• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Body Image dengan Kecemasan Sosial pada Remaja Pengguna Media Sosial Tsania Salsabila 1, Warih Andan Puspitosari 2 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hubungan Body Image dengan Kecemasan Sosial pada Remaja Pengguna Media Sosial Tsania Salsabila 1, Warih Andan Puspitosari 2 1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Body Image dengan Kecemasan Sosial pada Remaja Pengguna Media Sosial

Tsania Salsabila1, Warih Andan Puspitosari2

1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 55183

2 Dosen Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 55183

Email: [email protected]1; [email protected]2

ABSTRAK

Remaja seringkali dihadapkan pada masalah persepsi ideal tentang dirinya atau yang dikenal dengan body image.

Remaja yang memiliki persepsi bahwa tubuhnya tidak ideal, akan memiliki body image negatif. Salah satu faktor yang mempengaruhi body image remaja adalah tren bentuk tubuh ideal yang ada di media sosial. Body image negatif pada remaja dapat berdampak pada terjadinya kecemasan sosial yang akan mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup remaja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara body image dan kecemasan sosial pada remaja pengguna media sosial. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional dengan rancangan cross-sectional. Responden adalah remaja pengguna media sosial yang diambil secara purposive sampling dengan kriteria: berusia 16-19 tahun dan bersedia mengikuti penelitian. Pengambilan data responden dilakukan secara daring menggunakan google form. Penilaian body image dan kecemasan sosial dengan menggunakan instrumen yang telah tervalidasi. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Responden berjumlah 212. Nilai rerata body image responden adalah 85,11 yang termasuk kategori body image netral dan nilai rerata kecemasan sosial pada responden adalah 54,04 yang termasuk kategori kecemasan sosial sedang. Uji hipotesis, didapatkan nilai p<0,05.

Terdapat hubungan yang bermakna antara body image dengan kecemasan sosial remaja pengguna media sosial.

Koefisien korelasi menunjukkan nilai -0,515 yang berarti tingkat korelasinya adalah sedang dengan arah korelasi berbanding terbalik, yang artinya semakin tinggi body image akan semakin rendah kecemasan sosial remaja.

Terdapat beberapa penelitian tentang body image dan kecemasan sosial, namun belum ada yang secara khusus membatasi hanya pada remaja pengguna media sosial.

Kata kunci: body Image, kecemasan sosial, remaja, media sosial.

PENDAHULUAN

Masa remaja adalah masa dimana terjadi berbagai perubahan, seperti perubahan hormonal, fisik, psikologis, maupun sosial (Batubara, 2016). Perubahan fisik maupun hormonal yang terjadi pada masa remaja dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan kehidupan sosial terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Perubahan perilaku dan kehidupan sosial yang bisa terjadi berupa munculnya ketertarikan dengan lawan jenis, mood dan emosi yang tidak stabil, krisis identitas, serta kecenderungan untuk selalu memperhatikan bentuk tubuh (Denich & Ifdil, 2015).

Banyak dari remaja yang tidak puas dengan dirinya karena merasa tubuh yang dimilikinya kurang sempurna dan tidak sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut yang

menyebabkan para remaja memiliki body image negatif (Denich & Ifdil, 2015).

Menurut Cash & Pruzinsky (Sari & Suarya, 2018) body image yang negatif dapat menyebabkan individu memiliki hambatan sosial dan kecemasan yang tinggi. Ketidakpuasan body image berhubungan dengan beberapa gejala awal dari gangguan kecemasan seperti GAD (Generalized Anxiety Disorder), PD (Panic Disorder), dan SAD (Social Anxiety Disorder) (Vannucci & Ohannessian, 2018).

Persentase terjadinya Social Anxiety Disorder cukup banyak pada usia anak dan remaja dibuktikan dengan adanya penelitian Miers (Rachmawaty, 2015) yaitu peningkatan gejala kecemasan sosial sebesar ±9,6% pada awal usia remaja. Tingginya persentase remaja yang mengalami kecemasan sosial serta dampak negatif dari kecemasan sosial pada remaja yang diakibatkan body image yang negatif membuat peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara body image dengan kecemasan sosial.

Banyak faktor yang mengakibatkan seseorang memiliki body image negatif, salah satunya adalah media massa.

Public figure yang ada di media massa yang dianggap sebagai representasi figur yang ideal akan menjadi model yang menarik untuk dijadikan target komparasi (Wahyuni

& Wilani, 2019). Public figure yang sering dijadikan representasi figur ideal ini juga dapat mudah ditemukan di media massa lain seperti internet. Perbandingan sosial yang ada dapat meningkatkan keinginan pengguna untuk memiliki bentuk tubuh yang ideal (Aristantya & Helmi, 2019).

Peneliti pun akhirnya merumuskan masalah pada penelitian ini adalah “apakah terdapat hubungan antara body image dengan kecemasan sosial pada remaja pengguna media sosial”.

KAJIAN LITERATUR

Remaja atau adolescent berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang memiliki arti to grow atau to grow maturity. Remaja merupakan periode kritis peralihan menuju dewasa dari masa kanak-kanak (Batubara, 2016).

Masa remaja diawali dengan masa pubertas yang diakibatkan oleh perubahan hormon berupa adanya sekresi FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) di hipofisis yang diakibatkan adanya peningkatan sekresi GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) di hipotalamus (Hall, 2011).

FSH dan LH yang dihasilkan menyebabkan terjadinya sintesis dan sekresi estrogen di folikel pada remaja putri (Sherwood, 2007). Hormon estrogen pada remaja putri akan

(2)

menyebabkan perubahan fisik berupa pertumbuhan payudara dan tumbuhnya rambut di daerah pubis dan aksila.

Massa lemak pada jaringan subkutan juga akan meningkat karena adanya hormon estrogen (Hall, 2011).

Produksi FSH pada remaja putra akan meningkatkan spermatogenesis dan produksi LH akan mengatur sekresi testosteron (Sherwood, 2007). Hormon testosteron pada laki-laki meyebabkan pertumbuhan penis, testis, dan skrotum, tumbuhnya rambut di atas pubis, dada, dan muka, perubahan suara, serta peningkatan sekresi kelenjar minyak.

Hormon testosteron pada laki-laki dapat menyebabkan peningkatan protein yang nantinya akan meningkatkan massa otot sekitar 50% lebih besar daripada perempuan (Hall, 2011).

Pertumbuhan fisik pada remaja akan mempengaruhi perkembangan emosi sehingga terjadi puncak emosionalitas ketika remaja (Muri’ah & Wardan, 2020). Perubahan fisik yang disertai kematangan seksual ini juga berpengaruh terhadap konsep diri remaja karena menyebabkan munculnya rasa tidak percaya pada diri sendiri dan kemampuan yang dimilikinya (Jahja, 2011).

Secara umum, perubahan psikososial pada masa remaja dibagi menjadi 3 periode yaitu remaja awal (12 – 14 tahun), remaja tengah (15 – 17 tahun), dan remaja akhir (>18 tahun) (Batubara, 2016). Fase remaja awal merupakan fase negatif karena kecenderungan remaja untuk bertingkah laku negatif (Diananda, 2019). Periode remaja awal mulai terjadi krisis identitas dan ketidakstabilan jiwa yang menyebabkan remaja mulai melakukan eksperimen-eksperimen akan hal- hal yang terlarang (Batubara, 2016).

Remaja yang berada pada tahap remaja tengah akan lebih sering memperhatikan penampilannya karena ketertarikan yang kuat terhadap lawan jenis. Seseorang yang berada di tahap remaja tengah juga biasanya akan lebih sering sedih/moody (Batubara, 2016). Ketidakjelasan status pada masa ini menyebabkan remaja mulai mencari identitas diri sehingga ketercapaian kemandirian dan identitas menjadi menonjol pada masa ini (Dianada, 2019).

Tahap selanjutnya yaitu pada tahap remaja akhir dimana telah tercapai maturitas fisik, remaja akan memiliki identitas diri yang kuat dan emosi yang lebih stabil. Remaja pada fase ini biasanya akan lebih memperhatikan masa depan serta akan lebih konsisten akan minatnya (Batubara, 2016).

Anderson & Jiang (2018) menyatakan bahwa 45% remaja hampir online atau aktif di internet secara konstan. Kondisi tersebut dikarenakan penggunaan smartphone yang telah menjadi elemen dalam kehidupan remaja, dimana hampir 95% remaja menyatakan memiliki smartphone atau setidaknya memiliki akses untuk menggunakannya.

Intensitas remaja menggunakan media sosial yang tinggi dapat menyebabkan remaja menjadi individual.

Kemampuan remaja untuk merespon pada situasi sosial juga dapat berkurang karena penggunaan media sosial (EB

& SW, 2017). Intensitas penggunaan media sosial yang tinggi juga berkaitan dengan rendahnya body image (Kelly, Zilanawala, Booker, & Sacker, 2018)

Tren bentuk tubuh yang dianggap standar ideal di media sosial dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap tubuhnya dan membuat seseorang cenderung membandingkan penampilannya sendiri dengan konsep ideal yang dibayangkannya. Remaja yang memiliki perbedaan antara penampilannya dengan penampilan yang dianggapnya ideal, maka akan merasa kecewa, frustasi, sedih atau merasa ada satu kebutuhan yang tidak terpenuhi (Denich & Ifdil, 2015)

Body image dalam bahasa Indonesia memiliki arti citra tubuh yaitu gambaran tubuh ideal berupa berat badan dan bentuk tubuh serta apapun yang seseorang inginkan pada tubuhnya yang didasarkan pada persepsi-persepsi orang lain dan keharusan untuk menyesuaikan persepsi tersebut (Denich & Ifdil,2015). Definisi body image seperti dikemukakan oleh Grogan (2016) adalah persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya. Jika persepsi, pikiran dan perasaan terhadap tubuh bersifat positif maka disebut body image positif, sebaliknya jika persepsi, pikiran, dan perasaan terhadap tubuh bersifat negatif maka disebut body image negatif.

Perasaan, persepsi, dan pikiran yang positif dapat berupa ketika sedang bercermin lalu timbul rasa senang. Selain itu, dapat berupa perasaan puas akan tubuh yang dimiliki meskipun terdapat kesadaran bahwa penampilan yang dimiliki masih belum sesuai dengan tren standar ideal yang ada di media, masyarakat, serta keluarga. Perasaan yang nyaman dengan tubuh serta tidak adanya rasa untuk mengubah tubuhnya menjadi seperti orang lain juga merupakan ciri body image yang positif (Ratnasari,2017).

Hal ini berlaku sebaliknya pada seseorang yang memiliki body image negatif yang akan memilki rasa tidak senang ketika bercermin, tidak puas akan tubuh yang dimiliki karena merasa tidak sesuai dengan tren standar ideal yang ada di media, masyarakat, dan keluarga. Perasaan tidak nyaman dengan tubuh dan tingginya keinginan untuk mengubah tubuhnya menjadi seperti orang lain juga merupakan ciri body image yang negatif.

Lima dimensi dari body image menurut Cash, dkk adalah (Ratnasari, 2017):

Appearance evaluation atau evaluasi penampilan adalah evaluasi penampilan apakah memuaskan dan menarik.

Appearance orientation atau orientasi penampilan adalah perhatian individu terhadap penampilannya serta usaha untuk memperbaiki dan meningkatkannya.

Body area satisfaction atau kepuasan terhadap area tubuh adalah kepuasan seseorang terhadap bagian tubuh tertentu.

Overweight preoccupation atau kecemasan menjadi gemuk adalah kecemasan individu untuk menjadi gemuk serta kecenderungan untuk menurunkan berat badan dengan cara diet atau membatasi pola makan

Self – classified weight atau pengkategorian ukuran tubuh adalah pengkategorian individu terhadap tubuhnya sendiri.

Faktor yang dapat mempengaruhi body image seseorang adalah faktor sosial budaya dan faktor individu (Tatangelo, McCabe & Ricciardelli, 2015). Faktor media massa juga

(3)

dapat mengakibatkan seseorang memiliki body image yang negatif, seperti pada penelitian oleh Haslinda, Ernalia, &

Wahyuni (2015) yang menemukan bahwa tingkat ketidakpuasan remaja terhadap tubuhnya di daerah pedesaan lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan karena di daerah pedesaan jarang terpapar media.

Ketidakpuasan body image dapat menyebabkan tingginya gejala awal dari SAD (Social Anxiety Disorder) (Vannucci

& Ohannessian, 2018). Social anxiety atau dalam bahasa Indonesia adalah kecemasan sosial, memiliki arti gangguan yang ditandai ketakutan atau kecemasan tentang satu atau beberapa situasi sosial dimana individu tersebut merasa diawasi orang lain (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan kecemasan sosial juga dapat disebut social phobia. Fobia sosial dikarakteristikkan sebagai ketakutan untuk dipermalukan atau dihina di depan orang lain. Serupa dengan fobia spesifik dimana penderita akan menghindari stimulus fobia ataupun jika tidak dihindari, penderita akan merasa sangat cemas dan tidak nyaman (Sadock & Sadock

& Ruiz, 2015). Tiga aspek kecemasan sosial menurut La Greca dan Lopez (Farihah & Rachman, 2017), yaitu ketakutan akan evaluasi negatif, penghindaran sosial dan distres baru, penghindaran sosial dan distress umum.

Faktor resiko dan prognosis yang dapat mempengaruhi terjadinya kecemasan sosial adalah emosional, lingkungan, genetik dan fisiologis (American Psychiatric Association, 2013). Faktor neurochemical seperti adanya disfungi dopaminergik dan adanya pengeluaran epinefrin dan nonepinefrin yang berlebihan pada penderita kecemasan sosial juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya kecemasan sosial (Sadock, et. al., 2015).

Median usia awitan terjadinya gangguan kecemasan sosial di Amerika Serikat adalah 13 tahun. Gangguan tersebut terkadang muncul dari histori masa kecil dengan adanya hambatan sosial atau adanya rasa malu. Awitan terjadinya kecemasan sosial juga bisa terjadinya karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan seperti perundungan ataupun karena melakukan sesuatu yang memalukan di depan umum. Perkembangan kecemasan sosial juga bisa secara perlahan, namun hal inilah yang lebih berbahaya (American Psychiatric Association, 2013)

Banyak penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara body image dengan kecemasan sosial, namun belum ada yang membatasi secara khusus pada remaja pengguna media sosial. Penelitian sebelumnya oleh Regis, Ramos- Cerqueira, Lima, & Torres (2018) bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan hubungan antara body image dan kecemasan sosial dengan sampel yang digunakan adalah 479 mahasiswa kedokteran di Brazil.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sholichatun &

Santosa (2020), dengan sampel yang digunakan adalah 50 mahasiswa perempuan. Penelitian lainnya yang menggunakan sampel terbatas pada perempuan adalah penelitian Ratnasari (2017), dengan sampel yang digunakan adalah 159 siswi di tujuh SMA di Lombok Tengah.

Perbedaan sampel yang digunakan dan instrumen penelitian yang digunakan, membuat penelitian ini tidak sama persis dengan penelitian selanjutnya. Pembatasan sampel berupa

remaja pengguna media sosial menunjukkan adanya kebaruan pada penelitian ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional untuk mengetahui korelasi antara body image sebagai variabel independent dan kecemasan sosial sebagai variabel dependent. Penelitian ini menggunakan desain cross- sectional. Data yang digunakan adalah data primer, peneliti mengambil data secara langsung dari responden.

Populasi dalam penelitian ini adalah adalah remaja pengguna media sosial yang berumur antara 16-19 tahun.

Sampel dalam penelitian ini dipilih menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusinya adalah remaja berusia 16-19 tahun, memiliki media sosial, dan bersedia mengikuti penelitian, sedangkan kriteria eksklusinya adalah tidak mempunyai riwayat gangguan jiwa dan mengisi kuesioner dengan lengkap.

Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Lemeshow karena besarnya populasi tidak dapat ditentukan. Rumusnya adalah :

n : jumlah sampel

Za : tingkat kemaknaan (1,96)

p : proporsi individu yang memiliki body image negatif dan kecemasan sosial (16,3% berdasarkan studi dari Regis, et.

al., 2018)

d : derajat kesalahan yang dapat diterima (0,05)

Dari rumus tersebut didapatkan jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 210 responden.

Variabel body image pada responden ini diukur menggunakan kuesioner MBSRQ-AS (Multidimensional Body–Self Relations Questionnaire-Appearance Scale) yang telah diadaptasi Khaira (2018) sebanyak 24 nomor yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Aspek body image yang diukur adalah appearance evaluation, appearance orientation, body areas satisfaction, overweight preoccupation, dan self- classified weight.

Variabel kecemasan sosial pada responden diukur menggunakan kuesioner kecemasan sosial yang digunakan oleh Sholichatun & Santosa (2020) sebanyak 22 nomor yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Aspek kecemasan sosial yang diukur adalah ketakutan akan evaluasi negatif, penghindaran sosial serta rasa tertekan dalam situasi yang baru atau dengan orang yang baru dikenal, dan penghindaran sosial rasa tertekan yang dialami secara umum atau dengan orang yang baru dikenal.

Sebelum dilakukan pengambilan data, penelitian ini telah dinyatakan layak etik oleh Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan nomor 090/EC-KEPK FKIK UMY/III/2021. Penelitian ini dinyatakan layak etik setelah terpenuhinya tujuh standar WHO 2011 yaitu, nilai sosial, nilai ilmiah, pemerataan beban dan manfaat, resiko, bujukan/eksploitasi, kerahasiaan dan privacy, dan persetujuan setelah penjelasan yang merujuk pada Pedoman CIOMS 2016.

(4)

Setelah dinyatakan layak etik memilih responden yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi untuk diminta menjadi sampel penelitian. Responden yang bersedia untuk mengikuti penelitian ini kemudian diminta untuk mengisi lembar informed consent dan baru setelah itu responden dapat mengisi bagian biodata dan kuesioner. Responden mengisi lembar informed consent, biodata, dan kuesioner secara daring menggunakan google form.

Responden yang berpartisipasi pada penelitian ini jumlahnya adalah 212 orang, dan kemudian dilakukan pengukuran variabel independen (body image) dan variabel dependen (kecemasan sosial). Variabel body image dan kecemasan sosial dianalisis korelasinya menggunakan teknik analisis korelasi Spearman dengan bantuan program SPSS version 25.0 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 212 orang.

Karakteristik responden yang berpartisipasi pada penelitian ini terdapat dalam tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik responden

Berdasarkan tabel di atas, responden paling banyak berusia 19 tahun dengan jumlah 99 orang atau 46,7% dan responden paling sedikit berusia 16 tahun dengan jumlah 24 orang atau 11,32%. Usia 19 tahun menurut Batubara(2016) termasuk kategori usia remaja akhir.

Responden yang berpartisipasi pada penelitian ini paling banyak berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 173

orang atau 81,6%. Tingkat pendidikan yang paling banyak dimiliki responden adalah tingkat pendidikan SMA/Sederajat yaitu sebanyak 176 orang atau 83,02%

sedangkan tingkat pendidikan yang paling sedikit dimiliki responden adalah tingkat pendidikan D3 dengan jumlah 1 orang atau 0,47%. Daerah asal responden paling banyak adalah Jawa Tengah dengan jumlah responden 79 orang atau 37,26%.

Media sosial yang paling banyak digunakan oleh responden adalah Instagram sedangkan media sosial yang paling sedikit penggunanya pada penelitian ini adalah Facebook.

Sebanyak 199 responden atau 93,87% dari semua responden menggunakan Instagram sedangkan Facebook hanya digunakan oleh 70 responden atau 33,01% dari total responden yang ada. Hasil ini sesuai dengan pernyataan dari Cahya Sakti & Yulianto (2018) yang menyatakan bahwa jumlah pengguna aktif Instagram lebih pesat pertumbuhannya dibandingkan Facebook. Prihatiningsih (2017), menyatakan bahwa motif penggunaan Instagram oleh remaja adalah untuk memenuhi kebutuhan kognitif, afektif, integrasi personal dan sosial, serta hiburan.

Konten-konten yang disajikan Instagram adalah multimedia berupa foto dan video. Konten berupa foto dan video tersebut dapat mendorong terjadinya perbandingan sosial.

Informasi mengenai jumlah likes serta followers pada Instagram juga dapat menyebabkan terjadinya perbandingan antar penggunanya (Appel, et. al., 2016).

Perbandingan sosial yang ada dapat meningkatkan keinginan pengguna untuk memiliki bentuk tubuh yang ideal (Aristantya & Helmi, 2019). Adanya perbandingan sosial dapat mendorong rendahnya body image (Rodgers, McLean, & Paxton, 2010).

Berdasarkan pengukuran body image menggunakan kuesioner MBSRQ-AS yang diadaptasi Khaira (2018) didapatkan gambaran body image yang dimiliki responden terdapat dalam tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2. Skor Body Image Responden

Nilai rata – rata skor body image responden adalah 85,11.

Nilai minimum skor body image responden adalah 42 yang termasuk kategori body image negatif, sedangkan nilai maksimum skor body image responden adalah 116 yang termasuk kategori body image positif.

Pengkategorian body image responden terdapat dalam tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Kategorisasi Body Image Responden

Berdasarkan tabel 3, mayoritas responden sebanyak 129 orang (60,85%) memiliki body image netral, sedangkan sisanya sebanyak 82 responden (38,68%) memiliki body image yang positif dan 1 responden (0,47%) memiliki body image yang negatif.

KETERANGAN TOTAL PERSENTASE

(%)

Usia

16 tahun 24 11,32

17 tahun 41 19,34

18 tahun 48 22,64

19 tahun 99 46,7

Jenis Kelamin

Perempuan 173 81,6

Laki – laki 39 18,4

Tingkat Pendidikan

SMP/Sederajat 24 11,32

SMA/Sederajat 176 83,02

D3 1 0,47

S1 11 5,19

Asal Daerah

Jawa Tengah 79 37,26

DI Yogyakarta 71 33,49

Jawa Barat 13 6,13

Jawa Timur 12 5,66

NTB 7 3,3

DKI Jakarta 5 2,36

Banten 4 1,89

Riau 3 1,41

Daerah Lain 18 8,5

Media Sosial

Instagram 199 93,87

Twitter 137 64,62

Tiktok 94 44,34

Facebook 70 33,01

Skor Body Image

Nilai Minimum 42

Nilai Maksimum 116

Nilai Rata – Rata 85,11

Tingkat Body Image Frekuensi Persentase

Negatif 1 0,47%

Netral 129 60,85%

Positif 82 38,68%

Total 212 100%

(5)

Meskipun hampir semua responden mempunyai akun Instagram, namun mayoritas responden pada penelitian ini termasuk kategori body image yang netral. Hal tersebut dapat terjadi karena body image pada remaja juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti biologi, keluarga, dan teman sebaya (Burke, et. al, 2012). Body image yang netral pada rata-rata responden juga mungkin terjadi karena responden pada penelitian ini mayoritas berusia 19 tahun yang mana merupakan tahap remaja akhir. Remaja yang berada pada tahap remaja akhir telah mencapai maturitas fisik dan biasanya akan memiliki identitas diri yang kuat dan emosi yang lebih stabil (Batubara, 2016).

Meskipun mayoritas responden memiliki body image yang netral, masih terdapat responden yang memiliki body image yang negatif.

Menurut Cash dan Pruzinsky (Sari & Suarya, 2018), apabila seorang remaja memiliki body image yang negatif maka banyak dampak negatif yang bisa terjadi kepadanya seperti hambatan sosial dan kecemasan yang tinggi. Ketidakpuasan body image yang tinggi juga berhubungan dengan tingginya gejala awal dari GAD (generalized anxiety disorder), PD (panic disorder), dan SAD (social anxiety disorder) (Vannucci & Ohannessian, 2018).

Hasil pengukuran kecemasan sosial responden menggunakan kuesioner Kecemasan Sosial oleh Sholichatun dan Santosa (2020) didapatkan gambaran kecemasan sosial yang dimiliki responden terdapat dalam tabel 4 sebagai berikut :

Tabel 4. Skor Kecemasan Sosial Responden

Nilai rata-rata skor kecemasan sosial responden adalah 54,04 yang termasuk kategori kecemasan sosial sedang. Hal ini berarti rata-rata responden memiliki kecemasan sosial yang sedang. Nilai minimum skor kecemasan sosial responden adalah 31 yang termasuk kategori kecemasan sosial rendah, sedangkan nilai maksimum skor kecemasan sosial responden adalah 101 yang termasuk kategori kecemasan sosial tinggi.

Pengkategorian kecemasan sosial pada responden terdapat dalam tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5. Kategorisasi Kecemasan Sosial Responden

Berdasarkan tabel 5 di atas, mayoritas responden sebanyak 116 orang (54,71%) memiliki kecemasan sosial sedang, sedangkan sisanya sebanyak 92 responden (43,40%) memiliki kecemasan sosial yang rendah dan 4 responden (1,89%) memiliki kecemasan sosial yang tinggi.

Kecemasan sosial yang terjadi pada remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor emosional, faktor lingkungan, serta faktor genetik dan fisiologi (American Psychiatric Association, 2013). Menurut Sadock et. al (2015), faktor terjadinya kecemasan sosial ada dua yaitu, faktor neurochemical dan faktor genetik.

Hipotesis yang diajukan peneliti pada penelitian ini adalah adanya hubungan negatif yang bermakna antara body image dan kecemasan sosial pada remaja pengguna media sosial.

Sebelum dilakukan uji hipotesis menggunakan uji korelasi, dilakukan uji kolmogorov-smirnov untuk menentukan normal tidaknya distribusi data yang didapat. Uji kolmogorov-smirnov dipilih karena data yang didapat>50.

Hasil uji normalitas persebaran data terdapat dalam tabel 6 sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Data

Data dikatakan berdistribusi normal jika p>0,05 dengan nilai p dilihat dari kolom signifikansi. Berdasarkan tabel di atas, nilai p dari body image adalah 0,200 dan nilai p dari kecemasan sosial adalah 0,002 sehingga dapat dikatakan persebaran data body image normal dan persebaran data kecemasan sosial tidak normal.

Setelah dilakukan uji normalitas, dilakukan uji korelasi menggunakan Spearman karena ada data yang tidak berdistribusi normal. Hasil uji menggunakan korelasi Spearman terdapat dalam tabel 7 sebagai berikut:

Tabel 7. Hasil Uji Korelasi Spearman

Untuk mengetahui adanya korelasi antara dua variabel, dapat dilihat dari nilai p yang ditunjukan pada baris Significancy (2-tailed) pada tabel diatas. Nilai p pada uji korelasi yaitu 0,000 yang artinya p<0,005 sehingga menunjukkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara dua variabel. Kekuatan dan arah korelasi antara dua variabel dapat dilihat dari nilai correlation coefficient yaitu – 0,515.

Nilai correlation coefficient – 0,515 menunjukkan bahwa kekuatan korelasi sedang dan arah korelasinya berbanding terbalik.

Penelitian yang telah dilakukan peneliti mendapatkan hasil yang menunjukkan adanya korelasi bermakna antara body image dan kecemasan sosial dengan kekuatan sedang dan arah korelasi yang berbanding terbalik. Korelasi yang berbanding terbalik memiliki arti bahwa semakin besar nilai body image, semakin rendah kecemasan sosial yang dimiliki seseorang. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan peneliti dapat diterima.

Kekuatan korelasi yang sedang antara body image dan kecemasan sosial bisa diakibatkan karena terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan sosial.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2017) didapatkan hasil bahwa kecemasan sosial yang terjadi pada remaja perempuan 2,7% nya dipengaruhi oleh body image, sedangkan 97,3% nya dipengaruhi faktor lainnya.

Skor Kecemasan Sosial

Nilai Minimum 31

Nilai Maksimum 101

Nilai Rata – Rata 54,04

Tingkat Kecemasan Sosial Frekuensi Persentase

Rendah 92 43,40%

Sedang 116 54,71%

Tinggi 4 1,89%

Total 212 100%

Uji Kolmogorov – Smirnov Statistik Df Signifikansi

Body Image 0,055 212 0,200

Kecemasan Sosial 0,081 212 0,002

Body Image Kecemasan Sosial Body Image Correlation coefficient

Sig. (2 – tailed) N

1,000 212

-0,515 0,000 212

Kecemasan Sosial Correlation coefficient Sig. (2 – tailed) N

-0,515 0,000 212

1,000 212

(6)

Hubungan negatif antara body image dan kecemasan sosial juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2017). Responden yang ada pada penelitian ini adalah 159 siswi yang ada di tujuh SMA di Lombok Tengah.

Penelitian serupa dilakukan oleh Sholichatun & Santosa (2020) dengan responden pada penelitian tersebut adalah 50 mahasiswa perempuan. Penelitian tersebut juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara body image dan kecemasan sosial.

Penelitian lainnya oleh Regis et. al (2018) pada 479 mahasiswa kedokteran di Brazil mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakpuasan body image dengan gejala kecemasan sosial. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa jenis kelamin wanita dan BMI yang tinggi berhubungan dengan terjadinya ketidakpuasan body image namun tidak berhubungan dengan terjadinya kecemasan sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Rodgers, Salès, & Chabrol (2010) pada 200 siswa perempuan berusia 18-25 tahun di Touluse (Prancis) mendapatkan hasil bahwa seseorang dengan fobia sosial yang tinggi lebih rentan terhadap efek media terhadap ketidakpuasan tubuh. Salah satu hal yang menjelaskan hal ini adalah adanya perbandingan penampilan. Seseorang yang memiliki fobia sosial yang tinggi akan merasa dirinya memiliki banyak kekurangan dan menunjukkan bias interpretasi negatif terhadap persepsi dirinya.

Aderka, et. al (2014) berpendapat bahwa gejala pada gangguan kecemasan sosial memiliki hubungan signifikan dengan aspek appearance evaluation dan body areas satisfaction yang merupakan aspek body image. Pendapat tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat gejala kecemasan sosial berkaitan dengan berkurangnya kepuasan seseorang terhadap penampilannya dan perasaan bahwa seseorang tersebut kurang menarik. Aderka, et. al (2014) menyatakan pola kognitif yang mendasari baik ketidakpuasan body image maupun kecemasan sosial kemungkinan adalah persepsi diri yang negatif dan terdistorsi.

Secara spesifik ketidakpuasan tubuh dihipotesiskan dapat menimbulkan evaluasi diri yang negatif, bias kognitif, dan safety behaviors yang mengarah pada terjadinya kecemasan (Aspen, et. al, 2013; Pallister & Waller, 2008). Terdapat kemungkinan juga bahwa ketakutan akan evaluasi negatif, kecemasan penampilan sosial, dan peningkatan sensitivitas neuroendokrin terhadap ancaman evaluasi social- berdasarkan penampilan dapat menjelaskan hubungan antara ketidakpuasan body image dengan gejala kecemasan sosial (Vannucci & Ohannessian, 2018)

Perubahan pada masa pubertas seperti lonjakan hormon steroid gonad yang memberikan efek pada regulasi neurotransmitter yang relevan terhadap terjadinya ketidakpuasan body image dan kecemasan (Klump, 2013;

Nelson, Jarcho, Guyer, 2016). Terdapat kemungkinan bahwa efek post–pubertas ini pada struktur dan fungsi otak menyebabkan gangguan syaraf yang meningkatkan sensitivitas terhadap potensi evaluasi sosial-berdasarkan

penampilan yang nantinya dapat memperburuk gejala pada kecemasan sosial (Vannucci & Ohannessian, 2018).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara body image dengan kecemasan sosial pada remaja pengguna media sosial, dengan arah korelasi negatif dan kekuatan korelasi sedang.

Korelasi negatif antara body image dan kecemasan sosial menunjukkan bahwa semakin tinggi body image akan semakin rendah kecemasan sosial yang dimiliki.

Terdapat keterbatasan pada penelitian ini, yaitu variabel variabel lain yang turut mempengaruhi baik body image maupun kecemasan sosial tidak ikut dianalisis pada penelitian ini. Penelitian selanjutnya akan lebih baik untuk ikut menganalisis variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi body image maupun kecemasan sosial.

Keterbatasan lainnya adalah adanya pembatasan umur responden menyebabkan hasil ini tidak bisa digeneralisasikan pada kelompok usia yang berbeda.

Penelitian selanjutnya akan lebih baik untuk meneliti hubungan body image dan kecemasan sosial pada kelompok usia yang lain.

REFERENSI

Aderka, I. M., Gutner, C. A., Lazarov, A., Hermesh, H., Hofmann, S. G., & Marom, S. (2014). Body image in social anxiety disorder, obsessive–compulsive disorder, and panic disorder. Body Image, 11(1), 51–56.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-5®).

American Psychiatric Pub.

Anderson, M., & Jiang, J. (2018). Teens, social media &

technology 2018. Pew Research Center, 31, 2018.

Appel, H., Crusius, J., & Gerlach, A. L. (2015). Social comparison, envy, and depression on Facebook: A study looking at the effects of high comparison standards on depressed individuals. Journal of Social and Clinical Psychology, 34(4), 277-289.

Aristantya, E. K., & Helmi, A. (2019). Citra tubuh pada remaja pengguna instagram. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 114 – 128.

Aspen, V., Darcy, A. M., & Lock, J. (2013). A review of attention biases in women with eating disorders. Cognition and Emotion, 27(5), 820–838.

Burke, N. L., Schaefer, L. M., & Thompson, J. K. (2012).

Body Image. Encyclopedia of Human Behavior, 365–371.

Batubara, J. R. (2016). Adolescent development (perkembangan remaja). Sari pediatri, 12(1), 21-9.

Cahya Sakti, B., & Yulianto, M. (2018). Penggunaan media sosial instagram dalam pembentukan identitas diri remaja.

Interaksi Online, 6(4), 490-501

Denich, A. U., & Ifdil, I. (2015). Konsep Body Image Remaja Putri. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 3(2), 55- 61.

(7)

Diananda, A. (2019). Psikologi remaja dan permasalahannya. ISTIGHNA: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 1(1), 116-133.

EB, G. A., & SW, E. D. (2017). Hubungan Penggunaan Media Sosial dengan Tingkat Kepekaan Sosial di Usia Remaja. Jurnal The Messenger, 9(1), 65-69.

Farihah, M., & Rachman, I. K. (2017). Pendekatan Cognitive Behavior Therapy Berbasis Islam Untuk Mengatasi Kecemasan Sosial Narapidana. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 14(1), 62-76.

Hall, JE (2011). Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-12. Singapura: Elsevier Saunders.

Haslinda, L. H., Ernalia, Y. E., & Wahyuni, S. (2015). Citra tubuh, perilaku diet, dan kualitas hidup remaja akhir mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Riau. JIK, Jilid 9, Nomor 2(95-98)

Jahja, Y. (2011). Psikologi perkembangan. Jakarta : Kencana.

Kelly, Y., Zilanawala, A., Booker, C., & Sacker, A. (2018).

Social media use and adolescent mental health: Findings from the UK Millennium Cohort Study. EClinicalMedicine, 6, 59-68.

Khaira, P. (2018). Hubungan antara self esteem dengan body image pada remaja pria. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Klump, K. L. (2013). Puberty as a critical risk period for eating disorders: A review of human and animal studies.

Hormones and Behavior, 64(2), 399–410.

Muri’ah, D. H. S., & Wardan, K. (2020). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Literasi Nusantara.

Nelson, E. E., Jarcho, J. M., & Guyer, A. E. (2016). Social re-orientation and brain development: An expanded and updated view. Developmental Cognitive Neuroscience, 17, 118–127

Pallister, E., & Waller, G. (2008). Anxiety in the eating disorders: Understanding the overlap. Clinical Psychology Review, 28(3), 366–386

Prihatiningsih, W. (2017). Motif penggunaan media sosial instagram di kalangan remaja. Communication, 8(1), 51-65.

Rachmawaty, F. (2015). Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecemasan Sosial pada Remaja. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10(1), 31–42.

Regis, J. M. O., Ramos-Cerqueira, A. T. A., Lima, M. C. P.,

& Torres, A. R. (2018). Social anxiety symptoms and body image dissatisfaction in medical students: prevalence and correlates. Jornal Brasileiro de Psiquiatria, 67(2), 65–73.

Ratnasari, S. E. (2017). Hubungan antara Body Image dengan Kecemasan Sosial pada Remaja perempuan (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

Rodgers, R. F., Salès, P., & Chabrol, H. (2010).

Psychological functioning, media pressure and body dissatisfaction among college women. Revue Européenne de Psychologie Appliquée/European Review of Applied Psychology, 60(2), 89–95.

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan &

Sadock's synopsis of psychiatry: Behavioral sciences / clinical psychiatry (Eleventh edition). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Sari, I. A. W. P., & Suarya, L. M. K. S. (2018). Hubungan Antara Social Comparison dan Harga Diri Terhadap Citra Tubuh Pada Remaja Perempuan. Jurnal Psikologi Udayana, 5(2), 265–277.

Sherwood L. (2007). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem.

Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sholichatun, D. F., & Santosa, B. (2020). Hubungan Antara Body Image Dengan Kecemasan Sosial Pada Mahasiswa Semester 2 Program Studi Psikologi Islam Tahun 2019 Institut Agama Islam Negeri Surakarta (Doctoral dissertation, IAIN Surakarta).

Tatangelo, G. L., McCabe, M. P., & Ricciardelli, L. A.

(2015). Body Image. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 735–740.

Vannucci, A., & Ohannessian, C. M. (2018). Body Image Dissatisfaction and Anxiety Trajectories During Adolescence. Journal of clinical child and adolescent psychology : the official journal for the Society of Clinical Child and Adolescent Psychology, American Psychological Association, Division 53, 47(5), 785 – 795

Wahyuni, G. A. K. T. E., & Wilani, N. M. A. (2019).

Hubungan Antara Komparasi Sosial Dengan Citra Tubuh Pada Remaja Laki-Laki Di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana,

Referensi

Dokumen terkait

Indeks Gabungan Kerentanan Pangan (I FV ) diperoleh dengan cara menghitung sepertiga dari jumlah Indeks penduduk rawan bencana, indeks daerah berhutan dan indeks daerah

Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH) adalah suatu program pendidikan untuk membina anak atau peserta didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan

FTTE of WMCUS students’ perception on peer assessment in Micro

[r]

Sebelum mengakses atau memanggil form yang berhubungan database maka terdahulu harus melakukan koneksi database dengan memanggil rutin BukaDb, jika langkah ini tidak

Teknik penulisan jenis kitab yang mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema yang sama menjadi satu judul umum yang mencangkupnya, seperti Kitab as-Shalah, Kitab

SIMPEG sangat mendukung dalam pelayanan kepegawian di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Musi Rawas .Penelitian ini menghasilkan sebuah Sistem

Hasil yang diperoleh berupa terdapat pengaruh dari gaya hidup serta diferensiasi produk (perubahan minor) terhadap keputusan pembelian Toyota Kijang Innova sehingga