• Tidak ada hasil yang ditemukan

(time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam, sedangkan kurun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "(time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam, sedangkan kurun"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Waktu Kerja

Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat beban kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan mengurangi beban kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu (pagi, sore, dan malam hari).

Menurut Wignjosoebroto (2003), waktu standar secara defenitif dinyatakan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu standar tersebut sudah mencakup kelonggaran waktu (allowance time) yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang harus

diselesaikan.

Menurut Husen (2009), dalam konteks penjadwalan terdapat perbedaan antara waktu (time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam, sedangkan kurun

waktu atau durasi menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam melakukan suatu kegiatan, seperti lamanya waktu kerja dalam satu hari adalah 8 jam. Menentukan durasi atau kegiatan biasanya dilandasi volume pekerjaan dan produktivitas kelompok pekerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

(2)

Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam, sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat,istirahat, tidur, dan lain- lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas.

Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam (Rizahirfan, 2008).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja.

Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur.

Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.

Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

2.1.1. Waktu Kerja Lembur

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat 2 Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat:

(3)

6. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

7. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

8. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur.

9. Ketentuan waktu kerja lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

10. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur dalam pasal 1, waktu lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

2.1.2. Pengukuran Waktu Kerja

Menurut Wignjosoebroto (2003), pengukuran waktu kerja (time study) adalah suatu aktivitas untuk menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki skill rata-rata dan terlatih baik) dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja dalam kondisi dan tempo kerja yang normal. Tujuan pokok dari aktivitas ini dengan sendirinya akan berkaitan erat dengan usaha menetapkan waktu baku (standard time). Secara historis dijumpai dua macam pendekatan didalam menetapkan waktu baku ini, yaitu pendekatan dari bawah keatas (bottom-up) dan pendekatan dari atas kebawah (top-down).

(4)

Untuk menjelaskan prosedur penentuan waktu baku dengan pendekatan bottom-up maka perlu dipahami beberapa definisi seperti berikut:

1. Waktu normal (normal time) adalah waktu yang diperlukan oleh seorang operator yang terlatih dan memiliki keterampilan rata-rata untuk melaksanankan suatu aktivitas dibawah kondisi dan tempo kerja normal. Waktu normal disini tidak termasuk waktu longgar yang diperlukan untuk melepas lelah (fatique), personal need ataupun delay yang diperlukan bilamana kegiatan kerja tersebut harus dilaksanankan dalam waktu sehari penuh (8 jam/hari).

2. Tempo kerja normal (normal pace). Merupakan tempo kerja atau perfomansi kerja yang ditunjukkan oleh seorang operator yang memiliki keterampilan rata-rata, terlatih baik dan dengan kesadaran tinggi mau bekerja secara normal (tidak terlalu cepat tetapi juga tidak terlalu lambat) selama 8 jam/hari (1 shift kerja).

3. Waktu pengamatan adalah waktu pengamatan yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran waktu yang diperlukan seorang operator untuk menyelesaikan sebuah aktivitas atau elemen kerja.

4. Kelonggaran waktu, merupakan sejumlah waktu yang harus ditambahkan dalam waktu normal untuk mengantisipasi terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu guna melepaskan lelah (fatique), kebtuhan-kebutuhan yang bersifat pribadi dan kondisi-kondisi menunggu baik yang tidak dapat dihindarkan maupun yang dapat dihindarkan.

Pengukuran waktu kerja akan menghasilkan waktu ataupun output standar yang mana hal tersebut dapat bermanfaat untuk:

1. Men power planning.

2. Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja.

3. Penjadwalan produksi dan penganggaran.

(5)

4. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan atau pekerja yang berprestasi.

5. Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.

Ada beberapa macam cara untuk mengukur dan menetapkan waktu standar. Dalam beberapa kasus seringkali industri hanya sekedar membuat estimasi waktu dengan berdasarkan pengalaman historis. Umumnya penetapan waktu standar dilaksanankan dengan cara pengukuran kerja seperti:

1. Stopwatch Time study 2. Sampling kerja 3. Standar data

4. Predetermined motion time system (Wignjosoebroto, 2003).

2.2. Jenis Tugas

Tugas atau kewajiban merupakan satu bagian integral atau satu elemen dari suatu pekerjaan. Tugas merupakan suatu kewajiban khusus dalam suatu pekerjaan. Tugas juga merupakan suatu maksud atau tujuan tertentu. Jenis tugas erat kaitanya dengan uraian pekerjaan, rincian pekerjaan yang berisi informasi yang menyeluruh tentang tugas atau kewajiban, tanggung jawab, dan kondisi-kondisi yang diperlukan apabila pekerjaan tersebut dikerjakan yang memberikan informasi menyeluruh dimana pekerjaan tersebut dilakukan (Sastrohadiwiryo, 2003).

Menurut Dipohusodo (1996), salah satu faktor yang bersifat menentukan untuk dapat mencapai keberhasilan proyek ialah disediakanya rincian peranan dan tangung jawab yang jelas dan disetujui oleh seluruh pelakunya, tanpa adanya kesepakatan yang jelas akan menimbulkan masalah-masalah koordinasi yang akan mengakibatkan kekacauan tanggung jawab. Lebih lanjut

(6)

menimbulkan terganggunya mekanisme kegiatan, kelambatan, dan akhirnya terjadi peningkatan biaya.

Bagan tanggung jawab yang jelas dan terinci merupakan salah satu perangkat sistem manajemen proyek untuk menetapkan kesepakatan peranan dan tanggung jawab masing-masing individu atau satuan organisasi yang terlibat dalam proyek. Didalam bagan diperlihatkan hubungan antara tugas dan jabatan secara jelas, dan membantu memastikan bahwa semua tugas dan personil telah ditentukan untuk pelaksanaanya. Dengan demikian bagan tanggung jawab mencantumkan semua tugas atau kegiatan, dan pelaku-pelaku (satuan organisasi atau perorangan) proyek, kesemuanya diwujudkan dalam bentuk matriks yang memperlihatkan:

1. Semua orang atau organisasi yang terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas proyek.

2. Semua tugas dan kegiatan.

3. Jenis keterlibatan semua orang dalam tugas-tugas proyek (Dipohusodo, 1996).

Menurut Husen (2009), informasi tentang jenis serta deskripsi pekerjaan pada proyek perlu diidentifikasi sedemikian hingga tugas, tanggung jawab dan wewenang masing-masing pihak dapat dijalankan sesuai rencana dan aturan-aturan perusahaan.

Tugas dikaitkan dengan kedudukan pekerjaan, berdasarkan tugas pokok, tugas tidak pokok, serta tugas tambahan yang dibebankan pada sekelompok personel sedemikian hingga pekerjaan itu dapat dilaksanankan dengan pencapaian maksimal (Husen, 2009).

Tanggung jawab dikaitkan dengan memegang kendali pekerjaan yang diberikan berdasarkan kemampuan yang dimiliki personel dengan segala risiko pekerjaan yang dihadapi.

Wewenang dikaitkan dengan otoritas seseorang dalam memikul suatu tugas dan kewajiban dengan melakukan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang dihadapinya (Husen, 2009).

(7)

Deskripsi suatu pekerjaan merupakan dokumen tertulis yang lengkap, yang menunjukkan pekerjaan yang dilkukan beserta tanggung jawab dan wewenangnya, hubungan dengan pihak- pihak lain, persyaratan pelaksanaan serta ruang lingkup pekerjaan. Informasi jenis pekerjaan digunakan untuk mengenali jenis-jenis pekerjaan beserta jabatan yang akan diemban, sebagai acuan input dan output dari jabatan yang bersangkutan, serta metode pelaksanaan yang akan dilakukan, juga sebagai informasi kondisi pekerjaan serta hubungan antar jabatan dan lain sebagainya ( Husen, 2009).

Menurut Ervianto (2005), salah satu pendekatan manajemen yang digunakan untuk mempelajari produktivitas pekerja adalah work study. Metode ini menyejajarkan dua metode lain, yaitu method study dan work measurement. Metode ini secara sistematik dapat digunakan untuk mengetahui dan memeperbaiki/mengingatkan kinerja penggunaan sumber daya dalam proyek. Work study adalah teknik manajemen yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan cara menyempurnakan penggunaan sumber daya secara tepat. Work study dapat diaplikasikan dalam berbagai kasus, harapan yang igin dicapai pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Menentukan metode konstruksi yang tepat dalam suatu proses produksi.

2. Menyempurnakan penggunaan metode pelaksanaan dengan cara mengeliminasi kegiatan yang tidak diperlukan, mengoptimalkan penggunaan pekerja, alat dan material.

3. Meningkatkan produktivitas dari suatu pekerjaan.

2.3 Jenis Tugas Dalam Proyek Pembangunan Gedung

Menurut Rizahirfan (2008), ada beberapa jenis tugas yang dibebankan kepada pekerja proyek sebuah gedung, termasuk didalamnya tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perencanaan hingga pembangunan suatu gedung. Tahapan pelaksanaan proyek ini harus disusun sedemikian

(8)

rupa mulai dari pengerjaan awal hingga finishing (jika pengerjaan proyek hingga finishing).

Semuanya ini disusun didalam Time Schedule. Tahapan-tahapan dan berapa lama pengerjaan proyek tersebut disusun dahulu sebelum pelaksanaan, sehingga proyek tersebut dapat berjalan sesuai rencana dan tepat waktu.

1. Pekerjaan Pembersihan

Pengerjaan dimulai dari pembersihan lapangan dan pemerataan permukaan tanah seperti yang telah direncanakan. Bahkan kalau perlu dilakukan pengerukan dan pengurugan tanah, setelah itu tanah dipadatkan.

2. Pekerjaan Pondasi

Setelah tanah bersih dan rata, dilanjutkan kemudian dengan pemancangan tiang pondasi, yang biasa disebut dengan Tiang Pancang. Sebelum pemancangan ini, perlu ditentukan dahulu titik-titik pondasi tersebut. Setelah titik-titik pondasi ditentukan, barulah proses pemancangan dapat dilakukan. Proses pemancangan ini harus sangat diperhatikan, karena saat proses pemancangan, dapat terjadi berbagai kesalahan. Operator mesin pancang diharapkan terus mengontrol posisi tiang pancang. Dalamnya pondasi tiang pancang yang tertanam di dalam tanah tergantung dari jenis dan kondisi tanah tersebut, karena pondasi tiang pancang harus berdiri di atas tanah yang keras. Jika proyek berada di daerah tanah rawa, pondasi tiang pancang tertanam lebih dalam. Sebagai contoh jika proyek berada di daerah Jakarta Utara, yang merupakan tanah rawa, pondasi tiang pancang akan tertanam sangat dalam. Lain halnya jika berada di sekitar Jakarta Selatan, yang mempunyai tanah lebih keras, pondasi tiang pancang tertanam tidak terlalu dalam.

Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Pile Cap dan Sloof. Pile Cap ini berfungsi untuk membagi rata beban dari kolom kepada beberapa pondasi dibawahnya. Dan tiap Pile Cap

(9)

ini juga dihubungkan satu sama lain oleh Sloof, sehingga semua tiang pancang mempunyai satu ikatan struktur.

3. Pekerjaan Struktur Atas

Setelah pekerjaan struktur bawah, yaitu pemancangan selesai, dilanjutkan kembali dengan pengerjaan bagian struktur atas. Struktur atas terdiri dari kolom, balok dan pelat.

Pengerjaan struktur atas dimulai dari pengerjaan kolom. Tapi terlebih dahulu, titik-titik kolom harus ditentukan posisinya dan dengan bantuan alat, sehingga titik-titik kolom tersebut sejajar satu sama lain.

Dalam proses pengerjaan kolom, hal yang pertama dilakukan adalah pengerjaan tulangan-tulangan kolom seperti yang telah didisain. Sebelum pengecoran kolom, terlebih dahulu dibuat bekisting yang dibentuk seperti kolom sehingga beton dapat dicor di dalamnya. Bekisting harus dibuat kokoh dan kuat, sehingga hasil cor-an diperoleh dengan baik dan bentuk kolom sesuai perencanaan. Ketika proses pengecoran harus dilakukan teliti, dan cor-an beton yang masuk itupun harus dipadatkan, sehingga cor beton dapat masuk semuanya sampai kebawah dan penuh mengisi bekisting.

Pengerjaan berikutnya adalah bagian balok dan pelat. Balok dan pelat memang dikerjakan bersamaan, Sama seperti pengerjaan kolom, pertama kali juga dilakukan pengerjaan bekisting. Agar waktu yang dibutuhkan seminimal mungkin, pengerjaan bekisting dan

penganyaman tulangan dapat dilakukan secara bersamaan. Setelah pembuatan bekisting dan penulangan selesai, baru dilanjutkan dengan pengecoran beton. Hal yang terpenting adalah semua beton yang di-cor itu harus berada dalam satu ikatan, yang berarti proses pengecoran pelat dan balok harus serempak selesainya dan beton pun akan kering bersamaan, sehingga kekuatannya dalam satu ikatan. Begitu juga pengerjaan lantai berikutnya, prosesnya pun sama

(10)

dengan sebelumnya. Dan selama proses pengecorannya pun juga harus dipadatkan, sehingga cor beton penuh mengisi bekisting.

4. Pekerjaan Finishing

Jika struktur telah berdiri kokoh, baru dapat dilanjutkan dengan pengerjaan finishing, yaitu pengerjaan dinding, elektrikal dan sanitasi, pemasangan keramik, pengecatan dan sebagainya. Namun, pengerjaan finishing inilah yang membutuhkan waktu paling lama, karena pengerjaannya harus hati-hati sehingga didapat bentuk yang rapi dan sesuai perencanaan.

2.4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan.

2.4.1. Pengendalian Hygiene dan Kesehatan Kerja

Yang dimaksud dengan pengendalian kesehatan dan higiene adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk melindungi kesehatan pekerja dan yang lainya dari bahaya yang mungkin timbul sehubungan dengan operasi perusahaan. Kegiatan ini tidak hanya terbatas pada diagnosis dan pengobatan penyakit akibat kerja, tetapi juga upaya yang diperlukan untuk melindungi pekerja dari penyakit (Rijanto, 2010).

2.4.2. Identifikasi Bahaya Terhadap Kesehatan

Pekerjaan untuk mengidentifikasi bahaya terhadap kesehatan ditempat kerja harus dilakukan dengan resmi, terencana, menyeluruh dan dengan teknik yang akurat. Metodanya dapat melalui inspeksi, pengamatan pekerjaan, survai dan penilaian teknis, serta pengawasan terhadap pengadaan bahan-bahan dan kontrak pekerjaan (Rijanto, 2010).

2.4.3. Pengendalian Bahaya

(11)

Apabila diketahui adanya bahaya, tindakan harus segera dilakukan untuk mengendalikan dampaknya terhadap pekerja, yang terbaik adalah dengan cara menghilangkan sumber bahayanya. Sebagai contoh, mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya, menambah penerangan lampu, rekayasa untuk menghilangkan bahaya kebisingan dan getaran. Sebagai upaya terakhir apabila apabila tidak mungkin menghilangkan bahayanya sampai pada batas aman, maka harus disediakan alat pelindung diri yang khusus dirancang untuk melinduginya (Rijanto, 2010).

2.4.4. Pedoman Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerjaan Konstruksi

Pada pekerjaan konstruksi kebanyakan bahaya-bahayanya adalah nyata. Sebagian besar dapat ditemukan hampir disetiap lokasi. Penyebab dari kecelakaan-kecelakaan dapat diketahui dengan baik dan sering kali terulang lagi. Terlalu seringnya terjadinya kecelakaan biasanya hanya dilihat sebagai bagian dari pekerjaan yang tidak terelakkan , dengan demikian tidak ada tindakan yangdilakukan untuk mengontrol resiko-resiko yang timbul. Akibatnya, angka kecelakaan dan sakit akibat pekerjaan tetap tinggi (Rijanto, 2010).

2.4.5. Mesin-mesin dan Peralatan

Pekerjaan konstruksi modern memerlukan berbagai mesin: peralatan penanganan bahan untuk persiapan lokasi, alat menggali, pengaduk beton atau truk pengangkut bahan-bahan struktur, dan lainya. Hanya petugas yang berwenang yang boleh mengoperasikan mesin-mesin dan peralatan, operator harus mengoperasikan mesin-mesin dan peralatan dengan tidak membahayakan orang-orang dan harta benda, selalu mengamati kecepatan dan batas beban yang aman, tidak boleh meninggalkan mesin-mesin atau peralatan yang sedang beroperasi tanpa pengawasan, memberikan pelindung untuk sabuk mesin, puli, roda gigi, rantai, piringan dan bagian yang berputar dari mesin-mesin (Rijanto, 2010).

(12)

2.4.6. Pekerjaan Pencetakan dan Pengecoran Beton

Menurut Rijanto (2010), resiko utama pada pekerjaan pencetakan dan pengecoran beton adalah:

1. Orang jatuh selama merangkai besi dan mendirikan cetakan beton.

2. Robohnya cetakan beton atau cetakan beton yang salah.

3. Bahan-bahan yang jatuh.

4. Debu silika dari pekerjaan pembersihan.

5. Lengan dan punggung terkilir karena mengencangkan baja.

Untuk mencegah dan sekaligus pengamanan maka perlu diperhatikan:

1. Ketentuan tentang metode keselamatan dan kesehatan kerja telah disetujui sebelum pekerjaan dimulai dan diikuti.

2. Pagar pengaman atau penghalang lain yang sesuai untuk mencegah terjatuh dipasang sesuai rencana kerja.

3. Para pekerja mempunyai jalan ketempat kerja yang aman.

4. Tangga atau perancah digunakan untuk sarana.

5. Peralatan dalam kondisi baik sebelum digunakan.

6. Sedapat mungkin beban dibuat merata pada struktur sementara, jangan meletakkan beban yang berat seperti kayu, balok-balok jadi atau beton cair pada suatu area terbatas.

2.4.7. Pekerjaan Atap

Menurut Rijanto (2010), hampir satu dari lima pekerja yang meninggal akibat kecelakaan pada pekerja konstruksi bangunan sedang mengerjakan pekerjaan atap. Kebanyakan

(13)

korban adalah pekerja khusus konstruksi atap, sebagian lagi pekerja pemeliharaan dan pembersihan atap. Beberapa dari pekerja ini meninggal setelah terjatuh dari pinggiran dan atap yang miring. Banyak pekerja yang meninggal setelah terjatuh melalui bahan-bahan yang mudah pecah. Pada atap yang mudah pecah atau yang sangat miring, dapat menggunakan tangga atap yang dibuat khusus atau papan geser untuk membagi beban pekerja dan bahan. Pagar pengaman dan papan pelindung atau penghalang yang sesuai dipasang pada pinggiran atau bagian dari atap biasanya diperlukan untuk menahan pekerja dan bahan-bahan terjatuh.

Menurut Rijanto (2010), sebagai tindakan pengamanan pada pekerjaan atap yaitu:

1. Jalan yang aman ke dan dari atap, contohnya suatu perancah.

2. Suatu sarana yang aman untuk bergerak melintasi atap, contohnya tangga atap yang sesuai atau papan geser.

3. Suatu sarana yang aman untuk bekerja ditas atap atau suatu anjungan yang berpagar pengaman, contohnya suatu perancah atau anjungan bergerak.

4. Jangan melemparkan bahan-bahan seperti kepingan atap bekas, puing-puing ubin dan sebagainya, gunakan kantong peluncur atau turunkan dengan menggunakan tempat tersendiri.

2.4.8. Alat Pelindung Diri (APD) Pekerjaan Konstruksi

Menurut Rijanto (2010), pada hampir semua lokasi ada resiko cedera akibat benda-benda yang jatuh dan resiko cedera kaki. Minimalkan resiko ini dengan menyediakan penghalang yang sesuai, dan papan penahan kaki atau peralatan lain pada pinggiran suatu anjungan kerja untuk mencegah benda-benda jatuh. Jaga keteraturan lokasi dan jaga jalanan tetap bersih. Terhadap resiko yang tersisa sediakan pelindung kepala dan kaki yang sesuai.

(14)

Menurut Rijanto (2010), kebijakan tentang APD meliputi:

1. Diupayakan untuk menghilangkan sumber bahaya ditempat kerja.

2. Apabila tidak memungkinkan untuk menghilangkan semua sumber bahaya, APD akan disediakan bagi seluruh pekerja untuk melindungi, baik dari cedera maupun bahaya terhadap kesehatan.

3. Perlindungan dengan APD ini akan diberikan juga kepada para pekerja kontraktor dan tamu, sama seperti yang diberikan kepada pekerja perusahaan.

4. Semua APD yang disediakan harus dibuat sesuai standar yang berlaku, sesuai dengan kebijakan mitra kerja, yang disetujui oleh perusahaan.

5. APD akan diberikan kepada pekerja berdasarkan kebutuhan, dengan pengertian bahwa beberapa pekerjaan mungkin memerlukan standar yang berbeda dengan lainya, dan beberapa pekerjaan mungkin memerlukan penggantian yang lebih sering dari yang lainya.

6. Penggunaan APD didalam operasi perusahaan secara terus-menerus dimonitor oleh atasannya, didata dan dilaporkan kepada pimpinan.

a. Alat Pelindung Diri Untuk Pelindung Kepala

Topi pelindung kepala diperlukan bila seseorang kemungkinan akan kejatuhan benda- benda atau terbentur kepalanya terbentur/terantuk.

Beberapa bahaya yang perlu diperhitungkan:

1. Bahan yang runtuh saat pekerjaan penggalian.

2. Benda yang jatuh dari suatu anjungan kerja.

(15)

3. Benda yang jatuh saat diangkat dengan derek/alat angkat, saat atau dimuat atau dibawa oleh kendaraan.

4. Bagian perancah yang jatuh saat membangun atau membongkarnya.

b. Alat Pelindung Diri Untuk Pelindung Kaki Melindungi kaki dari resiko:

1. Benda yang jatuh ke kaki.

2. Paku, atau benda tajam lainya yang menusuk telapak kaki 3. Benda tajam yang melukai urat nadi kaki.

c. Alat Pelindung Mata

Ini diperlukan untuk melindungi terhadap:

1. Benda-benda beterbangan, misalnya bila menggunakan alat penanam paku.

2. Percikan, misalkan saat memotong dengan piringan.

3. Radiasi ultra violet saat pengelasan diperlukan pelindung atau penutup khusus.

4. Percikan bahan kimia.

5. Pekerjaan pengelasan, pemotongan logam, menggerinda.

d. Alat Pelindung Diri Pakaian Kerja

Banyak kecelakaan terjadi saat pekerja posisi berbahaya tetapi tidak kelihatan. Penting untuk merencanakan pekerjaan juga untuk menghindarkan orang pada posisi yang demikian. Bila memungkinkan sdiakan pakaian yang terlihat cerah, mudah terlihat. Pakaian yang terlihat cerah diperlukan antara lain bila pekerja:

1. Berhubungan dengan kendaraan, misalnya harus memberi tanda membantu pergerakan kendaraan, dan pekerja yang bekerja dijalanan.

(16)

2. Agar mudah terlihat oleh sesama pekerja, misalnya pada pekerjaan membantu operasi pengangkatan agar mudah terlihat oleh operator alat angkatnya.

e. Alat Pelindung Diri Sarung Tangan

Sarung tangan yang sesuai dapat melindungi terhadap debu (misalnya semen), beton cair dan bahan pelarut yang dapat menyebabkan penyakit kulit. Jjuga akan melindungi terhadap teriris dan tergores saat menangani batu bata, besi dan kayu (Rijanto, 2010).

2.4.9. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Konstruksi

Dalam penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja dibidang konstruksi, diperlukan pendekatan-pendekatan agar lebih mudah dijalankan, terutama dalam proses pelaksanaanya. Bentuk-bentuk pendekatan dalam menjalankan program ini adalah pendekatan perilaku dan pendekatan fisik. Pendekatan perilaku mengarah pada peranan masing-masing peserta program keselamatan dan kesehatan kerja dalam menciptakan dan menerapkan kondisi kerja yang aman. Pendekatan fisik dalam program keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi dapat dilakukan diantaranya dengan cara pendidikan dan latihan mengenai metoda dan prosedur yang benar, perhatian atas perawatan/pemanfaatan peralatan yang dapat membahayakan keselamatan kerja, pemakaian pelindung yang telah ditetapkan. Inspeksi rutin dan teliti dilaksanakan dilokasi proyek oleh pihak yang bertanggung jawab (Ervianto, 2005).

2.4.10. Peralatan Standar K3 di Proyek Konstruksi

Menurut Ervianto (2005), keselamatan dan kesehatan kerja adalah dua hal yang sangat penting. Oleh karenanya, semua perusahaan kontraktor berkewajiban menyediakan semua keperluan peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal protective equipmen (PPE) untuk semua karyawan yang bekerja yaitu:

1. Pakaian kerja

(17)

2. Sepatu kerja 3. Kacamata kerja 4. Penutup telinga 5. Sarung tangan 6. Helm (helmet) 7. Masker 8. Jas hujan

9. Sabuk pengaman, tangga dan kotak P3K.

2.5. Metode Standar Pelaksanaan Kerja Konstruksi Tahap Struktur 2.5.1 Pekerjaan Beton

Pekerjaan beton secara garis besarnya dapat dibagi menjadi beberapa elemen, yaitu:

1. Acuan beton, dihitung dalam meter persegi luas permukaan.

2. Perancah acuan, dihitung dalam meter persegi luas permukaan yang ditopang.

3. Baja tulangan, dihitung dalam berat baja tulangan terpasang.

4. Pekerjaan beton, dihitung dalam meter kubik volume beton jadi.

Masing-masing bagian pekerjaan tersebut masih harus dibagi lagi menjadi beberapa sub- bagian. Pekerjaan baja tulangan dapat diuraikan menjadi pekerjaan pemotongan, pembengkokan, pengangkutan, merakit dibengkel kerja dan merangkai dilokasi struktur. Pada pekerjaan beton diuraikan menjadi pekerjaan mengaduk material, mengangkut, mengecor termasuk memadatkan

(18)

dan merapikan permukaan, membuat benda uji, perawatan pengerasan dan mengerjakan perbaikan yang diperlukan (Dipohusodo, 1995).

2.5.2. Pekerjaan Struktur Baja

Menurut Dipohusodo (1995), pelaksanaan pekerjaan struktur baja biasanya dikelompokkan menjadi empat bagian penting yaitu:

1. Menyiapkan material dasar.

2. Pekerjaan fabrikasi.

3. Pekerjaan merakit atau memasang dilapangan.

4. Pelaksanaan finish akhir pada pekerjaan pemasangan.

2.5.3. Pekerjaan Pemasangan Batu Bata

Sesuai dengan fungsinya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni pasangan batu keperluan struktural dan fungsi arsitektural. Berfungsi secara struktural seperti penggunaan untuk fondasi, talud penahan tanah, fondasi jalan raya dan sebagainya.

Sedangkan fungsi arsitektural biasanya diwujudkan sebagai bentuk hiasan seperti lempengan batu rai tempel (veneer), batu palimanan, lapis batu granit dan sebagainya. Kemudian pada teknik pemasangannya dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu pasangan batu kosongan dan pasangan menggunakan perekat spesi adukan. Pasangan batu kosongan biasanya digunakan untuk upaya stabilisasi tanah seperti lapis penutup kelandaian permukaan tanah, perkerasan jalan tanah atau pada struktur rip-rap dengan memasangnya dalam bentuk dibronjong dengan kawat (Dipohusodo, 1995).

2.5.4. Pekerjaan Finish dan Plesteran

(19)

Pekerjaan finish merupakan upaya untuk mempercantik kinerja bangunan sehingga memenuhi syarat untuk mencapai nilai estetika yang diharapkan. Pekerjaan finish pada umumnya merupakan pekerjaan kerajinan yang memerlukan keterampilan tukang ditunjang dengan ketekunan, telaten, cermat, dan teliti. Salah satu darinya adalah pekerjaan plesteran, berupa upaya memberi lapisan penutup bidang permukaan dengan meggunakan spesi adukan. Plesteran umumnya dipasang langsung pada permukaan beton. Pasangan batu, bata, batako, papan plester dari gypsum (plasterboard), atau jaringan kawat kasa atau kawat ayam. Volume pekerjaan plesteran diukur berdasarkan pada satuan luas meter persegi dengan tebalnya bervariasi tergantung pada kebutuhan, biasanya sekitar 15-25 mm. Seyogyanya tidak terlalu tebal untuk menghindari rontok atau mengelupas. Sebagaimana spesi adukan yang dipakai untuk pekerjaan pasangan, campuran materialnya dapat terdiri dari pasir dan semen, atau campuran pasir, semen, dan ditambah kapur. Apabila plesteran dipasang pada permukaan batu, bata, beton, atau papan plester, biasanya dilakukan dalam dua tahap membentuk dua lapis. Lapis pertama adalah plesteran kasar dengan ketebalan 10 mm, sedang yang kedua merupakan lapis halus tebalnya 5 mm sering disebut lapis acian. Jika dipasang dengan kawat kasa dikerjakan menjadi tiga lapis (Dipohusodo, 1995).

2.5.5. Pekerjaan Pengecatan

Pekerjaan pengecatan dapat dibedakan berdasarkan pada beberapa faktor atau keadaan, antara lain material yang dicat seperti kayu, plat atau gelagar baja, plesteran, dan sebagainya.

Kemudian macam permukaan rata, halus, bergelombang, jenis material cat yang digunakan, biasanya tiga kali pengecatan yaitu lapis dasar, pengecatan pertama, dan lapisan finish (Dipohusodo, 1995).

(20)

Volume pekerjaan pengecatan pada umumnya dihitung berdasarkan satuan luas meter persegi kecuali untuk elemen-elemen khusus misalnya pegangan tangga serta tiangnya, lis-lis tepi plafon atau dibagian bawah dinding partisi dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk mengecat adalah kuas sikat, kuas gelinding atau semprotan. Mengecat dengan semprotan lebih cepat akan tetapi membutuhkan keterampilan untuk menjamin hasil yang rata, disamping penggunaan materialnya cenderung lebih boros karena banyak terbuang (Dipohusodo, 1995).

2.5.6. Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal.

Menurut Dipohusodo (1995), segi penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pekerjaan mekanikal dan elektrikal ialah dalam koordinasinya dengan pekerjaan sipil. Diantara pekerjaan itu ialah instalasi listrik dan instalasi plambing serta instalasi pengatur udara.

1. Instalasi Listrik.

Secara garis besar dibagi menjadi pekerjaan instalasi jaringan, pengamanan dan pentanahan (grounding). Penataan daya untuk penerangan dan alat-alat serta penyambungan dari jaringan utama. Pekerjaan instalasi jaringan dimulai dengan menggambar rancangan teliti keseluruhan sistem jaringan dalam bentuk diagram garis. Kemudian dengan berpijak pada gambar tersebut setiap pelaksanaan pekerjaan struktural tahap tertentu harus dikoordinasikan dan diserasikan dengan bagian pekerjaan elektrikal terkait (Dipohusodo, 1995).

2. Instalasi Plambing.

Instalasi plambing mencakup pengelolaan sistem jaringan terpisah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan air bersih, air limbah, gas, atau keperluan instalasi proses lainya. Untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan jaringan instalasi dibutuhkan pemasangan perlengkapan

(21)

seperti pipa tembikar, pipa timah hitam, pipa besi cor, pipa baja dan besi tempa, pipa tembaga, pipa kuningan, pipa PVC (Dipohusodo, 1995).

3. Instalasi Pengatur Udara.

Pengatur udara (Air Conditioner) merupakan elemen bangunan yang mahal baik dari segi instalasi maupun biaya operasinya, Suhu udara yang dikeluarkan oleh AC akan sangat tergantung dari panas ruangan. Faktor yang mempengaruhi panas ruangan antara lain luas ruangan, luas dinding, bahan pembuat dinding, jumlah lampu, jumlah penghuni ruangan, arah kedatangan sinar matahari dsb. Untuk prinsip pemasangannya butuh penguasan khusus dan perawatan lebih lanjut menjaga alat agar tetap dapat digunakan dalam waktu yang lama (Dipohusodo, 1995).

2.6. Kelelahan Kerja

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh, agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut, semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja. Kelelahan diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, performans kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009).

Menurut Tarwaka dalam Rosanti (2011), kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh, agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Selanjutnya Budiono dkk, (2003) terdapat dua jenis kelelahan meliputi, kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai dengan gejala tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja.

Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai cara, dengan pengelolaan waktu bekerja dan lingkungan tempat kerja. Banyak hal dapat dicapai dengan menerapkan jam kerja dan waktu istirahat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengaturan cuti

(22)

yang tepat, penyelenggaraan tempat istirahat yang memperhatikan kesegaran fisik dan keharmonisan mental-psikologis. Pemanfaatan masa libur, rekreasi, kecukupan gizi, penerapan ergonomi yang bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, adalah merupakan upaya yang sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).

Menurut Suma’mur (2009), kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Salah satu keluhan yang paling sering dan umum di antara pekerja adalah rasa letih, baik karena kurang tidur malamnya, terlalu banyak bekerja atau suatu masalah emosional lainnya. Bila rasa letih sedemikian menonjol dan terus menerus sehingga menggangu kerja dan kegiatan lainnya ini disebut kelelahan (fatique).

Mengingat kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas tetapi dapat dirasakan sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi yang menonjol maka indikator perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi dapat dipergunakan untuk mengetahui adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang dikeluhkan pekerja yang merupakan semua perasaan yang tidak menyenangkan (Setyawati, 2010).

Banyak definisi tentang kelelahan kerja yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa kelelahan merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan, secara umum terjadi pada setiap individu yang telah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Sutalaksana, 1979).

2.6.1. Jenis Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja dapat dibedakan yang berdasarkan : 1. Waktu terjadinya kelelahan kerja, yaitu :

(23)

a. Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara berlebihan.

b. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang berlangsung secara terus-menerus dan terakumulasi. Gejala-gejala yang tampak jelas akibat lelah kronis ini dapat dicirikan seperti :

1. Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga orang menjadi kurang toleran atau a- sosial terhadap orang lain.

2. Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan.

3. Depresi yang berat, dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2000).

2. Penyebab terjadinya kelelahan

a. Faktor fisiologis, yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat) dalam darah, penurunan waktu reaksi.

b. Faktor psikologis, yaitu konflik yang mengakibatkan stress yang berkepanjangan, ditandai dengan menurunnya prestasi kerja, rasa lelah dan ada hubungannya dengan faktor psikososial (Khairunnisa, 2001).

3. Proses dalam otot yang terdiri dari :

a. Kelelahan otot, adalah suatu penurunan kapasitas otot dalam bekerja akibat kontraksi yang berulang. Kontraksi otot yang berlangsung lama mengakibatkan keadaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan, bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi serta otot menjadi gemetar (Suma’mur, 2009).

b. Kelelahan umum, adalah perasaan yang menyebar yang disertai adanya penurunan kesiagaan dan kelambanan pada setiap aktivitas (Grandjean, 1985). Perasaan adanya

(24)

kelelahan secara umum dapat ditandai dengan berbagai kondisi antara lain : lelah pada organ penglihatan (mata), mengantuk, stress (pikiran tegang) dan rasa malas bekerja atau circardian fatique (Nurmianto, 1998). Selain itu kelelahan umum dicirikan dengan

menurunnya perasaan ingin bekerja, serta kelelahan umum disebut juga kelelahan fisik dan kelelahan syaraf (Suma’mur, 2009).

2.6.2. Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Kelelahan.

Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah pekerjaan yang akan dilakukan seseorang setiap hari dan tingkat kelelahan fisik akibat kerja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kelelahan yaitu : jam kerja; periode istirahat; cahaya, suhu dan ventilasi yang berpengaruh pada kenyamanan fisik, sikap, mental dan kelelahan tenaga kerja; kebisingan dan getaran merupakan gangguan yang tidak diinginkan, sejauh mungkin dikurangi atau dihilangkan.

Hal ini sebaiknya dipahami sehingga tercipta kondisi fisik yang menyenangkan dalam bekerja (Nasution dalam Putra, 2011).

Secara pasti datangnya kelelahan yang menimpa diri seseorang akan sulit untuk diidentifikasikan secara jelas. Mengukur tingkat kelelahan kerja seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah. Prestasi ataupun performance kerja yang bisa ditunjukkan dengan output kerja merupakan tolak ukur yang sering dipakai untuk mengevaluasi tingkat kelelahan. Selain kuantitas output persatuan waktu, maka pengukuran terhadap kualitas output ataupun jumlah pokok cacat yang dihasilkan dan frekuensi kecelakaan yang menimpa pekerja sering kali juga dipakai sebagai cara untuk mengkorelasikan dengan intensitas kelelahan yang terjadi. Meskipun demikian yang patut diperhatikan adalah bahwa perubahan performa kerja ataupun kualitas output kerja ternyata tidaklah semata-mata disebabkan oleh faktor kelelahan kerja (Wignjosoebroto, 2000).

(25)

Faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja bermacam- macam, mulai dari faktor lingkungan kerja yang tidak memadai untuk bekerja sampai kepada masalah psikososial dapat berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja (Setyawati, 2010).

Menurut ILO dalam Setyawati (2010), penyebab kelelahan kerja umumnya berkaitan dengan:

a. Sifat pekerjaan yang monoton.

b. Intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi.

c. Cuaca ruang kerja, pencahayaan dan kebisingan serta lingkungan kerja lain yang tidak memadai.

d. Faktor psikologis, rasa tanggung jawab, ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik.

e. Penyakit-penyakit, rasa kesakitan dan gizi.

f. Circadian rhytm (irama sirkadian).

Suma’mur (2009), menyatakan bahwa salah satu penyebab kelelahan kerja adalah lamanya kerja mental dan fisik dan faktor-faktor yang lain yang telah disebutkan sebelumnya.

Pengaruh-pengaruh tersebut berkumpul di dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah.

Perasaan ini dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja seperti halnya kelelahan fisiologis seperti mengantuk.

Barnes dalam Putra (2011), menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi jumlah pekerjaan yang akan dilakukan seseorang setiap hari dan tingkat kelelahan fisik akibat kerja. Tersedianya kondisi kerja dan peralatan, jumlah pekerjaan setiap hari akan tergantung pada kemampuan dan kecepatan kerja yang dilakukan tenaga kerja.

Beberapa penelitian mengatakan kecelakaan banyak terjadi pada shift malam sehubungan dengan gangguan irama sirkadian. Penelitian lain, di Inggris menemukan bahwa puncak

(26)

kecelakaan lokal terjadi sebelum waktu istirahat shift pagi yang mungkin disebabkan faktor kelelahan atau pekerja mempercepat produksi pada saat-saat ini untuk mengejar target sebelum istirahat. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 1/3 tenaga kerja tidak dapat menyesuaikan diri pada shift malam dan banyak tidak menyukai rotasi shift kerja 1 minggu, sebab mempengaruhi kesehatan dan kehidupan pribadi. Pada penelitian tersebut digunakan skedul kerja 1 minggu setiap shift pagi, minggu depannya shift sore, minggu ke 3 shift tengah malam (Barnes dalam Putra, 2011).

2.6.3. Proses Terjadinya Kelelahan Kerja

Kelelahan terjadi karena berkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan peredaran darah, di mana produk-produk sisa ini bersifat membatasi kelangsungan aktivasi otot. Ataupun mungkin bisa dikatakan bahwa produk sisa ini mempengaruhi serat-serat syaraf dan sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan orang menjadi lambat bekerja jika sudah lelah (Nasution dalam Putra, 2011).

Makanan yang mengandung glikogen, mengalir dalam tubuh melalui peredaran darah.

Setiap kontraksi dari otot akan selalu diikuti oleh reaksi kimia (oksida glukosa) yang merubah glikogen menjadi tenaga, panas dan asam laktat (produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan, yaitu suatu proses untuk merubah asam laktat menjadi glikogen kembali dengan adanya oksigen dari pernafasan, sehingga memungkinkan otot-otot bisa bergerak secara kontiniu.

Ini berarti keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik apabila kerja fisiknya tidak terlalu berat.

Pada dasarnya kelelahan ini timbul karena terakumulasinya produk-produk sisa dalam otot dan peredaran darah yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja dengan proses pemulihan (Nasution dalam Putra, 2011).

Secara lebih jelas proses terjadinya kelelahan fisik adalah sebagai berikut :

(27)

1. Oksidasi glukosa dalam otot menimbulakan CO

2, saerolatic, phospati, dan sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian dikeluarkan waktu bernafas.

Kelelahan terjadi apabila pembentukan zat-zat tersebut tidak seimbang dengan proses pengeluarannya sehingga timbul penimbunan dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya.

2. Karbohidrat yang didapat dari makanan diubah menjadi glukosa dan disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Setiap 1 cm3darah normal akan membawa 1 mm glukosa, berarti setiap sirkulasi darah hanya membawa 0,1% dari sejumlah glikogen yang ada dalam hati. Karena bekerja, persediaan glikogen dalam hati akan menipis dan kelelahan akan timbul apabila konsentrasi glikogen dalam hati tinggal 0,7%.

3. Dalam keadaan normal jumlah udara yang masuk melalui pernafasan kira-kira 4 liter/menit, sedangkan dalam keadaan kerja keras dibutuhkan udara sekitar 15 liter/menit. Ini berarti pada suatu tingkat kerja tertentu akan dijumpai suatu keadaan di mana jumlah oksigen yang masuk melalui pernafasan lebih kecil dari tingkat kebutuhan. Jika ini terjadi maka kelelahan akan timbul, karena reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk mengurangi asam laktat menjadi H

2O (air) dan CO

2(karbondioksida) agar di keluarkan dari tubuh, menjadi tidak seimbang dengan pembentukan asam laktat itu sendiri (asam laktat terakumulasi dalam otot atau dalam peredaran darah) (Nasution dalam Putra, 2011).

Untuk kelelahan fisiologis, para ahli meyakini bahwa keadaan dan perasaan kelelahan yang timbul karena adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran (Cortex cerebri) atas pengaruh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi).

Sistem penghambat ini terdapat dalam thalamus, dan bersifat menurunkan kemampuan manusia untuk bereaksi. Sedangkan sistem penggerak terdapat dalam formatio retikolaris yang bersifat

(28)

dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan-peralatan tubuh ke arah reaksi. Dengan demikian, keadaan seseorang pada suatu saat tergantung pada hasil kerja kedua sistem antagonis tersebut (Sutalaksana, 1979).

Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivitas secara tiba-tiba apabila mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi). Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat daripada sistem penggerak (Sutalaksana, 1979).

2.6.4. Akibat Kelelahan Kerja

Perasaan lelah tidak hanya dirasakan pada saat setelah bekerja, tetapi juga saat sedang bekerja, bahkan kadang-kadang sebelum bekerja. Kelelahan yang terjadi secara terus-menerus berakibat pada kelelahan kronis.

Kelelahan dapat kita ketahui dari gejala-gejala atau perasaan-perasaan yang sering timbul seperti :

1. Perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh tubuh, kaki terasa berat, menguap, pikiran kacau, mengantuk, mata berat, kaku dan canggung dalam gerakan, tidak seimbang dalam berdiri dan merasa ingin berbaring.

2. Merasa susah berfikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang kepercayaan, cemas terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap dan tidak tekun dalam pekerjaan.

(29)

3. Merasa sakit kepala, kekakuan bahu, merasa nyeri di punggung, pernafasan merasa tertekan, suara serak, merasa pening, spasme dari kelopak mata, tremor pada anggota badan dan kurang sehat badan (Suma’mur, 2009).

Gejala-gejala yang termasuk kelompok 1 menunjukkan pelemahan kegiatan, kelompok 2 menunjukkan pelemahan motivasi dan kelompok 3 menunjukkan kelelahan fisik akibat psikologis.

Dalam studi efek kelelahan harus dipahami bahwa gejala umum dari kelelahan kerja merupakan sebagai suatu hasil dari aktivitas yang panjang. Gejala kelelahan berikut merupakan gejala yang jelas dilihat dan dirasakan, yaitu menurunnya perhatian, lamban dalam bergerak, gangguan persepsi, pikiran melemah, motivasi menurun, kinerja menurun, ketelitian menurun dan kesalahan meningkat (Grandjean,1985).

2.6.5. Penanggulangan Kelelahan Kerja

Kelelahan dengan menurunnya efisiensi dan ketahanan dalam bekerja meliputi segenap kelelahan tanpa mamandang apapun penyebabnya seperti, kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (visual), kelelahan fisik umum, kelelahan mental, kelelahan syaraf, kelelahan oleh karena lingkungan kerja yang monoton ataupun karena lingkungan kerja yang kronis terus- menerus.

Kelelahan merupakan komponen kelelahan fisik dan psikis. Kerja fisik yang melibatkan kecepatan tangan dan fungsi mata serta memerlukan konsentrasi yang terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan fisiologis dan penurunan keinginan untuk bekerja yang disebabkan oleh faktor psikis yang mengakibatkan kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kelelahan akibat bekerja sehingga kelelahan akibat bekerja dapat dikurangi dapat dilakukan dengan berbagai cara, di

(30)

antaranya adalah dengan menyediakan kalori secukupnya sebagai input untuk tubuh, bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik (misalnya bekerja dengan memakai prinsip ekonomi), memperhatikan kemampuan tubuh artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya, memperhatikan waktu kerja yang teratur (jam kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan rekreasi dan lain-lain), mengatur lingkungan fisik dengan sebaik-baiknya (temperatur, kelembaban, pencahayaan), serta berusaha mengurangi monotoni dan ketegangan-ketegangan akibat bekerja (warna dan dekorasi kerja, musik, menyediakan waktu untuk berolahraga, dan lain-lain) (Suma’mur, 2009).

2.6.6. Pengukuran Kelelahan Kerja

Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kelelahan kerja antara lain: Waktu reaksi Seluruh Tubuh atau Whole Body Reaction Tester (WBRT), uji ketuk jari (Finger Taping Test), uji Flicker fusion, uji Critical Fusion, uji Bourdon Wiersma, skala kelelahan IFRC

(Industrial Fatique Rating Comite), skala Fatique rating (FR skala), Ekskresi Katikolamin, Stroop Test (Suma’mur, 2009).

Menurut Setyawati (2010), suatu instrumen yang dapat dipergunakan untuk pengukuran kelelahan kerja secara ideal telah sejak lama diharapkan oleh para pemegang unit-unit kerja maupun oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap masalah kelelahan kerja. Pada tahun 1957 diutarakan oleh Pearson bahwa belum terdapat alat ukur yang dapat secara memadai untuk mengukur kelelahan, bahkan oleh Broadbent tahun 1979 disebutkan bahwa penilaian perasaan kelelahan kerja hanya sebagian saja yang ada hubungan dengan pengukuran secara fisiologis.

Pada tahun 1995 oleh Grandjean masih dikemukakan bahwa sampai saat itu belum terdapat suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara sempurna dalam setiap macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui kebenaran pendapat Grandjean

(31)

ini. Kesenjangan ini masih dilontarkan oleh Phoon pada tahun 1988 bahwa belum terdapat suatu alat yang khusus untuk mengukur kelelahan kerja. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacam-macam antara lain adalah:

a. Pengukuran Waktu Reaksi

Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi. Parameter waktu reaksi dipergunakan untuk pengukuran kelelahan kerja, namun dikemukakan bahwa waktu reaksi ini dipengaruhhi oleh faktor rangsangnya sendiri baik macam, intensitas maupun kompleksitas rangsangnya, dan juga dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, jenis kelamin, usia, kesempatan serta anggota tubuh yang dipergunakan.

b. Uji Finger-tapping (uji ketuk jari).

Uji Finger-tapping adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan dalam suatu periode waktu tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam proses mengetukkan jari-jari tangan dan uji ini tidak dapat dipakai untuk menguji kelelahan kerja bermacam-macam pekerjaan.

c. Uji Flicker-Fusion.

Uji Flicker-fushion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Uji ini dipergunakan untuk menilai kelelahan mata saja.

d. Uji Critical Flicker-Fushion.

(32)

Uji Critical Flicker-fushion adalah modifikasi uji Flicker Fushion. Uji ini digunakan untuk pengujian kelelahan mata yang berat, dan mempergunakan Flicker Tester.

e. Uji Bourdon Wiersma.

Uji Bourdon wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian. Uji ini dipakai untuk menguji kelelahan pada pengemudi.

f. Skala kelelahan Industrial Fatigue Research Committee (IFRC).

Skala IFRC yang di disain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu bahwa perasaan kelelahan yang dirasakan seorang pekerja dan tiap butir pertanyaan dalam skala IFRC tidak dapat dievaluasi hubunganya. Uji kelelahan yang lain yaitu skala kashiwagi, yang terdiri atas 20 butir pertanyaan yang mengandung dimensi pelemahan aktivitas dan pelemahan motivasi. Kedua skala ini tidak merupakan pendekatan yang menentukan karena dengan kedua skala ini tidak diperoleh hasil yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja maupun kriteria lain yang mendukung. Diutarakan pula bahwa perlu dilakukan survei psikososial dan ekologi diantara para pekerja untuk mengetahui sebab kelelahan kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

g. Pemeriksaan Tremor Pada Tangan.

Cara ini tidak dapat dipakai untuk mengukur kelelahan pada tiap orang maupun pada tiap pekerjaan karena adanya tremor pada tangan dapat terjadi tidak saja pada kelelahan tetapi juga dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit tertentu.

h. Metode Blink.

(33)

Metode Blink adalah pengujian untuk kelelahan tubuh secara keseluruhan dengan melihat objek yang bergerak dengan mata yang terkejab secara cepat dan berulang-ulang. Cara ini pun tidak dapat untuk menguji jenis kelelahan kerja pada tiap pekerjaan.

i. Ekskresi Katekolamin.

Pada kasus kelelahan ekskresi katekolamin tidak selalu meningkat. Pada pekerja beberapa macam pekerjaan yang mengalami kelelahan kerja tidak terjadi peningkatan ekskresi katekolamin.

j. Stroop Test.

Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warna-warna tinta suatu seri huruf atau kata-kata. Pengujian ini kurang memadai untuk pengujian suatu keadaan kelelahan kerja.

k. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja.

KUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan kelelahan kerja yang di disain oleh Setyawati (1994) khusus bagi pekerja Indonesia. KUPK2 ada tiga macam yaitu KUPK2 I, KUPK2 II, dan KUPK2 III yang masing-masing terdiri atas 17 butir pertanyaan, yang telah teruji kesahihan dan kehandalanya untuk mengukur perasaan kelelahan pada pekerja yang mengeluh adanya perasaan kelelahan.

Pengukuran secara subjektif dilakukan dengan mengukur perasaan lelah dengan menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) yang disusun oleh Setyawati pada tahun 1994 yang terdiri dari 17 pertanyaan tentang keluhan subjektif yang dapat diderita oleh tenaga kerja, antara lain: sukar berpikir, lelah berbicara, gugup menghadapi sesuatu, tidak pernah konsentrasi dalam mengerjakan sesuatu, tidak punya perhatian terhadap sesuatu, cenderung lupa, kurang percaya diri, tidak tekun dalam melaksanakan pekerjaan, enggan menatap mata orang lain, enggan bekerja dengan cekatan, tidak tenang bekerja, lelah seluruh

(34)

tubuh, lamban, tidak kuat berjalan, lelah sebelum bekerja, daya pikir menurun dan cemas terhadap sesuatu (Syarifuddin, 2005).

Selain itu KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja) juga merupakan parameter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja sebagai gejala subjektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Keluhan-keluhan yang dialami pekerja sehari-hari membuat mereka mengalami kelelahan kronis (Syarifuddin, 2005).

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

2.8. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap tingkat kelelahan pekerja pembangunan proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan

Waktu Kerja Lembur 1. < 3 jam/hari 2. > 3 jam/hari

Jenis Tugas Pada

Pengerjaan Struktur Atas 1. Sesuai standar

kerja.

2. Melebihi standar kerja.

Tingkat Kelelahan Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Susu kambing yang tiba dari peternakan dituang ke dalam panci bertutup dan dipanaskan pada suhu 85 o C selama 30 menit untuk membunuh mikroba patogen..

Implikasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengakibatkan kekosangan hukum, karena dalam Undang- Undang Pilkada tidak dikenal calon tunggal tetapi hanya

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

The research design of this study was classroom action research (CAR) consisted of two cycles and conducted in 3 meetings for each cycle. The subject of the

Voltama Vista Megah Electric Industry adalah adanya ditemukan stasiun kerja – stasiun kerja yang memiliki urutan aliran bahan yang berhubungan erat namun ditempatkan

Campuran yang memiliki daya serap air rendah ditunjukkan oleh partisi yang menggunakan perekat lem kayu, yaitu pada variasi V6 mencapai terendah sebesar 14,5 g/m 2

tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik konflik. Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah

Berbagai permasalahan pembangunan yang telah dirumuskan menjadi dasar dalam menentukan prioritas dan sasaran pembangunan, rancangan kerangka ekonomi dan