• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Waktu Kerja

Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat beban kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan mengurangi beban kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu (pagi, sore, dan malam hari).

Menurut Wignjosoebroto (2003), waktu standar secara defenitif dinyatakan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu standar tersebut sudah mencakup kelonggaran waktu (allowance time) yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang harus diselesaikan.

Menurut Husen (2009), dalam konteks penjadwalan terdapat perbedaan antara waktu (time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam, sedangkan kurun waktu atau durasi menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam melakukan suatu kegiatan, seperti lamanya waktu kerja dalam satu hari adalah 8 jam. Menentukan durasi atau kegiatan biasanya dilandasi volume pekerjaan dan produktivitas kelompok pekerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam, sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan

(2)

masyarakat,istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam (Rizahirfan, 2008).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 tentang ketenaga kerjaan Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

2.2 Jam Kerja Lembur (Overtime)

2.2.1 Pengertian Jam Kerja Lembur (Overtime)

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.13 tentang ketenagakerjaan tentang ketenagakerjaan Tahun 2003 Pasal 77 Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat:

(3)

1. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

2.Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur dalam pasal 1, waktu lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

2.2.2 Dampak Kerja Lembur

Adapun dampak yang diakibatkan oleh jam kerja lembur adalah sebagai berikut:

1. Pemicu Munculnya Depresi. Ketika seseorang bekerja selama 11 jam atau lebih per harinya akan memiliki tingkat depresi yang cukup tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja normal (7 - 8 Jam) sehari (Caruso et al., 2004).

2. Mempercepat Berbagai Gangguan Kesehatan. Bagi mereka yang bekerja diperkantoran, duduk sambil bekerja sudah menjadi kesehariannya. Berbagai dampak buruk dari terlalu lama duduk dapat menimbulkan diabetes, obesitas, kanker, serangan jantung (Patel et al., 2010).

3. Berdampak Buruk Pada Kualitas Tidur. Jika seseorang sering bekerja lembur, maka secara otomatis jam tidur yang dimilikinya berkurang. Berbagai dampak buruk akan menimpa dari minimnya jam tidur seperti memori yang terus meuurun, meningkatnya berat badan, sering marah-marah tidak jelas, maupun kanker yang mengintai anda (Nakashima et al., 2010)

(4)

4. Memperburuk Kesehatan Organ Jantung. Overtime atau kerja lembur berkontribusi besar terhadap berbagai gangguan kardiovaskuler seperti penyakit jantung, serangan jantung serta tekanan darah tinggi ). Seseorang yang bekerja 10 jam atau lebih per harinya beresiko terkena penyakit kardiovaskuler sebesar 60 persen(McInnes ., 2010).

5. Berbagai Gangguan Pada Penglihatan. Pekerjaan di era digital mengharuskan seseorang menatap layar komputer ataupun laptop dalam jangka waktu yang relatif lama. Tentu hal ini akan berefek serius pada organ mata seperti ketegangan pada mata, gejala sakit kepala, mata yang kering yang disertai dengan penglihatan yang kabur atau tidak jelas.

Masalah gejala penglihatan yang berhubungan dengan computer seperti kelelehan mata memiliki beberapa penyebab yang mirip dan tidak bisa diabaikan. Masalah penglihatan terminal (VDTs) menyebabkan gejala seperti ketengangan mata, ketidaknyamanan penglihatan, dan kelelahan penglihatan. Mendeteksi dan mendiagnosis penyebab dapat meningkatkan penglihatan dan menururnkan masalah penglihatan. Gejala dapat berupa, sakit kepala, ketengangan mata, mata kering, penglihatan kabur, iritasi mata, kelelahan mata, sensivitas terhadapa pencahataan, sakiyt punggung dan bahu dan penglihatan ganda(Tribley et al., 2011).

6. Terganggunya Fungsi Organ Otak. Kerja lembur yang dilakukan secara terus-menerus akan beresiko pada penurunan pada mental serta demensia (penurunan kemampuan intelektual ) (Virtanen et al., 2008).

2.3 Kelelahan Kerja

2.3.1 Defenisi Kelelahan Kerja

(5)

terhindar dari kerusakan lebih lanjut, semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja. Kelelahan diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, performans kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009).

Menurut Tarwaka dalam Rosanti (2011), kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh, agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Selanjutnya menurut Budiono dalam Purnomo (2014) terdapat dua jenis kelelahan meliputi, kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai dengan gejala tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja.

Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai cara, dengan pengelolaan waktu bekerja dan lingkungan tempat kerja. Banyak hal dapat dicapai dengan menerapkan jam kerja dan waktu istirahat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengaturan cuti yang tepat, penyelenggaraan tempat istirahat yang memperhatikan kesegaran fisik dan keharmonisan mental-psikologis. Pemanfaatan masa libur, rekreasi, kecukupan gizi, penerapan ergonomi yang bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, adalah merupakan upaya yang sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).

Mengingat kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas tetapi dapat dirasakan sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi yang menonjol maka indikator perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi dapat dipergunakan untuk mengetahui adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang dikeluhkan pekerja yang merupakan semua perasaan yang tidak menyenangkan (Purnomo dalam Setyawati, 2014).

Banyak definisi tentang kelelahan kerja yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa kelelahan merupakan suatu pola yang

(6)

timbul pada suatu keadaan, secara umum terjadi pada setiap individu yang telah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Sutalaksana, 1979).

Menurut Suma’mur (2009) Gejala atau perasaan atau tanda yang ada hubungannya dengan kelelahan adalah:

a. Perasaan berat di kepala. b. Menjadi lelah di seluruh badan. c. Kaki merasa berat.

d. Menguap.

e. Merasa kacau pikiran. f. Mengantuk.

g. Merasa berat di mata.

h. Kaku dan canggung dalam gerakan. i. Tidak seimbang dalam berdiri. j. Mau berbaring.

k. Merasa susah berfikir dan sakit kepala. l. Lelah bicara

m. Gugup.

n. Tidak dapat berkonsentrasi.

o. Tidak dapat memfokuskan perhatian terhadap sesuatu. p. Cenderung untuk lupa.

q. Kurang kepercayaan diri.

r. Cemas terhadap sesuatu dan tidak dapat mengontol sikap. s. Tidak dapat tekun dalam melakukan pekerjaan.

t. Kekakuan dibahu dan merasa nyeri di punggung. u. Merasa pernafasan tertekan.

(7)

w. Merasa pening.

x. Spasme pada kelopak mata. y. Tremor pada anggota badan. z. Merasa kurang sehat.

2.3.2 Jenis Kelelahan kerja

Kelelahan kerja dapat dibedakan yang berdasarkan : 1. Waktu terjadinya kelelahan kerja, yaitu :

a. Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara berlebihan.

b. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang berlangsung secara terus-menerus dan terakumulasi. Gejala-gejala yang tampak jelas akibat lelah kronis ini dapat dicirikan seperti :

• Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga orang menjadi kurang toleran atau a-sosial terhadap orang lain.

• Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan.

• Depresi yang berat, dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2000). 2. Penyebab terjadinya kelelahan

a. Faktor fisiologis, yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat) dalam darah, penurunan waktu reaksi.

b. Faktor psikologis, yaitu konflik yang mengakibatkan stress yang berkepanjangan, ditandai dengan menurunnya prestasi kerja, rasa lelah dan ada hubungannya dengan faktor psikososial (Khairunnisa, 2001). 3. Proses dalam otot , terdiri dari:

a. Kelelahan otot, adalah suatu penurunan kapasitas otot dalam bekerja akibat kontraksi yang berulang. Kontraksi otot yang berlangsung lama

(8)

mengakibatkan keadaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan, bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi serta otot menjadi gemetar (Suma’mur , 2009).

b. Kelelahan umum, adalah perasaan yang menyebar yang disertai adanya penurunan kesiagaan dan kelambanan pada setiap aktivitas (Grandjean, 1985). Perasaan adanya kelelahan secara umum dapat ditandai dengan berbagai kondisi.

2.3.3. Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Kelelahan

Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah pekerjaan yang akan dilakukan seseorang setiap hari dan tingkat kelelahan fisik akibat kerja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kelelahan yaitu : jam kerja, periode istirahat, cahaya, suhu dan ventilasi yang berpengaruh pada kenyamanan fisik, sikap, mental dan kelelahan tenaga kerja. Kebisingan dan getaran merupakan gangguan yang tidak diinginkan, sejauh mungkin dikurangi atau dihilangkan. Hal ini sebaiknya dipahami sehingga tercipta kondisi fisik yang menyenangkan dalam bekerja (Nasution dalam Putra, 2011).

Secara pasti datangnya kelelahan yang menimpa diri seseorang akan sulit untuk diidentifikasikan secara jelas. Mengukur tingkat kelelahan kerja seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah. Prestasi ataupun performance kerja yang bisa ditunjukkan dengan output kerja merupakan tolak ukur yang sering dipakai untuk mengevaluasi tingkat kelelahan. Selain kuantitas output persatuan waktu, maka pengukuran terhadap kualitas output ataupun jumlah pokok cacat yang dihasilkan dan frekuensi kecelakaan yang menimpa pekerja sering kali juga dipakai sebagai cara untuk mengkorelasikan dengan intensitas kelelahan yang terjadi. Meskipun demikian yang patut diperhatikan adalah bahwa perubahan performa kerja ataupun kualitas

(9)

output kerja ternyata tidaklah semata-mata disebabkan oleh faktor kelelahan kerja (Wignjosoebroto, 2000).

Menurut ILO dalam Setyawati yang dikutip dari Purnomo (2014), penyebab kelelahan kerja umumnya berkaitan dengan:

a. Sifat pekerjaan yang monoton.

b. Intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi.

c. Cuaca ruang kerja, pencahayaan dan kebisingan serta lingkungan kerja lain yang tidak memadai.

d. Faktor psikologis, rasa tanggung jawab, ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik.

e. Penyakit-penyakit, rasa kesakitan dan gizi. f. Circadian rhytm (irama sirkadian).

Tanda-tanda kelelahan yang utama adalah hambatan terhadap fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ diluar kesadaran serta prose pemulihan. Menurut Naibaho (1997) Orang-orang lelah menunjukkan :

1. Penurunan perhatian.

2. Perlambatan dan hambatan persepsi. 3. Lambat dan sukar berfikir.

4. Penurunan kemauan atau dorongan untuk bekerja. 5. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental. Ada lima (5) kelompok yang penyebab kelelahan yaitu :

1. Keadaan monoton.

2. Beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental.

3. Keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan. 4. Keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau konflik.

(10)

5. Penyakit, perasaan sakit, keadaan gizi.

Salah satu penyebab kelelahan kerja adalah lamanya kerja mental dan fisik dan faktor-faktor yang lain yang telah disebutkan sebelumnya. Pengaruh-pengaruh tersebut berkumpul di dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah. Perasaan ini dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja seperti halnya kelelahan fisiologis seperti mengantuk (Suma’mur PK, 2009).

2.3.4 Proses Terjadinya Kelelahan Kerja

Kelelahan terjadi karena berkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan peredaran darah, di mana produk-produk sisa ini bersifat membatasi kelangsungan aktivasi otot. Ataupun mungkin bisa dikatakan bahwa produk sisa ini mempengaruhi serat-serat syaraf dan sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan orang menjadi lambat bekerja jika sudah lelah.

Makanan yang mengandung glikogen, mengalir dalam tubuh melalui peredaran darah. Setiap kontraksi dari otot akan selalu diikuti oleh reaksi kimia (oksida glukosa) yang merubah glikogen menjadi tenaga, panas dan asam laktat (produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan, yaitu suatu proses untuk merubah asam laktat menjadi glikogen kembali dengan adanya oksigen dari pernafasan, sehingga memungkinkan otot-otot bisa bergerak secara kontiniu. Ini berarti keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik apabila kerja fisiknya tidak terlalu berat. Pada dasarnya kelelahan ini timbul karena terakumulasinya produk-produk sisa dalam otot dan peredaran darah yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja dengan proses pemulihan (Nasution dalam Putra, 2011).

Secara lebih jelas proses terjadinya kelelahan fisik adalah sebagai berikut :

1. Oksidasi glukosa dalam otot menimbulakan CO2, saerolatic, phospati, dan sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian dikeluarkan waktu bernafas. Kelelahan terjadi apabila pembentukan zat-zat

(11)

tersebut tidak seimbang dengan proses pengeluarannya sehingga timbul penimbunan dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya. 2. Karbohidrat yang didapat dari makanan diubah menjadi glukosa dan disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Setiap 1 cm3darah normal akan membawa 1 mm glukosa, berarti setiap sirkulasi darah hanya membawa 0,1% dari sejumlah glikogen yang ada dalam hati. Karena bekerja, persediaan glikogen dalam hati akan menipis dan kelelahan akan timbul apabila konsentrasi glikogen dalam hati tinggal 0,7%.

3. Dalam keadaan normal jumlah udara yang masuk melalui pernafasan kira-kira 4 liter/menit, sedangkan dalam keadaan kerja keras dibutuhkan udara sekitar 15 liter/menit. Ini berarti pada suatu tingkat kerja tertentu akan dijumpai suatu keadaan di mana jumlah oksigen yang masuk melalui pernafasan lebih kecil dari tingkat kebutuhan. Jika ini terjadi maka kelelahan akan timbul, karena reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk mengurangi asam laktat menjadi H 2O (air) dan CO2(karbondioksida) agar di keluarkan dari tubuh, menjadi tidak seimbang dengan pembentukan asam laktat itu sendiri (asam laktat terakumulasi dalam otot atau dalam peredaran darah) (Nasution dalam Putra, 2011).

Untuk kelelahan fisiologis, para ahli meyakini bahwa keadaan dan perasaan kelelahan yang timbul karena adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran (Cortex cerebri) atas pengaruh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat ini terdapat dalam thalamus, dan bersifat menurunkan kemampuan manusia untuk bereaksi. Sedangkan sistem penggerak terdapat dalam formatio retikolaris yang bersifat dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan-peralatan tubuh ke arah reaksi. Dengan demikian, keadaan seseorang pada suatu saat tergantung pada hasil

(12)

kerja kedua sistem antagonis tersebut (Sutalaksana, 1979).

Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivitas secara tiba-tiba apabila mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi). Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat daripada sistem penggerak (Sutalaksana, 1979).

2.3.5 Akibat Kelelahan Kerja

Kelelahan dapat kita ketahui dari gejala-gejala atau perasaan-perasaan yang sering timbul seperti :

1. Perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh tubuh, kaki terasa berat, menguap, pikiran kacau, mengantuk, mata berat, kaku dan canggung dalam gerakan, tidak seimbang dalam berdiri dan merasa ingin berbaring.

2. Merasa susah berfikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang kepercayaan, cemas terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap dan tidak tekun dalam pekerjaan.

3. Merasa sakit kepala, kekakuan bahu, merasa nyeri di punggung, pernafasan merasa tertekan, suara serak, merasa pening, spasme dari kelopak mata, tremor pada anggota badan dan kurang sehat badan (Suma’mur, 2009).

(13)

Gejala-gejala yang termasuk kelompok 1 menunjukkan pelemahan kegiatan, kelompok 2 menunjukkan pelemahan motivasi dan kelompok 3 menunjukkan kelelahan fisik akibat psikologis.

Dalam studi efek kelelahan harus dipahami bahwa gejala umum dari kelelahan kerja merupakan sebagai suatu hasil dari aktivitas yang panjang. Gejala kelelahan berikut merupakan gejala yang jelas dilihat dan dirasakan, yaitu menurunnya perhatian, lamban dalam bergerak, gangguan persepsi, pikiran melemah, motivasi menurun, kinerja menurun, ketelitian menurun dan kesalahan meningkat (Grandjean,1985).

2.3.6 Pengukuran Kelelahan Kerja

Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kelelahan kerja antara lain: Waktu reaksi Seluruh Tubuh atau Whole Body Reaction Tester (WBRT), uji ketuk jari (Finger Taping Test), uji Flicker fusion, uji Critical Fusion, uji Bourdon Wiersma, skala kelelahan IFRC (Industrial Fatique Rating Comite), skala Fatique rating (FR skala), Ekskresi Katikolamin, Stroop Test (Suma’mur, 2009).

Menurut Setyawati (2010), suatu instrumen yang dapat dipergunakan untuk pengukuran kelelahan kerja secara ideal telah sejak lama diharapkan oleh para pemegang unit-unit kerja maupun oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap masalah kelelahan kerja. Pada tahun 1957 diutarakan oleh Pearson bahwa belum terdapat alat ukur yang dapat secara memadai untuk mengukur kelelahan, bahkan oleh Broadbent tahun 1979 disebutkan bahwa penilaian perasaan kelelahan kerja hanya sebagian saja yang ada hubungan dengan pengukuran secara fisiologis. Pada tahun 1995 oleh Grandjean masih dikemukakan bahwa sampai saat itu belum terdapat suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara sempurna dalam setiap macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui kebenaran pendapat Grandjean ini. Kesenjangan ini masih dilontarkan oleh Phoon

(14)

pada tahun 1988 bahwa belum terdapat suatu alat yang khusus untuk mengukur kelelahan kerja. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacam-macam antara lain adalah:

a. Pengukuran Waktu Reaksi

Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi. Parameter waktu reaksi dipergunakan untuk pengukuran kelelahan kerja, namun dikemukakan bahwa waktu reaksi ini dipengaruhhi oleh faktor rangsangnya sendiri baik macam, intensitas maupun kompleksitas rangsangnya, dan juga dapat dipengaruhi oleh motivasi kerja, jenis kelamin, usia, kesempatan serta anggota tubuh yang dipergunakan.

b. Uji Finger-tapping (uji ketuk jari).

Uji Finger-tapping adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan dalam suatu periode waktu tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam proses mengetukkan jari-jari tangan dan uji ini tidak dapat dipakai untuk menguji kelelahan kerja bermacam-macam pekerjaan.

c. Uji Flicker-Fusion.

Uji Flicker-fushion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Uji ini dipergunakan untuk menilai kelelahan mata saja.

d. Uji Critical Flicker-Fushion.

Uji Critical Flicker-fushion adalah modifikasi uji Flicker Fushion. Uji ini digunakan untuk pengujian kelelahan mata yang berat, dan mempergunakan Flicker Tester.

(15)

Uji Bourdon wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian. Uji ini dipakai untuk menguji kelelahan pada pengemudi.

f. Skala kelelahan Industrial Fatigue Research Committee (IFRC).

Skala IFRC yang di disain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu bahwa perasaan kelelahan yang dirasakan seorang pekerja dan tiap butir pertanyaan dalam skala IFRC tidak dapat dievaluasi hubunganya. Uji kelelahan yang lain yaitu skala kashiwagi, yang terdiri atas 20 butir pertanyaan yang mengandung dimensi pelemahan aktivitas dan pelemahan motivasi. Kedua skala ini tidak merupakan pendekatan yang menentukan karena dengan kedua skala ini tidak diperoleh hasil yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja maupun kriteria lain yang mendukung. Diutarakan pula bahwa perlu dilakukan survei psikososial dan ekologi diantara para pekerja untuk mengetahui sebab kelelahan kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

g. Pemeriksaan Tremor Pada Tangan.

Cara ini tidak dapat dipakai untuk mengukur kelelahan pada tiap orang maupun pada tiap pekerjaan karena adanya tremor pada tangan dapat terjadi tidak saja pada kelelahan tetapi juga dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit tertentu. h. Metode Blink.

Metode Blink adalah pengujian untuk kelelahan tubuh secara keseluruhan dengan melihat objek yang bergerak dengan mata yang terkejab secara cepat dan berulang-ulang. Cara ini pun tidak dapat untuk menguji jenis kelelahan kerja pada tiap pekerjaan.

(16)

Pada kasus kelelahan ekskresi katekolamin tidak selalu meningkat. Pada pekerja beberapa macam pekerjaan yang mengalami kelelahan kerja tidak terjadi peningkatan ekskresi katekolamin.

j. Stroop Test.

Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warna-warna tinta suatu seri huruf atau kata-kata. Pengujian ini kurang memadai untuk pengujian suatu keadaan kelelahan kerja.

k. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja.

KUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan kelelahan kerja yang di disain oleh Setyawati (1994) khusus bagi pekerja Indonesia. KUPK2 ada tiga macam yaitu KUPK2 I, KUPK2 II, dan KUPK2 III yang masing-masing terdiri atas 17 butir pertanyaan, yang telah teruji kesahihan dan kehandalanya untuk mengukur perasaan kelelahan pada pekerja yang mengeluh adanya perasaan kelelahan.

Pengukuran secara subjektif dilakukan dengan mengukur perasaan lelah dengan menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) yang disusun oleoleh Setyawati pada tahun 1994 yang terdiri dari 17 pertanyaan tentang keluhan subjektif yang dapat diderita oleh tenaga kerja, antara lain: sukar berpikir, lelah berbicara, gugup menghadapi sesuatu, tidak pernah konsentrasi dalam mengerjakan sesuatu, tidak punya perhatian terhadap sesuatu, cenderung lupa, kurang percaya diri, tidak tekun dalam melaksanakan pekerjaan, enggan menatap mata orang lain, enggan bekerja dengan cekatan, tidak tenang bekerja, lelah seluruh tubuh, lamban, tidak kuat berjalan, lelah sebelum bekerja, daya pikir menurun dan cemas terhadap sesuatu (Syarifuddin, 2005).

Selain itu KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja) juga merupakan parameter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja sebagai gejala

(17)

subjektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Keluhan-keluhan yang dialami pekerja sehari-hari membuat mereka mengalami kelelahan kronis (Syarifuddin, 2005).

2.3.7 Penanggulangan Kelelahan Kerja

Kelelahan dengan menurunnya efisiensi dan ketahanan dalam bekerja meliputi segenap kelelahan tanpa mamandang apapun penyebabnya seperti, kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (visual), kelelahan fisik umum, kelelahan mental, kelelahan syaraf, kelelahan oleh karena lingkungan kerja yang monoton ataupun karena lingkungan kerja yang kronis terus-menerus.

Kelelahan merupakan komponen kelelahan fisik dan psikis. Kerja fisik yang melibatkan kecepatan tangan dan fungsi mata serta memerlukan konsentrasi yang terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan fisiologis dan penurunan keinginan untuk bekerja yang disebabkan oleh faktor psikis yang mengakibatkan kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kelelahan akibat bekerja sehingga kelelahan akibat bekerja dapat dikurangi dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan menyediakan kalori secukupnya sebagai input untuk tubuh, bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik (misalnya bekerja dengan memakai prinsip ekonomi), memperhatikan kemampuan tubuh artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya, memperhatikan waktu kerja yang teratur (jam kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan rekreasi dan lain-lain), mengatur lingkungan fisik dengan sebaik-baiknya (temperatur, kelembaban dan pencahayaan), serta berusaha mengurangi monotoni dan ketegangan-ketegangan akibat bekerja (warna dan dekorasi kerja, musik, menyediakan waktu untuk berolahraga, dan lain-lain) (Suma’mur PK, 2009).

(18)

2.4 Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

2.5 Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara jam kerja lembur terhadap kelehan kerja pada operator unit instalasi Sunggal PDAM Tirtanadi

Jam Kerja Lembur

Referensi

Dokumen terkait

Buah 7.6.(26)b Pengujian pembebanan statis pada tiang ukuran/diameter …… dengan meja beban statis cara beban

Menurut food and drug (FAD) administration, daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, kambing, atau domba yang dipotong dalam keadaan sehat dan cukup umur,

Situs 1 Manajemen Implementasi Kurikulum 2013 di SMPN 1 TA dalam Meningkatkan Mutu Situs 2 Manajemen Implementasi Kurikulum 2013 di SMPN 1 Bandung dalam Meningkatkan Mutu

Penulis memasukan variabel tambahan yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Gahtani (1999) yaitu perceived enjoyment untuk memprediksikan tingkat

Selanjutnya dilakukan analisa pengujian karbon aktif sesuai dengan syarat mutu Standar Nasional Indonesia SNI 06- 3730-1995 mencakup kadar air, kadar abu, volatile

Selain Aceh, praktik wisata halal (halal tourism) juga mulai diterapkan di pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 2016, Pemerintah Daerah Provinsi NTB

Pada navigation drawer yang terletak disisi kiri atas, terdapat 7 list menu Berfung si sesuai gambar 3 Halaman Analgesik Narkotik Menampilka n list nama obat Berfung

Namun, saat ini masih ada kendala ketidakpuasan nasabah terhadap kualitas pelayanan internet banking Bukopin berupa adanya keluhan mengenai keakuratan dalam