A. Peraturan Sekolah
1. Pengertian Peraturan Sekolah
Peraturan adalah sesuatu yang dibuat dan dilaksanakan oleh individu agar tercipta suatu kondisi yang tertib, teratur dan kondusif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, atur artinya disusun baik-baik, rapi, tertib. Peraturan artinya tataan atau petunjuk, kaidah, ketentuan, yang dibuat untuk mengatur (KBBI, 1996: 1014).
Peraturan sekolah adalah aturan-aturan yang ada di sekolah. Aturan tersebut ditujukan untuk warga sekolah. Yang dimaksud warga sekolah yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, siswa, staff administrasi dan tata usaha, petugas keamanan (satpam), petugas kebersihan, dan penjaga sekolah. Carolyn (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 2009: 166- 167) menjelaskan bahwa peraturan sekolah merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk melatih siswa agar dapat mempraktekkan disiplin di sekolah.
2. Peraturan Sekolah Bagian dari Manajemen Pendidikan
Peraturan sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan di sekolah. Manajemen pendidikan adalah salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan. Sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika manajemennya tidak baik.
Menurut Ahmad Fauzi (2013: 9), manajemen pendidikan dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menjelaskan teori Ahmad Fauzi diatas bahwa manajemen pendidikan adalah cara dan upaya lembaga pendidikan, khususnya sekolah, untuk meningkatkan dan mengembangkan taraf hidup siswa sehingga siswa mampu menjalani kehidupannya agar lebih baik dari sebelumnya. Dalam operasionalnya di sekolah, manajemen pendidikan dapat dilihat dari bidang-bidang garapan manajemen pendidikan. Yang dimaksud dengan objek garapan manajemen pendidikan dalam uraian ini adalah semua jenis kegiatan manajemen yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan mendidik di sekolah.
Tentang bidang-bidang garapan manajemen pendidikan yaitu:
a. Manajemen Kurikulum;
b. Manajemen Kesiswaan;
c. Manajemen Personalia;
d. Manajemen Sarana Pendidikan;
e. Manajemen Tata Laksana Pendidikan;
f. Manajemen Keuangan;
g. Pengorganisasian Sekolah;
h. Hubungan Sekolah dengan Masyarakat (B. Suryosubroto, 2004: 28).
Lebih lanjut E. Mulyasa (2005: 46) menjelaskan tentang manajemen kesiswaan. Beliau menjelaskan bahwa manajemen kesiswaan adalah kegiatan pencatatan siswa mulai dari awal masuk pendaftaran pada sekolah tersebut sampai siswa tersebut keluar dari sekolah. Namun bukan hanya kegiatan mencatatat data siswa saja, melainkan setelah dicatat oleh sekolah dan sekolah mengetahui latar belakang, karakteristik, minat, dan bakat siswa-siswanya sehingga sekolah dapat membantu siswa tumbuh dan berkembang dengan baik dan optimal di lingkungan sekolah. Beliau juga menjelaskan bahwa manajemen kesiswaan bertujuan agar kegiatan yang berkenaan dengan siswa dapat berjalan dengan baik serta mencapai tujuan pendidikan nasional.
Bidang garapan administrasi kesiswaan salah satunya adalah mengenai disiplin siswa, seperti waktu masuk dan pulang, tertib berpakaian, tata santun, disiplin tugas-tugas intra dan sebagainya.
Sutisna (dalam Sudarwan Danim dan Yunan Danim, 2011: 42) menjabarkan tanggung jawab kepala sekolah dalam mengelola bidang kesiswaan berkaitan dengan hal-hal berikut:
a. Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan itu;
b. Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukkan murid ke kelas dan program studi;
c. Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar;
d. Program supervisi bagi murid yang mempunyai kelainan seperti pengajaran, perbaikan, dan pengajaran luar biasa;
e. Pengendalian disiplin murid;
f. Program bimbingan dan penyuluhan;
g. Program kesehatan dan keamanan;
h. Penyesuaian pribadi, sosial, dan emosional.
Sopidi (2013: 76) mengatakan bahwa sosialisasi peraturan siswa sangat penting dan harus dilaksanakan. Bertujuan agar siswa baru maupun orang tuanya mengetahui dan memahami peraturan yang ada di sekolah.
Setelah peserta didik baru secara resmi menjadi anggota keluarga sekolah sebagai peserta didik, maka selanjutnya peserta didik perlu diperkenalkan peraturan-peraturan bagi mereka dan dilakukan penandatanganan surat pernyataan bahwa mereka akan mematuhi peraturan-peraturan tersebut dan bersedia untuk menerima konsekuensi logis dari pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Orang tua ataupun wali siswa harus mengetahui tentang peraturan siswa di sekolah dengan segala konsekuensinya apabila siswa melanggar aturan sekolah. Siswa harus bersedia melaksanakan dan mematuhi peraturan tersebut dan menandatangani surat pernyataannya, begitupun orang tua/wali siswa harus bekerja sama dengan sekolah agar pelaksaan penegakan peraturan siswa tersebut berjalan dengan baik dengan menerima konsekuensinya apabila anaknya melanggar aturan sekolah yang telah disepakati bersama.
3. Guru Mendidik Melalui Penegakan Peraturan Sekolah
Seorang guru bukan hanya bertugas untuk mengajar siswanya, melainkan juga bertanggung jawab mendidik mereka agar mereka tidak hanya berkembang kognitifnya, melainkan berkembang pula pada ranah afektif dan psikomotoriknya. Menurut Surya, Hasim, dan Rus (2010: 77),
guru adalah sebuah sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Menurut Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (dalam Munif Chatib, 2011: 20) menjelaskan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dalam menjalankan profesinya. Diantara kompetensi tersebut adalah kompetensi paedagogi. Kompetensi paedagogi adalah kemampuan seorang guru dalam mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perencanaan dan hpelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Upaya guru dalam mengembangkan kemampuan pada ranah afektif dan psikomotorik siswa bertujuan agar siswa tidak hanya cakap dalam hal intelektual saja, melainkan siswa juga cakap dalam bersikap dan berperilaku serta berinteraksi dengan lingkungan dengan baik, khususnya lingkungan sekolah. Oemar Hamalik (2013: 129) berpendapat bahwa seorang guru harus mampu mendidik siswa untuk dapat mengembangkan wakat dan kepribadiannya sehingga siswa memiliki kebiasaan yang baik, pandai bersikap, bertindak atas dasar nilai-nilai moral yang tinggi, bercita- cita yang tinggi, bertanggung jawab, mau bekerjasama, dan mampu menempatkan diri dan bersikap yang baik sesuai tempatnya.
B. Hasil Belajar 1. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu perubahan penampilan yang tampak pada diri siswa baik dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotoriknya setelah mereka belajar, baik belajar di ruang kelas maupun di luar kelas.
Gagne (dalam Ratna Wilis, 2011: 118) mengemukakan lima macam hasil belajar yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik. Gagne menyebut hasil-hasil belajar tersebut dengan kemampuan. Diantara kelima hasil belajar tersebut, tiga
diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik.
2. Sikap bagian dari Hasil Belajar Siswa di Sekolah
Dari penjelasan teori di atas dikatakan bahwa sikap merupakan salah satu dari hasil belajar yang diperoleh siswa setelah mengalami proses pembelajaran dan ditampilkan siswa saat berinteraksi dengan lingkungan di sekolah. Sikap menurut G. W. Allport (dalam David O. Sears, dkk, 1985: 137) mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respons individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Fishbein (dalam Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, 2008: 141) mendefinisikan sikap adalah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Fishbein berpendapat bahwa sikap merupakan pengolahan dari suatu emosi apabila seorang individu berhadapan dengan suatu objek atau yang lainnya yang ada di luar dirinya kemudian mempelajarinya sehingga muncul sebuah kecenderungan yang kemudian membuat pola reaksi atau tingkah laku dari seorang individu tersebut terhadap suatu objek dan pola tersebut akan konsisten pada individu itu. Chaplin dalam M. Ali dan M. Asrori mendefinisikan sikap sebagai predisposisi (kecenderungan) yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu. LaPierre (dalam Saifuddin Azwar, 2005: 5) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi, untuk menyelasikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
3. Disiplin bagian dari Sikap
Disiplin merupakan sikap seseorang dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Disiplin dapat diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang mampu menempatkan sesuatu sesuai pada waktu, tempat,
dan porsinya. Disiplin merupakan kegiatan yang kontinyu atau berkesinambungan yang dilakukan oleh seseorang sehingga orang tersebut menyelesaikan kegiatannya sehari-hari dengan tertib dan teratur.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, Disiplin artinya ketaatan (kepatuhan) pada peraturan (tata tertib) (KBBI, 1996: 237). Disiplin adalah sikap yang selalu tepat janji, sehingga orang lain mempercayainya, karena modal utama dalam berwirausaha adalah memperoleh kepercayaan dari orang lain. Menurut Surawan Martinus dalam bukunya yang berjudul Kamus Kata Serapan, disiplin berasal dari kata bahasa Inggris, discipline, dan dari bahasa latin yaitu disciplina, yaitu disciplinus artinya murid, dan ine adalah akhiran untuk nama diri. Jadi disiplin adalah ketertiban, tata tertib, sistem peraturan tingkah laku (Surawan Martinus, 2008: 132).
مْْحَّرلا ِهَّللا ِمْسِب ِميِحَّرلا ِن
ِرْصْعْلاْو
﴿ ١ رْسُخ يِفْل ْناْسنِْلْا َّنِإ ﴾
﴿ ٢
﴾
ِْبَّصلاِب اْوْصاْوْ تْو ِّقْْلِاِب اْوْصاْوْ تْو ِتاِْلِاَّصلا اوُلِمْعْو اوُنْمآ ْنيِذَّلا َّلَِّإ
﴿ ٣
﴾
“Wal-„Ashr, sesungguhnya manusia di dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal saleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran.”
Dalam surah al-‘ashr Allah Swt., memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia (waktu itu) diisi.
Waktu adalah modal utama manusia, apabila tidak diisi dengan kegiatan yang positif, maka ia akan berlalu begitu saja. Ia akan hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Surah al’-‘ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja tetapi juga amal salehnya bahkan amal saleh pun bersama iman belum cukup jika tanpa ilmu. Iman, amal saleh dan ilmu pun masih belum cukup.
Perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya (M. Quraish Shihab, 2005: 496).
Dan sekarang kata disiplin mengalami perkembangan makna dalam beberapa pengertian. Pertama, disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan, dan pengendalian.
Kedua disiplin sebagai latihan yang bertujuan mengembangkan diri agar dapat berperilaku tertib. Perkataan disiplin mempunyai arti latihan dan ketaatan kepada aturan. Dengan melaksanakan disiplin, berarti semua pihak dapat menjamin kelangsungan hidup dan kelancaran kegiatan belajar, bekerja, dan berusaha. Kemauan kerja keras yang kita peroleh dari disiplin, akan melahirkan mental yang kuat dan tidak mudah menyerah walaupun dalam keadaan sulit.
Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mengembangkan pengetahuan anak, tetapi juga sikap kepribadian, serta aspek sosial emosional (Sudarwan Danim dan Yunan Danim, 2011: 47). Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab III, Pasal 4, Ayat 3, tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kemudian pada Pasal 4, Ayat 4, dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran
(Fokus Media, 2009: 6).
Jadi disiplin adalah sikap patuh terhadap aturan, baik aturan yang dibuat oleh orang lain (keluarga, sekolah, negara, dsb) maupun yang dibuat oleh diri sendiri supaya diri menjadi tertib, kegiatan lancar, bermental kuat, dan tidak mudah menyerah.
4. Disiplin Diri Siswa
Disiplin diri adalah kemampuan untuk membuat diri Anda melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu, yang memang perlu Anda lakukan demi meraih suatu kesuksesan, secara khusus pada saat Anda tidak suka untuk melakukan pekerjaan tersebut. Disiplin diri berarti melatih diri melakukan segala sesuatu dengan tertib dan teratur secara
berkesinambungan untuk meraih impian dan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup.
Individu adalah makhluk yang unik dinamik, tumbuh dan berkembang, serta memiliki keragaman kebutuhan, baik dalam jenis, tatanan, maupun intensitasnya (Desmita, 2010: 191). Desmita mengatakan demikian karena kenyataannya manusia adalah makhluk yang unik.
Dikatakan unik karena manusia hampir tidak ada yang sama sifatnya.
Dikatakan dinamik karena manusia terus bergerak maju dan berkembang.
Dapat dilihat dari perjalanan manusia pada peradabannya dari dulu hingga sekarang. Dikatakan tumbuh dan berkembang karena manusia adalah makhluk hidup yang mengalami proses alamiahnya, yaitu lahir, tumbuh, berkembang, dan mati. Namun ada beberapa manusia yang tidak sempurna tumbuh kembangnya. Lebih lanjut, Nana Syaodih (2007: 35) menjelaskan bahwa siswa yang mengikuti proses pendidikan adalah individu. Baik di dalam kegiatan klasikal, kelompok atau individual, proses dan kegiatan belajarnya tidak dapat dilepaskan dari karakteristik, kemampuan dan perilaku individualnya.
Individu menampilkan dirinya kepada pihak luar, terutama kepada individu lain melalui kegiatan atau perilakunya. Perilaku atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 40).
Sifat manusia tidak ada yang tahu jika manusia tersebut tidak menampilkan dirinya pada lingkungan (manusia dan alam) baik yang disadari maupun yang dengan sendirinya keluar dari dirinya. Hal itulah yang disebut perilaku atau tingkah laku. Seperti yang Nana Syaodih Sukmadinata katakan. Selanjutnya Nana menjelaskan bahwa perilaku individu dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu perilaku kognitif (intelektual), afektif (perasaan), dan psikomotor (kreatifitas).
Tiap orang tidak asing dengan istilah disiplin diri (self dicipline), tetapi apa arti sesungguhnya? Para psikolog memakai istilah pusat pengendalian (locus of control), yang pada hemat saya sangat berguna disini. Penelitian mereka menunjukkan bahwa beberapa
orang cenderung mempunyai pusat pengendalian di dalam diri mereka sendiri. Pada disiplin diri, pusat pengedalian diri berada di dalam diri pribadi, tetapi pada disiplin yang dipaksakan orang lain, pusat pengendalian berada di luar diri (Thomas Gordon, 1996: 8- 9).
Thomas Lickona (2013: 74) berpendapat bahwa nilai-nilai moral sebaiknya diajarkan di sekolah. Sikap hormat dan bertanggung jawab adalah dua nilai moral dasar yang harus diajarkan di sekolah. Bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis. Siswa diajarkan menghormati gurunya, temannya, dan warga sekolah lainnya di sekolah.
Dengan dididik hormat, siswa dapat patuh dan rendah hati serta ramah.
Bertanggung jawab adalah nilai moral dasar lainnya yng dikemukakan oleh Thomas. Siswa yang dididik dan mau belajar bertanggung jawab terlihat dari cara dia bergaul dengan guru dan temannya. Dengan memiliki sikap tanggung jawab diharapkan siswa tersebut mampu dengan baik menjalani proses pembelajaran di sekolah. Dengan dua sikap ini saja diharapkan siswa dapat memiliki sikap-sikap lainnya seperti jujur, tolong menolong, kerjasama, toleransi dan sebagainya.
E. Mulyasa (2011: 26) mengatakan bahwa disiplin diri peserta didik (siswa) bertujuan untuk membantu menemukan diri. Dengan terbiasa berdisiplin maka dia merasa menemukan minat dan bakatnya dan mencoba mengembangkannya sehingga dia menemukan jati dirinya dengan membiasakan hidup disiplin. Tujuan selanjutnya yaitu membantu mengatasi, dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin diri siswa.
Sudah pasti apabila siswa tidak dididik untuk berdisiplin maka mereka akan tidak disiplin, dan akan banyak sekali masalah apabila siswa tidak mampu mendisiplinkan perilakunya sehari-hari, diantaranya adalah mereka akan sering terlambat datang ke sekolah dan semangat belajarnya kurang. Dan tujuan berikutnya adalah berusaha menciptakan suasana suasana yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi kegiatan
pembelajaran, sehingga mereka menaati segala peraturan yang ditetapkan.
Semakin banyak siswa yang disiplin dan menaati semua peraturan di sekolah maka akan tercipta suasana yang menyenangkan di sekolah.
Suasananya di sekolah yang menyenangkan akan berdampak baik pada warga sekolah khususnya guru-guru dan siswa-siswa sehingga proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan hasil proses pembelajaran pun akan baik. Thomas Lickona (2013: 75) mengatakan bahwa dengan belajar berdisiplin diri berarti kita sedang membenahi diri agar berjalan ke arah yang baik, mengejar sesuatu yang baik, bercita-cita yang baik, sehingga secara tidak langsung kita mencegah diri kita dari hal-hal yang bakal merusak kehidupan kita baik sekarang atau pun masa yang akan datang.
Jadi disiplin diri merupakan perilaku individu dalam berkegiatan sehari-hari. Mulai dari bangun tidur, menyiapkan diri untuk melakukan aktivitas sehari-hari, siap beraktivitas, sampai berakhirnya aktivitas dan beristirahat. Perilaku seorang individu dalam menyikapi diri, orang lain, lingkungan sekitar dan segala macam aktivitas diri serta orang lain dengan tertib, rapi, teratur, dan terjadwal merupakan wujud dari sikap disiplin seorang individu. Sikap dan perilaku yang terlihat mencerminkan diri setiap individu, apakah individu tersebut termasuk individu yang disiplin atau individu yang tidak disiplin baik terhadap diri maupun lingkungan sekitarnya. Disiplin diri juga membentuk diri kita untuk tidak mudah puas terhadap apa yang telah diraih, dengan cara mengembangkan kemampuan, bekerja dengan manajemen waktu yang bertujuan, dan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan.
5. Sikap Disiplin Diri Remaja (Kontrol, Penyesuaian, dan Pembiasaan Diri) Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis, kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya usia tertentu, kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologi tertentu pada seseorang (Sarlito W. Sarwono, 2011: 81). Menurut Jean Jacques Rousseau, tahap perkembangan pada masa preadolesen (usia 12 s.d 15
tahun), dalam tahap ini perkembangan fungsi penalaran intelektual pada anak sangat dominan. Dengan adanya pertumbuhan sistem saraf serta fungsi pikirannya, anak mulai kritis dalam menanggapi sesuatu ide atau pengetahuan dari orang lain (Djaali. 2013: 26). Goldberg (dalam Sarlito W. Sarwono, 2011: 85) menyatakan bahwa pada diri seorang remaja terdapat 49% kesadaran diri, yaitu disiplin diri, utamakan tugas dan kewajiban, hasrat prestasi yang tinggi, serba terencana, serba terkendali, termasuk mampu mengendalikan dorongan-dorongannya sendiri.
Kontrol diri berarti kemampuan anak untuk mengontrol impuls mereka, dan perasaan anak bahwa mereka dapat mengidentifikasi kejadian di sekeliling mereka (Djaali, 2013: 30). Perilaku atau kegiatan individu menyangkut hal-hal yang dia sadari dan juga yang dia tidak sadari (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 41). Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku individu, baik faktor yang bersumber dari dirinya (internal) atau pun yang berasal dari luar dirinya (eksternal) (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007: 44). Perilaku (behavior) dari peserta didik dan pendidik merupakan masalah penting dalam psikologi pendidikan. Perilaku peserta didik agar dapat menguasai atau memahami sesuatu, merupakan upaya diri peserta didik sesuai dengan pengertian bahwa peserta didik adalah proses pendewasaan (dari ketidak-dewasaan menjadi dewasa). Perilaku dapat berupa sikap, ucapan, dan tindakan seseorang sehingga perilaku ini merupakan bagian dari psikologi dinamis. Psikologi dinamis adalah psikologi yang khusus menggarap masalah tenaga batin, dorongan, dan motif yang mempengaruhi perilaku seseorang (Djaali, 2013: 78).
Sebagian besar orang tua dan guru mengambil sikap bahwa akhirnya anak akan secara otomatis membentuk pengendalian (kontrol) diri, sebagai hasil langsung orang dewasa menerapkan pengawasan luas.
Keyakinan ini berakar dari teori Freud yang terkenal mengatakan bahwa dengan bertambahnya usia, anak berangsur-angsur akan menginternalisasi pengawasan yang sejak dini dipaksakan orang tua atau orang dewasa lain, sampai akhir pengawasan dalam diri dan disiplin diri.
Disiplin diri juga dimulai dari penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Penyesuaian diri terhadap lingkungan adalah upaya agar seorang individu mampu beradaptasi, menyesuaikan dirinya, agar dapat menjalankan hidupnya dengan sebaik-baiknya. Mustafa Fahmi (dalam Desmita, 2010: 191) menulis: pengertian luas tentang proses penyesuain terbentuk sesuai dengan kebutuhan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan dimana dia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Sifat dinamik dari perilaku individu memungkinkannya mampu memperoleh penyesuaian diri yang baik.
Penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku, sikap, dan karakteristik sejenis lainnya. Kemauan dan kemampuan untuk berubah adalah unsur dari penyesuaian diri. Kemauan dan kemampuan untuk berubah ini akan berkembang melalui proses belajar di sekolah. Pengaturan diri sama pentingnya dengan proses penyesuaian diri dan pemeliharaan stabilitas mental, kemampuan untuk mengatur diri, dan mengarahkan diri. Kemampuan pengaturan diri dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan realisasi diri (Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, 2008: 183).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 Bab 2, Pasal 3, tentang dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Fokus Media, 2009: 6).
Djaali (2013: 128) menjelaskan bahwa kebiasaan belajar cenderung menguasai perilaku siswa pada setiap kali mereka melakukan kegiatan belajar. Sebabnya ialah karena kebiasaan mengandung motivasi yang kuat.
Kebiasaan ini harus terus dibiasakan hingga menjadi budaya bagi mereka dan diharapkan dengan kebiasaan belajar yang baik dapat mensukseskan mereka untuk meraih cita-citanya. Kebiasaan tersebut yang kemudian menjadi budaya bagi yang membiasakannya berawal dari minat mereka dalam melakukan sesuatu. Kebiasaan yang diawali dengan kesukaan terhadap sesuatu. Djaali pun menjelaskan arti minat. Dijelaskan bahwa minat adalah rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Lebih lanjut Crow dan Crow mengatakan bahwa minat berhubungan dengan gaya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan orang, benda, kegiatan, pengalaman yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri.
C. Urgensi Penegakan Peraturan Sekolah terhadap Hasil Belajar Siswa Urgensi penegakan peraturan sekolah terhadap hasil belajar siswa di sekolah sangat terlihat. Ada faktor pengaruh antara penegakan peraturan sekolah terhadap hasil belajar siswa terkait sikap disiplin siswa, terutama disiplin diri siswa saat siswa di sekolah, namun tidak menutup kemungkinan sikap disiplin tersebut diterapkan juga di lingkungan rumah dan masyarakat.
Peraturan dengan sikap disiplin adalah suatu persoalan yang diperhatikan oleh negara khususnya Kementerian Pendidikan terbukti bahwa dalam Sudarwan Danim dan Yunan Danim (2011: 42) Kementerian Pendidikan Nasional mengemukakan enam bidang tugas administrasi pendidikan, salah satunya adalah bidang akademik, yaitu kegiatannya adalah mengatur disiplin dan tata tertib kelas. Carolyn menjelaskan bahwa disiplin sekolah itu dapat diterapkan kepada siswa antara lain melalui ganjaran dan hukuman. Maksudnya bahwa kedisiplinan siswa itu harusnya dimotivasi dengan hal-hal lain yang mengarahkan mereka agar bertingkah laku yang baik dan dibenarkan oleh
sekolah serta meminimalisir pelanggaran yang terjadi di sekolah dengan adanya ganjaran dan hukuman (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 2009: 166-167).
Dalam peraturan yang dibuat oleh sekolah-sekolah terdapat beberapa aspek yang ditekankan kepada siswa agar siswa mampu beradaptasi dengan lingkungan pendidikan yang dituntut untuk menjadi manusia yang berpendidikan, bersikap layaknya seorang yang terdidik. Ada beberapa aspek dalam tata tertib sekolah, diantaranya:
1. Aspek kerapihan dan kebersihan seragam sekolah beserta atribut yang harus dipakai;
2. Aspek ketepatan waktu datang ke sekolah;
3. Aspek sikap dan penampilan siswa di sekolah;
4. Aspek barang bawaan yang boleh dan tidak untuk dibawa ke sekolah;
5. Aspek tingkah laku siswa yang tidak boleh dilakukan di sekolah.
Sekolah merupakan tempat yang sangat tepat untuk mengembangkan nilai moral sikap individu dalam masa pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikisnya. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap. Nilai, moral, dan sikap adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dan pengaruh stimulus eksternal. Horrocks menambahkan bahwa Lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, dan sikap individu. Faktor lingkungannya mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Selanjutnya ada usaha-usaha pendidikan kemasyarakatan bagi peserta didik. di sekolah, di samping menerima berbagai pelajaran dari guru, di sekolah pun anak-anak harus pula dididik perasaan sosialnya sebagai lanjutan pendidikan sosial yang telah diterima anak-anak itu dari
lingkungan keluarganya. Untuk itu, pendidikan kemasyarakatan di sekolah dapat dilakukan secara praktis dan teoritis. Secara praktis, antara lain:
1. Anak-anak dibiasakan datang dan pergi ke sekolah pada waktunya; masuk dan keluar sekolah pada waktunya pula;
2. Anak-anak harus diajarkan bekerja secara teratur, baik bekerja perseorangan maupun bekerja kelompok. Dalam hal ini perasaan tanggung jawab pada anak-anak itu harus dipupuk;
3. Anak-anak harus dibiasakan melakukan segala sesuatu di sekolah menurut peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah itu. Hal ini penting sekali sebab di dalam masyarakat pun orang harus hidup menuruti peraturan-peraturan. Untuk itu, pengawasan pihak pendidik sangat dibutuhkan;
4. Anak-anak diajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan anak- anak lain di sekolah, bekerja sama, dan saling membantu (M.
Ngalim Purwanto, 2006: 172).
Menurut M. Ngalim Purwanto (2006: 125), di sekolah harus ada ketertiban dan peraturan-peraturan tertentu yang harus dijalankan oleh tiap-tiap murid dan guru. Bukan hanya guru atau murid/siswa saja yang harus tertib dan disiplin di lingkungan sekolah, melainkan semua warga sekolah harus menjalankan ketertiban dan kedisiplinan di sekolah. Bagi siswa, tata tertib siswa harus ada dan harus bisa diterapkan oleh seluruh siswa di sekolah. Karena dengan adanya tata tertib siswa maka akan tercipta sebuah kebiasaan yang baik, ketertiban, kedisiplinan, dan nanti akan membentuk siswa-siswa yang berkarakter disiplin. Begitupun dengan guru dan warga sekolah lainnya. Sekolah harus membuat peraturan- peraturan yang ditujukan untuk siswa, guru, dan warga sekolah seluruhnya, namun setiap peraturan akan berbeda antara siswa dengan guru dan yang lainnya. Guru pun ada aturannya. Dibuatnya sebuah aturan agar seorang guru mempunyai pedoman dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Agar tercapai tujuan pendidikan di sekolah.
Menurut E. Mulyasa (2006: 81), sekolah membuat aturan-aturan yang harus ditaati, khususnya oleh warga sekolah, guru, peserta didik, karyawan, dan kepala sekolah. Aturan tersebut meliputi tata tertib waktu masuk dan pulang sekolah, kehadiran di sekolah dan di kelas serta proses
pembelajaran yang sedang berlangsung, dan tata tertib sekolah lainnya.
Dengan adanya peraturan-peraturan bagi setiap warga sekolah dan porsinya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan tanggung jawabnya akan menjadikan suasana lingkungan sekolah menjadi kondusif. Jika peraturan-peraturan tersebut diterapkan, dijalankan dan dievaluasi setiap tahunnya, maka akan terlihat progres yang sangat signifikan sehingga semakin cepat tujuan pendidikan di sekolah tersebut.
Setiap perintah dan peraturan dalam pendidikan mengandung norma-norma kesusilaan, jadi bersifat memberi arah atau mengandung tujuan ke arah perbuatan susila/kebaikan. Namun Ngalim Purwanto (2006:
179) memberi sedikit penekanan kepada pendidik dan atau pemberi peraturan agar pendidik dan atau pemberi peraturan lebih dulu memberi tauladan kepada siswa dan atau kepada yang diberi aturan. Tentu saja suatu perintah atau peraturan itu dapat mudah ditaati oleh anak-anak jika pendidik sendiri menaati dan hidup menurut peraturan itu; jika apa yang harus dilakukan oleh anak-anak itu sebenarnya sudah dimiliki dan menjadi pedoman pula bagi hidup pendidik. Tidak mungkin suatu aturan sekolah ditaai oleh murid-murid jika guru sendiri tidak mematuhi peraturan yang telah dibuatnya itu.
Hamzah B. Uno (2010: 211) mengatakan apabila tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang-orang yang mampu mendidik dirinya, maka siswa harus belajar mengatur hidupnya dengan menentukan tujuannya sendiri, memonitoring dan mengevaluasinya, dan menyediakan penguatan untuk dirinya. Teori yang dikemukakan Hamzah di atas mengisyaratkan bahwa sedini mungkin siswa harus dididik agar mereka mampu untuk hidup mandiri dan setidaknya siswa dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan yang penting sekali, terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Anak-anak dapat menurut dan taat kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga (keluarga) maupun di sekolah. Pembiasaan yang baik
penting, artinya bagi pembentukan watak anak-anak, dan juga akan terus berpengaruh kepada anak itu sampai tua (M. Ngalim Purwanto, 2006:
177). Pembiasaan yang baik membutuhkan pengawasan. Demikian pula, aturan-aturan dan larangan-larangan dapat berjalan dan ditaati dengan baik jika disertai dengan pengawasan yang terus-menerus. Pendidik hendaklah konsekuen; apa yang telah dilarang, hendaknya selalu dijaga jangan sampai dilanggar dan apa yang telah diperintahkan jangan sampai diingkari. Tujuan mendidik adalah membentuk anak supaya akhirnya dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas perbuatannya (M.
Ngalim Purwanto, 2006: 178).
Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Carolyn menambahkan bahwa selain hukuman juga ada ganjaran/penghargaan.
Menurutnya ganjaran adalah sesuatu yang bersifat menyenangkan yang diterima siswa apabila siswa berprestasi, dan berusaha dengan baik atau bertingkah laku baik. Sedangkan hukuman adalah sesuatu yang tidak menyenangkan yang diterima siswa apabila mereka bertingkah laku yang tidak pada tempatnya (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 2009: 166-167).
Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah:
1. Senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran;
2. Sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan;
3. Selalu bertujuan ke arah perbaikan;
4. hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri (M. Ngalim Purwanto, 2006: 186).
Beberapa macam hukuman:
1. Hukuman preventif, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Hukuman ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai terjadi pelanggaran sehingga hal itu dilakukan sebelumn pelanggaran itu dilakukan.
2. Hukuman represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya dosa yang telah diperbuat.
Jadi, hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelangaran (M.
Ngalim Purwanto, 2006: 189).
Wiliam stern membedakan tiga macam hukuman yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.
1. Hukuman asosiatif. Umumnya orang mengasosiasikan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan.
2. Hukuman logis. Hukuman ini dipergunakan terhadap anak- anak yang telah agak dewasa. Dengan hukuman ini, anak mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat logis dari pekerjaan atau perbuatannya yang tidak baik.
3. Hukuman normatif. Hukuman normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki moral anak (M. Ngalim Purwanto, 2006: 190).