’il Ibnu Katsir dalam surat An-Nisa’ ayat 154 dan surat Al-Ahzab ayat 7, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997, hlm 206.
dengan selalu mengingat Allah SWT dan mencari ridha-Nya untuk menjalani kontrak tersebut dengan segenap kemampuan mereka.10
Dalam pandangan Fiqih asumsi jatuhnya talak dari suami kepada istri pada dasanya tidak memerlukan niat, hal ini dikontekskan kepada kejelasan redaksi yang diucapkan ketika menjatuhkan talak. Jika redaksinya jelas, maka tanpa ragu Ulama’ Madzhab menghukumi bahwa talaknya sah dan ia (istri) tidak lagi halal bagi suaminya. Adapun redaksi yang berbentuk sindiran maka, diperlukan adanya niat dari yang mengucapkan redaksi tersebut, dikarenakan multi interpretasi makna dalam kata sindiran tersebut. Adapun hal yang mendasar adalah terpenuhinya syarat sahnya talak.11 Talak sejatinya hal yang bukanlah untuk disepelekan karena memiliki konsekuensi yang fatal, ini didasarkan kepada hadits dari Nabi Muhammad Saw. 12 :
) (
Diriwayatkan dari Hisyam bin Ammar dari Hatim bin Isma il dari Abdur Rohman bin Habib bin Ardak dari Atha bin Abi Rabah dari Yusuf bin Mahak dari sahabat Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Tiga hal dalam kondisi serius dianggap serius dan kondisi bercanda juga dianggap
10 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 200.
11 Syarat sah talak dalam Madzhab Imam Syafi’i adalah : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri. Lihat Musthofa Al-Khin, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Madzhabi Imam As-Syafi i, Beirut : Daar As-Syamiyah, 2007, hlm. 101-125.
12 Hadis ini banyak diriwayatkan oleh mukhrijul hadis, yakni dalam riwayat Imam At- Turmudzi, Sunan Imam Abu Daud, Sunan Al-Kubro Imam Baihaqi. Ibid., hlm. 126.
serius, yakni nikah, talak dan rujuk. (HR. Ibnu Majaah Dan Sunan Abu Daud)13
Dalam Hukum Positif di Indonesia perceraian merupakan salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan. UU perkawinan menyebutkan ada 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.14
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada istilah cerai talak.
Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat.
Bahkan ada perkawinan yang putus karena li an, khuluk, fasakh15 dan sebagainya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang
13 Abi Abdillah bin Muhammad bin Yazid Al-Qozwini Ibnu Majaah, op. cit., hlm. 208.
14 Moh Idris Ramulyo, op. cit., hlm. 20-28.
15Li an adalah sumpah yang diucapkan suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya. Khulu adalah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya. Fasakh adalah pembatalan pernikahan akibat pengaduan istri kepada hakim terhadap suaminya yang misalnya tidak sanggup memenuhi hak istrinya dan melaksanakan kewajibannya sebagai suami. Lihat, Muhammad Ja’far Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera Basritama, 2002, hlm. 456, 494, 481.
diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan.
Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002.16
Praktek keagamaan dalam masyarakat tidak bisa lepas dari keyakinan dan ideologi yang menjadi panutan praktek dalam keseharian mereka.17 Sebagaimana diterangkan di atas bahwa dalam Madzhab Syafi’i bahwa talak adalah hukum yang tidak bisa dipermainkan secara sepihak, karena sekalipun dalam keadaan gurauan dalam madzhab ini (Syafi’i) memiliki konsekuensi fatal yang menyebabkan hubungan seami istri menjadi terputus.
Talak berdasarkan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun 197418 “Perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI)19
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Memiliki kekuatan hukum dan keabsahan jika sudah diputus jatuh talak oleh Pengadilan Agama yang berwenang. Putusan ini (talak) jatuh
16 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 22.
17 Abdul Ghafur Ghazali, op. cit., hlm. 191.
18Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Citra Umbara, 2007, hlm. 16.
19Ibid., hlm. 268.
ketika proses mediasi kedua belah pihak mengalami jalan buntu dan Pengadilan Agama memandang bahwa syarat jatuhnya talak sudah terpenuhi.
Permasalahannya sekarang adalah, di Kecamatan Mangaran Kabupaten Situbondo, kabupaten yang dikenal dengan pelaksanaan Muktamar Organisasi Masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama’ (NU) pada tahun 1984 yang menjadi awal kembalinya NU ke khitahnya, terdapat sebagian Masyarakat Muslim yang melakukan praktek talak di luar Pengadilan Agama yang berwenang, sebagaimana diungkapkan oleh KH. Ahmad Djazuli20 bahwa ketika suami mengucapkan talak kepada sang istri, maka sah hukum jatuh talak kepada istrinya.
Pendapat ini diperkuat dengan praktek masyarakat yang menganggap bahwa putusnya hubungan suami istri bukan karena putusan hakim di Pengadilan Agama. Dalam prakteknya masyarakat menganggap bahwa putusan Pengadilan Agama tidak lain hanyalah bersifat administrasi yang memudahkan mereka (suami istri) dalam mengurus hak asuh anak (hadhanah), nafkah, harta bersama, dll.
Berdasarkan pemaparan kasus dan informasi di atas serta berbagai kontroversi yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengangkat dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Terhadap Praktek Masyarakat Kec.
20 KH. Ahmad Djazuli adalah salah satu sesepuh dan tokoh masyarakat yang beralamatkan di Dusun Sokaan, Desa Tribungan, Kec. Mangaran RT 1 / RW 3 Kab. Situbondo. Beliau memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat di Kec. Mangaran khususnya dan masyarakat Kab.
Situbondo pada umumnya baik dalam bidang keagamaan, politik maupun dalam bidang pendidikan. Ini dapat dilihat ketika ia mengisi pengajian bagi masyarakat, serta ketika catur perpolitikan pada saat Pemilihan Kepala Desa (pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dan bahkan Pemilihan Umum (pemilu) suara masyarakat Kec. Mangaran identik mengikuti apa yang disarankan olehnya.
Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan di sini pokok-pokok permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini.
Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana fenomena praktek talak diluar PAdi Kec. Mangaran Kab.
Situbondo?
2. Bagaimana keabsahan praktek talak di luar PA dalam prespektif Fiqih Munakahat dan Hukum Positif?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan material
a. Untuk mengetahui praktek masyarakat Kec. Mangaran Kab. Situbondo tentang talak.
b. Untuk mengetahui keabsahan praktek talak mayarakat Kec. Mangaran Kab. Situbondo menurut prespektif Fiqih Munakahat dan Hukum Positif.
2. Tujuan formal
Adapun tujuan formal dari penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo semarang.
D. Telaah Pustaka
Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan dalam bentuk skripsi yang secara spesifik dan mendetail membahas tentang praktek masyarakat dalam mentalak istrinya di luar Pengadilan Agama.
Nur Amaliyah, Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2004 dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisa Pendapat Ibnu Hazm Tentang Mewakilkan Talak” membahas tentang pendapat ibnu hazm bahwa talak adalah hak milik dari pihak suami, maka oleh karena itu tidak ada satu pihakpun yang bisa mengambil alih hak tersebut. Ini juga diperkuat dengan tidak adanya nash (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang membolehkan tentang peralihan hak tesebut.
Taufik, Alumnus IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2004, dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Agama Demak No. 293/Pdt.G/2004/PA.Dmk. Tentang Cerai Talak Karena Istri Tidak Bersedia Diajak Hubungan Laiknya Suami Istri”
membahas tentang putusan talak yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama Demak telah memenuhi syarat untuk dijatuhkannya talak. Ini dikarenakan penolakan pihak istri merupakan bentuk kelalaian istri dalam menjalankan kewajibannya.
Riduan, Alumnus IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2004, dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Putusan Pengadilan Agama Semarang No. 750/Pdt.G/2002/PA.Sm. Tentang Pelanggaran Ta’lik Talak”
membahas bahwa putusan PA tersebut tidak dibenarkan dengan dua aspek, yakni : 1) Aspek formil, dalam putusan tersebut dilakukan dengan verstek dengan menganggap iwadh telah disepakati kedua belah pihak. Ini tidak sesuai dengan kenyataan di “lapangan” bahwa dalam persidangan tidak dihadiri oleh salah satu pihak. 2) Aspek materiil, tidak ditemukan dalil yang kuat untuk memberikan putusan khulu dalam kasus tersebut.
Berdasarkan atas pustaka yang telak penulis kemukakan di atas, maka sekiranya dapat kami simpulkan bahwa tentang kajian atau penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah dipaparkan di atas. Skripsi ini membahas tentang analisis kasus yang terjadi dalam klopmpok masyarakat, dalam hal praktek talak yang dilakukan tanpa putusan Pengadilan Agama, dengan analisis dalam prespektif Hukum Islam dan sosio kultural.
E. Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting, karena suatu metodologi nantinya akan menentukan bagaimana cara kerja dalam sebuah mekanisme penelitian untuk sampai ke sasaran.
Karena penelitian ini berpijak pada sebuah kajian terhadap hasil penelitian di “lapangan” dengan mencari fakta, data dan motif di belakang hasil
penelitian tersebut atau disebut juga dengan penelitian field research. Maka langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian lapangan, (field research). Adapun pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah dengan metode deskriptif. Yakni suatu model dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.21 Dengan tujuan untuk membuat diskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.22
Dengan pendekatan ini harapan dari penulis, realita tentang praktek talak diluar Pengadilan Agama sebagaimana yang terjadi di Kec.
Mangaran Kab. Situbondo dapat diungkap secara sistematis dan akurat tentang latar belakang yang menjadi landasan dalam praktek tersebut.
Dengan demikian penulis dapat menganalisis dan mendkripsikan praktek talak di luar Pengadilan Agama dari prespektif Hukum Islam dan sosio kultural masyarakat Kec. Mangaran Kab. Situbondo saat ini.
2. Sumber Data a. Data Primer
Data primer yaitu informasi yang secara langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap pengumpulan dan
21 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, hlm. 54.
22Ibid.
penyimpanan data.23 Dengan kata lain, data primer atau data “tangan pertama”, adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengambilan data langsung pada sumbjek sebagai sumber informasi yang dicari.24
Adapun yang akan di jadikan rujukan utama dalam kajian ini adalah hasil penelitian dan fakta yang terjadi pada Masyarakat Kec.
Mangaran Kab. Situbondo yang meliputi:
1) Dokumentasi dari tempat observasi
2) Informasi dari Narasumber dan Tokoh Agama di Kecamatan Mangaran.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber informasi yang secara tidak langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi yang ada padanya25, baik berupa Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji karangan Dr. Mustofa Al-Khin dan Kitab Al-Fiqh Al-Muqaran Lil Ahwal As-Syahsiah Bainal Madzahib Al- Arba ah As-Sunniyah Wa Al-Madzahib Al-Ja fariy Wa Al-Qanuun karanagan Badran Abul Al-AinainI Badran dan sebagainya yang memberikan tambahan informasi dalam penulisan skripsi ini.
Dari sini setiap data atau informasi yang diperoleh dari masalah demi masalah akan dibandingkan dengan informasi lain yang ada,
23 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1990, hlm. 42.
24 Saifudin Azwar, Metode Penlitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 91.
25 Noeng Muhadjir, op. cit., hlm. 43.
sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan untuk kemudian dapat di ambil suatu kesimpulan sebagai hasil akhir dari permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, penulis akan menempuh atau menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu sebagai berikut : A. Metode Dokumen (Documentation)
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, surat, majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.26 Studi dokumen dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data di Kec. Mangaran agar diketahui profil tentang keadaan masyarakat di kecamatan tersebut.
B. Metode Wawancara (Interview)
Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mewawancarai atau memberikan pertanyaan kepada responden yang berkaitan dengan penelitian penulis.27 Dalam penelitian ini, interview dilakukan dengan berbagai pihak yang berkompeten dan terkait dengan penelitian. Yaitu kelompok masyarakat yang melakukan praktek talak di luar Pengadilan Agama dan Tokoh Masyarakat di Kec. Mangaran.
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hlm. 202.
27Ibid., hlm. 148.
C. Metode Observasi (Observation)
Yaitu suatu pengamatan, pencatatan yang sistematis dengan fenomena penyidikan dengan alat indra.28 Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap praktek talak di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Masyarakat Kec. Mangaran.
4. Metode Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitatif, yaitu suatu metode yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Adapun tujuan dari metode tersebut adalah untuk menggambarkan sifat suatu yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memberikan analisis praktek talak diluar Pengadilan Agama dalam prespektif Fiqih Munakahat dan Hukum Positif.29
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab, dimana dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan; yaitu :
BAB I : Pendahuluan.
Bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
28 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1982, hlm. 136.
29Ibid., hlm. 136.
BAB II : Ketentuan Umum Tentang Perceraian
Dalam Bab ini terdapat tiga sub pembahasan yakni A) Putusnya ikatan perkawinan yang meliputi : pengertian dan macam- macamnya. B) Pengertian dan dasar hukum perceraian yang meliputi : pengertian talak, dasar hukum talak dan macam-macam hukumnya, macam-macam talak, hikmah disyari’atkannya talak, rukun talak, syarat-syarat talak. C) Talak dalam Hukum Positif yang mengulas peraturan perundang-undangan yang mengatur talak bagi umat muslim di Indonesia, yakni UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
BAB III : Praktek Masyarakat Kec. Mangaran Kab. Situbondo Tentang Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama
Bab ini meliputi tentang A. Ulasan tentang profil Kec. Mangaran Kab. Situbondo yang meliputi : Profil singkat Kab. Situbondo, sistem pemerintahan, geografis, penduduk, pendidikan, ekonomi, agama, sosial. B. Praktek talak tanpa putusan Pengadilan Agama, yang akan disajikan dengan memaparkan kasus-kasus talak tanpa putusan Pengadilan Agama beserta faktor-faktornya.
BAB IV : Analisis Terhadap Praktek Jatuhnya Talak Tanpa Putusan Pengadilan Agama
Bab ini merupakan pokok dari pembahasan penulisan skripsi ini yakni meliputi analisis deskriptif praktek talak diluar Pengadilan
Agama dan pandangan fiqih dan Hukum Positif tentang praktek talak diluar Pengadilan Agama.
BAB V : Penutup
Bab ini memuat kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Putusnya Ikatan Perkawinan
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia disepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang dimulai dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan.30
Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan hidup bersama menjadi suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami dan istri itu tidak dapat diwujudkan.31
Dalam mengatur dan memelihara kehidupan bersama antara suami istri, Syari’at Islam tidak terhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama dan memaksakan keduanya hidup bersama terus-menerus tanpa memperdulikan kondisi–kondisi obyektif yang ada dan timbul dalam kehidupan bersama, namun lebih dari itu Syari’at Islam mengakui realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih berganti, sehingga dengan kondisi yang demikian
30 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi, 1984, hlm. 220.
31 Abdul Rohman, Perkawinan Dalam Syari at Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996, hlm. 70.
banyak hal yang menjadi faktor dan alasan yang menyebabkan berakhirnya atau terputusnya ikatan perkawinan suami-istri.
1. Pengertian
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini menjadi suami istri. Untuk maksud perceraian itu ulama’ Fiqih menggunakan istilah furqah (berpisah).32
2. Macam-Macamnya
Terputusnya ikatan suami istri jika ditinjau dari inisiatif dari pihak yang menghendaki akan putusnya ikatan, terbagi dalam33:
1. Putusnya ikatan suami istri yang bukan kehendak dari pihak suami ataupun istri melainkan Allah SWT mencabut nyawa dari salah satu pihak (istri/suami) sehingga terputuslah ikatan suami istri (Kehendak Allah SWT dikarenakan ajal yang menjemput).
2. Putusnya ikatan suami istri dengan inisiatif dari pihak suami dengan alasan dan ucapan tertentu kepada pihak istri (Talak).
3. Putusnya ikatan suami istri dengan inisiatif dari pihak istri yang menghendaki dikarenakan alasan tertentu dan suami tetap ingin mempertahankan ikatan suami istri tersebut (Khulu 34)
32 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 231.
33 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 124.
34 Khulu adalah perceraian yang terjadi dengan pembayaran ganti rugi oleh pihak istri kepada suami. Hal ini disebabkan karena keengganan istri untuk melanjutkan hubungan suami istri
4. Selain dari pihak suami atau istri serta ajal yang menjemput, hakim dapat menetapkan keputusan bahwa ikatan perkawinan suami istri haruslah diputuskan dikarenakan “cacat” dalam keabsahan dari perkawinan tersebut (Fasakh)35.
Selain dari yang telah disebutkan diatas tentang putusnya perkawinan ditinjau dari pihak yang berinisiatif, terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang halal menurut Agama Islam tidak dapat dilakukan (melakukan hubungan suami istri) namun yang tidak memutuskan hubungan ikatan perkawinan secara Syar’i, yakni :
a. Zhihar
Zhihar adalah perbuatan seorang laki-laki yang mengatakan kepada istrinya, “kamu sama dengan ibuku (atau saudariku atau orang yang masih mahram dengannya baik dari segi nasab maupun sebab susuan)”
dengan tujuan hanya ingin menghindari jimak dan bersenggama dengan istrinya. Ketika suami menyamakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahinya, maka dalam hal ini dihukumi zhihar.36
Zhihar hukumnya adalah haram dan dilarang, sebagimana firman Allah SWT :
dengan suaminya dengan alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i. Khulu’ kadang juga disebut dengan fidyah atau iftida . Lihat, Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 260.
35 Dalam hal ini yang dimaksud adalah batalnya suatu perkawinan, yang dimaksud dengan batal ialah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara’. Selain karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, perbuatan itu dilarang/diharamkan oleh agama. Jadi secara umum batalnya perkawina (fasakh) adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya atau sebab lain yang dilarang/diharamkan oleh agama.
Abdur rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2003, hlm. 111.
36 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006, hlm. 717.
tûïÏ%©!$#
tbrã•Îg»sàムNä3ZÏB
`ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS
$¨B Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé&
(
÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé&
žwÎ)
‘Ï«¯»©9$#
óOßgtRô‰s9ur
4
öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)u‹s9
#\•x6YãB z`ÏiB
ÉAöqs)ø9$#
#Y‘rã—ur
4
žcÎ)ur
©!$#
;qàÿyès9 Ö‘qàÿxî ÇËÈ
Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka.
ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.
dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun . (Q.S. Al-Mujadalaah : 2)37
Ayat diatas menerangkan bahwa mereka (orang yang mendzihar) mengatakan perbuatan yang keji dan batil yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan, hal itu termasuk suatu kebohongan yang nyata serta diharamkan dalam Syari’at Islam. Sebab, orang yang melakukan zhihar berarti telah mengharamkan sesuatu yang telah di halalkan oleh Allah SWT dan telah menjadikan istrinya sama dengan ibunya sendiri, padahal sesungguhnya tidak seperti itu.38
Pada masa jahiliyah dikenal zhihar dikenal sebagai praktek untuk menjatuhkan talak atau cerai kepada istrinya. Namun setelah datangnya Islam, zhihar dihapuskan dan dianggap sebagai sumpah yang terlarang.39 Seorang yang melakukan zhihar diharamkan melakukan jimak dengan istrinya, sebelum ia membayar denda (kafarat) dari zhiharnya tersebut, sebagimana firman Allah SWT :
tûïÏ%©!$#ur tbrã•Îg»sàãƒ
`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS
§NèO tbrߊqãètƒ
$yJÏ9 (#qä9$s%
㕃̕óstGsù 7pt7s%u‘
`ÏiB È@ö6s%
br&
$¢™!$yJtFtƒ
4
ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè?
¾ÏmÎ/
4
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
׎•Î7yz ÇÌÈ
`yJsù óO©9 ô‰Ågs†
ãP$u‹ÅÁsù
37 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 542.
38 Saleh Al-Fauzan op. cit., hlm. 718.
39 Ahmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam ; Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta : UII Press, 2001, hlm. 19.
Èûøït•öhx©
Èû÷üyèÎ/$tGtFãB
`ÏB È@ö6s%
br&
$¢™!$yJtFtƒ
(
`yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o„
ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ™
$YZŠÅ3ó¡ÏB
4
y7Ï9ºsŒ (#qãZÏB÷sçGÏ9
«!$$Î/
¾Ï&Î!qß™u‘ur
4
š•ù=Ï?ur ߊr߉ãn
«!$#
3
z`ƒÌ•Ïÿ»s3ù=Ï9ur ë>#x‹tã
îLìÏ9r&
ÇÍÈ
Orang-orang yang menzhihar istri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah SWT Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (3). Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah SWT, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih (4). (Q.S. Al-Mujadalah 3-4)40
Dari ayat diatas ditetapkan bahwa kafarat bagi orang yang melakukan zhihar adalah41 :
1) Memerdekakan budak
2) Berpuasa dua bulan secara berturut-turut 3) Memberi makan 60 orang miskin
b. Ila
Ila secara bahasa adalah sumpah. Kata ila adalah bentuk masdar dari kata ( - - ). Karena itu, para ulama’ mendefinisikan ila dengan “sumpah yang diucapkan oleh suami yang mampu melakukan jimak dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-sifat-Nya yang
40 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 542.
41 Pelaksanaan kafarat dzihar dilakukan secara tertib sesuai dengan tahapannya, yakni pertama kali dengan memerdekakan budak. Saat ini perbudakan sudah dihapuskan karena tidak sesuai dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM), jadi tinggal berpuasa berturut-turut selama dua bulan. Atau jika tidak mampu melaksanakannya, ia memberi jamuan makanan kepada enam puluh orang miskin. Lihat, Anshori Umar, Fiqih Wanita, Semarang : CV. As-Syifa, 1986, hlm. 429.
serupa untuk meninggalkan jimak dengan istrinya melalui vagina selama-lamanya empat bulan atau lebih.42
Dari definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa ila tidak terjadi kecuali dengan lima syarat dibawah ini :
1) Suami mampu melakukan jimak secara fisik dan psikis
2) Bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-sifat-Nya, tidak dengan kata talak, perbudakan atau nadzar
3) Bersumpah meninggalkan jimak melalui vagina
4) Bersumpah meninggalkan jimak selama empat bulan atau lebih 5) Seorang istri yang disumpahi adalah istri yang mungkin untuk di-
jimak.
Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka sumpahnya dinamakan ila dan hukumnya sesuai dengan ketentuan hukum tentang ila yang diatur dalam nash.43 Dan jika salah satu dari mereka mencabut sumpahnya, maka tidak ada lagi hukum ila .44 Adapun dalil dari ila adalah firman Allah SWT :
tûïÏ%©#Ïj9 tbqä9÷sãƒ
`ÏB öNÎgͬ!$|¡ÎpS ßÈš/t•s?
Ïpyèt/ö‘r&
9•åkô-r&
(
bÎ*sù râä!$sù
¨bÎ*sù
©!$#
Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘
ÇËËÏÈ
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), Maka Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah ; 226)45
42 Saleh Al-Fauzan, op. cit., hlm. 714.
43Nash, dalam pengertian penulis disini adalah teks, yakni Al-Kitab dan As-Sunnah.
44 Abdul Rohman, op. cit., hlm. 107.
45 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 36.
Adapun hukum dari ila adalah haram di dalam Islam. Karena ila pada hakikatnya adalah sumpah untuk meninggalkan suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh suami (nafkah batin bagi istri).46
c. Li an
Li an secara bahasa berasal dari kata la- a-na ( ) yang berarti mengutuk47 sedangkan menurut istilah dalam Hukum Islam, li an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima la’nat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.48
Adapun dasar hukum dari li an ialah firman Allah SWT49 :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBö•tƒ öNßgy_ºurø—r&
óOs9ur
`ä3tƒ öNçl°;
âä!#y‰pkà- HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr&
äoy‰»ygt±sù óOÏdωtnr&
ßìt/ö‘r&
¤Nºy‰»uhx©
«!$$Î/
¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%ω»¢Á9$#
ÇÏÈ èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur
¨br&
|MuZ֏s9
«!$#
Ïmø‹n=tã bÎ) tb%x.
z`ÏB tûüÎ/É‹»s3ø9$#
ÇÐÈ (#ätu‘ô‰tƒur
$pk÷]tã z>#x‹yèø9$#
br&
y‰pkô¶s?
yìt/ö‘r&
¤Nºy‰»pky-
«!$$Î/
¼çm¯RÎ) z`ÏJs9
šúüÎ/É‹»s3ø9$#
ÇÑÈ sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur
¨br&
|=ŸÒxî
«!$#
!$pköŽn=tæ bÎ) tb%x.
z`ÏB tûüÏ%ω»¢Á9$#
ÇÒÈ
46 Yusuf Qaradhawi secara tegas menghukumi ila dengan hukum haram. Karena dalam praktek ila hak seorang wanita (nafkah batin dari suami) diabaikan oleh suami, dan yang demikian tidak dibenarkan dalam Syari’at Islam. Lihat, Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, Bandung : Jabal, 2007, hlm. 227.
47 Anshori Umar, Fiqih Wanita, Semarang : CV. As-Syifa, 1986, hlm. 441.
48 Jika suami jika suami menuduh istri telah melakukan zina yang disertai bantahan dari istri, maka jika suami tidak dapat menunjukkan bukti dengan menghadirkan saksi-saksi laki-laki sebanyak 4 orang atau tidak terbukti istrinya hamil maka suami tersebut dihukumi cambuk sebanyak 80 kali. Tetapi jika suami dapat membuktikannya dengan jalan yang benar maka istri dihukum rajam. Lihat, Hussein Bahreisj, 450 Masalah Agama Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1980, hlm. 131. Sedangkan dalam Hukum Positif di Indonesia akibat hukum dari li an ialah perkawinan itu terputus selama-lamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberikan nafkah, lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 162.
49 Anshari Umar, op. cit., hlm. 441.
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (6) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta (7) Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah SWT Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (8) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah SWT atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (9) (Q.S. An-Nuur 6-9)50
Agar li an sah hukumnya, maka disyaratkan suami istri tersebut haruslah orang mukallaf (baligh dan berakal sehat) yang menuduh istrinya dengan tuduhan zina dan dia berdusta dengan tuduhan tersebut hingga saat terjadinya li an. Kemudian hal tersebut akan diputuskan oleh hakim yang mengadili.
Jaki li an tersebut telah usai dengan sempurna yaitu terpenuhi syarat syarat sahnya, maka yang akan terjadi adalah hal berikut :
1) Telah menggagalkan hukuman menuduh (qadaf) dari sang suami 2) Telah terjadi perceraian kedua belah pihak dan diharamkan bersatu
kembali untuk selama-lamanya
3) Jika suami menghapuskan status keturunan anak yang ada dalam kandungan istri darinya didalam li an, dengan mengatakan “bayi yang dikandungnya bukan benih dariku” maka anak itu tidak punya hubungan keturunan dengan suaminya.51
50 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 350.
51 Anshari Umar, op. cit., hlm. 443.
B. Talak Dalam Prespektif Fiqih Munakahat52
Tidak setiap perceraian dibolehkan dalam Islam. Beberapa kasus perceraian tidak disukai dalam Islam atau dilarang, karena perceraian tersebut menyebabkan kehancuran keluarga.53 Padahal Islam sangat menjaga keutuhan ikatan perkawinan dalam keluarga sebagaimana terkandung dalam firman Allah SWT :
`tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ
$ZRºurô‰ãã
$VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR
#Y‘$tR
4
tb%Ÿ2ur š•Ï9ºsŒ
’n?tã
«!$#
#·Ž•Å¡o„
ÇÌÉÈ
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah SWT . (Q.S. An-Nisaa’: 30)54
Hal ini juga senada dengan intisari dalam riwayat55 :
) (
Diriwayatkan dari Katsir bin Ubaid Al-Himsi, diriwayatkan Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al-Washafi dari Muharib bin Ditsar dari Sahabat Abdillah bin Umar berkata; Rasulullah SAW. bersabda ; Perkara
52 Ungkapan “Fiqih Munakahat” merupakan susunan tarkib idhafi dari dua kata. Yakni fiqih dan munakahat. Kata “fiqih” secara terminologi oleh Ibnu Subkhi dalam kitab Jam’ul
Jawami’ diartikan (Pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat amali yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)). Dalam definisi tersebut Fiqih adalah pemahaman tentang hukum syara’. Hukum syara’ sebagaimana didefinisikan oleh Wahbah Zuhaily dalam kitab Ushul Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu
(titah Allah SWT yang berkenaan dengan tingkah perbuatan manusia mukallaf, dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan). Jadi singkatnya Fiqih adalah pemahan hukum syara’ yang kontekstual tentang amaliyah para mukallaf.
Adapun kata “munakahat” adalah term dalam bahasa arab yang berasal dari kata na-ka-ha ( ) dengan artian kawin atau perkawinan. Term ini berbentuk jama mengingat perkawinan itu menyangkut banyak hal, diantaranya tentang perceraian. Bila kata “fiqih” dihubungkan dengan kata “munakahat” artinya adalah perangkat peraturan yang bersifat amaliyah furu’iyah berdasarkan wahyu ilahi yang mengatur hal-ihwal berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama islam. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, op. cit., hlm. 3-5.
53 Yusuf Qaradhawi, Fiqih Wanita, Bandung : Jabal, 2007, hlm. 56.
54 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 83.
55Ibid., hlm. 57.
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah perceraian . (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majaah)56
Secara historis konsep talak telah menjadi praktek budaya hukum pada masyarakat arab sebelum datanganya islam, sebagaimana penggalan kisah Aisyah r.a. bahwa, laki-laki pada masa jahiliyah menceraikan istrinya sekehendak hatinya. Perempuan tetap menjadi istrinya jika ia dirujuk dalam masa iddah57 (menunggu), sekalipun sudah diceraikan seratus kali atau lebih.58
Suatu ketika ada seorang pria menceraikan istrinya, ketika ia dalam masa
‘iddah dan masa ‘iddahnya ia merujuk istrinya, kemudian sang istri menceritakan kondisi ini kepada Aisyah. Mendengar cerita tersebut Aisyah hanya terdiam sampai Rasulullah Saw. datang dan Aisyah menceritakan kembali peristiwa yang dialami perempuan tersebut kepada Rasulullah Saw.., tapi Rasulullah Saw.. pun terdiam hingga turun ayat59 :
ß,»n=©Ü9$#
Èb$s?§•sD
(
88$|¡øBÎ*sù
>$rá•÷èoÿÏ3
÷rr&
7xƒÎŽô£s?
9`»|¡ômÎ*Î/
ÇËËÒÈ
56 Abu Daud, Sunan Abu Daud Kitabu al-Aqdiyah, Bab fi karahiyatit talak, Juz 6 (Beeirut : Daar Al-Fikr, 1994), hlm. 91. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Maajah, Sunan Ibnu Maajah, Juz 6, Beirut : Daar Al-Fikr, 1995, hlm. 175.
57 ‘Iddah artinya secara linguistik adalah masa atau hitungan tetapi yang dimaksud disini adalah masa menunggu istri sesudah dicerai oleh suaminya sebagai ketetapan hamil atau tidaknya.
(Lihat Q.S. At-talak ; 1) adapun ketetapan ‘iddah adalah sebagai berikut : 1) perempuan yang haid
‘iddahnya 3 kali suci. 2) perempuan yang putus haid atau tidak pernah haid maka ‘iddahnya 3 bulan. 3) perempuan yang hamil ‘iddahnya sampai melahirkan anaknya. 4) perempuan yang tercerai karena suaminya meninggal masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. 5) perempuan yang dicerai tapi belum disenggama oleh suaminya maka, tidak ada masa ‘iddah baginya. Lihat, Hussein Bahreisj, op. cit., hlm. 82.
58 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009, hlm. 8.
59Asbabun Nuzul ayat ini dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang laki-laki menalak istrinya sekehendak hati suami. Menurut anggapannya, selama rujuk itu dilakukan pada masa
‘iddah maka ia tetap menjadi istrinya dan ia berhak melakukan jimak sekehendaknya sekalipun sang suami telak mengucapkan talak seratus kali. Dengan perlakuan yang demikian, sang istri menghadap ke Rasulullah SAW. lalu menceritakan apa yang ia alami. Rasulullah terdiam sampai turunlah ayat tersebut. Untuk lebih detail lihat K.H.Q. Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul ; Latar Belakang Turunnya Ayat, Bandung : Diponegoro, 2007, hlm. 77.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Q.S. Al- Baqarah : 229)60
Kemudian Aisyah r.a. berkata, setelah itu banyak orang yang bersikap hati-hati dalam urusan talak. Ada diantara mereka yang bercerai dan ada pula yang tidak bercerai.61
Dalam Agama Yahudi dan Nasrani talak bukanlah hal yang baru dalam konsep hukum mereka. Dalam Agama Yahudi talak diperbolehkan meskipun tanpa alasan yang jelas. Umpamanya suami ingin menikah lagi dengan wanita lain yang lebih cantik dengan istrinya, maka ia dengan leluasa bisa menceraikan istrinya dengan sekehendak hatinya. Alasan-alasan talak menurut Agama Yahudi ada dua62 :
1. Cacat fisik, seperti : rabun, juling, nafas berbau tidak sedap, pincang dan mandul.
2. Cacat secara psikis, seperti : tidak memiliki rasa malu, banyak bicara, tidak bisa menjaga kebersihan, pelit, berani melawan suami, suka berlaku boros, serakah, rakus dan lebih suka makan diluar rumah.
Dalam pandangan mereka, perselingkuhan merupakan alasan yang paling kuat untuk menceraikan istri, sekalipun itu hanya isu dan belum terbukti kebenarannya.
Demikian pula halnya dalam Agama Nashrani, Agama Nashrani yang dianut masyarakat barat terbagi menjadi tiga aliran : 1. Aliran Katolik 2.
Aliran Ortodok 3. Aliran Protestan.
60 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 36.
61 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 8-9.
62Ibid., hlm. 7, pendapat ini ia nukil dari kitab Nida ul Lisan Al-Lathif, hlm. 97.
Aliran Katolik mengharamkan talak secara mutlak. Tidak boleh memutuskan ikatan perkawinan dengan alasan apa pun, meskipun kondisi rumah tangga sudah berantakan, bahkan istri yang berkhianat kepada suaminya sekalipun, tetap tidak diperbolehkan dicerai. Jika sang istri berkhianat dengan melakukan perselingkuhan maka yang dilakukan suami adalah memisahkan diri dari sang istri (pisah ranjang), sedangkan secara hukum pernikahan mereka tetap sah dan berlaku. Dalam masa perpisahan, suami atau istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan pihak lain karena dengan demikian meraka telah melakukan poligami, dan poligami dalam aturan hukum Agama Nasrani di haramkan secara mutlak.63
Menurut Aliran Ortodok dan protestan boleh bercerai tapi dengan alasan tertentu, diantara alasan-alasan kebolehan menceraikan istrinya yang paling dominan adalah alasan perselingkuhan, tapi setelah mereka bercerai tidak diperbolehkan menikah lagi untuk selama-lamanya.64
1. Pengertian Talak
Talak (perceraian65) secara bahasa dan teks dalam nash yang bermakna talak berawal dari kata tha-la-ka ( ) dengan bentuk masdar66
63 Pendirian ini didasarkan pada Injil Markus sebagaimana disampaikan Al-Masih,
“Sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah SWT, tidak boleh diceraikan manusia”. Lihat, Injil Markus, Pasal 10 : 8-9. Ibid., hlm. 216.
64 Alasan boleh bercerai dengan istri karena perselingkuhan ialah berdasarkan pada dalil Injil Matius sebagaimana dikatakan Al-Masih, “Barang siapa menceraikan istrinya kecuali karena zina, berarti membuat dia berzina”. (Injil Matius, Pasal 5 : 21-22). Adapun alasan dilarangnya menikah lagi setelah bercerai didasarkan pada dalil, “Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan permpuan lain, dia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya”. (Injil Markus, Pasal 10 : 11). Ibid., hlm. 216.
65 Perceraian dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perpisahan, perpecahan, perihal bercerai antara suami istri, W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2008, hlm. 261.
( ) dengan maksud ithlak ( ) yakni melepaskan atau meninggalkan.
Talak secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang.67 Kata ini dipergunakan dalam Syari’at Islam untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri suatu perkawinan.68 Dalam hal ini ialah dimaksudkan talak diartikan melepaskan ikatan pernikahan atau mengakhirinya.69
Lebih lanjut Sayyid Sabiq dalam kitab karangannya Fiqihus Sunnah mendefinisikan talak dengan :
Melepas tali ikakatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri .70
Abu Ishaq Ibrahim dalam kitabnya Al-Muhadzzab Fi Fiqhi Imam As-Syafii memberikan definisi talak dengan :
Talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan semacamnya .71
Imam Taqiyuddin Abu Bakar dalam kitab Kifayataul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar mengemukakan definisi talak dengan :
Sebutan yang dipakai untuk melepas ikatan perkawinan. 72
66Masdar secara definitif adalah isim (kata benda) yang jatuh pada urutan ketiga dalam tashrifan fi il (perubahan kata dalam bahasa arab), yakni seperti ( – – ) maka kata yang pada urutan ketiga adalah masdar ( ), Lihat Ahmad Zaini Dahlan, Syarhu Mukhtashar Jiddan Ala Al-Jurumiyah, Surabaya : Hidayah, 2007, hlm. 20.
67 A.W. Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 862.
68 Abdul Rohman, op. cit., hlm. 80.
69 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 2.
70Ibid., hlm. 2.
71 Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Muhadzzab Fi Fiqhi Imam As-Syafii, Beirut : Daar Al-Kutub, 1995, hlm. 3.
Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh Ala Madzahibil Arba ah mendefinisikan talak dengan :
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu .73
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa talak adalah melepas ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu. Istri tidak lagi halal bagi suaminya. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu hilang hak suami dalam talak raj i.74
2. Dasar Hukum Talak dan Macam-Macam Hukumnya
Talak disyari’atkan berdasarkan dalil yang bersumber dari Al- Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama’. Firman Allah SWT :
ß,»n=©Ü9$#
Èb$s?§•sD
(
88$|¡øBÎ*sù
>$rá•÷èoÿÏ3
÷rr&
7xƒÎŽô£s?
9`»|¡ômÎ*Î/
ÇËËÒÈ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Q.S. Al- Baqarah : 229)75
Kedua, sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi76 :
72 Taqiyuddin Abu bakr, Kifayatul Ahyar Fi Halli Ghayatil Ikhtrishar, Semarang : Putra Semarang, hlm. 84.
73 Abdur Rohman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Madzahibil Arba , Beirut : Daarul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1996, hlm. 248.
74 Tihami, Fiqih Munakahat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 229.
75 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 36.
76 Ibnu Maajah, op. cit., hlm. 269.
) (
Sesungguhnya talak itu bagi orang yang berhak menggauli istri. (HR.
Sunan Ibnu Majah dan yang lain)
Ketiga, ijma ulama sepakat bahwa talak disyari’atkan dalam Agama Islam tanpa ada satupun ulama’ yang menentang terhadap disyari’atkannya talak.77
Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya.78 Terkadang talak itu hukumnya mubah, tapi juga bisa juga menjadi makruh.
Terkadang juga sunnah, tetapi bisa juga menjadi wajib dan bisa manjadi haram. Dengan demikian, talak hukumnya ada lima : mubah, makruh, sunnah, wajib dan haram.79
Hukum talak menjadi mubah, jika sang suami membutuhkan hal itu, dikarenakan buruknya akhlak sang istri yang hal tersebut bisa membawa bahaya bagi keluarga yang sedang dibinanya. Karena dengan kondisi seperti ini, tidak akan dapat mencapai tujuan nikah yang sebenarnya, apalagi jika pernikahan itu tetap dipertahankan.
77 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera Basritama, 2002, hlm. 441.
78 Salah satu ciri khas dari Hukum Islam adalah fleksibelitas ketetapan hukum yang didasarkan dengan situasi dan kelayakan penetapan hukum berdasarkan kondisinya, sehingga ulama’ Fiqih membuat kaedah “ ”. Maka tidak mengherankan satu kasus bisa dihukumi dengan hukum yang berbeda-beda (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah ) berdasarkan situasi dan kondisi yang menuntutnya. Lihat Abdillah Bin Sa’id, Idhahul Qawaid al- fiqhiyah, Surabaya : Hidayah, 1990, hlm. 85.
79 Muhammad Ali As-Shobuni berpendapat bahwa hukum asal dari talak adalah mubah, ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an yang berbunyi ( ), dalam hal ini ia lebih lanjut merinci bahwa hal mubah adakalanya boleh dilakukan dan adakalanya boleh dilakukan tapi itu sangat tidak disenangi oleh Allah SWT, dalam hal ini ia menjustifikasi talak kepada hal mubah yang sangat dibenci oleh Allah SWT, dengan dalil, riwayat dari Rasulullah SAW. :
) (
Lihat, Muhammad Ali As-Shobuni, Tafsir Ayatil Ahkam, Beirut : Daarul Qur’anil Karim, 1999, hlm. 432-433.
Talak bisa menjadi makruh jika tidak dibutuhkan. Misalnya kondisi kondisi suami istri tersebut dalam keadaan yang stabil dan tidak ada perubahan yang menghawatirkan. Bahkan sebagian ulama’ mengharamkan talak dalam kondisi yang seperti ini.80 Hal ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW. tentang perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.
Talak bisa menjadi sunnah jika sangat dibutuhkan. Hal ini terjadi demi mempertahankan pernikahan tersebut dari sesuatu yang bisa mendatangkan bahaya bagi hubungan suami atau istri. Seperti saat terjadinya perselisihan dan perpecahan diantara mereka. Dalam kondisi semacam ini jika pernikahan tersebut tetap dipertahankan, maka akan membahayakan sang istri, padahal Rasulullah Saw. bersabda81 :
) (
Diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya, dari Abdur Razzaq, dari Jabir Al-Ju fi, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw.
bersabda ; tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh juga membalas perbuatan orang lain yang membahayakanmu (H.R. Ibnu Majah Dan yang lain )82
Talak menjadi wajib bagi suami untuk menjatuhkannya kepada istri jika sang istri tidak istiqomah (komitmen) dalam melaksanakan perintah agama. Misalnya, istri sering meninggalkan shalat sedangkan ia tidak bisa
80Al-Mannar, Fiqih Nikah, Bandung : Syamil Cipta Media, 2007, hlm. 103.
81Ibnu Maajah, op. cit., hlm. 143.
82 Dari hadis ini Ulama’ Fiqih membuat kaedah Fiqih yang dijadikan pedoman dalam penetapan hukum, yakni ( ). Bahwa, setiap hal yang mendatangkan kemudaratan harus dijauhkan dari diri kita, lihat Abdillah Bin Sa’id, op. cit., hlm. 42.