HUBUNGAN ANTARA MINDFULNESS DENGAN DEPRESI PADA TENAGA KESEHATAN DI MASA SETELAH PANDEMI
RELATIONSHIP BETWEEN MINDFULNESS WITH DEPRESSION OF HEALTH WORKERS IN THE POST-PANDEMIC PERIOD
1Taufiq Hidayat
1 Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Jl. Raya Wates-Jogjakarta, Karanglo, Argomulyo, Kec. Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55752
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi. Subjek dalam penelitian ini adalah 72 tenaga kesehatan yang berdomisili di Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala mindfulness dan skala depresi. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar rxy = -0,384 dan (p<0,050). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara mindfulness dengan depresi. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi mindfulness yang dimiliki oleh tenaga kesehatan maka akan semakin rendah depresi pada tenaga kesehatan. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,148 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel mindfulness tidak memiliki kontribusi sebesar 85,2% terhadap depresi pada tenaga kesehatan.
Kata kunci: Mindfulness, depresi, tenaga kesehatan.
Abstract
This study aims to know the relationship between mindfulness with depression of health workers in the post-pandemic period. The hypothesis proposed in this study is that there is a negative relationship between mindfulness with depression of health workers in the post-pandemic period. The subjects in this study were 72 health workers who live in Yogyakarta. The method of collecting data in this study using the scale of mindfulness and depression scale. The data analysis technique used is the product moment correlation. Based on the results of data analysis obtained correlation coefficient (r) of rxy = -0,384 and (p <0,050). These results indicate that there is a negative relationship between mindfulness with depression. This shows that the higher the mindfulness of health workers, the lower depression in health workers. A coefficient of determination (R2) of 0,148, so that it can be said that the variable mindfulness has not contributed 85,2% to depression in health workers.
Keywords: Mindfulness, Depression, health workers.
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Kementerian Kesehatan, 2017).
Kesehatan masyarakat dalam praktiknya berupa kegiatan, langsung atau tidak langsung guna mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, terapi atau kuratif, dan pemulihan kesehatan baik fisik, sosial, dan mental adalah upaya kesehatan masyarakat (Irwan, 2018). Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua pihak guna meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan masyarakat yang baik sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi (Kementerian Kesehatan, 2017).
Tenaga kesehatan adalah individu yang mendapatkan pendidikan formal atau nonformal yang mendedikasikan diri dalam upaya mencegah, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat (Kurniati & Efendi, 2012). Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap individu yang mendedikasikan diri dalam kesehatan dan memiliki pengetahuan serta keahlian melalui pendidikan dibidang kesehatan, untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.
Menurut Bustami dan Astikawati (2011), tenaga kesehatan adalah tenaga ahli kedokteran dengan fungsi utama memberikan pelayanan medis kepada pasien berdasarkan ilmu kedokteran dan etika yang berlaku serta dapat pertanggungjawaban.
Tenaga kesehatan menjadi garda terdepan percepatan penanganan pandemi COVID-19 rentan mengalami gangguan kesehatan mental (Tim CNN Indonesia, 2021). Menurut Rosyanti dan Hadi (2021) tenaga kesehatan mengalami ketakutan akan penularan, perasaan tidak didukung, kekhawatiran mengenai kesehatan pribadi, diisolasi, perasaan tidak pasti, stigmatisasi sosial, beban kerja berlebihan, dan perasaan tidak aman. Tenaga kesehatan bisa mengalami gangguan psikologis seperti depresi, stres berat, kecemasan, dan kelelahan (Rosyanti & Hadi, 2021). Penelitian dalam bentuk review literature dengan sampel artikel dan jurnal yang membahas tenaga kesehatan medis atau non medis, ditemukan prevalensi dampak psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi dari ringan hingga berat pada tenaga kesehatan selama masa pandemi COVID-19 (Pinggian, Opod, & David, 2021).
Tenaga kesehatan membutuhkan akses untuk istirahat, dukungan rekan kerja, dan tim yang baik dalam upaya percepatan penanganan pandemi COVID-19 (Maben & Bridges, 2020).
Kondisi psikologis dan pertambahan beban kerja pada tenaga kesehatan dipengaruhi oleh peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 (Chen dkk., 2020). Dalam sebuah riset di Jawa Barat menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit rujukan
COVID-19 status kesehatannya lebih rendah jika dibandingkan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan non-rujukan (Iskandarsyah, 2022).
Tenaga kesehatan lebih sering mengalami kecemasan dan gejala depresi (Huang & Zhao, 2020). Peningkatan depresi dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang terlibat dalam percepatan pengendalian COVID-19 mengalahkan kekhawatiran sebelumnya tentang kesehatan mental tenaga kesehatan (Steil dkk., 2022). Peluang depresi dan gangguan psikologis lain pasca pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dapat meninggalkan trauma sampai tiga tahun pada tenaga kesehatan (Tu dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan di Singapura oleh Tan dkk. (2020) ditemukan bahwa tenaga kesehatan mengalami depresi karena kurangnya aksesibilitas dukungan psikologis formal, informasi medis yang kurang tentang penanganan COVID-19, dan kurangnya pelatihan intensif tentang alat pelindung diri dan infeksi.Dengan banyaknya tenaga kesehatan yang terkena berbagai gangguan psikologis seperti depresi dan gangguan psikologis lain pasca pandemi. Penting bagi pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memastikan kesehatan mental tenaga kesehatan diperiksa secara teratur (Sandesh dkk., 2020).
Dalam studi cross-sectional terhadap 1257 tenaga kesehatan di 34 rumah sakit di China, ditemukan bahwa 634 atau 50,4 % tenaga kesehatan mengalami gejala depresi (Lai dkk., 2020).
Penelitian yang dilakukan di Pakistan, dari populasi 112 tenaga kesehatan di beberapa rumah sakit di Pakistan, ditemukan bahwa 72 % atau setara dengan 81 tenaga kesehatan mengalami depresi sedang hingga sangat berat (Sandesh dkk., 2020). Setidaknya 26 % dari 465 tenaga kesehatan di Indonesia yang terlibat dalam pengendalian pandemi COVID-19 mengeluhkan mengalami depresi (Nugraha, 2021).
Depresi merupakan gangguan psikologis meliputi perasaan menyimpang, kognitif, dan perilaku (Beck & Alford, 2009). Proporsi populasi global depresi pada tahun 2015 sebesar 4,4
% depresi lebih umum terjadi pada perempuan, yaitu sebesar 5,1 % dibanding laki-laki sebesar 3,6 % (World Health Organization, 2017). Lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan depresi. Satu dari empat wanita dan satu dari enam pria mengalami depresi selama hidup, 65 % mengalami episode berulang dari gangguan tersebut, sehingga depresi menjadi penyebab utama penyakit secara umum (Walker, McGee, & Druss, 2015). Di Indonesia, depresi termasuk dalam gangguan mental-emosional dengan prevalensi sebesar 6,2
% pada usia remaja (15-24 tahun) dan prevalensi depresi bertambah bersamaan dengan peningkatan usia, tertinggi pada umur 75+ sebesar 8,9 %, 65-74 tahun sebesar 8,0 % dan 55-64 tahun sebesar 6,5 % (Riskesdas, 2018). Kontribusi genetik terhadap depresi adalah 40 % untuk perempuan, pada laki-laki tampak lebih rendah secara signifikan. Genetik berkontribusi
terhadap penyebab depresi, yaitu sebesar 60 % sampai 80 %, depresi diatribusikan pada pengalaman-pengalaman psikologis (Durand & Barlow, 2006).
Banyak faktor yang menjadi penyebab tenaga kesehatan mengalami depresi sebagian besar disebabkan oleh perubahan pola kerja yang semakin sibuk, padat, berisiko, menguras tenaga, dan pikiran tenaga kesehatan (Rejo, Arradini, Darmayanti, Widiyanto, & Atmojo, 2020). Aktivitas fisik telah diidentifikasi bermanfaat untuk peningkatan kondisi kesehatan fisik dan mental dalam mengurangi risiko gejala depresi (Kim & Munro, 2021). Sejumlah penelitian telah menginvestigasi peran beberapa faktor terhadap depresi atau simtom depresi, seperti regulasi emosi (Marroquin & Nolen-Hoeksema, 2015). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa individu dengan depresi atau simtom depresi cenderung memiliki tingkat mindfulness yang rendah, dibuktikan dengan aktivitas neural yang bertolak belakang pada individu yang depresi dan individu yang memiliki tingkat mindfulness yang tinggi (Way, Creswell, Eisenberger, & Lieberman, 2010). Individu yang memiliki kemampuan mindfulness tinggi cenderung memiliki tingkat depresi yang rendah, sebaliknya individu dengan tingkat depresi tinggi diketahui memiliki mindfulness yang rendah (Fourianalistyawati & Listiyandini, 2017).
Mindfulness merupakan karakteristik terukur yang memiliki peran penting dalam berbagai aspek kesehatan mental (Brown & Ryan, 2003). Mindfulness ditemukan sebagai mediasi simtom depresi (Heath, Carsley, De Riggi, Mills, & Mettler, 2016).
Menurut Brown dan Ryan (2003) individu dengan mindfulness yang tinggi akan melakukan sesuatu dengan kesadaran sesuai dengan minat. Saat tenaga kesehatan menyadari pikiran dan perasaan sesuai dengan minat, aktivitas penanganan pandemi COVID-19 berfokus pada penyembuhan pasien COVID-19 sesuai dengan tugas dan tanggung jawab profesi sebagai tenaga kesehatan. Menurut Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney (2006) mindfulness adalah aktivitas saat ini dengan keadaan sadar dan penerimaan tanpa memberikan penilaian.
Individu dengan rasa sadar yang tinggi dinilai lebih mampu untuk bersikap secara sadar. Rasa kesadaran membantu individu dapat melihat secara detail hubungan antara pikiran, perasaan, dan aktivitas sehingga makna dan pengalaman dapat disadari. Mindfulness menjadi alternatif dalam meningkatkan penerimaan diri (Waney, Kristinawati, & Setiawan, 2020). Penerimaan diri pada tenaga kesehatan dapat membantu dalam percepatan penanganan pandemi COVID-19.
Menurut Brown dan Ryan (2003) mindfulness yang dimiliki oleh seseorang mampu mengatasi tekanan sosial yang ada di sekitar, karena terbiasa bertindak sesuai dengan nilai yang dimiliki. Demikian halnya yang dihadapi oleh tenaga kesehatan, akan bertindak secara sadar sesuai dengan profesi tanpa mempedulikan stigma buruk yang ada di masyarakat dalam penanganan pandemi COVID-19.
Mindfulness menurut Baer dan Krietemeyer (2006) merupakan keadaan individu dengan penuh kesadaran terhadap pengalaman masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang tanpa menghakimi perasaan dan pengalaman masa lalunya, individu cenderung akan terbuka terhadap pengalaman yang positif maupun negatif dalam hidupnya. Keterbukaan terhadap pengalaman positif maupun negatif dapat membantu tenaga kesehatan mengurangi tekanan selama bekerja dan depresi yang muncul selama penanganan pandemi COVID-19. Berdasarkan penelitian Langelo, Oroh, dan Mondigir (2021), manajemen stres mindfulness berdampak positif terhadap penurunan tingkat kecemasan pada tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19.
Dampak yang terjadi saat seseorang merasa cemas adalah terganggunya sistem saraf pusat sehingga muncul depresi (Durand & Barlow, 2006). Menurut Bishop dkk. (2004) mindfulness berfokus pada diri sendiri yang ditandai dengan keterbukaan dan penerimaan pengalaman yang melibatkan pengamatan diri. Tenaga kesehatan perlu memiliki keterbukaan dan penerimaan pengalaman yang melibatkan pengamatan diri guna mengatasi tekanan secara psikologis yang mungkin muncul dalam penanganan pandemi COVID-19.
Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) dengan variabel kriterium depresi dan variabel prediktor mindfulness. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) terletak pada subjek penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) menggunakan subjek penelitian remaja, sementara itu pada penelitian ini menggunakan subjek penelitian tenaga kesehatan di masa setelah pandemi. Selanjutnya, penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019), perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019) terletak pada instrumen penelitian yang digunakan. Pada penelitian Apriliyani, Dwidiyanti, dan Sari (2019) menggunakan instrumen penelitian Depression Anxiety Stress Scale (DASS), sementara itu pada penelitian ini menggunakan instrumen penelitian Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang diadaptasi dan diterjemahkan oleh Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, dan Becker (2013).
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang permasalahan tersebut, peneliti mengajukan perumusan masalah penelitian yaitu apakah ada hubungan antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi?
METODE PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan, dengan kriteria berprofesi sebagai tenaga kesehatan dan berdomisili di Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode skala. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala depresi dan skala mindfulness.
Depresi dalam penelitian ini akan diukur dengan skala depresi Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang dikembangkan oleh Beck, Steer, dan Brown pada tahun 1996 diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, dan Becker (2013). Sedangkan mindfulness dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) adaptasi dalam Bahasa Indonesia oleh Meindy, Djunaidi, dan Triwahyuni (2022). Jumlah aitem pada skala depresi adalah 21 kelompok aitem, dengan salah satu contoh kelompok aitemnya adalah 0. Saya tidak merasa sedih, 1. Saya sering kali merasa sedih, 2. Saya merasa sedih sepanjang waktu, 3. Saya merasa sangat tidak bahagia atau sedih sampai tidak tertahankan. Sementara itu, jumlah aitem pada skala mindfulness adalah 38 aitem pernyataan, dengan salah satu contoh aitemnya adalah ketika saya berjalan, saya merasakan tubuh saya yang sedang bergerak. Rentang skor untuk skala depresi adalah 0 sampai 3 untuk setiap kelompok. Sementara itu, rentang skor untuk skala mindfulness adalah 1 sampai 5 dengan kategori respon Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang- Kadang (KK), Jarang (J), dan Sangat Jarang (SJ).
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis korelasi poduct moment yang dikembangkan oleh Pearson. Korelasi product moment digunakan ketika kedua variabel bersifat interval dan dalam penggunaan formula ini diasumsikan bahwa hubungan yang terjadi bersidat linier (Azwar, 2018). Peneliti menggunakan teknik analisis ini dikarenakan analisis korelasi product moment sesuai untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara dua variabel, dimana pada penelitian iini yaitu menguji antara mindfulness dengan depresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelumnya data harus diuji asumsi dasar terlebih dahulu, yang terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas, dan uji hipotesis. Dari hasil uji normalitas kedua variabel mindfulness dan depresi Hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap data penelitian, peneliti mengkategorisasi data skala depresi dan skala mindfulness. Berdasarkan kategorisasi data depresi diketahui sebanyak 38 subjek (52,78 %) tingkat kategori depresi berat, sebanyak 10 subjek (13,89 %) tingkat kategori depresi sedang, sebanyak 3 subjek (4,17 %) tingkat depresi kategori depresi ringan dan sebanyak 21 subjek (29,17 %) tingkat kategori depresi normal.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat depresi mayoritas tenaga kesehatan tinggi.
Tabel 1. Kategorisasi depresi
Kategori Pedoman skor N Presentase
Depresi berat 29 – 63 38 52,78 %
Depresi sedang 20 – 28 10 13, 89 %
Depresi ringan 14 – 19 3 4, 17 %
Normal 0 - 13 21 29, 17 %
Total 72 100 %
Selanjutnya, berdasarkan kategorisasi data mindfulness diketahui bahwa sebanyak 10 subjek (13,86 %) memiliki tingkat mindfulness tinggi, sebanyak 59 subjek (81,94 %) memiliki tingkat mindfulness sedang, dan sebnyak 3 subjek (4,17 %) memiliki tingkat mindfulnes rendah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat mindfulness tenaga kesehatan cenderung sedang.
Tabel 2. Kategorisasi mindfulness
Kategori Pedoman Skor N Presentase Tinggi X ≥ (µ + 1σ) X ≥ 143 10 13,89 % Sedang (µ - 1σ) ≤ X <
(µ + 1σ)
91≤ X <
143
59 81,94 %
Rendah X < (µ - 1σ) X < 91 3 4,17 %
Total 72 100 %
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis korelasi product moment yang dikembangkan oleh Pearson untuk menguji hipotesis. Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan dahulu uji prasyarat yang terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas.
Hasil uji normalitas dengan uji Kolmogorov-smirnov untuk variabel depresi diperoleh K-S Z = <0,001 dengan (p>0,050) yang berarti sebaran data depresi tidak mengikuti distribusi normal. Sedangkan hasil uji Kolmogorov-smirnov untuk variabel mindfulness diperoleh K-S Z
=0,200 dengan (p>0,050) yang berarti sebaran data normal. Menurut Hadi (2015) normal atau tidaknya suatu data dalam sebuah penelitian tidak memberikan pengaruh kepada hasil akhir.
Lebih lanjut Hadi (2015) menjelaskan bahwa ketika subjek penelitian ≥30 maka dapat dikatakan terdistribusi normal. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka variabel depresi dan variabel mindfulness datanya dapat digunakan untuk lanjut ke langkah berikutnya, yaitu uji linieritas dan uji hipotesis karena jumlah subjek penelitian adalah 72 subjek (N ≥ 30).
Tabel 3. Uji Normalitas Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
,089 72 ,200* ,963 72 ,032
,170 72 <,00 1
,896 72 <,001
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Selanjutnya uji linieritas pada data penelitian diperoleh deviation from linearity sebesar
= 0,606 dengan (p<0,050), maka hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara mindfulness dengan depresi merupakan hubungan yang linier.
Tabel 4. Uji Linieritas ANOVA Table
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig.
Depresi * Mindfulness
Between Groups
(Combined) 12056,403 45 267,920 1,154 ,354 Linearity 2670,591 1 2670,591 11,50
8 ,002
Deviation from Linearity
9385,812 44 213,314 ,919 ,606
Within Groups 6033,917 26 232,074
Total 18090,319 71
Selanjutnya uji korelasi penelitian, menunjukkan korelasi antara mindfulness dengan depresi memiliki nilai koefisien korelasi (rxy) = -0,384 dengan (p<0,050) yang berarti ada korelasi negatif yang signifikan antara mindfulness dengan depresi.
Tabel 5. Uji Hipotesis Measures of Association
R R Squared Eta Eta Squared
Depresi * Mindfulness
-,384 ,148 ,816 ,666
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima, yaitu semakin tinggi mindfulness yang dimiliki tenaga kesehatan, maka akan semakin rendah depresi yang dialami tenaga `kesehatan. Sebaliknya semakin rendah mindfulness yang dimiliki tenaga kesehatan, maka akan semakin tinggi depresi yang dialami pada tenaga kesehatan.
Dalam hal ini diterimanya hipotesis pada penelitian ini menunjukkan bahwa mindfulness dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan tingkat depresi tenaga kesehatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Fourianalistyawati dan Listiyandini (2017) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara mindfulness dan depresi.
Depresi menjadi salah satu masalah kesehatan mental yang semakin banyak ditemui di Indonesia, hal ini ditandai dengan hasil penelitian yang menunjukkan hasil bahwa dari 72 tenaga kesehatan 52,78 % diantaranya mengalami depresi dengan kategori berat. Hasil ini hasil riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa prevalensi depresi sebesar 6,2 % pada usia remaja (15-24 tahun) dan pola prevalensi depresi meningkat seiring peningkatan usia, tertinggi pada umur 75+ sebesar 8,9 %, 65-74 tahun sebesar 8,0 % dan 55-64 tahun sebesar 6,5 % (Riskesdas, 2018).
Mindfulness adalah karakteristik terukur yang memiliki peran penting dalam berbagai aspek kesehatan mental (Brown & Ryan, 2003). Menurut Brown dan Ryan (2003) individu dengan mindfulness yang tinggi akan melakukan sesuatu dengan kesadaran sesuai dengan minat. Menurut Baer, Smith, Hopkins, Krietemeyer, dan Toney (2006) mindfulness adalah aktivitas saat ini dengan keadaan sadar dan penerimaan tanpa memberikan penilaian. Individu dengan rasa sadar yang tinggi dinilai lebih mampu untuk bersikap secara sadar. Rasa kesadaran membantu individu dapat melihat secara detail hubungan antara pikiran, perasaan, dan aktivitas sehingga makna dan pengalaman dapat disadari. Menurut Brown dan Ryan (2003) mindfulness yang dimiliki seseorang mampu mengatasi tekanan sosial yang ada di sekitar, karena terbiasa bertindak sesuai dengan nilai yang dimiliki.
Hasil analisis data menunjukkan koefisien determinasi atau R2 sebesar 0,148 yang menunjukkan bahwa mindfulness tidak berkontribusi sebesar 85,2% terhadap depresi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara mindfulness dengan depresi pada tenaga kesehatan di masa setelah pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi mindfulness yang dimiliki tenaga kesehatan, maka akan semakin rendah depresi yang dialami tenaga kesehatan. Sebaliknya semakin rendah mindfulness yang dimiliki tenaga kesehatan, maka akan semakin tinggi depresi yang dialami pada tenaga kesehatan. Mindfulness tidak mempengaruhi sebesar 85,2% terhadap depresi pada tenaga kesehatan. Penelitian ini masih memiliki kekurangan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat memperluas populasi yang akan diteliti. Selain itu masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi depresi pada tenaga kesehatan, sehingga peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel bebas lain untuk diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Apriliyani, I., Dwidiyanti, M., & Sari, S. P. (2019). Pengaruh terapi mindfulness terhadap tingkat depresi pada remaja. Proceeding Book Widya Husada Nursing Conference, 1(1), 74-84.
Baer, R. A., & Krietemeyer, J. (2006). Overview of mindfulness and acceptance-based treatment approaches. In R. A. Baer (Ed.), Mindfulness-Based Treatment Approaches:
Clinician’s Guide to Evidence Base and Applications, 3-27. doi: 10.1016/B978- 012088519-0/50002-2
Baer, R. A., Smith, G. T., Hopkins, J., Krietemeyer, J., & Toney, L. (2006). Using self-report assessment methods to explore facets of mindfulness. Assessment, 11(3), 191-206. doi:
10.1177/1073191104268029
Beck, A. T., & Alford, B. A. (2009). Depression: Causes and treatment. Philadelphia:
University of Pennsylvania Press.
Bishop, S., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N. D., Carmody, J., ... Devins, G.
(2004). Mindfulness: A proposed operational definition. Clinical Psychology: Science and Practice, 11(3), 230-241. doi:10.1093/clipsy.bph077
Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). The benefits of being present: mindfulness and its role in psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 84(4), 822- 848. doi: 10.1037/0022-3514.84.4.822
Brown, K. W., Ryan, R. M., & Weinstein, N. (2008). A multi method examination of the effects of mindfulness on stress attribution coping, and emotional wellbeing. Journal of Research in Personality, 43, 374-385.
Bustami., & Astikawati, R. (2011). Penjaminan Mitu Pelayanan Kesehatan dan Akseptibilitasnya (6th ed). Jakarta: Erlangga.
Chen, Q., Liang, M., Li, Y., Guo, J., Fei, D., Wang, L., & Zhang, Z. (2020). Mental health care for medical staff in China during the covid-19 outbreak. The Lancet Psychiatry, 7(4), 15-16. doi:10.1016/S2215-0366(20)30078-X
Durand, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Intisari Psikologi Abnormal (4th ed). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fourianalistyawati, E., & Listyandini, R. A. (2017). Hubungan antara mindfulness dengan depresi pada remaja. Jurnal Psikogenesis, 5(2), 115-122.
Ginting, H., Naring, G., Veld, W. M. V. D., Srisayekti, W., & Becker, E. S. (2013). Validating the Beck Depression Inventory-II in Indonesia’s general population and coronary heath disease patients. International Journal of Clinical and Health Psychology, 13(3), 235- 242. doi: 10.1016/S1697-2600(13)70028-0
Hadi, S. (2015). Metodologi riset (2nd ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heath, N. L., Carsley, D., De Rigit, M., Mills, D., & Mettler, J. (2016). The reletionship between mindfulness depressive symptoms and non-suicidal self-injury amongst adolescents. Archive Of Suicide Research. doi: 10.1080/13811118.2016.1162243 Huang, Y., & Zhao, N. (2020). Chinese mental health burden during the covid-19 pandemic.
Asian journal of psychiatry. doi: 10.1016/j.ajp.2020.102052
Irwan. (2018). Etika dan perilaku sehat. Yogyakarta: Absolute Media.
Iskandarsyah, A. (2022, 28 Maret). Studi di Jawa Barat: pandemi berimbas pada kesehatan mental para tenaga kesehatan. The Conversation. Diakses dari https://theconversation.com/studi-di-jawa-barat-pandemi-berimbas-pada-kesehatan- mental-para-tenaga-kesehatan-176247
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS.
Jakarta: Balitbang Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil kesehatan indonesia tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kim, E. K., & Munro, T. (2021). Association between physical activity and depressive symptoms throught obesity and school bullying among adolescent. International Journal Depression Anxiety, 4 (26). doi: 10.23937/2643-4059/1710026
Kurniati, A., & Effendi, F. (2012). Kajian Sumber Daya Manusia Kesehatan di Indonesia.
Jakarta: Salemba Medika.
Lai, J., Ma, S., Wang, Y., Cai, Z., Hu, J., Wei, N., ... Hu, S. (2020). Factors associated with mental health outcomes among health care workers exposed to coronavirus disease 2019. JAMA Network Open, 3(3), 1–12. doi: 10.1001/jamanetworkopen.2020.397
Langelo, W., Oroh, C., & Mondigir, M. (2021). Manajemen stress mindfulness terhadap tingkat kecemasan tenaga kesehatan di masa pandemi covid-19. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4(4), 725-732.
Maben, J. & Bridges, J. (2020). Covid-19: supporting nurses’ psychological and mental health.
Journal of Clinical Nursing, 29(15), 2742-2750. doi: 10.1111/jocn.15307
Marroquin, B., & Nolen-Hoeksema, S. (2015). Emotional regulation and depressive symptoms:
Close relationships as social context and influence. Journal of Personality and Social Psychology, 109 (5), 836-855.
Meindy, N., Djunaidi, A., & Triwahyuni, A. (2022). Adaptasi Five Facet Mindfulness Questionnaire Bahasa Indonesia. Psychoecentrum Review, 4(1), 1-19. doi:
10.26539/pcr.41849
Nugraha, A. (2021, 22 Juni). Ancaman serius lain saat pandemi Covid-19, 28 persen tenaga
kesehatan depresi. Liputan 6. Diakses dari
https://m.liputan6.com/health/read/4588473/ancaman-serius-lain-saat-pandemi-covid- 19-28-persen-tenaga-kesehatan-depresi
Pinggian, B., Opod, H., & David, L. (2021). Dampak psikologis tenaga kesehatan selama pandemi covid-19. Jurnal Biomedik, 13(2), 144-151.
Rejo., Arrandini, D., Darmayanti, A. T., Widiyanto, A., Atmojo, J. T. (2020). Faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi pada tenaga kesehatan saat pandemi covid-19. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(4), 495-502.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Rosyanti, L., & Hadi, I. (2021). Dampak Psikologis dalam Memberikan Perawatan dan Layanan Kesehatan Pasien COVID-19 pada Tenaga Profesional Kesehatan. Health Information:
Jurnal Penelitian, 12(1), 107–130. doi:10.36990/hijp.vi.191
Sandesh, R., Shahid, W., Dev, K., Mandhan, N., Shankar, P., Shaikh, A., Rizwan, A. (2020).
Impact of covid-19 on the mental health of healthcare professionals in pakistan. Cureus, 12(7), 1-4. doi: 10.7759/cureus.8976
Steil, A., Tokeshi A. B. P., Bernardo, L. S., Neto, G. P. D. S., Júnior, R. F. D., Bárbara, A. F. S., ... Gois, A. F. T. (2022). Medical residents’ mental distress in the covid-19 pandemic:
An urgent need for mental health care. Plos One Journal, 17(3), 1-11 doi:
10.1371/journal.pone.0266228
Tan, B. Y. Q., Chew, N. W. S., Lee, G. K. H., Jing, M., Goh, Y., Yeo, L. L. L., ... Sharma, V. K.
(2020). Psychological impact of the covid-19 pandemic on health care workers in singapore. Ann Intern Med, 173(4), 317-320. doi: 10.7326/M20-1083
Tim CNN Indonesia. (2021, 17 Maret). Studi: 1 dari 5 nakes depresi selama pandemi. Cnn Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210315062336- 260-617397/studi-1-dari-5-nakes-depresi-selama-pandemi
Tu, C., Crameri, G., Kong, X., Chen, J., Sun, Y., Yu, M., ... Ren, T. (2004). Antibodies To Sars Coronavirus In Civets. Emerging Infectious Diseases, 10(12), 2244.
Walker, E. R., McGee, R. E., & Druss, B. G. (2015). Mortality in mental disorders and global disease burden implications: a systematic review and meta-analysis. JAMA Psychiatry, 72(4), 334-341. doi: 10.1001/jamapsychiatry.2014.2502.
Waney, N. C., Krisnawati, W., & Setiawan, A. (2020). Mindfulness dan penerimaan diri pada remaja di era digital. Jurnal Ilmiah Psikologi, 22(2), 73-81. doi:
10.26486/psikologi.v22i2.969
Way, B.M., Creswell, J. D., Eisenberger, N. I., & Lieberman, M. D. (2010). Dispositional mindfulness and depressive symptomatology: correlations with limbic and self- referential neural activity during rest. Journal Emotion. 10(1), 12-24.
doi:10.1037/a0018312